Post on 13-Mar-2019
IDENTIFIKASI POTENSI SUMBERDAYA MANGROVE SEBAGAI
PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI DI KAMPUNG GISI DESA
TEMBELING
Julianto1, Dr. Febrianti Lestari, S.Si2, M.Si, Susiana, S.Pi, M.Si3
Mahasiswa1, Dosen Pembimbing2
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
email : juliantocivil@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi biofisik ekosistem
mangrove dan mengetahui potensi sosial masyarakat di Kampung Gisi Desa
Tembeling dalam pencadangan kawasan konservasi. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Desember 2015 sampai dengan bulan Juli 2016. Metode yang
digunakan ialah metode survei dan obervasi langsung. Berdasarkan hasil analisis
potensi ekosistem mangrove sebagai pencadangan kawasan konservasi di
Kampung Gisi Desa Tembeling dapat disimpulkan bahwa potensi biofisik
ekosistem mangrove di kawasan kampong gisi desa tembeling masih sesuai untuk
dijadikan pencadangan kawasan konservasi. Sebagian besar masyarakat
Kampung Gisi sudah mengetahui tentang ekosistem mangrove dan sudah mulai
sadar akan pentingnya ekosistem mangrove. Selain itu, tingkat partisipasi
masyarakat Kampung Gisi Desa Tembeling dalam pencadangan kawasan
konservasi tergolong cukup tinggi
Kata Kunci : Ekositem Mangrove, Konservasi, Potensi Biofisik, Potensi
Sosial Masyarakat, Kampong Gisi
Abstract
This study aims to determine the potential biophysical mangrove
ecosystem and determine the potential of social community in Gisi village
Tembeling in a conservation area reserve. This study was conducted in December
2015 to July 2016. The method used was a survey and direct observation. Based
on the analysis of potential backups mangrove ecosystem as a conservation area in
the village of Gisi village Tembeling can be concluded that the biophysical
potential of mangrove ecosystems in the village area of the Gisi village Tembeling
still suitable to be used as a backup conservation area. Most of the people in
Kampung Gisi already know about the mangrove ecosystem and has already
started to realize the importance of mangrove ecosystems. In addition, the level of
community participation Gisi Desa Kampung Tembeling in a conservation area
reserve is quite high.
Keywords : Mangrove ecosystems, Conservation, Biophysical Potential,
Potential Community Social, Village.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Provinsi Kepulauan Riau
merupakan provinsi yang sangat
berpotensi karena wilayahnya yang
berbatasan langsung dengan negara
tetangga diantaranya
Vietnam dan Kamboja di sebelah
utara; Malaysia dan
provinsi Kalimantan Barat di Timur;
provinsi Kepulauan Bangka Belitung
dan Jambi di selatan;
Negara Singapura, Malaysia dan
provinsi Riau di sebelah barat.
Provinsi ini termasuk provinsi
kepulauan di Indonesia (profil
provinsi kepulauan riau).
Secara geografis, Provinsi
Kepulauan Riau terletak diantara
kordinat 1° 10' Lintang Selatan - 5°
10' Lintang Utara dan 102°50' - 109°
20' Bujur Timur. Provinsi Kepulauan
Riau memiliki batas wilayah di
sebelah Utara dengan Laut Cina
Selatan, di sebelah Timur dengan
Malaysia dan Provinsi Kalimantan
Barat, di sebelah Selatan dengan
Provinsi Sumatera Selatan dan
Provinsi Jambi, dan di Sebelah Barat
dengan negara Singapura, Malaysia,
dan Provinsi Riau (profil provinsi
kepulauan riau). Salah satu
Kabupaten yang terdapat di
Kepulauan Riau yaitu Kabupaten
Bintan. Kabupaten Bintan
mempunyai potensi yang cukup
besar dibidang perikanan salah satu
potensi yang terdapat di bintan yaitu
potensi sumberdaya mangrove.
Moore (1997) menyatakan
bahwa hutan mangrove merupakan
hutan holofil yang menempati bagian
zona intertidal tropika dan
subtropika, berupa rawa atau
hamparan lumpur yang dibatasi oleh
pasang surut. Holofi merupakan
sebutan bagi makhluk yang tidak
dapat hidup dalam lingkungan yang
bebas garam, khususnya yang berupa
tumbuh-tumbuhan disebut halofita.
