Post on 31-Jan-2016
description
1
LAPORAN PENELITIAN
POLITIK DI DESA BAJULAN, KABUPATEN NGANJUK
VARIAN BUDAYA I
Oleh :
Retno Purwaningtias (071211331010)
Retno Safitri (071211331012)
Heru Prasetya (071211331015)
Ainur Rahmatin (071211331068)
Istianatul Mauliddia (071211332003)
Reza Putri dewanti (071211332012)
Anas Herlambang K (071211332045)
Arif Bagus Permadi (071211333029)
M. Irfan Nuryadin (071211333048)
Bayu Aditya Amang (071211333072)
PRODI S1-ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014
2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemampuan,
kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis untuk
menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa
banyak hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi dalam rangka menyelesaikan tugas
akhir ini. Namun, atas bantuan dan dukungan yang diberikan berbagai pihak, penulis
mampu melewati hambatan dan kesulitan tersebut.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan pada penyusunan laporan tugas
politik di desa ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan dari pembaca sekalian. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi siapa saja yang membacanya.
Surabaya, 22 Juni 2014
Penulis
3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................
1.1 Latar belakang .............................................................................................
1.2 Pertanyaan Penelitian ..................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian .........................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................
1.5 Kerangka Teori ............................................................................................
1.6 Metode dan Prosedur Penelitian ..................................................................
1.6.1 Fokus Penelitian ........................................................................
1.6.2 Tipe Penelitian ...........................................................................
1.6.3 Subyek Penelitian ......................................................................
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data ........................................................
1.6.5 Teknik Analisis Data .................................................................
BAB II GAMBARAN UMUM DESA BAJULAN .........................................
2.1 Sejarah Singkat Desa ...................................................................................
2.2 Keadaan dan perkembangan penduduk .......................................................
2.3 Keadaan dan perkembangan ekonomi desa ................................................
2.4 Keadaan dan perkembangan politik desa ....................................................
2.5 Struktur Pemerintahan Desa ........................................................................
2.6 Peta Desa .....................................................................................................
BAB III Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik, dan Hindu Pada Masyarakat
Desa Bajulan
..................................................................................................
3.1 Nilai-nilai Tradisi Masyarakat Desa Bajulan ..............................................
3.1.1 Variasi Pembelahan Komunitas Sosial-Kultural di Desa Bajulan .....
3.2 Kontestasi Varian Budaya di Desa Bajulan ................................................
3.2.1 Kontestasi Antara Abangan Ndara dan Abangan
4
Wong Cilik ................................................................................
3.3 Arah Kebijakan Pemerintahan Desa Bajulan ..............................................
3.3.1 Struktur Pemerintahan Desa Bajulan ...........................................
3.3.2 Proses Pembuatan Kebijakan ......................................................
3.3.3 Dominasi Abangan-Ndara Dalam Memutuskan Kebijakan .......
BAB IV PENUTUP ...........................................................................................
4.1 Kesimpulan .................................................................................................
4.2 Saran ...........................................................................................................
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dinamika politik di desa kian memberikan keragaman fenomena yang menarik
untuk dikaji, salah satunya yakni yang mengarah pada hubungan antar kelompok
komunitas yang mendiami suatu wilayah tertentu (Varian Budaya). Hubungan varian
budaya merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti, mengingat adanya keterkaitan
antara varian budaya dengan pemerintahan desa. Karena desa merupakan unit bagian
terkecil dari sistem pemerintahan desa yang dinamika perpolitikannya masih erat kaitannya
dengan nilai-nilai, norma-norma serta tradisi masyarakat setempat, sehingga hal-hal
tersebut memiliki pengaruh besar terhadap pengambilan kebijakan dalam suatu
pemerintahan desa.
Dalam pendekatan varian budaya politik merupakan interaksi antara pemerintah
dengan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang
mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa varian budaya di desa jauh berbeda dengan di kota
dengan adanya variasi sosio-kultural. Fenomena tersebut dapat dikembangluaskan melalui
hasil penelitian Clifford Geertz.
Menurut Clifford Geertz dalam karya bukunya yang berjudul “The Religion Of
Java; ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI Dalam Masyarakat Jawa”, yang memiliki
signifikansi secara detail mencakup praktek keagamaan orang Jawa. Geertz mengambil
penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto yang didasarkan pada
kepercayaan, prefensi etnis dan pandangan politik. Yang kemudian ia menemukan tiga inti
struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah, dimana ketiga struktur sosial
tersebut dapat mencerminkan tipe-tipe kebudayaan, diantaranya: Abangan, Santri, Priyayi.
6
Geertz memberikan penjabaran dari ketiga struktur sosial tersebut beserta tipe-tipe
kebudayaannya, antara lain struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani,
pengrajin dan buruh kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan,
kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magic menunjuk
kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar terlepas dari penguasaan etnis
Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz, melainkan diasosiasikan kepada petani kaya
dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana
agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai
ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang
terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan
dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan
birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni
tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial
Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Selain fenomena di atas, Hubungan antar varian budaya di desa juga dapat
diidentifikasi pada beberapa fenomena yang menggambarkan nilai-nilai tradisi dari suatu
desa dapat mempengaruhi kebijakan/keputusan dalam suatu pemerintahan di desa.
Fenomena tersebut diantaranya dapat diilustrasikan pada fenomena pertama, yaitu tradisi
wiwitan di Jelok sebagai upacara slametan atas panen, yang kian pudar kini dilestarikan
kembali melalui kebijakan pemerintah yang menjadikan tradisi tersebut sebagai paket
wisata pedesaan. Kemudian, adapula pengaruh konsep pemikiran jawa tentang mitologi-
mitologi kekuasaan sangat kuat mengakar dalam perspektif masyarakat pedesaan di Jawa.
Kemudian fenomena selanjutnya menggambarkan eksistensi pengaruh suatu
kelompok komunitas dalam suatu desa, yang saling menguntungkan guna membangun
desa bersama-sama. Fenomena ini dapat dilihat di desa Bawean. Ketua pengurus cabang
7
NU Bawean yang dengan tegas menyampaikan pesan moral kepada para kepala desa
terpilih, menunjukkan bahwa kelompok komunitas tersebut memiliki kekuatan pengaruh
yang besar di daerah tersebut. Sedangkan di desa Kemasan, Kepala desa Kemasan yang
juga seorang petani, berkonsultasi mengenai ancaman gagal panen akibat hama bukan
kepada dinas pertanian setempat melainkan pada kelompok komunitas Muhammadiyah
yang diyakini mampu mengatasi masalah tersebut. Berbagai peristiwa-peristiwa diatas
menunjukkan keberagaman varian budaya dalam mempengaruhi proses pembuatan dan
keputusan maupun perilaku para pemimpin di desa.
Berbagai fenomena di atas menunjukkan bagaimana varian kelompok komunitas
berdasarkan struktur sosial tersebut memiliki pengaruh besar bagi kehidupan warga sekitar
di desa tersebut. Karena setiap kelompok komunitas sama-sama memiliki kekuatan dan
pengaruh yang besar, serta keinginan untuk tetap mempertahankan keyakinan mereka.
Sehingga tak jarang terjadi ketegangan antar kelompok komunitas yang memiliki
perbedaan pandangan dan dapat memicu konflik. Serta bagaimana pengaruh besar melalui
tradisi rutin yang diselenggarakan setiap kelompok komunitas tersebut digunakan untuk
kepentingan lain yang di luar konteks tradisi sesuai keyakinan setiap kelompok komunitas
tersebut.
Adanya fenomena yang beragam dalam konteks varian budaya di pedesaan
menjadikan suatu hal yang menarik untuk diteliti dan dikaji secara mendalam. Dalam
politik desa dengan struktur pemerintahan yang sederhana serta dengan adanya nilai-nilai
tradisi kemasyarakatan, varian budaya menciptakan donaminasi yang signifikan bagi
jalannya pemerintahan di desa.
Atas dasar berbagai macam fenomena/peristiwa yang telah diuraikan diatas, kita
mencoba mendalami fenomena yang mungkin dapat kita temukan dalam penelitian ini
sehingga dapat memastikan fenomena apa yang terjadi di desa yang akan di teliti, tentunya
8
penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan varian budaya. Dengan
memperhatikan kekhasan serta corak kharakteristik yang ada pada desa tersebut, kita dapat
mengetahui bahwa varian budaya juga dapat member suatu pengaruh bagi
kebijakan/keputusan yang dibuat oleh pemerintah desa.
1.2 Pertanyaan Penelitian
1.2.1 Bagaimana variasi pembelahan komunitas sosial-kultural yang ada di Desa
Bajulan yang berada di Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk?
1.2.2 Bagaimanakah kontestasi komunitas-komunitas sosial-kultural yang ada dalam
mendominasi struktur pemerintahan di desa Bajulan, Kecamatan Loceret,
Kabupaten Nganjuk?
1.2.3 Bagaimanakah komunitas sosial-kultural yang dominan tersebut mampu
mempengaruhi kebijakan/keputusan pemerintahan di desa Bajulan, Kec.Loceret,
Kab.Nganjuk?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mengetahui variasi pembelahan komunitas sosial-budaya yang terbentuk di Desa
Bajulan yang berada di Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.
1.3.2 Mengetahui bagaimana kontestasi komunitas-komunitas sosial-kultural yang ada
untuk mendominasi struktur pemerintahan di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret,
Kabupaten Nganjuk.
1.3.3 Mengetahui sejauh mana komunitas sosial-kultural yang dominan mampu
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan di Desa Bajulan,
Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.
9
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
1.4.1.1 Hasil dari penelitian ini nanti diharapkan dapat memberikan kontribusi
menambah khasanah pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang sosial
dan politik.
1.4.1.2 Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi literatur yang
bermanfaat sebagai bahan kajian ilmu politik, terutama dalam politik desa.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi peneliti
Penelitian ini merupakan tugas kuliah lapangan mata kuliah Politik di Desa
Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Dengan penelitian ini, peneliti
dapat mengetahui beragam variasi budaya dan tradisi yang masih kental di
pedesaan dengan melakukan observasi secara berkelompok di Desa Bajulan,
Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Dengan demikian kami sebagai peneliti
dapat mengetahui sejauh mana peran tokoh-tokoh yang berasal dari komunitas
yang berbeda tersebut di dalam proses pengambilan keputusan yang ada ditingkat
desa. Dari pemahaman tentang peran serta tokoh-tokoh komunitas sosial yang
berasal dari background yang berbeda itu peneliti dapat memahami sebarapa besar
pengaruh variasi komunitas sosial budaya yang ada di desa dalam mempengaruhi
keputusan-keputusan yang diambil di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret,
Kabupaten Nganjuksebagai tempat kuliah lapangan kami.
10
1.4.2.2 Bagi pembaca
Pembaca dapat dengan mudah memperoleh informasi dan pengetahuan
mengenai variasi budaya yang ada di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten
Nganjuk. Masyarakat dapat menilai dan mengkritisi hasil penelitian yang sudah
dilakukan agar data yang di peroleh menjadi sempurna.
1.4.2.3 Bagi Desa secara umum
Penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap
masyarakat desa mengenai adanya pembelahan sosial kultural di desa. Dengan
pemahaman yang lebih komprehensif ini diharapkan masyarakat pedesaan dapat
memanfaatkan pembelahan sosial kultural ini sebagai faktor integratif masyarakat
pedesaan demi kemajuan dan pengembangan desa walaupun berasal dari
komunitas yang berbeda.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Konseptualisasi Teori
1.5.1.1 Varian Budaya
Cifford Geertz mengkonsepsikan masyarakat Jawa menjadi 3 jenis budaya
utama yaitu, abangan, santri dan priyayi. Abangan mewakili sikap yang
menitikberatkan pada segi-segi sinkritisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas
berhubungan dengan unsur petani diantara penduduk. Abangan dalam kacamata
Geertz menampilkan sosok yang cukup menarik. Di satu sisi abangan mewakili
kelompok yang abai dengan pelaksanaan doktrin keagamaan yang ketat bahkan
dalam banyak kesempatan menentangnya di sisi lain abangan menampilkan
wujud kasar dari perilaku priyayi. Dalam hal ini beberapa contoh diajukan Geertz
11
antara lain kesenian-kesenian tinggi priyayi yang di tangan kelompok abangan
menjadi seni kasar, praktek mistik yang oleh priyayi sangat dijunjung tinggi di
tangan abangan berubah menjadi praktik perdukunan, minat kepada pengalaman
keagamaan individual di tangan abangan menjadi minat kepada keagamaan
kelompok.1
Santri mewakili sikap menitikberatkan pada segi islam dalam sinkritisme
tersebut dan pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang. Dalam lapangan
politik, kalangan santri juga terbelah ke dalam afiliasi politik yang diwakili partai-
partai baik tradisional maupun moderen. Nahdlatul Ulama (NU) mewakili haluan
santri konservatif sedangkan Masyumi (Muhammadiyyah cenderung berafiliasi di
dalamnya) merupakan saluran bagi kalangan santri yang lebih berorientasi
moderen. Di samping itu ada juga partai kecil Partai Serikat Islam Indonesia (PSII)
yang juga berhaluan modernis.
Priyayi menitikberatkan pada kebudayaan kelas atas yang pada umumnya
golongan bangsawan baik itu berpangkat tinggi atau rendah. Geertz
mengidentifikasi priyayi sebagai "orang yang bisa menyelusuri asal-usul
keturunannya sampai kepada raja-raja besar Jawa jaman sebelum penjajahan; yang
setengah mitos; tetapi sejak Belanda mempekerjakan kaum ini sebagai instrument
administrasi kekuasaanya, pengertian priyayi meluas termasuk orang kebanyakan
yang ditarik ke dalam birokrasi akibat persediaan aristocrat asli sudah habis.2
Sejak perang dunia kedua, terjadi perubahan dalam stratifikasi horizontal
yang ada dalam masyarakat Jawa. Priyayi sebagai orang terdidik secara akademis
naik ke atas dalam tingkat demokrasi. Mereka menduduki kedudukan tertinggi
1 Cliford Geertz, Abangan, satri dan Priyai Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),
hlm. 315
2 Ibid, hlm. 308
12
dalam pemerintahan. Disisi lain, ada kelompok santri saudagar yang mempunyai
penghasilan lebih besar dari kebanyakan priyayi. Namun adanya endogami
(perkawinan sesama golongan), menjadikan priyayi dan ndara tidak dapat
disepadankan dengan kekuasaan yang lain atau dengan kelebihan kekayaan.