Salah satu ekosistem
mangrove yang banyak terdapat di
kabupaten Bintan adalah di
Kampung Gisi. Wilayah pesisir
Kampung Gisi merupakan wilayah
yang terletak di Desa Tembeling
Kabupaten Bintan yang memiliki
kawasan hutan mangrove. Hutan
mangrove merupakan komunitas
tumbuhan yang tumbuh di daerah
pasang surut. Hutan mangrove
memiliki fungsi bagi daerah pesisir
seperti penahan gelombang, daerah
asuhan larva-larva hewan laut dan
perangkap sedimen dan juga menjadi
daerah penyambung antara darat dan
laut. Selain memiliki berbagai
fungsi, mangrove juga membentuk
susunan atau distribusi vegetasi
mangrove yang dimulai dari arah laut
hingga kearah daratan yang disebut
dengan zonasi mangrove yang
berfungsi sebagai habitat biota
perairan maupun hewan darat
(Suparianto, 2007).
Dengan potensi demikian,
maka perlu dilakukan perlindungan
terhadap ekosistem mangrove agar
ekosistem mangrove tersebut tidak
punah dan biota yang berasosiasi
disekitar mangrove pun tidak punah.
Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian tentang identifikasi potensi
sumberdaya mangrove sebagai
pencadangan kawasan konservasi Di
Kampung Gisi, Desa Tembeling,
Kabupaten Bintan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada
bulan Desember 2015 – Juli 2016.
Lokasi penelitian ditetapkan
dikawasan mangrove di Kampung
Gisi, Desa Tembeling, Kabupaten
Bintan, Kepulauan Riau. Alat dan
bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kamera, tali
rapia, alat tulis, GPS, meteran dan
peta.
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini dikelompokan menjadi
dua kelompok jenis data yaitu data
data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan pengumpulan data
secara langsung atau pengamatan
secara langsung sedangkan data
sekunder merupakan ialah data yang
duperoleh dari studi literatur.
Stasiun penelitian ditentukan dengan
metode purposive sampling.
Terdapat 3 stasiun pengamatan.
Stasiun pertama berada dekat dengan
dermaga. Stasiun kedua berada dekat
dengan aktivitas masyarakat. Stasiun
ketiga ditentukan di daerah yang jauh
dari aktivitas manusia.Penentuan
stasiun ditentukan berdasarkan
observasi awal yang telah dilakukan.
Setiap stasiun terdiri atas 10x10
meter dan terdapat 3 transek pada
setiap stasiun.
Pengukuran ketebalan / lebar
mangrove dilakukan secara manual
dengan cara diukur dengan
menggunakan roll meter. Roll meter
ditarik tegak lurus dengan garis
pantai mulai dari hutan mangrove di
bagian darat sampai dengan ujung
mangrove di batas laut.
Prosedur pengamatan dan
pengambilan data mangrove yaitu:
a. Membuat petak contoh (plot)
transek quadran dengan bentuk
bujur sangkar ukuran luas 10 x
10 m, dengan jumlah plot
sebanyak 3 unit.
b. Mengidentifikasi nama jenis-
jenis tumbuhan mangrove yang
belum diketahui dengan cara
mengambil sebagian/potongan
dari ranting, lengkap dengan
bunga dan daunnya.
c. Menghitung jumlah jenis dan
tegakan mangrove, jumlah
anakan, mengukur diameter
batang pohon mengrove, yang
ditempatkan pada setiap stasiun.
d. Kerapatan jenis
Kerapatan jenis dilakukan
dengan cara mengukur diameter
batang dan mencatat jumlah individu
serta tegakan yang ditemukan pada
setiap plot disetiap perairan untuk
rumus mengukur kerapatan
mangrove menggunakan rumus
sebagai berikut:
e. Kerapatan Total
Kerapatan Total adalah jumlah
semua individu mangrove dalam
suatu unit area yang dinyatakan
sebagai berikut:
Keterangan:
ni : Jumlah total individu dari spesies
i
Σn : Jumlah total individu seluruh
spesies
A : Luas area pengambilan contoh
Biota perairan dikumpulkan
dengan menggunakan metode
wawancara kepada masyarakat yang
berhubungan langsung dengan
Kerapatan Spesies = ni / A
Kerapatan Total = Σn / A
ekosistem mangrove. Lokasi
pengamatan biota ditetapkan pada
tiap stasiun. Data tentang biota di
perairan yang berada di ekosistem
mangrove dilakukan dengan cara
menanyakan langsung kepada
beberapa warga tentang biota apa
saja yang sering dijumpai di
ekosistem mangrove tersebut.
Pengamatan kepiting dan reptil
juga sama yaitu menggunakan
metode wawancara langsung kepada
warga. Setelah didapatkan data
tersebut lalu dilakukan identifikasi
biota. Jenis kepiting atau reptil yang
belum diketahui dilakukan
pengambilan gambar/foto sampel
biota tersebut.