Berbeda dengan stratifikasi social secara horizontal, masyarakat Jawa juga
diklasifikasikan pada ukuran kebaktian dan pengamalan terhadap agama islam.
pertama adalah golongan santri, yaitu sebagai orang muslim yang menjalankan
perintah agama dan berusaha membersihkan diri dari syirik. Kedua adalah
golongan abangan. Istilah yang digunakan pada orang muslim Jawa yang tidak
seberapa memperhatikan atau menjalankan perintah dan kewajiban beragama.cara
hidup mereka banyak dikuasai oleh tradisi pra-Jawa. Tradisi itu memadukan unsure
islam, Hindu-Budha dan unsur asli yang mereka kenal dengan agama Jawa.
Santri dan abangan terdapat pada setiap lapisan masyarakat Jawa. Dari
lapisan yang disebut wong cilik sampai pada tingkat ndara. Di tingkat wong cilik,
terdapat santri wong cilik dan abangan wong cilik. Disini doktrin keagamaan
kurang tegas sedangkan etikanya lebih dekat pada abangan, sebab para petani yang
tingggal di desa mayoritas sama dalam status politik, social dan ekonomi.
Sedangkan di daerah yang lebih kota, terdapat saudagar santri dan saudagar
abangan. Kelompok suadagar ini, baik santri ataupun abangan dianggap sebagai
kelas menengah yang bukan berasal dari bangsawan melainkan dari kalangan orang
desa. Ada juga kelompok santri ndara diantara bangsawan Jawa yang masuk islam
khususnya dikeraton pesisisr utara dan kemudian diikuti oleh bangsawan di
pedalaman. Penggolongan secara vertical dan horizontal masyarakat Jawa
hendaknya dianggap sebagai kelas yang terbuka. Dalam hal ini pendidikan
13
memberikan kemudahan naiknya wong cilik menjadi priyayi dan dari sudagar
menjadi priyayi serta ndara melalui perkawinan antar golongan.
Menurut Clifford Geertz, ada lima hal yang dapat diajukan sebagai ciri antar
golongan kolot dan modern. Pertama, dalam hubungan manusia dengan Tuhan.
Santri kolot cenderung menganut pandangan yang berpasrah pada nasib atau atas
semua yang didarkan pada takdir dan kehendak Tuhan. Sedangkan santri modern,
menegaskan kebaikan usaha manusia.; kedua, kolot menyangkal perbedaan
kehidupan dunia (sekuler) dan kehidupan beragama serta berkeras bahwa agama
merasuk ke dalam semua bagian kehidupan. Sedangkan modern, berpandangan
bahwa kehidupan agama dan dunia masing-masing mandiri. Ketiga, terhadap
kepercayaan dan uapacara pra islam yang ada. Kolot lebih bersedia menerimanya
secara bijaksana. Sedangkan modern, lebih berusaha untuk memurnikan agama.
Keempat, kolot cenderung menekannkan penghayatan realigi sedangkan seorang
modernis menekankan perilaku religious lahiriah. Kelima, kolot lebih bersikap
tradisional dan berpegang pada ajaran dalam menghalalkan amal dan tafsir agama,
sementara modernis lebih menekankan nalar dan alas an praktis untuk
menghalalkan tindakan tertentu.3
Dalam membahas golongan santri dan abangan sebagai kekuatan social dan
politik di Indonesia, khususnya di Jawa, tidak lepas dari adanya kebangkitan
nasional yang melahirkan perkumpulan politik baru dan munculnya para pemikir
politik yang sadar diri. Akibat dari kebangkitan nasional itu mulai ada perdebatan
dan persengketaan ideology. Di tahun 1920-an antagonisme politik terjadi anatar
islam dan komunisme. Dan pada tahun 1930-an polemic berjalan anatara islam dan
sekuler. Pertentangan politik para santri dan abangan sesekali juga meletus menjadi
3 Ibid, hlm. 203
14
kekerasan.4 Perbedaan antara santri dan abangan sebagian besar disebabkan oleh
munculnya gerakan-gerakan sosial nasionalis Indonesia pada abad ke 20.
Tahap awal dari nasionalisme ini hanya memiliki efek yang kecil. Tetapi ketika
gerakan tersebut telah bersatu dan bergerak ke arah kemenangan, massa yang
terlibat mulai dipengaruhi terutama melalui pengantaraan symbol-simbol religious.
Elite yang bersifat ke-kotaan menjalin ikatan-ikatan dengan kaum petani tidak
dengan sarana teori politis dan ekonomis yang kompleks, yang hanya memiliki
sedikit makna dalam konteks pedesaan, melainkan dengan sarana konsep-konsep
dan nilai-nilai yang telah ada di sana. Garis batas utama diantara elite sendiri yaitu
1) mereka yang mengambil ajaran islam sebagai dasar menyeluruh dari daya tarik
massa (santri), dan 2) mereka yang mengambil kehalusan filosofis umum dari
tradisi sinkretis pribumi sebagai basis massa mereka (abangan). Sehingga di daerah
pinggiran kota, santri dan abangan tidak sekedar menjadi kategori-kategori
religious melainkan juga politis. Perkembangan ini menyebabkan perdebatan
diantara makna politis dan bujukan religious. Hal ini tercermin ketika sebuah
pengajian Qur’an menjadi sebuah pengakuan atas kesetiaan politis sekaligus pujian
kepada Allah. Sebuah pembakaran kemenyan mengungkapkan ideology sekuler
seseorang sekaligus kepercayaan-kepercayaan sakralnya. Slametan cendrung
ditandai dengan diskusi-diskusi panas tentang berbagai unsure upacara dan apa
makna sesungguhnya dari upacara itu. Para abangan akan merasa gelisah ketika
orang-orang santri mengangkat mata untuk berdoa, sedangkan santri pun akan
merasa gelisah ketika orang-orang abangan membawakan sebuah pidato
4 Muchtarom Zaini, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002)
15
pembelaan. Di sini lah timbul ketegangan dan kontestasi sendiri baik para elite
santri maupun abangan melalui ritual-ritual sacral tersebut.5
Dari penelitian yang dilakukan M.M Billah tahun 1974, muncul tipologi
aliran baru yang merupakan pengembangan dari tipologi aliran yang dikemukakan
oleh Clifford Geertz. Penelitian ini menunjukkan bahwa golongan priyayi sudah
semakin tidak tampak dalam kehidupan masyarakat, tinggal tipologi aliran santri
dan abangan yang masih menampakkan diri dalam kehidupan masyarakat.
Disamping itu juga diperhatikan dimensi sosial lain, yakni modern dan kolot.
Namun demikian penggolongan santri abangan dan modern kolot dipergunakan
tidak dalam arti penggolongan yang mempertentangkan (dichotomy), akan tetapi
lebih kepada letakknya dari suatu garis-lanjut (continuum)6. Oleh karenanya
sekarang nampakkah empat ramuan kelompok masyarakat (Jawa), yakni : santri
modern, santri kolot, abangan modern, dan abangan kolot.
Proses pergeseran tipologi aliran ini tidak terlepas dari adanya perubahan-
perubahan yang terjadi dalam sikap masyarakat. Perubahan-perubahan dalam
masyarakat ini dipengaruhi oleh faktor modernisasi dan pembangunan desa. Proses
modernisasi ditandai dengan masuknya teknologi-teknologi modern seperti
televisi, radio, dan lain-lain yang turut mempengaruhi perubahan perilaku
masyarakat di pedesaan. Selain itu, semakin meluasnya program-program
pembangunan masyarakat seperti menguatnya birokrasi pedesaan, masuknya
proses nasionalisasi pun juga turut serta mempengaruhi perubahan-perubahan
perilaku masyarakat pedesaan. Kuatnya birokrasi sebagai akibat pelembagaan
demokrasi, membuka jalan bagi masuknya lembaga-lembaga nasional ke dalam
5 Cliford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992). Hlm. 101-102
6 M.M. Bilah, Beberapa Masalah Penelitian Metodologis di Seputar Pengusahaan Penelitian
Kuliah Lapangan, hlm 46
16
desa. Hal tersebut membuat perubahan pola hubungan dalam masyarakat desa yang
dulunya hanya bersifat sederhana berupa hubungan satu urusan (single stranded)
dengan orang-orang diluar pertanian menjadi hubungan banyak urusan (many
stranded).7 Masuknya proses nasionalisasi mengubah perilaku masyarakat desa
yang dulunya bersifat lokal menjadi nasional. Budaya nasional menggantikan
budaya lokal, simbol-simbol nasional menggusur simbol-simbol lokal.
Pemerintahan orde baru dikenal dengan pemerintahan yang sangat otoriter.
Seluruh potensi negara berusaha dimaksimalkan dengan atas nama pembangunan.
Kebijakan ini sering disebut-sebut sebegai ideologi developmentalisme oleh
beberapa peneliti. Pemerintahan orde baru sangat menganggap penting teori
Rostow tentang bagaimana negara berkembang akan berubah menjadi negara maju.
Atas tujuan tersebut banyak terjadi pemutusan sejarah di desa-desa, dimana
pembangunan tidak berdasarkan budaya setempat tetapi memutus budaya yang
sudah sangat lama dan memiliki sejarah tersebut demi pembangunan. Hal ini
menjadikan pembangunan di era orde baru ahistoris, karena mencabut budaya dari
akarnya demi efisiensi ekonomi.
Beberapa alasan yang dilakukan untuk melakukan percepatan
pembangunan, antara lain adalah tertinggalnya ekonomi Indonesia di masa
pemerintahan Soekarno. Pemerintahan orde lama di kesankan membuat
pembangunan Indonesia tertinggal dari negara-negara lain di dunia. Dengan alasan
tersebut Soeharto memiliki alasan untuk melakukan pembangunan yang
menggunakan cara sangat otoriter, demi mengejar ketertinggalan.
S7 Kuntowijoyo, Artikel: Desa Dalam Perspektif Perubahan Sosial dan Kultural, hlm. 114
17
Pembangunan masa orde baru pun menyetuh desa-desa desa kecil di daerah
Jawa Timur tidak terkecuali di Desa Setaman. Revolusi hijau yang dilakukan untuk
intensifikasi hasil padi dilakukan di daerah-daerah pedesaan penghasil padi tersebut.
Adapun beberapa dampak yang terjadi didalam pelaksanaan kebijakan revolusi yang
merubah struktur masyrakat didalam daerah tersebut.
Sebelum adanya kebijakan tersebut, masyarakat desa setaman merupakan
masyrakat yang berbasis religio santri. Dimana mereka terbagi dalam beberapa
varian didalamnya. Peneliti membagi varian santri tersebut kedalam Religio santri
varian rasa dan Religio santri varian rasio. Religio santri varian rasa adalah Santri
yang menggunakan rasa ketika bercocok tanam, santri tipe ini tidak menginginkan
hasil yang maksimal dalam menanam tetapi cenderung selalu meresapi dalam
menanam, santri varian ini yang nantinya akan di tertindas negara. Religio Santri
varian rasio adalah orang-orang orang yang mengadalkan rasionya dalam bercocok
tanam dan tidak meresapi apa yang mereka lakukan. Mereka akan bersikap rasional
untuk memaksimalkan hasil mereka, varian santi tipe ini lah yang nantinya akan
diberikan keuntungann oleh penguasa.8
1.5.1.1.1 Santri Baru
Pergeseran dan mobilitas wacana terjadi, dari wacana Islam di masa lalu yang
berkutat diantara dua kutub santri, pemurnian dan non-pemurnian, dan dalam tingkat
tertentu Muhammadiya-Persis dan NU-Perti. Baru-baru ini terdapat beberapa wacana
baru mengenai Islam di kalangan santri baru, di antara beberapa wacana yang
berkembang di kalangan santri baru yang dapat dicatat adalah sbb: Pertama, Islam di
Indonesia dikejutkan dengan serangan bom bali oleh kalangan santri yang rata-rata
8 Zainuddin Maliki, Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi Resistensi Petani Berbasis Religio
Politik Santri Negaranisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991)
18
masih muda dengan jargon jihad. Kedua, santri di Indonesia juga dikejutkan ketika
sebagian santri muda di Indonesia, tiba-tiba mendirikan organisasi yang bernama
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Di antara beberapa ideologi
yang diusung oleh KAMMI adalah: kemenangan Islam adalah jiwa perjuangannya,
kebathilan adalah musuhnya, solusi Islam adalah tawarannya, perbaikan adalah tradisi
perjuangannya, kepemimpinan umat adalah strategi perjuangannya dan persaudaraan
adalah watak dari muamalahnya. Ketiga, Islam di Indonesia juga dikejutkan dengan
tiba-tiba munculnya anak-anak muda yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal
(JIL). Di antara tema dan konsen yang digelutinya adalah soal: pluralism agama,
demokrasi, emansipasi wanita, absahnya kawin campur, dst. Ide-ide ini berkebalikan
seratus derajat dengan kelompok-kelompok seperti KAMMI dan kelompoknya
Amrozi-Imam Samudra yang mengentalkan ideologi formal Islam. Keempat, Islam
Indonesia juga disemarakkan dengan tiba-tiba munculnya wacana-wacana
dekonstruksi atas teks-teks agama. Misalnya ini diwakili oleh kelompok yang ingin
mempribumikan Islam, melakukan kebebasan atas kaum tertindas, wacana-wacana
post-tradisionalis, dst. Di jalur ini, mereka yang menamakan diri post-tradisionalis
hanyalah salah satu di antara banyak yang lain yang mencoba memaknai ulang Islam
dan Indonesia dengan cara kritis. Kelima, Islam Indonesia juga digencarkan dengan
munculnya kelompok-kelompok muda santri yang berusaha berbicaratentang Islam
lokal dan kesenian local, disamping mereka juga tiba-tiba membicarakan Islam
moderat dan pembebasan. Mereka inilah yang lagi-lagi sedang sibuk menyediakan
fondasi soal Islam, lokalitas dan Islam moderat di bumi Indonesia di tubuh Indonesia.
Istilah santri disini merujuk pada terminology Greetz yang dibinarkan dengan
abangan, tetapi disini bukan dalam artian yang satu saleh (santri) dan yang satu lagi
19
tidak saleh (abangan), namun lebih kepada kelompok sosial keagamaan yang
dibedakan dengan kelompok sosial abangan.
Sekarang ini muncul santri baru di kalangan Muhammadiyah yang telah
melewati beberapa generasi Muhammadiyah sebelumnya: generasi Ahmad Dahlan,
generasi Mas Mansyur, generasi Ahmad Azhar Basyir. Santri baru di kalangan
Muhammadiyah ini, membawa sebuah perubahan wacana yang berkaitan dengan dua
hal. Dua hal yaitu: Pertama, jalan baru kalangan santri muda pemurnian, dalam
konteks apresiasi budaya lokal dan Islam moderat muncul, misalnya dari Sidang
Tanwir Muhammadiyah di Bali pada tanggal 24-27 Januari 2002. Kedua, masalah
“jalan baru" kalangan santri baru di muhammadiyah selanjutnya adalah soal “tauhid
sosial” dan pembebasan. “Tauhid sosial” di sini maksudnya adalah gagasan tentang
tauhid, dimana penyucian atas Tuhan mestilah diwujudkan dalam implementasi
tindakan-tindakan sosial untuk membela manusia.
Pada fenomena kelompok Usroh yang diwakili oleh KAMMI lalu ber-
metamorfosa menjadi sebuah langkah politik praktis yang ideologi mereka bersatu
pada Partai Keadilan. Kelompok Usroh yang sangat kental akan pem-formalan
hukum-hukum Islam mempunyai beberapa ideologi-ideologi seperti kelompok-
kelompok santri yang lainnya juga, di antaranya sebagai berikut: Pertama,inti
pandangan kelompok santri baru Usroh adalah cara memandang Islam sebagai suatu
totalitas. Kedua, ideologi kelompok dakwah kampus juga bisa dilihat dari fenomena
ideologi KAMMI (lihat paragraf 1 baris 8). Inti dari ideologikelompok santri baru
Usroh ini adalah berislam secara kaffah atau menyeluruh (total).
Dalam tulisan ini terdapat pula santri baru teroris yang didalangi oleh Amrozi
Cs. Santri-santri baru kelompok ini memiliki keterkaitan dengan beberapa kejadian
peledakan bom di tanah air, seperti kasus Bom Bali dan beberapa kasus-kasus lain.
20
Seperti kelompok santri-santri baru yang lainnya pula, kelompok santri baru teroris
juga memiliki beberapa ciri-ciri, antara lain: Pertama, ideologiyang mengabsahkan
kekerasan dan pengeboman di kalangan Islam Indonesia, bisa dilihat dari bangunan
ideologiIslam model garis keras. Kedua, dari sisi asal keagamaannya, dari versi IGC
tampak sekali bahwa kelompok santri muda yang melakukan aksi-aksi kekerasan
dengan mengebom fasilitas umum ini merupakan anggota JI (Jama’ah Islamiyah)
sebuah anak organisasi Al-Qaedah di daerah Asia Tenggara.
Model santri baru yang terakhir dibahas dalam buku ini adalah Islam Liberal.
Dilihat dari tokoh-tokoh yang menjadi pentolannya mereka merupakan tokoh-tokoh
yang fasih mengusung ayat-ayat Al-Qur’an selain juga memiliki strata pendidikan yang
cukup tinggi. Kelompok ini mengusung kritik terhadap keradikalan dan konservatisme
Islam. Mereka umumnya memperjuangkan kebebasan di setiap individu. Diantara yang
mereka perjuangkan antara lain: Pertama, mereka menyebut dirinya Islam Liberal
karena menggambarkan prinsip-prinsip yang mereka anut, yaitu yang menurut mereka
adalah “Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur
sosial-politik yang menindas. Kedua, Islam liberal memilih tafsir tertentu atas Islam
dengan landasan membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Ketiga, tujuan
utama JIL adalah menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya pada masyarakat.
Keempat, dengan sendirinya misi JIL ingin mengembangkan penafsiran Islam yang
liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianutnya, serta menyebarkan seluas
mungkin pada khalayak, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari
tekanan konservatisme.
Lalu mengenai hubungan santri dengan para kaum petani miskin yang nantinya
berubah menjadi pergerakan G30S PKI ataupun GESTOK, mereka saling memiliki
keterkaitan. Pemahaman agama yang sempit dari kelompok santri lama untuk
21
menangkal paham komunis yang kuat pada masa orla menjadikan kaum tani di
pedesaan, terpengaruh paham komunis yang menggerakkan dan meradikalisasi kaum
tani. Ini terlihat dari para pelaku pembunuhan dan pembantaian yang berlatarkan petani
miskin mayoritas mereka adalah Muslim. Mereka mendukung kudeta dan pembunuhan
terhadap orang-orang yang tidak setuju terhadap PKI.
Disini, santri baru memiliki tanggung jawab moral sebagai pengganti santri
lama yang ada di pedesaan waktu itu. Mereka memiliki peran rekonsiliasi antara kaum
petani miskin yang mayoritas adalah Muslim dengan korban pembantaian GESTOK
yang juga adalah Muslim. Menurut penulis ada beberapa hal mengapa santri-santri baru
memiliki tanggung jawab moral: Pertama, Al-Qur’an tidak membenarkan sama sekali
adanya sebuah pembantaian missal, lebih-lebih tanpa perlakuan manusiawi atas korban
dan lebih-lebih jika korbannya adalah sesama seorang Muslim. Kedua, Al-Qur’an
menyuruh umat Islam untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dengan jalan
musyawarah.9
1.5.1.2 Kontestasi Antar Varian Budaya
Dalam penelitian ini konteks pemerintahan desa akan dikaitkan dengan
pendekatan varian budaya dimana pada masyarakat desa terbentuk komunitas-
komunitas sosial kultural yang saling berkompetisi untuk menduduki jabatan di
pemerintahan desa. Pada suatu desa yang identitas santri dan abangan nya terlihat
kental, interkasi keduanya akan mengarah bukan hanya pada kontestasi yang bersifat
struktural, namun pada saat yang sama bertumpang–tindih dengan identitas dan
budaya sebagai sebuah konteks kultural.
9 Nur Khalik Ridwan, Santri Baru: Pemetaan, Wacana Ideologi dan Kritik,(Yogyakarta: Gerigi
Pustaka, 2004)
22
Pemerintahan ialah segala kegiatan atau usaha yang terorganisasikan,
bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan pada dasar negara demi tercapainya
suatu tujuan.10 Menurut kamus besar bahasa Indonesia desa adalah kesatuan wilayah
yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri,
dan pemerintahan itu dipimpin oleh seorang kepala desa. Desa merupakan bentuk
pemukiman tertua yang mempunyai tatanan atau aturan hidup tersendiri di dalam
menata kehidupan para pemukim.11 Pemukiman dijadikan oleh sekelompok orang
sebagai tempat tinggal masyarakat desa. Pemukiman memiliki beranekaragam
bentuk atau pola sesuai dengan kondisi lingkungan, sistem sosial yang berlaku dan
kebutuhan. Dengan kata lain, pola pemukiman itu ditentukan oleh karakteristik yang
khas, seperti faktor geografis, faktor sosial, disamping sistem kepercayaan yang
dianut para pemukim.12
Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintahan desa adalah
penyelenggaraan urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat desa setempat
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.13 Pemerintahan
desa adalah alat pemerintahan terendah yang berdasarkan asas dekonsentrasi
ditempatkan dibawah dan bertanggung jawab langung kepada pemerintahan wilayah
kecamatan yang bersangkutan.14
Desa memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri atas Pemerintah Desa (yang
meliputi kepala desa dan perangkat desa), serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Dalam menjalankan pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangkat desa
10 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010). Hlm. 215
11 Bahrein Sugihen, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), hlm. 72
12 Ibid. hlm. 71
13 Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa pasal 1
14 Talizidhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, (Jakarta: PT. Bina Aksara. 1981). Hlm.
35
23
untuk melaksanakan tugasnya. Tugas-tugas kepala desa meliputi beberapa hal, yang
diantaranya mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa, memegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan dan Aset Desa, menetapkan Peraturan Desa, menetapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.15 Sedangkan fungsi dari Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) yaitu membentuk panitia pemilihan kepala desa yang
tidak memihak dan bersifat mandiri. BPD turut membahas dan menyepakati berbagai
kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggotanya merupakan wakil
dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara
demokratis. Untuk meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat desa, memperkuat
kebersamaan serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,
pemerintah desa dan/atau BPD memfasilitasi penyelenggaraan musyawarah desa.
Peraturan desa yang mengatur kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat desa dan BPD. Hal
ini dimaksudkan agar pelaksanaan peraturan desa senantiasa dapat diawasi secara
berkelanjutan oleh warga masyarakat desa setempat. Apabila terjadi pelanggaran
terhadap pelaksanaan peraturan desa yang telah ditetapkan, BPD berkewajiban
mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran yang dimaksud sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki.
Desa memiliki karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia,
sedangkan desa adat memiliki karakteristik yang berbeda dari desa pada umumnya,
terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal,
pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa.
Desa adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan
masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan
15 Undang-undang nomor 6 tahun 2014 pasal 26 bagian kedua tentang kepala desa
24
diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat desa adat agar dapat berfungsi
mengembangkan identitas sosial budaya lokal. Desa adat memiliki hak asal usul yang
lebih dominan daripada hak asal usul desa sejak desa adat itu lahir sebagai komunitas
asli yang ada di tengah masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan desa adat merupakan
sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara hostoris mempunyai batas
wilayah dan identitas budaya yang membentuk atas dasar teritorial yang berwenangn
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul.16
Jabatan kepala desa adat diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi desa adat. Bila
terjadi kekosongan jabatan desa adat, pemerintah daerah/kabupaten kota dapat
menetapkan pejabat yang berasal dari masyarakat desa adat yang bersangkutan.
Kontestasi struktural-kultural muncul akibat dari adanya interaksi sosial.
Kesadaran beridentitas muncul ketika orang berhubungan atau berinteraksi dengan
orang lain. Identitas-identitas ada kalanya bersifat sangat cair dan mengeras ketika
dihadapkan dengan kontestasi. Hal ini disebabkan konteks interaksi yang
menghasilkan beragam momentum dan respon dari kedua entitas. Ketika masuk
dalam kelompok, identitas-identitas personal ditanggalkan sementara untuk
kemudian digantikan dengan identitas kelompok. Kemudian bagaimana identitas-
identitas tersebut membuahkan aksi dapat ditelusuri dengan menggunakan beberapa
pendekatan. Identitas dalam konteks varian budaya menjadi faktor pemicu konflik
untuk memperoleh kekuasaan di pemerintahan desa.
Fenomena kontestasi struktural-kultural dapat kita lihat pada sebuah desa yang
merupakan desa adat. Pemilihan kepala desa yang telah diatur dalam Undang-undang
nomor 6 tahun 2014 tentang desa bersifat demokratis dimana calon kepala desa dipilih
16 Joglo.tv/berita/penjelasan-uu-nomor-6-tahun-2014, diakses pada Rabu, 28 Mei 2014 pukul 20.08
WIB
25
langsung oleh warga desa setempat. Masa jabatan kepala desa 6 tahun terhitung sejak
tanggal pelantikan dan dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Sedangkan desa adat jabatan kepala
desa berdasarkan ketentuan yang berlaku pada desa adat. Jika terjadi kekosongan
jabatan kepala desa adat, pemerintah daerah/kabupaten kota menetapkan pejabat yang
berasal dari desa adat setempat sebagai kepala desa adat.17
Seperti yang terjadi pada masyarakat desa adat di Banyumas yang senantiasa
menaruh perhatiannya terhadap pulung. Tradisi pulung, digambarkan sebagai bola
cahaya yang berpijar, diyakini akan muncul pada saat pemilihan kepala daerah dan
kepala desa. Ke rumah siapa bola cahaya itu mengarah, pemilik rumah itulah yang
diyakini mendapatkan wahyu untuk memimpin desa atau daerahnya. Pulung adalah
sebuah mitos yang muncul dari proses kebudayaan. Keyakinan terhadap pulung ini
tak bisa dilepaskan dari konsep pemikiran Jawa tentang kekuasaan. Bahwa dalam
masyarakat Jawa masa silam, ketika teks yang mendominasi ruang khalayak dikuasai
sepenuhnya oleh raja dan kaum ningrat, kekuasaan yang dianggap absah adalah
kekuasaan yang berkonsep adikodrati. Artinya legitimasi kekuasaan didasarkan pada
wahyu Tuhan.