Untuk sampling biota
gastropoda menggunakan transek
1x1 dengan mengunakan jaring atau
gillnet diletakan pada saat pasang
dan di ambil sampling pada saat air
surut.
Pada setiap lokasi pengamatan,
letakan petak-petak contoh (plot)
berbentuk bujur sangkar dengan
ukuran 10 x 10 m untuk tingkat
pohon (diameter batang > 4 cm), 5 x
5 m untuk tingkat pancang (diameter
batang < 4 cm dan tinggi > 1 m), 1 x
1 m untuk semai dan tumbuhan
bawah (tinggi < 1 m). Data yang
diambil pada pengamatan ekosistem
mangrove adalah jenis mangrove
yang berada di dalam stasiun
pengamatan serta jenis perakarannya,
kemudian dilakukan pengukuran
diameter setiap pohon setinggi dada
(1,3 meter) yang berada di dalam
stasiun serta pengamatan visual
biota-biota yang berada di stasiun
tersebut (Bengen, 2001). Pengamatan
burung, monyet, biawak, dan juga
ular dilakukan dengan cara melihat
langsung dan juga melakukan
wawancara kepada masyarakat yang
berada di Kampong Gisi Desa
Tembeling.
Murni dalam Bahar (2004)
menyatakan bahwa penilaian
aksesibilitasi di kelompokan menjadi
4 ketentuan, yaitu: Jalan yang bagus
untuk mencapai lokasi, minimal
apspal, Banyak jalan alternatif untuk
mencapai lokasi, Banyak alat angkut
kelokasi, Terdapat sarana pendukung
(dermaga dan terminal)
Analisis Data
1. Analisis Potensi Biota
Yulianda (2007) menyatakan
bahwa objek biota merupakan
keragaman biota yang ada di
lingkungan vegetasi mangrove
seperti ikan, kepiting, moluska,
monyet, dan burung. Data
dikumpulkan melalui pengamatan
langsung dan juga melakukan
wawancara kepada masyarakat
sekitar guna mendapat informasi
biota yang mungkin tidak ditemukan
atau dilihat pada saat pengamatan
secara langsung. Pengamatan objek
biota untuk melihat ada atau tidaknya
biota yang telah ditetapkan pada
kreteria penilaian objek biota
berdasarkan kreteria penilaian pada
table table analisis kesesuaian
konservasi mangrove.
Murni (2000) dalam Bahar
(2004) untuk penilaian objek biota
dengan menggunakan 4 ketentuan
yaitu: Terdapat lebih dari 4 jenis
biota, Terdapat 4 jenis biota,
Terdapat 2 jenis biota, Terdapat
salah 1 jenis biota.
2. Analisis Potensi Ekosistem
Mangrove
Data yang dikumpulkan
meliputi: data mengenai jenis spesies
mangrove, kerapatan, dan ketebelan
mangrove. Data-data tersebut
kemudian diolah untuk mengetahui
kesesuaian eksosistem mangrove
untuk dijadikan sebagai pencadangan
kawasan konservasi, untuk lebih
jelasnya diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel.2 Analisis kesesuaian
untuk kawasan konservasi
mangrove
No Kreteria Bobot S4 S3 S2 S1
1 Kerapatan
Mangrove
(100m2)
4 ≥15 10-15 5-10 <5
2 Jumlah kelompok
jenis tumbuhan
5 >7 5-6 3-4 <2
3 Jumlah spesies
vegetasi mangrove
4 >10 6-9 3-4 <2
4 Ketebalan
Mangrove (m)
5 >500 200-500 50-200 <50
5 Obyek Biota
(Jumlah jenis
biota)
3 ≥4
4 ketentuan
3
3 ketentuan
2
2 ketentuan
1
1 Ketentuan
6 Aksesibilitasi 3 4 ketentuan 3 ketentuan 2 ketentuan 1 ketentuan
Sumber: Yulianda (2007) dalam modifikasi Rozalina (2014)
Rumus yang digunakan untuk kesesuaian konservasi ialah
Keterangan
IKW = indeks kesesuaian ekosistem untuk konservasi mangrove
Ni = nilai parameter ke-i ( bobot x skor )
Nmaks = nilai maksimum dari kategori konservasi mangrove adapun klasifikasi
penilaian yaitu :
SS = sangat sesuai ( total bobot x skor = 96 )
S = sesuai ( total bobot x skor = 72 )
SB = sesuai bersyarat ( total bobot x skor = 48 )
TS = tidak sesuai ( total bobot x skor = 24 )
Rumus penentuan interval batas kesesuaian konservasi mangrove menurut bahar
(2004), yaitu: Nilai tengah kelas = nilai batas atas + nilai batas kelas bawah.
2
interval kelas = nilai tengah kelas sampai nilai tertinggi kelas
a. SB (Sangat Sesuai) lebar kelas = 96+72 = 84-96
2
b. S (Sesuai) lebar kelas = 72+48 = 60-83
2
IKW
c. SB (Sesuai Bersyarat) lebar kelas = 48+24 = 46-59
2
d. TS (Tidak Sesuai) lebar kelas = 24-35
3. Analisis Sosial Masyaraat
Wawancara dilakukan
terhadap warga yang berhubungan
langsung dengan ekosistem
mangrove dengan cara wawancara
langsung dengan informan kunci
yang di susun berdasarkan
kepentingan penelitian Perhitungan
untuk mengetahui jumlah responden
dilakukan dengan menggunakan
jumlah populasi yang diketahui,
rumus yang dapat digunakan adalah
Yamane (1967).
(
)
Keterangan
N = jumlah populasi
n = jumlah responden
d = error ( maksimal 10% atau
20 % )
Jumlah penduduk masyarakat
di Kampung Gisi Desa Tembeling
sebanyak 45 KK untuk melakukan
pendataan kuisioner maka diambil
sampel sebanyak 31 KK dengan
menggunakan titik eror 10% maka
didapatkan hasil jumlah sampel yang
harus diambil 31 KK dari 45 KK.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Potensi Biofisik Ekosistem
Mangrove
1. Ketebalan Hutan Mangrove
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan di kawasan
ekosistem mangrove di Kampung
Gisi Desa Tembeling didapatkan
hasil pengukuran lebar atau
ketebalanekosistem mangrove pada
setiap stasiun. lebih jelasnya
diperlihatkan pada Gambar 5.
Gambar 5 .Ketebalan Hutan Mangrove di Kampung Gisi
106
108
110
112
114
116
stasiun1 stasiun 2 stasiun 3
ket
ebala
n m
an
gro
ve
(m)
Stasiun Pengamatan
Gambar 5 memperlihatkan
bahwa ketebalan ekosistem
mangrove di Kampung gisi
ditemukan ketebalan tertinggi
terletak pada stasiun 3 yaitu sebesar
115 m, dan ketebalan terendah
terlihat pada stasiun I sebesar 110 m.
Tingkat ketebalan mangrove pada
stasiun 1 tergolong rendah hal ini
dipengaruhi karena adanya
penebangan mangrove sehingga
mempengaruhi tingkat ketebalan
mangrove. Pada stasiun 2 juga
terlihat ketebalan masih tergolong
rendah. Hal ini jelas dipengaruhi
oleh aktivitas manusia yang
memanfaatkan mangrove sehingga
ketebalan mangrove pada stasiun 2
berkurang Sedangkan pada stasiun 3
tampak jelas bahwa ketebalan
mangrove pada stasiun ini tergolong
tebal hal ini jelas karena pada
stsasiun 3 jauh dari aktivitas
manusia, dengan jauhnya aktifitas
masyarakat setempat dengan
keberadaan ekosistem mangrove,
masyarakat tidak memanfaatkan
ekosistem mangrove tersebut.
Sehingga keberadaan ekosistem
mangrove yang berada pada stasiun 3
masih terjaga dan tergolong tebal.
2. Komposisi Jenis Mangrove
Komposisi Jenis Mangrove
di kampung gisi
Stasiun Spesies Nama
Lokal
%Komposisi Jenis
Pohon Anakan Semai
1
Rhizophora
apiculata
Bakau 69% 53% 43%
Rhizopora
mucronata
Bakau 25% 39% 57%
Sonneratia alba Pedada 5% 0 0
Xylocarpus
granatum
Nyirih 1% 8% 0
TOTAL 100% 100% 100%
2
Rhizophora
apiculata
Bakau 77% 67% 5%
Rhizopora
mucronata
Bakau 17% 11% 10%
Sonneratia alba Pedada 1% 22% 10%
Xylocarpus
granatum
Nyirih 5% 0 21%
TOTAL 100% 100% 100%
3
Rhizophora
apiculata
Bakau 60% 60% 53%
Rhizopora
mucronata
Bakau 30% 40 47%
Sonneratia alba Pedada 10% 0 0
TOTAL 100% 100% 100%
Dari ketiga stasiun dapat
tampak bahwa tegakan yang paling
banyak ditemukan untuk kategori
pohon yaitu pada stasiun III dengan
nilai sebesar 115 tegakan, Hal ini
jelas karena pada stasiun ini
diletakan jauh dari aktivitas
masyarakat sehingga komposisi jenis
mangrove masih banyak dijumpai.
sedangkan untuk kategori anakan
yang paling banyak ditemukan
berada pada stasiun I yang berjumlah
16 (dekat dermaga) dan untuk
kategori semai yang paling banyak
dijumpai yaitu pada stasiun I
berjumlah 15 (dekat dermaga).