Dari contoh kasus tradisi pulung dapat kita lihat adanya sebuah kesempatan
bagi para pemegang teguh tradisi untuk bisa menjaga tradisi dengan memanfaatkan
undang-undang desa yang mengatur mengenai desa adat. Dengan adanya kesempatan
yang diberikan untuk membentuk desa adat, maka mereka yang mengupayakan
eksistensi tradisi dan adat (dalam kasus ini tradisi pulung adat Jawa) memiliki jalan
untuk mewujudkan keinginannya. Upaya-upaya dari abangan yang berusaha
mendapatkan kekuasaan akan semakin termudahkan dengan adanya undang-undang
17 Ibid
26
baru ini. Ketika desa menjadi desa adat, maka segala proses pemerintahan desa akan
berkiblat pada adat setempat. Dan jika memang desa adat berhasil diwujudkan akan
menjadi kabar baik bagi para abangan. Abangan akan menjadi pemain kuat dalam
perpolitikan desa melalui desa adat karena seluruh proses pemerintahan bertumpu
pada mereka baik dalam struktur maupun dalam proses pembuatan kebijakan.
1.5.1.3 Kebijakan Desa
Kebijakan ialah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku
atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan
itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai
kekuasaan untuk melaksanakannya.18 Sehingga kebijakan desa ialah keputusan-
keputusan yang diambil oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam
pemerintah desa untuk mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan desa dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara BPD dan
pemerintah desa melalui musyawarah desa. Hasil musyawarah desa dalam bentuk
kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh
BPD dan pemerintah desa dalam menetapkan kebijakan pemerintahan desa.
Meskipun demikian, masyarakat desa juga memiliki hak untuk mengusulkan atau
memberikan masukan kepada kepala desa maupun BPD dalam proses penyusunan
peraturan dan kebijakan desa.
Arah kebijakan suatu desa dapat terlihat dari formulasi struktur pemerintahan
desa dimana dalam struktur yang berisi jabatan-jabatan dalam pemerintahan desa
merepresentasikan aktor dari komunitas varian tertentu. Aktor-aktor yang berasal dari
18 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.
20
27
komunitas dominan ini akan tarik menarik dengan masyarakat yang berbeda
komunitas untuk penentuan kebijakan desa. Terkadang komunitas minor akan
melawan komunitas yang memiliki dominasi didalam proses pembuatan kebijakan
desa.
Hubungan antar varian budaya di desa juga dapat diidentifikasi pada beberapa
fenomena yang menggambarkan nilai-nilai tradisi dari suatu desa sehingga dapat
mempengaruhi kebijakan/keputusan dalam suatu pemerintahan di desa. Fenomena
tersebut diantaranya dapat diilustrasikan pada fenomena tradisi wiwitan di Jelok
sebagai upacara slametan atas panen, yang kian pudar kini dilestarikan kembali
melalui kebijakan pemerintah yang menjadikan tradisi tersebut sebagai paket wisata
pedesaan. Kemudian, adapula pengaruh konsep pemikiran jawa tentang mitologi-
mitologi kekuasaan sangat kuat mengakar dalam perspektif masyarakat pedesaan di
Jawa.
Kemudian fenomena yang kedua menggambarkan eksistensi pengaruh suatu
kelompok komunitas dalam suatu desa, yang saling menguntungkan guna membangun
desa bersama-sama. Fenomena ini dapat dilihat di desa Bawean. Ketua pengurus
cabang NU Bawean yang dengan tegas menyampaikan pesan moral kepada para
kepala desa terpilih, menunjukkan bahwa kelompok komunitas tersebut memiliki
kekuatan pengaruh yang besar di daerah tersebut. Sedangkan di desa Kemasan,
Kepala desa Kemasan yang juga seorang petani, berkonsultasi mengenai ancaman
gagal panen akibat hama bukan kepada dinas pertanian setempat melainkan pada
kelompok komunitas Muhammadiyah yang diyakini mampu mengatasi masalah
tersebut.
Berbagai peristiwa-peristiwa diatas menunjukkan keberagaman varian budaya
dalam mempengaruhi proses pembuatan dan keputusan maupun perilaku para
28
pemimpin di desa. Arah kebijakan yang diterapkan merupakan representasi dari varian
yang mendominasi struktur pemerintahan desa. Ditunjang dengan adanya peraturan
undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 yang mengatur tentang pembuatan peraturas
desa dibuat berdasarkan kesepakatan antara pemerintah desa (mencakup kepala desa
serta perangkat desa) dan BPD.19 Jika struktur dalam pemerintahan desa didominasi
oleh salah satu komunitas varian, tentu saja akan semakin memudahkan dominasi
varian tersebut dalam menentukan arah kebijakan desa karena dilegitimasi dengan
adanya undang-undang yang mengatur tentang desa.
1.5.2 Hubungan Antar Konsep
Suatu desa terdapat masyarakat yang membentuk kelompok-kelompok yang
berbasis variasi budaya. Masyarakat yang memiliki latar belakang kelompok yang
berbeda tersebut membentuk sebuah pemerintahan desa. Dalam menjalankan roda
pemerintahan desa tentu saja kebijakan yang dikeluarkan tidak menguntungkan semua
pihak yang mewakili kepentingan dari masing-masing kelompok variasi budaya.
Sehingga tokoh-tokoh yang merepresentasikan kelompok-kelompok dominanlah yang
berhasil ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Tokoh-tokoh ini biasanya
memiliki jabatan tinggi dalam pemerintahan desa, seperti pemegang jabatan kepala
desa, perangkat desa maupun badan permusyawaratan desa (BPD).
1.6 Metode dan Prosedur Penelitian
1.6.1 Fokus Penelitian
19 Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa dalam pasal yang mengatur wewenang kepala desa
29
Realitas sosial dalam perspektif peneliti kualitatif bermacam-macam dan dapat
dimaknai berbeda-beda. Begitu juga gejala sosial yang terjadi yang merupakan bagian
dari rangkaian gejala dari realitas sosial lain yang mana bersifat holistik. Realitas sosial
seperti itu akan ditemui peneliti ketika melakukan penelitian kualitatif sehingga agar
peneliti bisa membatasi diri agar konsentrasi penelitiannya tidak terpecah. Adapun cara
untuk menjaga konsentrasi peneliti yaitu dengan menetapkan fokus penelitian.
Fokus penelitian ini yaitu melihat bagaimana varian budaya yang ada pada
masyarakat desa Bajulan. Adapun yang dimaksud melihat yaitu dengan mengetahui
variasi budaya yang ada. Tidak hanya sampai pada variasi yang ada, peneliti juga ingin
melihat bagaimana tiap varian budaya yang ada memperjuangkan dan
mempertahankan nilai-nilai serta karakter budaya masing-masing. Dalam usaha
memperjuangkan dan mempertahankan tersebut tiap varian akan mencari jalan untuk
mewujudkannya, misalnya melalui bantuan-bantuan maupun program-program yang
masuk atau tercipta di desa. Dari bantuan yang masuk ataupun program yang dibuat itu
akan terlihat varian mana yang berjuang dan mendapatkan apa yang mereka cari. Maka
adanya tokoh-tokoh yang hadir ataupun mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan
desa menunjukkan sebuah usaha dari varian. Tokoh-tokoh inilah yang
merepresentasikan varian mereka dan memperjuangkan keberlangsungannya.
1.6.2 Tipe Penelitian
Tipe penelitian berperan dalam menentukan apakah hasil penelitian sesuai dengan
pertanyaan penelitian. Penelitian terhadap varian budaya desa Bajulan menggunakan
metodologi penelitian kualitatif-deskriptif. Penggunaan metodologi kualitatif-
deskriptif ditujukan agar didapat data-data yang nantinya bisa menjawab pertanyaan-
pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan varian budaya yang ada di desa Bajulan.
Tidak hanya itu, dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat menemukan
30
temuan-temuan baru yang dapat memperkaya jawaban dari pertanyaan penelitian.
Temuan-temuan tersebut tidaklah spesifik terhadap suatu persoalan, karena memang
permasalahan sosial yang diteliti pada penelitian ini tidak terfokus sehingga menerima
segala data yang sesuai dengan fokus penelitian.
Penelitian kualitatif dipilih karena secara umum metode tersebut dapat digunakan
untuk menghadapi kondisi penelitian dimana masalah yang akan ditemui belum jelas
dimana pertanyaan penelitian yang ada belum memiliki masalah. Selain itu penelitian
kualitatif mampu melingkupi permasalahan berbagai bidang kehidupan masyarakat
sehingga dapat mengakomodasikan kebutuhan peneliti untuk meneliti seluruh
permasalahan yang ada pada masyarakat sesuai dengan fokus varian budaya.
1.6.3 Subyek Penelitian
Subyek penelitian yaitu pihak-pihak yang menjadi narasumber yang akan
memberikan data kepada peneliti. Adapun subyek penelitian yang diteliti yaitu
kelompok-kelompok yang ada pada masyarakat yang menunjukkan ciri varian budaya
masyarakat Jawa. Namun secara spesifik ada subyek-subyek lain yang dapat
memberikan jawaban terhadap pertanyaan penelitian, yaitu:
Tokoh masyarakat pada masing-masing segementasi kehidupan masyarakat untuk
mengidentifikasi problem utama yang di hadapi masyarakat persegmentasi;
Ketua lembaga-lembaga budaya untuk mengidentifikasi luas cakupan
kekuasaannya.
Pemerintah Desa (Kepala Desa, aparatur desa dan kepala dusun)
Anggota BPD untuk mengidentifikasi proses-proses pembuatan keputusan desa.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
31
Teknik pengumpulan data menentukan data yang didapat saat penelitian. Adapun
teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu:
Wawancara, yaitu dengan melakukan komunikasi langsung dengan informan.
Adapun wawancara yang dilakukan terbagi lagi menjadi dua, yaitu wawancara
mendalam yang dilakukan terhadap narasumber kunci yang biasanya merupakan
elit dalam sebuah kelompok maupun dalam pembuatan keputusan di desa sehingga
bisa didapat data yang mendalam untuk menjelaskan suatu permasalahan dan jalan
keluar menurutnya. Sedangkan wawancara kedua yaitu wawancara bertahap
dimana narasumber berganti-ganti dan tidak harus dari elit kelompok sosial
tertentu. Dari kalangan narasumber inilah didapat berbagai macam masalah dan
mungkin juga didapati opini terhadap permasalahan tersebut dari narasumber selain
elit.
Observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap kegiatan-kegiatan yang
berlangsung di desa tersebut maupun kegiatan-kegiatan yang berlangsung secara
eksklusif dalam suatu kelompok saja. Adapun peneliti bisa melaksanakan observasi
partisipasi maupun observasi tak berstruktur agar didapat data yang dalam dan juga
luas.
Metode documenter, yaitu dengan melakukan pencarian terhadap data-data historis
yang sesuai dengan fokus penelitian. Adapun data-data historis tersebut bisa berupa
otobiografi tokoh-tokoh penting, surat, catatan, buku, kliping, dokumen pemerintah
(desa) ataupun swasta, cerita roman dan cerita rakyat, dan lain-lain.
1.6.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian kali ini yaitu metode analisis
tema-tema budaya yang merupakan penggolongan oleh Burhan Bungin. Dalam
32
penggolongan analisis tema-tema budaya terdapat delapan macam analisis (Bungin,
2007:201-223). Namun peneliti hanya menggunakan empat jenis analisis data saja.
Adapun empat jenis analisis data yang dipilih karena berkaitan dengan fokus
penelitian.
Adapun keempat analisis data tersebut yaitu:
Analisis Domain.
Pada analisis ini peneliti berusaha untuk memperoleh gambaran-gambaran
objek secara umum atau di tingkat permukaan, namun relatif utuh tentang
objek-objek penelitian tersebut (Bungin, 2007:204). Analisis ini digunakan
untuk mengidentifikasi secara umum bagaimana pola-pola varian budaya yang
ada di desa Bajulan secara umum sehingga peneliti bisa mendalami tiap varian
melalui analisis berikutnya.
Analisis Taksonomik
Analisis taksonomik digunakan untuk mendapatkan gambaran objek penelitian
yang lebih mendalam hingga ke domain atau sub-sub domain. Dari analisis ini
nantinya didapat pengorganisasian domain yang serumpun. Pada analisis ini
peneliti mulai mendalami tiap-tiap varian budaya yang ada di desa tersebut.
Analisis Komponensial
Analisis komponensial mirip dengan analisis taksonomik. Perbedaannya yaitu
analisis komponensial digunakan untuk menganalisis unsur-unsur yang
memiliki hubungan-hubungan yang kontras satu sama lain dalam domain-
domain yang telah ditentukan untuk dianalisis secara lebih terperinci (Bungin,
2007:211). Dengan analisis komponensial peneliti dapat menemukan
perbedaan-perbedaan dari tiap varian budaya yang ada di desa tersebut.
Teknik Analisis Tema Kultural
33
Teknik analisis tema digunakan untuk menemukan hubungan-hubungan yang
terdapat pada domain-domain yang dianalisis sehingga akan membentuk suatu
kesatuan yang holistis, terpola dalam suatu complex pattern yang akhirnya akan
menampakkan kepermukaan tentang tema-tema atau faktor yang paling
mendominasi domain tersebut dan mana yang kurang mendominasi (Bungin,
2007:213). Dengan analisis ini peneliti berusaha mencari benang merah dari
analisis-analisis sebelumnya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan
penelitian.
34
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA BAJULAN
2.1 Sejarah Singkat Desa
Bajulan merupakan nama sebuah desa di lereng Gunung Wilis yang berada
di kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Sejarah mengenai Desa
Bajulan secara singkat kami dapatkan dari seseorang sesepuh desa yang bernama Pak
Tumirang (95 tahun) yang juga termasuk mantan seorang LKMD (Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa).
Desa Bajulan pada awalnya telah diberi nama sejak zamannya para wali. Namun
ketika itu ada wali yang singgah disana yang bajunya kecantol (baca: tersangkut),
kemudian daerah tersebut dinami “baju ilang”, disingkat menjadi bajulang dan sampai
sekaran dikenal dengan nama Bajulan.
Di Desa Bajulan pernah disinggah oleh Jendral Soedirman saat memimpin perang
gerilya dan bermalam di daerah Kediri. Bajulan menjadi basis pertahanan beliau saat
melawan penjajah. Rute yang sama juga dilakukan tokoh sosialis Tan Malaka yang
dikabarkan meninggal di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Rute
gerilya tersebut hingga kini masih diperingati setiap tahun dengan menggelar gerak jalan
Kediri – Bajulan.20
Bajulan juga terdapat monumen Jendral Soedirman dimana monumen tersebut
didirikan sebagai tanda bahwa di desa Bajulan pernah disinggahi Panglima Besar Jendral
Soedirman selama 9 hari dalam rute perjalanannya memimpin perang gerilya melawan
Belanda pada tahun 1949. 3 km dari monumen ke arah selatan terdapat padepokan yang
20 Sumber data berasal dari internet, tersedia dalam
www.tempo.co.id/read/news/2011/04/11/180326658/Rumah-Singgah-Jenderal-Sudirman-Diduga-
Disewakan, diakses pada Hari Senin 23 Juni 2014 pukul 05.28 WIB
35
sekarang dijadikan museum, juga tempat wudlu, tempat perundingan, serta tempat shalat
yang pernah dipakai beliau selama tinggal di desa Bajulan.21
2.2 Keadaan dan Perkembangan Penduduk
Demografi
Berdasarkan data administrasi pemerintah desa tahun 2010, jumlah penduduk desa
Bajulan adalah terdiri dari 1865 KK, dengan jumlah total 5654 jiwa, dengan rincian 2792
laki – laki dan 2862 perempuan. Seperti pada tabel berikut ini :
No. Usia Laki – laki Perempuan Jumlah Prosentase
1 0 – 4 218 201 419 orang 7,6 %
2 5 – 9 276 251 527 orang 9,1 %
3 10 – 14 267 274 541 orang 9,2 %
4 15 – 19 243 227 470 orang 8,7 %
5 20 - 24 235 267 502 orang 9,00 %
6 25 – 29 215 232 447 orang 7,8 %
7 30 – 34 230 241 471 orang 7,8 %
8 35 – 39 229 271 500 orang 9,00 %
9 40 – 44 207 219 426 orang 7,6 %
10 45 – 49 193 175 368 orang 6,4 %
11 50 – 54 179 183 362 orang 6,4 %
12 55 – 58 181 194 375 orang 6,6 %
13 >59 119 127 246 orang 4,8 %
Jumlah Total 2792 2862 5654 orang 100,00 %
21Sember berasal dari internet, tersedia
http://nilaaudina0202.blogspot.com/2013_06_01_archive.html, diakes pada hari Senin, 23 Juni 2014 pukul
05.39 WIB
36
Dari data diatas nampak bahwa penduduk usia produktif pada usia 15 – 6422 tahun
desa Bajulan sekitar 4167 atau mencapai 74,1 % . Hal ini merupakan modal berharga bagi
pengadaan tenaga produktif dan SDM.
Tingkat kemiskinan di desa Bajulan termasuk tinggi. Dari jumlah 1983 KK diatas,
sejumah 983 KK tercatat sebagai pra sejahtera, 875 KK tercatat keluarga sejahtera, 125
KK sebagai sejahtera plus. Jika KK golongan pra sejahtera dan KK keluarga sejahtera 1
digolongkan sebagai KK golongan miskin, maka lebih 50 % KK desa Bajulan adalah
keluarga miskin.
Secara administratif, desa Bajulan terletak di wilayah Kecamatan Loceret
Kabupaten Nganjuk dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa – desa tetangga.
Batas wilayah desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Macanan Kecamatan Loceret
2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Kediri
3. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan RPH Kediri
4. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Klodan Kecamatan Ngetos
Jarak tempuh Desa Bajulan ke Ibukota Kecamatan adalah 15 KM, yang dapat ditempuh
dengan waktu sekitar 30 menit. Sedangkan jarak tempuh ke Ibukota Kabupaten adalah 25
KM, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 45 menit.
Mayoritas penduduk Desa Bajulan hanya mampu menyelesaikan sekolah di jenjang
pendidikan wajib belajar Sembilan tahun (SD dan SMP ). Dalam hal kesediaan sumber
daya manusia (SDM) yang memadai dan mumpuni, keadaan ini merupakan tantangan
tersendiri.
22 Sumber undang-undang ketenagakerjaan
37
Rendahnya kualitas tingkat pendidikan di Desa Bajulan, tidak terlepas dari
terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada, di samping tentu masalah ekonomi
dan pandangan hidup masyarakat.sarana pendidikan di Desa Bajulan baru tersedia di
tingkat pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP), sementara untuk pendidikan timgkat
menengah ke atas berada di tempat lain yang relatif jauh. Berikut data tentang jenjang
pendidikan masyarakat Bajulan :
No Keterangan Jumlah Presentase
1 Buta Huruf Usia 10 Tahun ke atas 98 4,51%
2 Usia Pra Sekolah 471 15,15%
3 Tidak Tama SD 113 11,90%
4 Tamat Sekolah SD 994 23,43%
5 Tamat Sekolah SMP 663 17, 7%
6 Tamat Sekolah SMA 479 15,25%
7 Tamat Sekolah PT/Akademi 241 12,06%
Jumlah Total 3059 100%
Sebenarnya ada solusi yang bisa menjadi alternatif bagi persoalan rendahnya
Sumber Daya Manusia (SDM) di Desa Bajulan yaitu melalui pelatihan dan kursus. Namun
sarana atau lembaga ini ternyata juga belum tersedia dengan baik di Desa Bajulan bahkan
beberapa lembaga bimbingan belajar dan pelatihan yang pernah ada tidak bisa
berkembang.
38
2.3 Keadaan dan Perkembangan Ekonomi Desa
Keadaan Ekonomi
Tingkat penapatan rata-rata penduduk Bajulan masih sangat rendah. Secara umum
mata pencaharian warga masyarakat Desa Baujulan yaitu pertanian, jasa/perdagangan,
industri dan lain-lain. Berdasarkan data yang ada, masyarakat yang ada di sector pertanian
berjumlah 126 orang, yang bekerja di sektor jasa berjumlah 660 orang, yang bekerja di
sektor industri 14 orang. Dengan demikian jumlah penduduk yang mempunyaimata
pencaharin berjumlah 800 orang.berikut ini adalah jumlah table jumlah penduduk
berdasarkan mata pencaharian.
Mata Pencaharian dan Jumlahnya
No Mata Pencaharian Jumlah Persentase
1 Pertanian 126 orang 30, 4%
2 Jasa/Perdagangan
1. Jasa Pemerintahan
2. Jasa Perdagangan
3. Jasa ngkutan
4. Jasa Ketrampilan
5. Jasa Lainnya
387 orang
199 orang
- orang
73 orang
1 orang
5,8%
2,4%
0,5%
0,6%
0,4%
3 Sektor industry 14 orang 1,8%
4 Sektor Lain - orang 58,1%
Jumlah 800 orang 100%
Dengan melihat data di atas, maka angka pegangguran maka angka pengangguran di Desa
Bajulan masih cukup tinggi
39
Adapun Asumsi Pendapatan Desa Tahun Anggaran 2015 Antara Lain:
No Sumber Pendapatan Jumlah
1 Pendapatan Asli Desa Hasil Usaha Desa 90.867.000
Hasil Pengelolaan Kekayaan Desa 85.000.000
Lain-lain Pendapatan Desa yang Sah 5.867.000
Total
2 Pos Bantuan Dari
Kabupaten
Tunjangan Aparatur Pemerintah
Desa
149.292.000
Alokasi Dana Desa (ADD) 115.22.000
Bagi Hasil PBB 8.633.000
Tunjangan BPD 6.600.000
Total
3 Pos Bantuan
Pemerintahan
Provinsi
Biaya Operasional Peningkatan
Kinerja
0
Total 0
4 Pos Bantuan
Pemerintahan Pusat
PNPM Mandiri Perdesaan 128.680.000
40
PNPM Generasi Sehat dan Cerdas 66.155.000
Total
JUMLAH TOTAL 0
Kondisi ekonomi rumah tangga masyarakat Bajulan juga masih banyak yang
dikatakan miskin (masyarakat pra sejahtera). Di tiap dusun menggambarkan bahwa rumah
tangga masyarakat miskin di Desa Bajulan jumlah prosentasenya paling banyak.23
Pada peta Dusun Nglarangan didapat data rumah tangga masyarakat di dusun
tersebut paling banyak berasal dari kalangan miskin (pra sejahtera) sebanyak 79,8 persen,
dan yang paling sedikit jumlahnya adalah rumah tangga kaya yang hanya sebesar 5,4
persen, sedangkan yang menengah berjumlah 14,77 persen rumah tangga.
Dusun kedua yaitu Dusun Semanding. Jumlah rumah tangga miskin adalah jumlah
rumah tangga yang paling banyak dengan prosentase sebesar 78, 44 persen, dan jumlah
rumah tangga yang paling sedikit adalah rumah tangga yang berasal dari kalangan kaya
dengan prosentase 7,76 persen. Untuk rumah tangga dari kalangan menengah dengan
prosentase 13,7 persen.
Selanjutnya yaitu Dusun Plangkat, yang sama seperti Dusun Nglarangan dan
Dusun Semanding dengan jumlah terbanyak adalah jumlah rumah tangga yang berasal dari
kalangan miskin dengan prosentase 77,43 persen, jumlah yang paling sedikit ialah dari
keluarga menengah dengan prosentase hanya sebesar 11,05 persen dimana prosentase ini
tidak jauh dengan prosentase keluarga kaya dengan prosentase 11,53 persen.
Dusun keempat yaitu Dusun Pogoh dimana rumah tangga yang berasal dari
kalangan miskin adalah rumah tangga prosentase terbanyak dengan prosentase sebesar 67
persen, disusul urutan kedua yaitu keluarga menengah sebesar 20 persen dan terakhir
keluarga kaya dengan prosentase 13 persen.
23 Berdasarkan data sekunder peta dusun yang di dapat dari kantor kepala desa dari jumlah rumah
tangga yang ada, terlampir di lampiran
41
Dusun selanjutnya yaitu Jati yang juga sama dengan dusun-dusun diatas total
prosentase keluarga miskin mencapai 80 persen, keluarga menengah sebanyak 16 persen
dan yang paling sedikit total keluarga kaya dengan prosentase hanya sebesar 4 persen.
Dusun terakhir adalah Dusun Sumbernongko dimana keluarga miskin juga
keluarga yang paling banyak prosentasenya, yaitu sebesar 63 persen, keluarga menengah
sebanyak 31 persen dan untuk keluarga kaya hanya sebesar 6 persen.
Dari data-data sekunder yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa Desa Bajulan
kondisi ekonominya masih sangat rendah. Dara enam dusun angka keluarga miskin rata-
rata mencapai 75 persen.
2.4 Keadaan dan Perkembangan Politik Desa
Untuk informasi mengenai perkembangan politik di Desa Bajulan, peneliti hanya
mendapatkan informasi tentang total pada jumlah pemilih pada pemilihan legislatif dan
pemilihan kepala desa. Dari total pemilih yang berjumlah 4350 orang, pada pemilihan
legislatif jumlah pemilih mencapai 2154 orang dan pemilihan kepala desa mencapai 2196
orang.
Informasi ysng di dapat dari perangkat desa mengatakan bahwa partisipasi politik
masyarakat desa cukup tinggi. Hal ini dilihat dari partisipasi masyarakat yang mencapai
setengah dari total penduduk yang ikut memilih, adapun untuk sisanya yang tidak memilih
dikarenakan merantau keluar desa.
Data lain yang bersumber dari penduduk desa mengatakan partisipasi penduduk
desa pada pemilihan kepala desa. Partisipasi dalam pilkades distimulus oleh uang yang
dibagikan poleh calon kepala desa kepada masyarakat. Calon yang paling banyak
mengeluarkan uang dia yang akan dipilih paling banyak, dan kemungkinan besar yang
akan terpilih menjadi kepala desa.