3. Kerapatan Jenis Mangrove
a. Kerapatan Mangrove
Kategori Pohon Pada
Setiap Stasiun.
Tabel Kerapatan Mangrove
Kategori Pohon Pada Setiap
Stasiun
Berdasarkan kepmen LH NO
201 tahun 2004 kerapatan mangrove
pada stasiun I tergolong rusak karena
jumlah kerapatan kategori pohon
pada stsiun ini hanya berjumlah
sebesar 945 ind/ha. Kerusakan
mangrove pada stsiun I disebabkan
karena adanya penebangan ekosistem
mangrove oleh masyarakat setempat.
Pada stasiun 2 tingkat
kerapatan mangrove tergolong
rendah hanya terdapat 798 ind/ha
dari keseluruh total kerapatan.
Dengan begitu maka kerapatan
mangrove pada stasiun 2 tergolong
rusak. Kerusakan ekosistem
mangrove pada stasiun 2 terjadi
karena pada stasiun 2 terletak dekat
dengan aktivitas masyarakat,
sehingga mengganggu pertumbuhan
ekosistem mangrove dan
menyebabkan rendahnya kerapatan
mangrove pada stasiun 2. Sedangkan
pada stasiun 3 terlihat 3 jenis
mangrove yang ditemukan yaitu
jenis jenis Rhizhopora apiculata,
Rhizhopora mucronata, dan jenis
sonneratia alba. dari ketiga jenis
mangrove tersebut didapat jumlah
total 1322 ind/ha. Dengan jumlah
total kerapatan sebesar 1322 ind/ha
maka eksoistem mangrove pada
stasiun 3 tergolong sedang kepmen
LH No. 201 tahun 2004 menyatakan
bahwa kategori baik ≥1500
tegakan/ha, sedang ≥1000 - ≤ 1500
tegakan/ha, dan rusak ≤ 1000
tegakan/ha. Tingginya kerapatan
mangrove pada stasiun 3, karena
pada stasiun ini terletak jauh dari
aktivitas manusia sehingga
pertumbuhan ekosistem pada stasiun
3 tergolong sedang dibanding pada
stasiun 1 dan stasiun 2.
Kerapatan Mangrove Kategori Pohon
Stasiun I Stasiun II Stasiun III
No Jenis Ind Kerapatan Ind Kerapatan Ind Kerapatan
1 Rhizophora Apiculata
84 646 75 576 95 731
2 Rhizophora
mucronata
30 230 16 123 47 361
3 Sonnratia alba 6 46 5 38 15 115
4 Xylocarpus granatum 3 23 8 61 - -
Total 123 945 104 798 116 1322
a. Kerapatan Mangrove
Kategori Anakan Pada
Setiap Stasiun
Tabel . Kerapatan Mangrove
Kategori Anakan pada Setiap
Stasiun
Kerapatan Mangrove Kategori Anakan
Stasiun I Stasiun II Stasiun III
No Jenis Ind Kerapatan Ind Kerapatan Ind Kerapatan
1 Rhizopora Apiculata
8 246 12 369 9 69
2 Rhizopora
mucronata
6 148 2 61 6 46
3 Sonetaria alba - - 4 123 - -
Total 14 430 18 553 16 115
Kurangnya jumlah spsies
yang yang berada di Kampung Gisi
Desa Tembeling dipengaruhi oleh
faktor lingkungan sperti tidak adanya
genangan air payau yang masuk
keperairan Kampung Gisi. Sehingga
mempengaruhi ekosistem mangrove
jenis nipah atau yang disebut nypa
fruiticans wurmb untuk tumbuh di
Wilayah Kampung Gisi. Sehingga
jenis Rhizopora apiculata dan
Rhizopora mucronata lebih
mendominasi disbanding jenis
mangrove yang lainnya
b. Kerapatan Mangrove
Kategori Semai Pada Setiap
Stasiun
Tabel Kerapatan Mangrove
Kategori Semai pada Setiap
Stasiun
Kerapatan Mangrove Kategori Semai
Stasiun I Stasiun II Stasiun III
No Jenis Ind Kerapatan Ind Kerapatan Ind Kerapatan
1 Rhizophora Apiculata
6 4615 17 9230 8 6153
2 Rhizophora
mucronata
8 6153 3 2307 7 5384
3 Sonnratia alba - - 3 2307 - -
4 Xylocarpus granatum - - 3 2307
Total 14 10768 26 16151 15 11537
Dari tabel diatas menunjukan
bahwa tingkat kerapatan mangrove
untuk kategori semai dari 3 stasiun
juga didominasi oleh jenis mangrove
Rhizophora apiculata dan di ikuti
jenis mangrove Rhizophora
mucronata. Hal ini terjadi karena
selain jenis Rhizophora apiculata
dan Rhizophora mucronata tahan
terhadap salinitas yang tinggi dan
mudah beradaptasi juga adanya
reboisasi ekosistem mangrove jenis
Rhizophora apiculata dan
Rhizophora mucronata di Kampung
Gisi Desa Tembeling sehingga jenis
mangrove Rhizophora apiculata dan
Rhizophora mucronata lebih
mendominasi dibanding jenis
mangrove yang lainnya.