42
2.5 Struktur Pemerintahan Desa
Kepala desa yang pernah menjabat hingga adalah sebagai berikut:
No Periode Nama Kepala Desa Keterangan
1 1912 s/d 1943 TRUNO TIRTO Kades pertama
2 1943 s/d 1960 KARSO DIMEDJO Kades kedua
3 1960 s/d 1990 SUEPONO Kades ketiga
4 1990 s/d 1999 DARKONI Kades keempat
5 1999 s/d 2013 Drs. JOKO PRANOTO Kades kelima
6 2013 s/d sekarang MADIN Kades keenam
43
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Bajulan
Keterangan :
= garis komando
= garis koordinasi
SEKRETARIS DESA
KEPALA DESA BPD
URUSAN URUSAN URUSAN
MODIN
KAMITUWO
PLANGKAT
JOGOTIRTO JOGOBOYO KEBAYAN
KAMITUWO
POGOH
KAMITUWO
SEMANDING
KAMITUWO
JATI
KAMITUWO
NGLARANGAN
KAMITUWO
SB. NONGKO
44
Nama Pejabat Pemerintahan Desa Bajulan
No. Nama Jabatan
1 Madin Kepala Desa
2 - Sekretaris Desa
3 Samaun Ahmad Jogoboyo
4 Sutaji Jogotirto
5 Soimun Modin
6 Suwito Kebayan
7 Listiyono Kamituwo Semanding
8 Santoso Kamituwo Pogoh
9 Suparno Kamituwo Nglarangan
10 Sumijo Kamituwo Jati
11 Jamin Kamituwo Plangkat
12 - Kamituwo Sb.Nongko
Nama Badan Permusyawaratan Desa Bajulan
No. Nama Jabatan
1 Martono Ketua
2 Jumadi Wakil Ketua
3 Roch Edi S Sekretaris
4 Rachmad R Anggota
5 Waiman Anggota
6 Markum Anggota
45
7 Mulyono Anggota
8 Imam Tohuri Anggota
9 Lamidi Anggota
Nama-nama LPMD Desa Bajulan
No. Nama Jabatan
1 Suryono Ketua
2 Jarwo Sekretaris
3 Sutomo Bendahara
4 Lami Anggota
5 Muh. Yasin Anggota
6 Sumarji Anggota
7 Said Anggota
8 Yatinem Anggota
9 Niken Diah Anggota
Tim Penggerak PKK Desa Bajulan
No. Nama Jabatan
1 Wiji Astutik S.Pd Ketua
2 Juwarti Sekretaris I
3 Siti Amirah Sekretaris II
4 Niken Dyah S Bendahara I
5 Mujiani Bendahara II
46
Secara umum pelayanan pemerintahan desa bajulan kepada masyarakat cukup
memuaskan dan kelembagaan yang ada berjalan sesuai tugas dan fungsinya masing-
masing (Data dari buku profil Desa)
6 Jariyem Pokja I
7 Purnanik Pokja II
8 Eni Winarsih Pokja III
9 Yarinem Pokja VI
10 Jarmini Anggota
11 Yatini Anggota
12 Damini Anggota
13 Endang Anggota
14 Sumarni Anggota
15 Jami Anggota
16 Masinem Anggota
17 Rinem Anggota
18 Inzana Anggota
47
2.6 Peta Desa
48
BAB III
Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik, dan Hindu
di Masyarakat Desa Bajulan
3.1 Nilai-nilai Tradisi Masyarakat Desa Bajulan
Penjelasan Geertz yang sangat detail mengenai upacara slametan di
kalangan abangan membawa kepada penyimpulan bahwa di mata Geertz slametan
bagi kelompok abangan adalah segala-galanya dan menempati posisi sentral. Lebih
jauh Geertz mengidentifikasi jenis-jenis slametan yang menurutnya terbagi dalam
empat jenis : (1) yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan kelahiran, khitanan,
perkawinan, dan kematian; (2) yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam,
Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang ada kaitannya dengan
integrasi social desa, bersih desa; (4) slametan Selo yang diselenggarakan dalam
waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami
seseorang keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama,
sakit, terkena tenung, dan sebagainya.24
Nilai-nilai tradisi yang dominan di Desa Bajulan adalah nilai-nilai yang
berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa atau yang disebut dengan
kejawen. Nilai-nilai tersebut tertumpahkan pada kegiatan-kegiatan yang ada pada
masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya yaitu slametan,
Nyadran dan pengajian rutin. Untuk slametan sendiri di Desa Bajulan ada tiga
macam, yaitu slametan pasca panen (wiwitan), slametan untuk kirim doa, dan
slametan untuk memenuhi nazar.
24Cliford Geertz, Abangan, satri dan Priyai Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm.
38
49
Slametan yang pertama yaitu wiwitan. Biasanya tradisi ini dilaksanakan
dirumah masing-masing warga pasca panen. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang
tokoh adat yang diberi sebutan bhujangga. Bhujangga ini merupakan orang yang
dapat menentukan kapan acara slametan dilaksanakan dan biasanya juga sebagai
tokoh yang memimpin doa slametan. Biasanya doa yang dibacakan kebanyakan
berbahasa Jawa daripada yang berbahasa Arab. Dalam konteks desa Bajulan,
Bhujangga merupakan orang yang dianggap mengetahui atau paham tentang tradisi
wiwitan ini.
Selain slametan untuk tradisi wiwitan, masyarakat desa Bajulan juga
melakukan slametan untuk tujuan-tujuan lain. Ada slametan yang dilakukan untuk
mengirimi doa orang-orang yang telah meninggal. Pada slametan untuk tujuan
kirim doa ini,masyarakat menyelenggarakan tahlilan dirumah warga yang
mengadakan acara slametan dan kemudian mengundang para tetangga dan kerabat
dekat untuk menghadiri tahlilan tersebut.
Disamping itu slametan juga dilakukan untuk membayar nazar. Slametan
yang untuk membayar nazar ini dilakukan oleh masyarakat muslim yang ketika
telah terpenuhi nazarnya mereka melakukan slametan diatas punden. Slametan
dilakukan disana sebagai rasa syukur atas pencapaian yang didapat, karena apa
yang telah dicapai juga tak terlepas dari leluhur mereka. Punden ini merupakan
tempat yang disucikan menurut kepercayaan masyarakat hindu maupun
masyarakat islam setempat.
Menurut kepercayaan orang hindu punden merupakan tempat leluhur
mereka yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat pada zaman dahulu.
Punden dijadikan tempat oleh masyarakat hindu untuk melakukan upacara diatas
50
punden dilakukan menjelang Sedangkan punden menurut kepercayaan masyarakat
islam, di punden tersebut terdapat sebuah makam.
Kegiatan kedua yaitu tradisi Nyadran atau Ruwat desayang merupakan
ritual yang dilaksanakan pada bulan suro. Nilai penting tradisi Nyadran bagi
masyarakat Desa Bajulan adalah sebagai ritual untuk membersihkan diri dari hal-
hal yang negatif, tolak balak menghindari dari hal-hal yang buruk dan juga kirim
doa untuk para leluhur.
Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancaran dengan guru TK terkait tradisi
Nyadran seperti dibawah ini.
Tradisi Nyadran ini biasanya dilakukan ditiap dusun-dusun yang ada di
Desa Bajulan dan teknis bagaimana acara tersebut dilakukan tergantung otoritas
dari masing-masing dusun, misal untuk menentukan berapa sumbangan dari
masyarakat dusun tersebut. Di Desa Bajulan terdapat enam dusun dimana di semua
dusun tersebut serentak melaksanakan tradisi Nyadran setiap setahun sekali.
Kegiatan selanjutnya yaitu kegiatan pengajian rutin yang diadakan setiap
malam Jumat untuk bapak-bapak dan hari Jumat (jam 3 siang) untuk ibu-ibu. Setiap
dusun di Desa Bajulan pasti ada perkumpulan pengajian yang diadakan rutin.
Pengajian dilakukan secara bergilir di rumah-rumah warga desa. Bagi masyarakat
Nek menurutku yo ajane sebenere ya yang penting itu kalo pribadi yadoa. Tapi itu
kan yang buat orang Jawa. Jawa kuno itu masih kental sekali disini. Ya mungkin
tujuannya untuk keselamatan diri, menghindari dari hal-hal yang negatif, gangguan
dari makhluk-makhluk, ya kemungkinan besar gitu. Tapi ya kalo menurut saya sendiri
ya untuk doa. Tapi gimana ya menurut saya pribadi ya gimana lagi umumnya gitu, tapi
disini semuanya gitu (sambil tertawa). Ya untuuk menjaga lingkungan, untuk
kebersamaan. Jadi adat Jawa kan ya gitu masih kuat disini, biasanya kan sulit untuk
dihilangkan, sudah menjadi semacam budaya
51
setempat arti penting pengajian rutin ialah untuk sekedar menjali silaturahmi antar
warga.
Tidak ada masjid di Desa Bajulan. Fungsi masjid di Desa Bajulan
digantikan dengan mushola, atau yang lebih sering disebut langar oleh masyarakat
sekitar. Setiap dusun di Desa Bajulan paling tidak terdapat satu langgar, namun
langgar yang menggantikan fungsi masjid tidak dijadikan pusat kegiatan
keagamaan. Ini terlihat dari kegiatan pengajian yang dilakukan dirumah-rumah
warga, tidak di langgar. Isi bangunan langgar juga sangat sederhana, tidak terlihat
masyarakat setempat antusias dalam pengembangan langgar yang ada. Bahkan
sosok kyai atau ustadz juga tidak ditemukan dalam desa ini, yang ada hanyalah
warga yang memimpin kegiatan pengajian, imam dan takmir langgar. Selebihnya
tidak ada sosok tokoh yang dijadikan rujukan tokoh agamis.
Di Desa Bajulan juga terdapat satu Pure yang terdapat di dusun Semanggi,
dimana didaerah sekitar Pure terdapat penduduk yang beragama Hindu. Pure ini
juga mengadakan kegiatan keagamaan yang diadakan hampir setiap hari. Pura
Kerta Bhuwana Giri Wilis sebagai tempat sembahyang orang yang beragama hindu
dan juga salah satu dari tempat wisata yang ada di kota nganjuk .pura ini terletak
di kaki gunung wilis tepatnya Dusun Curik Desa Bajulan, Kecamatan Loceret,
Nganjuk, Jawa Timur. Pemeluk agama hindu di dusun ini sudah ada sejak dulu,
mereka merupakan sisa-sisa dari jaman kerajaan Kediri pada masa pemerintahan
Prabu Airlangga.25
25 Data bersumber dari internet, tersedia www.balipost.co.id, diakses pada hari Minggu, 22 Juni
2014 pukul 10.37 WIB
52
3.1.1 Variasi Pembelahan Komunitas Sosial-Kultural di Desa Bajulan
Varian budaya dapat diartikan sebagai suatu model atau ragam budaya yang
sudah berkembang dan beradab pada suatu daerah. Varian budaya merupakan
sebuah studi komunal dengan unit analisis kelompok yang mencoba memetakan
kekuasaan masyarakat desa dari segi budayanya (culture). Pendekatan varian
budaya sangat erat hubungan dengan nilai – nilai tradisi, budaya dan agama. Nilai
tradisi disini merupakan nilai – nilai tradisi yang telah berkembang sejak lama
didalam masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Didalam nilai tradisi ini
biasanya masih ditemukan nuansa kehinduan yang merupakan bentuk pengaruh
atau peninggalan nilai – nilai kerajaan - kerajaan hindu yang pernah berkuasa di
tanah Jawa.
Bila Cifford Geertz mengkonsepsikan masyarakat Jawa menjadi 3 jenis
budaya utama yaitu, abangan, santri dan priyayi, di Desa Bajulan terdapat tiga
pembelahan kultural, yaitu abangan dan hindu. Eksistensi santri di Desa Bajulan
terlihat samar karena perilaku dan kebiasaan masyarakat Bajulan lebih cenderung
mengarah pada abangan. Nilai-nilai kejawen yang sangat kental didorong oleh
adanya komunitas hindu Jawa yang telah menetap paling lama disana. Tidak heran
jika masyarakat Bajulan lebih dekat pada karakteristik abangan dibandingkan
santri, meskipun jumlah agama islam mayoritas disana.
Golongan Santri menekankan pada tindakan keagamaan dan upacara-
upacara sebagaimana digariskan dalam ajaran islam. Kecenderungan varian santri
lebih menekankan pada aspek-aspek ajaran agama Islam, seperti sembahyang,
sholat Jumat, puasa, tarawih, tadarus, naik haji, pondok pesantren, dan lain
sebagainya. Selain itu, kecenderungan varian santri juga dapat dilihat dari semakin
53
melemahnya aspek-aspek abangan dalam perilaku masyarakat. Artinya, semakin
jarang orang melakukan slametan, tidak percaya adanya makhluk halus, tidak
percaya terhadap petungan dalam penentuan hari-hari baik, tidak percaya pada
dukun, tabib, sihir, dan dunia magic, maka orang tersebut dapat dikategorikan ke
dalam varian santri.
Varian santri di Desa Bajulan tidak terlihat, meskipun masyarakat setempat
mengidentifikasi dirinya sebagai seorang santri, namun dari sikap dan kebiasaan
yang ditunjukkan telah mengidentifikasi kalau dirinya adalah abangan. Hal ini
dapat dilihat dari fungsi masjid yang tidak dijadikan sebagai pusat keagamaan.
Kegiatan pengajian tidak pernah dilaksanakan di masjid, masyarakat setempat
melaksanakan kegiatan pengajian bergilir ke rumah-rumah. Bangunan masjid juga
terlihat sangat sederhana, tidak ada antusisme dari masyarakat setempat untuk
meramaikan masjid maupun mengadakan pembangunan masjid. Kecenderungan
varian abangan juga dapat dilihat dari beberapa indikasi berikut, antara lain :
budaya slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, kepercayaan terhadap
petungan dalam penentuan hari-hari baik, kepercayaan pada dukun, tabib, sihir,
dan dunia magic.Kedua, yaitu dilihat dari adanya slametan yang diadakan di atas
punden dimana slametan ditujukan untuk membayar nazar. Slametan tersebut
bertujuan untuk mengucapkan terima kasih pada roh leluhur karena masyarakat
setempat percaya bahwa segala sesuatu yang telah mereka capai juga tidak lepas
dari bantuan para leluhur. Dengan demikian slametan diadakan disana dalam upaya
melakukan harmonisasi antara desa dengan roh leluhur.
Priyayi asal mulanya hanya diistilahkan bagi kalangan aristokrasi turun-
temurun yang oleh Belanda diambil dengan mudah dari raja-raja pribumi yang
ditaklukkan untuk kemudian diangkat sebagai pejabat sipil yang dikaji. Elit pejabat
54
ini, yang berujung akar-akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa
kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang sangat halus dengan
kesenian yang sangat kompleks.
Komunitas priyayi di Desa Bajulan mungkin bisa direpresentasikan dengan
adanya varian abangan ndara. Hal ini dapat dilihat dari perilaku abangan ndara
yang terlihat seperti bangsawan dan menguasai birokrasi pemerintahan desa.
Dalam teorinya Geertz mengatakan bahwa priyayi menitikberatkan pada
kebudayaan kelas atas yang pada umumnya golongan bangsawan baik itu
berpangkat tinggi atau rendah. Geertz mengidentifikasi priyayi sebagai "orang
yang bisa menyelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar Jawa
jaman sebelum penjajahan; yang setengah mitos; tetapi sejak Belanda
mempekerjakan kaum ini sebagai instrument administrasi kekuasaanya, pengertian
priyayi meluas termasuk orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat
persediaan aristocrat asli sudah habis.26 Di desa Bajulan sendiri abangan ndara
terdiri dari golongan orang-orang yang memiliki jabatan penting di pemerintahan
desa.
Abangan dalam konsep Geertz mewakili sikap yang menitikberatkan pada
segi-segi sinkritisme27 Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan
dengan unsur petani diantara penduduk. Pada Desa Bajulan abangan terlihat sangat
kental, hal ini dapat dilihat dari berbagai macam tradisi yang terdapat disana, mulai
dari slametan wiwitan, slametan orang meninggal, slametan nazar, nyadran dan
tradisi kultural lainnya.
26Ibid, hlm. 308 27Sinkretisme adalah aliran yang memadukan beberapa aliran yang berbeda dengan tujuan mencari
keserasian atau keseimbangan
55
Analisis mengenai eksistensi abangan di Desa Bajulan tidak terlepas dari
teori Geertz mengenai persembahan yang mereka (abangan) berikan ditujukan
demi harmonisasi dengan para roh leluhur yang diyakini terkadang melakukan
gangguan-gangguan atau bisa juga ditujukan untuk keselamatan yang dalam istilah
Geertz digunakan frase "gak ono apa-apa".28
Mengidentifikasi seseorang termasuk abangan atau santri dapat dilihat dari
tujuan dan penafsiran atau makna dari kegiatan yang dilakukan, misal seperti
slametan. Jika tujuan slametan untuk menjauhkan dari hal-hal gaib atau lebih
mengarah pada syirik, orang tersebut bisa dikatakan abangan. Kaum abangan tidak
memperdulikan doktrin agama, mereka lebih senang melarutkan diri dalam detail
ritual. Namun bagi kalangan santri slametan lebih ditujukan sebagai upaya berdoa
memohon keselamatan kepada Allah SWT.
Abangan di Desa Bajulan terbagi menjadi dua, yaitu abangan wong cilik
dan abangan ndara. Abangan wong cilik disimbolkan dengan masyarakat yang
berasal dari kelompok petani, buruh tani, dan pedagang kecil. Mereka ini tidak
jarang yang masih mengontrak rumah, bangunan rumah juga masih sangat
sederhana sekali. Abangan wong cilik sangat rutin dalam mengikuti kegiatan-
kegiatan keagamaan, seperti kegiatan-kegiatan slametan yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Abangan ndara terlihat seperti bangsawan yang memiliki kedudukan dan
jabatan di pemerintahan desa. Mereka berasal dari kalangan perangkat desa yang
memiliki kehidupan sangat berkecukupan. Abangan ndara diidentifikasi dari
mereka yang memiliki rumah yang bagus, memiliki sawah yang luas, dan mereka
28Cliford Geertz, Abangan, satri dan Priyai Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm.
18
56
jarang mengikuti kegiatan kultural desa. Abangan ndara juga dapat terlihat dari
mereka yang bisa disebut orang-orang kaya yang bisa membayar sepeda motor
secara cash. Abangan ndara fokus pada pemerintahan desa dan mengurusi
program-program dari pemerintah daerah.
Di Desa Bajulan juga terdapat umat hindu yang tinggal di dusun
Semanding. Disana juga terdapat pura yang bernama Pura Kerta Bhuwana Giri
Wilisyang digunakan sebagai tempat sembahyang dan juga salah satu dari tempat
wisata yang ada di kota Nganjuk. Pendirian pura pertimbangnya berdasarkan
alammnya, karakteristik umatnya, dan fisiknya pura berisi roh Gunung Wilis
dengan struktur bangunannya sama seperti pura di puncak Wilis.
Seorang Pemangku pura yang bernama Pak Damri adalah 1 dari 6 orang
pemangku Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis. Beliau sudah diresmikan sebagai
pemangku sejak saat pura tersebut diresmikan dan dioperasionalkan. Menurut
beliau, keberadaan umat Hindu di Jawa sendiri sudah sejak Jaman Majapahit. Dan
semakin berkembangnya jaman, pemikiran manusia semakin berkembang dan juga
keyakinan-keyakinan baru dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga umat Hindu
Jawa memberikan istilah “Sirno Ilang Kertaning Bumi” yang pada intinya memiliki
arti dengan semakin berkembangnya jaman, keyakinan Agama Hindu semakin
terkikis keberadaannya.
Untuk pembangunan pure sendiri, Pak Damri memberikan penjelasan
bahwa sebelum adanya Pura sekitar tahun 80an, umat Hindu di desa ini telah
menggunakan lahan tempat berdirinya pura tersebut sebagai tempat ibadah
meskipun secara sederhana. Namun karena dirasa perlu adanya Pura sebagai
57
tempat beribadah sekaligus tempat suci maka pada tahun 1998 didirikan dan
diresmikan pada tahun 2001.
Pada saat mendirikan Pura umat Hindu menemukan berbagai macam
kendala, mulai dari perizinan, dana, hingga masalah sosial. Perizinan sulit didapat
pada masa orde baru sehingga perencanaan pembangunan yang sudah ada sejak
tahun 1994 baru terealisasi pada tahun 1998. Pada tahun 2001 Pura telah
diresmikan dan diakui oleh Bupati Nganjuk -Bapak Sutrisno- yang sangat
mendukung pendirian tempat ibadah dari agama apapun. Sedangkan masalah dana
yang dialami pada saat itu dikarenakan memang masyarakat Hindu disana tidak
mampu mendanai sendiri sehingga dibantu oleh umat Hindu lain (seperti dari Bali)
dan juga dari lembaga persatuan umat Hindu.
Masalah terakhir yaitu adanya kecemburuan sosial dimana pembangunan
Pura mendapatkan tekanan dari luar desa. Masalah ini merupakan sebuah isu
awalnya. Berdasarkan informasi yang di dapat dari kamituwo Dusun Pogoh, ada
isu yang mengatakan bahwa pembangunan pura harus melalui persetujuan 27 kyai
Nganjuk. Isu tersebut berlawanan dari informasi yang didapat dari perangkat desa
yang mengatakan justru pembangunan pura tersebut sangat didukung para kyai
Nganjuk. Kemudian isu-isu tersebut telah di klarifikasi oleh pemangku pure yang
mengatakan bahwa isu-isu tersebut diprovokasi dari orang-oran luar desa seperti
yang dijelaskan sebelumnnya.
Dalam perkembangannnya Pura yang merupakan tempat beribadah kini
juga dianggap sebagai cagar budaya karena dalam peribatan umat Hindu juga
menampilkan tarian-tarian. Pura tersebut dijaga oleh juru kunci yang disebut
“pemangku” yang sudah menjabat sejak Pura didirikan. Adapun saat ini pemangku
58
Pura tersebut berjumlah 6 orang dimana pertambahannya bertambah berpasang-
pasangan.
Adapun tempat yang disakralkan yang berada di Dusun Pogoh merupakan
tempat pembakaran mayat umat Hindu dan disana juga dimakamkan (dibakar)
seorang sesepuh dari umat Hindu. Hingga saat ini tanah punden terebut masih
digunakan baik oleh umat Hindu (untuk meminta restu ketika melakukan kegiatan)
maupun oleh masyarakat setempat untuk melakukan syukuran ketika “nazar”
mereka terpenuhi.
Salah satu hal yang terlihat dari umat Hindu di Bali yaitu adanya kasta.
Namun dalam umat Hindu desa Bajulan tidak terdapat kasta. Bagi pemangku kasta
merupakan status sosial yang diberlakukan oleh organisasi merupakan suatu bentuk
tingkatan seseorang yang disesuaikan dengan kemampuan ataupun tugasnya. Kasta
dapat diibaratkan tubuh manusia dimana Brahmana dianggap sebagai kepala
sehingga fungsinya sebagai pemikir (dalam negara sebagai DPR), Ksatria sebagai
tangan (dalam negara sebagai pemerintah), Waisya sebagai perut (dalam negara
sebagai pelaku ekonomi) dan kasta syudra sebagai kaki (dalam negara sebagai
rakyat). Adapun konsep kasta dalam kitab Wedha yaitu catur warna jiwa yang
menerangkan tentang kemampuan suatu manusia dalam membidangi suatu
pekerjaan.
Ritual-ritual yang sering dijalankan oleh umat hindu selalu memiliki makna
filosofis di setiap komponennya. Hal ini pula berlaku untuk upacara yang rutin
dilakukan oleh umat hindu di desa Bajulan. Menurut Pak Damri (salah satu
pemangku di Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis) umat Hindu dalam melakukan setiap
upacara harus didasarkan pada suatu hukum/aturan, hukum tersebut bernama desa
59
kala patra. Desa yang berarti tempat, sedangkan kala yang merujuk pada waktu,
dan patra yang berarti situasi. Jadi upacara tersebut harus mempertimbangan
situasi tempat dan yang paling penting adalah kemampuan manusia yang
menjalankannya. Tidak kaku dan lebih fleksibel disesuaikan dengan kondisi yang
ada tetapi juga tidak lepas dari ajaran kitab sucinya. Desa kala patra di setiap desa
yang berbeda pasti memiliki cara-cara yang berbeda pula. Misal dapat dicontohkan
melalui persembahan sesaji,jika di desa Bajulan ini tidak ditemukan buah apel
maka sesajinya tidaklah harus buah apel, kemudian bisa digantikan dengan buah
jeruk atau mangga yang mudah ditemukan di desa ini, dan hal tersebut tidak
menjadi masalah karena menyesuaikan pada kemampuan yang ada.
Pada hakikatnya upacara sendiri merupakan konsep untuk menyeimbangan,
baik itu keseimbangan alam maupun untuk ikatan sosial, bukan hanya sebatas
untuk sarana beribadah. Jika hanya menyangkut masalah ibadah itu bagian dari
urusan manusia sebagai individu masing-masing. Tetapi melalui ritual upacara ini
diharapkan dapat menyeimbangkan manusia, bagaimana hubungan dengan sang-
Pencipta yang membuat kehidupan, bagaimana hubungannya dengan sesama
mahluk hidup dalam menjalin kerukunan, serta bagaimana hubungan antara
manusia dengan alamnya. Jadi pada intinya upacara merupakan perwujudan dari
konsep sarana beribadah sekaligus sebagai sarana untuk mengevalusi diri manusia
sendiri dan kondisi alam sekitar. Itulah tujuan upacara bukan hanya sekedar
masalah hidangan / persembahan sesaji tetapi sebagai sarana untuk evaluasi, sarana
ikatan dan menerjemahkan ajaran.
Acara besar yang biasa diadakan di Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis adalah
wedaran. Dari acara wedaran ini umat-umat hindu dari luar daerah juga ikut
terlibat, termasuk umat hindu yang ada di Bali. Umat hindu di Bali masih mengakui
60
bahwa leluhurnya berasal dari tanah jawa, dan pada kesempatan acara wedaran ini
mereka bermaksud mendatangi asal leluhurnya. Sama seperti di ajaran islam yang
dikenal dengan ziarah kepada pendahulunya.
Bagan Pembelah Kultural di Desa Bajulan
3.2 Kontestasi Varian Budaya di Desa Bajulan
Pembelahan budaya di desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten
Nganjuk terdiri dari abangan ndara, abangan wong cilik, dan Hindu. Terkait
dengan ketiga varian tersebut, tentunya tidak terlepas adanya kekuatan-kekuatan
dominan dari salah satu varian tersebut yang mempengaruhi pembuatan kebijakan
di desa Bajulan Tersebut. Berdasarkan data-data hasil penelitian, kontestasi antar
Variasi Pembelahan di
Desa Bajulan
ABANGAN HINDU
Merupakan
peduduk Dusun
Semanding,
memiliki pura yang
bernama Pura Kerta
Bhuwana Giri
Wilis
ABANGAN
NDARA
Simol-simbol :
Perangkat desa,
orang kaya, jarang
mengikuti kegiatan
kultural desa
ABANGAN
WONG CILIK
Simbol-simbol :
Kelompok tani,
pedagang kecil,
rutin mengikuti
kegiatan kultural
desa
61
varian tersebut lebih nampak pada dua kelompok yaitu abangan ndara dan abangan
wong cilik. Kontestati antara keduanya itulah yang kemudian akan kami
deskripsikan lebih lanjut.
Kontestasi struktural-kultural muncul akibat dari adanya interaksi sosial.
Kesadaran beridentitas muncul ketika orang berhubungan atau berinteraksi dengan
orang lain. Identitas-identitas ada kalanya bersifat sangat cair dan mengeras ketika
dihadapkan dengan kontestasi. Hal ini disebabkan konteks interaksi yang
menghasilkan beragam momentum dan respon dari kedua entitas. Ketika masuk
dalam kelompok, identitas-identitas personal ditanggalkan sementara untuk
kemudian digantikan dengan identitas kelompok. Kemudian bagaimana identitas-
identitas tersebut membuahkan aksi dapat ditelusuri dengan menggunakan
beberapa pendekatan. Identitas dalam konteks varian budaya menjadi faktor
pemicu konflik untuk memperoleh kekuasaan di pemerintahan desa.
Dalam teori, kontestasi yang bersifat sosial kultural dimana tiap varian
budaya yang saling berkompetisi untuk menduduki jabatan di pemerintahan desa.
Hal ini dikarenakan jika pada suatu desa yang identitas santri dan abangan nya
terlihat kental, interkasi keduanya akan mengarah bukan hanya pada kontestasi
yang bersifat struktural, namun pada saat yang sama bertumpang–tindih dengan
identitas dan budaya sebagai sebuah konteks kultural.
Tidak demikian yang terjadi pada Desa Bajulan. Kontestasi yang terlihat
terjadi diantara sesama varian abangan, yaitu antara abangan ndara dan abangan
wong cilik. Abangan ndara yang disimbolkan seperti bangsawan dan memiliki
jabatan di pemerintahan desa dengan status ekonomi yang tinggi. Sedangkan
abangan wong cilik disimbolkan mereka-mereka yang berasal dari kalangan
62
kelompok tani dan para pedagang keci yang status ekonominya rendah atau dengan
kata lain kalangan rumah tangga miskin.