4. Jenis Biota
Tabel Jenis Biota Yang
Ditemukan Di Kampung Gisi
No Objek
Biota
Nama Lokal Stasiun
I II III
1
2
3
4
5
6
7
Ikan
Krustasea
Gastropoda
Reptil
Burung
coelenterata
Mamalia
Belanak (Mugil dosumieri)
Ikan sembilang (Polonotus canius)
Kepiting bakau (Scylla serrata)
Siput isap (Potamididae)
Ular bakau (Chrysopelea sp.)
Biawak (Varanus salvator)
Bangau putih ( Bubulcus ibis kuntul)
Elang laut (Haliaeetus leuogaster)
Ubur-ubur (Aurelia sp.)
Monyet ekor panjang (macaca fascicularis)
+
+
-
+
-
+
-
+
-
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
Tabel diatas menujukan
bahwa jumlah objek biota yang di
temukan tergolong rendah hanya
terdapat beberpa jenis objek biota
seperti Belanak (Mugil dosumieri),
Ikan sembilang (Polonotus canius),
Kepiting bakau (Scylla serrata),
Siput isap (Potamididae), Ular bakau
(Chrysopelea sp.), Biawak (Varanus
salvator), Bangau putih ( Bubulcus
ibis kuntul), Elang laut (Haliaeetus
leuogaster), Ubur-ubur (Aurelia sp.),
Monyet ekor panjang (macaca
fascicularis). Kurangnyan objek
biota yang ditemukan dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dan juga di
pengaruh oleh aktivitas manusia.
Menurut Bengen (2001),
komunitas fauna ekosistem
mangrove membentuk percampuran
antara 2 (dua) kelompok yaitu:
1. Kelompok fauna daratan /
terestrial yang umumnya
menempati bagian atas pohon
mangrove, terdiri atas: insekta,
ular, primata dan burung.
Kelompok ini tidak mempunyai
sifat adaptasi khusus untuk hidup
di dalam hutan mangrove, karena
mereka melewatkan sebagian
besar hidupnya diluar jangkauan
air laut pada bagian pohon yang
tinggi, meskipun mereka dapat
mengumpulkan makanannya
berupa hewan laut pada saat air
surut.
2. Kelompok fauna perairan /
akuatik, terdiri atas dua tipe yaitu
:
a. Hidup di kolom air, terutama
berbagai jenis ikan dan
udang.
b. Menempati substrat baik
keras (akar dan batang
mangrove) maupun lunak
(lumpur) terutama kepiting,
kerang dan berbagai jenis
invertebrata lainnya.
Burung-burung dari daerah
daratan menemukan sumber
makanan dan habitat yang baik untuk
bertengger dan bersarang. Mereka
makan kepiting, ikan dan mollusca
atau hewan lain yang hidup di habitat
mangrove. Setiap spesies biasanya
mempunyai gaya yang khas dan
memilih makanannya sesuai dengan
kebiasaan dan kesukaanya masing-
masing dari keanekaragaman sumber
yang tersedia di lingkungan tersebut.
Sebagai timbal baliknya, burung–
burung meninggalkan guano sebagai
pupuk bagi pertumbuhan pohon
mangrove Irwanto, (2006).
5. Aksesibilitasi
Aksesibilitasi dinilai dengan
mengadopsi matriks kesesuaian
ekowisata digunakan Murni (2000)
dalam Bahar (2004). Penilaian
dikelompokan menjadi 4 ketentuan
dan dilakukan dengan pengamatan
secara keseluruhan tidak hanya
dilihat dari perstasiun. Hasil
penilaian aksesibilitasi di Kampong
Gisi Desa Tembeling sudah
memenuhi semua ketentuan, seperti
akses jalan menuju lokasi kampong
gisi sudah memadai dan mudah
untuk menuju lokasi kampung Gisi.
Dan juga tersedianya dermaga
sebagai sarana pendukung untuk
menuju lokasi di Kampung Gisi desa
Tembeling.
6. Potensi Ekositem Mangrove
7. Table 9 Indeks
Kesesuaian Konservasi
No Kreteria Bobot Hasil Skor Jumlah
1 Kerapatan mangrove
(100m2)
4 8 ind/m2 2 8
2 Jenis manrove 5 3 kelompok 2 10
3 Jumlah vegetasi mangrove 4 4 spesies 2 8
4 Ketebalan mangrove 5 113 2 10
5 Objek biota 3 7 kelompok
jenis biota*
4 ketentuan
4 16
6 Aksesbilitas 3 4 ketentuan 4 12
Indek kesesuaian konservasi 64
Suber : data primer
Jenis biota* Ikan, crustasea, gastropoda, reptile, burung, coulenterata, mamalia.
Indeks kesesuaian konservasi
diperoleh melalui penjumlahan nilai
bobot dikali skor di setiap kreteria.
berdasarkan perhitungan diperoleh
indeks kesesuaian konservasi
mangrove di Kampung Gisi Desa
Tembeling diperoleh hasil indeks
sebesar 64. Dengan begitu maka
Kampung Gisi Desa Tembeling
sesuai untuk dijadikan pencadangan
kawasan konservasi. Untuk tetap
menjaga kelestarian ekosistem
mangrove di Kampung Gisi Desa
Tembeling diperlukan penanaman
ulang mangrove atau rehabilitasi dan
juga pemerintah setempat perlu
memberi sosialisasi kepada
masyarakat agar masyarakat bisa
mengetahui akan pentingnya
ekosistem mangrove dan bisa
menjaga bersama kelestarian
ekosistem mangrove yang ada di
Kampung Gisi, Desa Tembeling.
8. Potensi Sosial Masyarakat
Terhadap Kegiatan
Pencadangan Kawasan
Konservasi
Untuk mengetahui potensi sosial
masyarakat Kampung Gisi dilakukan
wawancara langsung kepada
masyarakat setempat dan didapat
hasil sebagian besar masyarakat
Kampung Gisi Desa Tembeling
bermata pencarian sebagai nelayan.
Adapun penduduk masyarakat
Kampung Gisi, Desa Tembeling,
berjumlah sebanyak 45 KK. Dari 45
KK diambil 31 KK sebagai sempel
penelitian didalam ruang lingkungan
hidup masyarakat dan didapat data
pekerjaan 20 orang sebagai nelayan
dan 11 orang sebagai buruh.
1. Tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap
ekosistem mangrove
Sebagian besar masyarakat
kampung gisi sudah mengetahui
akan pentingnya ekosistem
mangrove bagi kehidupan, seperti
fungsi mangrove sebagai penahan
ombak dan juga tempat bermain
ikan.
2. Tingkat kesadaran
masyarakat terhadap
ekosistem mangrove
Tingkat kesadaran
masyarakat kampong Gisi terhadap
ekosistem mangrove juga sudah
mulai menyadari akan pentingnya
ekosistem mangrove meski ada juga
beberapa masyarakat yang belum
menyadari seperti adanya
penebangan pohon atau ekosistem
mangrove di kawasan kampong Gisi.
3. Tingkat parisipasi
masyarakat terhadap
ekosistem mangrove
Tingkat partisipasi
masyarakat kampung Gisi begitu
tinggi sebagian besar masyarakat
selalu mendukung kegiatan
pemerintah dalam melakukan upaya
pelestarian ekosistem mangrove dan
mereka mau ikut serta dalam
kegiatan tersebut seperti melakukan
penanaman ekosistem mangrove
kembali atau reboisasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan di wilayah
kampung Gisi desa tembeling dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Potensi biofisik ekosistem
mangrove di Kampung
Gisi Desa Tembeling
masih sesuai untuk
dijadikan pencadangan
kawasan konservasi.
2. Potensi sosial masyarakat
di kampung gisi desa
tembeling untuk tingkat
pengetahuan ekosistem
mangrove masyarakat
sudah mengetahui tentang
ekosistem mangrove,
untuk tingkat kesadran
juga sudah mulai
menyadari akan
pentingnya manrove meski
ada beberapa masyarakat
yang belum menyadari,
dan untuk tingkat
partisipasi sepenuhnya
masyarakat mendukung
kegiatan pemerintah dalam
upaya pelestarian
mangrove.
B. Saran
1. Perlu adanya pengawan dan
pelestarian ekosistem
mangrove serta perlu
dilakukan penegakan sangsi
kepada masyarakat yang
menebang pohon agar
mangrove tetap terjaga.
2. Perlu dilakukan sosialiasi
untuk meningkatkan tingkat
kesadaran masyarakat,
tentang pentingnya suatu
kawasan ekosistem mangrove
untuk dijadikannya
3. pencadangan kawasan
konservasi di kampung.
.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A.2003. Hutan Mangrove (Fungsi
dan Peranannya). Kanisius,
Yogyakarta.
Bedgen, D. G 2001 sinopsis ekosistem dan
sumberdaya alam pesisir dan laut.
Pusat kajian Bengkulu utara,
Bengkulu, Jakarta.Bedgen, D. G
1999. Pedoman teknis pengenalan
dan pengelolaan ekosistem
mangrove. PKSPL-IPB BOGOR.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis
Pengenalan dan Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan –
Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Indonesia.
Bengen, G.D. 2001. Ekosistem Dan
Sumberdaya Pesisir Dan Laut Serta
Pengelolaan Secara Terpadu Dan
Berkelanjutan. Prosiding pelatihan
pengelolaan wilayah pesisir
terpadu. Bogor.
Badan pusat statistic kabupaten bintan.
2014. Teluk Bintan dalam angka
2014.
http://www.bintan.kab.bps.go.id
FAO, 1982. Management and Utilization
of Mangrove in Asia and the
Pasific. FAO Enviromental paper
III. Rome.
http://www.dephut.go.id/uploads/files/81a
92f83bb9e6e50361e4efdca2dbfc8.pdf
(irwanto. 2006.”Keanekaragaman Fauna
Pada Habitat Manrove”,
Yogyakarta)
http://irwanto.info/files/fauna_man
grove.pdf
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi
Hutan Mangrove dan Hutan Pantai
Pasca Tsunami di NAD dan Nias.
Makalah dalam Lokakarya Hutan
mangrove Pasca sunami, Medan,
April 2005
Kepulauan Riau
http://btklbatam.or.id/kepulauan-riau/
LKBN Antara. 2006. Manusia Penyebab
Utama Degradasi Mangrove
(Online), (http://www.antara.co.id,
diakses 10 Januari 2011).
MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H.
2000. Ekologi Kalimantan.
Prenhallindo. Jakarta.
Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2001.
Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan
Tentang Biota Laut. Djambatan.
Jakarta.
Santoso, N., H.W. Arifin. 1998.
Rehabilitas Hutan Mangrove Pada
Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga
Pengkajian dan Pengembangan
Mangrove (LPP Mangrove).
Jakarta, Indonesia.
Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan
Ekosistem Mangrove. Makalah
disampaikan pada Lokakarya
Nasional Pengembangan Sistem
Pengawasan Ekosistem Laut Tahun
2000. Jakarta, Indonesia.
Sassa S, Watabe Y, Yang S, Kuwae T.
2011. Burrowing Criteria and
Burrowing Mode Adjustment in
Bivalves to Varying
Geoenvironmental Conditions in
Intertidal Flats and Beaches. PLoS
ONE, 6(9): e25041
Siregar, Parpen. 2009. Konservasi sebagai
Upaya Mencegah Konflik
Manusia-Satwa. Jurnal U r i p S a n
t o s o . h t t p : / /
uripsantoso.wordpress.com.
Supriharyono. Ms. konservasi ekosistem
hayati diwilayah pesisir dan laut
tropis, 2009. Pustaka
pelajar.jogjakarta.
Suparianto, C. 2007. Pendayagunaan
ekosistem mangrove.PT Dahara
prize. Semarang.
Yulianda, F . 2007. Ekowisata bahari
sebagai alternatif pemanfaatan
sumberdaya pesisir berbasis
konsevasi. Disampaikan pada
seminar 21 februari 2007.
Dapertemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, FIKP IPB.
Yulianda, Fredinan,, Hutabara, Armin
Ambrosius,, Faharudin, Ahmad,,
Hareti, Sri,,Kusharjani, 2010,
Pengelolaan Pesisir Dan Laut
Secara Terpadu, PUSDIKLAT
Kehutanan-Departemen Kehutanan
RI SEEM – Korea International
ooperation Agency, Bogor.
Yamane, Taro (1967), Elementary
Sampling Theory, Englewood
Cliffs, Prentice Hall
Wardhani M K. 2011. Analisis
Keberlanjutan Kawasan Potensi
Wisata Pantai di Pesisir Selatan
Kabupaten Bangkalan. [Tesis]
Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.