Kontestasi yang terjadi bukan untuk memperebutkan kekuasaan desa, namun
lebih pada bagaimana para abangan ndara yang berasal dari perangkat desa dapat
mendistribusikan program-program kesejahteraan agar sampai pada abangan wong
cilik. Banyak hal-hal yang menunjukkan bahwa interaksi keduanya sangat kaku
yang akhirnya menimbulkan konflik latent bagi para abangan wong cilik.
Meskipun di Desa Bajulan abangan wong cilik mendominasi dari segi
jumlah, mereka tetap menjadi orang-orang yang pasif untuk ikut berpartisipasi
dalam pembangunan desa. Hal ini dikarenakan abangan ndara sebagai perangkat
desa jarang, bahkan tidak perna sama sekali melibatkan para abangan wong cilik
dalam musyawarah desa. Dan yang lebih penting lagi karena para abangan wong
cilik tidak memiliki jabatan-jabatan penting untuk bisa menyalurkan aspirasi
mereka.
3.2.1 Kontestasi Antara Abangan Ndara dan Abangan Wong Cilik
Abangan ndara adalah varian yang terdiri dari perangkat desa baik itu
kepala desa, kamitua, jagabaya, jaga tirta, para petani pemilik lahan yang luas, dan
warga yang mempunyai status social yang tinggi. Sedangkan untuk abangan wong
cilik meliputi warga desa yang tidak termasuk dalam perangkat desa atau
mempunyai jabatan penting di desa tersebut. Kontestasi antar varian abangan ini
terlihat jelas dari tidak adanya komunikasi yang jelas antar keduanya. Sehingga,
seringkali timbul kesalahpahaman atas informasi yang diperoleh oleh kedua
komunitas abangan tersebut.
63
Perangkat desa sebagai komunitas abangan ndoro berupaya untuk
merebutkan kekuasaan atau tetap mempertahankan kekuasaan, jabatan dan status
sosialnya dengan berbagai macam cara. Salah satu kasus yang kami temui di desa
bajulan adalah banyaknya politik uang (money politics) yang dilakukan oleh calon
kepala desa untuk dapat menduduki jabatan kepala desa. Hal ini juga didukung oleh
tingginya respon warga terkait dengan pembagian uang yang diberikan.
Selain itu, terkait dengan alokasi atau akses program dari pemerintah,
kelompok abangan ndoro lebih memperioritaskan pada komunitasnya. Mereka
yang menduduki jabatan perangkat desa, akan lebih mudah pula dalam mengakses
program-program baru dari pemerintah yang bisa memberikan keuntungan bagi
diri mereka. Misalnya saja program BPJS. Perangkat desa mengaku telah
memberikan sosialisasi kepada warga terkait dengan program kesehatan baru
tersebut. Mereka juga memberikan penjelasan bahwa respon dari warga masyarakat
atau komunitas abangan wong cilik cenderung rendah. Akibatnya, BPJS hanya
mampu diikuti oleh komunitas perangakat desa. Terlepas dari itu, ada juga program
bantuan dari pemerintah berupa bibit-bibit tanaman. Namun tetap saja, pembagian
bibit-bibit tanaman cenderung tidak merata dan hanya menguntungkan beberapa
kelompok atau komunitas tertentu saja yang dekat dengan perangkat desa.
Warga desa sebagai kelompok varian abangan wong cilik mendapatkan
posisi yang termarjinalkan. Mereka yang berlatarbelakang pendidikan rendah
menjadikan pemahaman mereka terhadap proses politik di desa mereka juga
cenderung rendah. Banyak sekali kecurigaan yang dilontarkan oleh kelompok
abangan cilik terhadap kelompok abangan ndoro. Mereka memperlihatkan perilaku
yang kurang menyenangkan terhadap komunitas abangan hanya dengan ucapan-
ucapan sindirian.
64
Kelompok abangan wong cilik tidak begitu responsif terkait dengan
keluhan-keluhan atau permasalahan yang mereka hadapi, dikarenakan sikap
mereka yang cenderung pasrah. Permasalahan yang ada di tengah mereka baik itu
terkait dengan keluhan politik atau tidak, mereka hanya sebatas membicarakannya
pada lingkup komunitas mereka sendiri. Seperti saja terkait dengan masalah
program pemerintah di desa Bajulan. BPJS misalnya, meskipun kelompok atau
komunitas abangan ndoro telah mengaku memberikan informasi atau sosialisasi
terkait dengan kemudahan akses, ternyata di sisi lain, mereka tidak pernah tahu
tentang adanya program baru dari jaminan kesehatan tersebut. Mereka hanya
sebatas tahu tentang program jaminan kesehatan yang lama yang gratis seperti
jamkesmas.
Selanjutnya terkait dengan bantuan bibit-bibit tanaman untuk perkebunan,
mereka para petani mengaku tidak pernah menerima pembaruan tanaman berupa
bibit dari pemerintah. Ini didapat dari informasi Ibu Saikem seorang petani pemilik
lahan, namun tidak luas. Berikut cuplikan wawancaranya :
Bahkan tanaman yang mereka miliki rata-rata berusia puluhan tahun dan sudah
tidak produktif lagi. Peran serta komunitas abangan wong cilik terutama untuk
kelompok petani memang juga cenderung kurang dilibatkan. Hal ini terkait dengan
pengolahan lahan dan pemberantasan hama. Mereka banyak mengeluhkan
produksi hasil pertanian atau perkebunan mereka menurun diakibatkan oleh
biasane yo wit wit-an opo ngunu, tapi yo ra tau di ewehin og mbak, di gawe
dewe gawe kami tuwo e, sek disik e yo oleh bantuan cengkeh uwakeh kok mbak,
yo ra tau di ewehi. (biasanya ya pepohonan gitu, tapi ya gak pernah dikasihkan
kok mbak, di pakai sendiri sama kami tuwo nya, waktu dulu, ya dapet bantuan
cengkeh banyak mbak, ya tidak dikasihin)
65
serangan hama, baik itu hama tikus atau jamur. Diantara permasalahan yang
mereka hadapi itu, tidak ada orang atau lembaga yang menjadi mediator untuk
pemecahan masalah tersebut.
Tingkat komunikasi antar kedua kelompok abangan baik itu abangan ndoro
dan abangan wong cilik memang cenderung kurang intensif. Keduanya jarang
sekali dan hampir tidak pernah terlibat dalam satu pembicaraan atau musyawarah
untuk merumuskan kebijkan atau menyelesaikan permasalahan. Data dapat
didukung dari salah satu pedagang yang tidak tahu apa itu PNPM. Berikut cuplikan
wawancaranya :
Hal ini juga didukung dari keberadaan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) yang sudah lama tidak aktif. Lembaga ini baru saja diaktifkan kurang lebih
satu tahun dari jabatan kepala desa yang baru. Namun keberadaanya hanya sebatas
formalitas saja.
Di sisi lain ada juga Himpunan Tani di desa Bajulan. Himpunan Tani ini
juga sebagai komunitas atau lembaga yang diadakan dengan tujuan membicarakan
persoalan-persoalan pertanian. Namun tetap saja, himpunan tani ini lebih
didominasi oleh para petani yang memiliki lahan yang luas. Jadi orientasi
keputusan juga lebih diarahkan bagi mereka kelompok abangan ndoro. Hal inilah
Narasumber : nggak . kalo yang dapat ada, kalo yang jualan tapi
nga jelas. ini malah nga dikasih
Pewawancara 1 : uang gitu pak?
Narasumber : ya dapat pinjaman, PNPM . nggak tau PNPM Itu
apa.
Pewawancara 2 : Simpan pinjam gitu ya pak?
Narasumber : katanya PNPM itu apa, saya nggak tau.
66
yang menjadikan mereka kelompok abangan wong cilik cenderung sulit mengakses
informasi terkait dengan persoalan yang mereka keluhkan. Akibatnya, kelompok
abangan wong cilik cenderung lebih intensif berkomunikasi dengan sesama
komunitasnyasehingga interaksi antar kedua komunitas tersebut cenderung
tertutup.
Terlepas dari kontestatasi antara kelompok abangan ndara dan abangan
wong cilik, kelompok Hindu yang juga sebagai pembelahan yang ada di desa
Bajulan, cenderung tidak memunculkan kontestasi yang dominan. Komunitas
warga Hindu cenderung membangun interaksi dalam komunitasnya dengan cukup
baik. Komunikasi dan interaksi dalam kelompok mereka lebih intensif daripada
kelompok diluar mereka. Begitu juga halnya hubungan mereka dengan komunitas
diluarnya seperti komunitas abangan.
Mengenai keterlibatan dalam pemerintahan desa, kelompok Hindu yang
merupakan kelompok minoritas sadar akan hal itu. Mereka para kelompok hindu
cenderung menerima apapun segala keputusan yang telah ada atau dibuat oleh para
pemerintah Desa atau yang disebut sebagai abangan ndoro itu. Kelompok Hindu
cenderung berfokus pada kegiatan-kegiatan acara yang ada pada komunitasnya
sendiri sebagai cara mereka menghormati para leluhurnya. Mereka akan tetap
mempertahankan tradisi yang mereka anggap sebagai tradisi leluhur yang tidak
boleh punah, seperti cara mereka dalam mempertahankan komunitasnya.
Kelompok Hindu yang ada di desa Bajulan ini dapat dikatakan kelompok
yang paling tangguh dalam mempertahankan adat istiadatnya sebagai kelompok
minoritas. Sebagai agama yang paling sedikit penganutnya serta dapat dikatakan
sebagai agama baru yang diresmikan oleh Pemerintah setelah runtuhnya Kerajaan
67
Majapahit dulu, para penganut agama ini sebelumnya adalah islam, yang mana
islam nya hanyalah sebuah status keagamaan saja. Setelah pemerintah meresmikan
kembali agama ini, para penganut agama ini seketika itu mengganti status
keagamaannya menjadi Hindu.
Kontestasi antara agama Hindu terkait tradisi yang ada di Desa Bajulan ini
adalah dimana tradisi yang dipegang oleh seluruh umat di desa Bajulan ini pada
dasarnya merupakan tradisi yang berakar dari kaum Hindu yang masih
dipertahankan hingga saat ini. Seperti sedekah bumi, upacara bersih desa, upacara
untuk setiap kelahiran dan kematian serta upacara lainnya yang terkait dengan
peninggalan leluhur di Desa Bajulan ini. Para kelompok, baik abangan ndoro
ataupun abangan wong cilik meyakini bahwa setiap tradisi yang ada dan dilakukan
hingga saat ini merupakan tradisi bersama yang tidak akan pernah ditinggalkan
sampai kapan pun. Karena, mereka meyakini apabila tradisi itu tidak dilakukan
maka akan timbul suatu musibah yang akan menimpa dirinya atau desa nya.
Dalam konteks mengenai pembangunan Pura di Desa Bajulan ini, pada
awalnya terjadi pro dan kontra didalamnya, yang mana kontra tersebut malah
datang dari luar desa Bajulan sehingga menyebabkan tersendatnya pembangunan
Pura. Banyak kabar yang mengatakan bahwasannya untuk pembangunan Pura
terebut harus ijin kepada beberapa kyai sehingga dapat mendirikan Pura, namun
hal itu ditampis oleh pak Sami’un selaku jogoboyo di desa Bajulan tersebut. Terkait
masalah pembangunan Pura dulu, sebenarnya sah-sah saja didirikan karena
bagaimanapun juga pendirian Pura tersebut merupakan tempat ibadah yang mau
tidak mau, kita akan selalu hidup berdampingan. Dengan tidak mempedulikan
agama, ras, etnis, atau lain sebagainya. Jadi, dapat disimpulkan bahwasannya para
68
warga di desa Bajulan tersebut menyetujui dengan dibangunnya tempat peribadatan
tersebut.
Komunitas hindu dapat hidup berdampingan dengan kelompok abangan
yang Bergama islam karena latarbelakang budaya mereka yang sama. Selain itu,
komunitas Hindu tidak berorientasi untuk terlibat dalam proses politik di desa
Bajulan termasuk untuk menduduki jabatan-jabatan perangkat desa. Mereka hanya
kelompok minoritas yang menjalankan rutinitasnya dan hanya terlibat dalam
kegiatan bersama di desa terkait dengan ritual-ritual yang bersifat sacral.
Kelompok-kelompok mereka menjadi dominan ketika mereka dilibatkan untuk
menjadi pimpinan yang membaca puji-pujian (Pujangga) dalam upacara panen
(Wiwit), Nyadran dan kegiatan sacral lainnya di desa Bajulan.
3.3 Arah Kebijakan Pemerintahan Desa Bajulan
3.3.1 Struktur Pemerintahan Desa Bajulan
Desa memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri atas Pemerintah Desa
(yang meliputi kepala desa dan perangkat desa), serta Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Dalam menjalankan pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh
perangkat desa untuk melaksanakan tugasnya. Tugas-tugas kepala desa meliputi
beberapa hal, yang diantaranya mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa,
memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa, menetapkan
Peraturan Desa, menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.29
29Undang-undang nomor 6 tahun 2014 pasal 26 bagian kedua tentang kepala desa
69
Pemerintahan desa Bajulan saat ini dikepalai oleh seorang warga di dusun
Semanding – dukuh Pathuk yang bernama Madin. Bapak Madin ini kurang lebih
baru selama setahun menjabat sebagai kepala desa Bajulan, setelah
memenangkan pilkades di tahun 2013. Selain kepala desa juga ada sosok
Jogoboyo yang membantu segala urusan dan kepentingan di pemerintahan desa.
Nama asli Jogoboyo ini adalah Samaun Ahmad, tetapi warga masyarakat sekitar
lebih mengenalnya dengan sebutan Pak yo. Pak yo bisa dikatakan sebagai tangan
kanan dari Kepala Desa yang cenderung lebih dominan dalam menangani
permasalahan yang ada di desa. Untuk sekretaris desanya sendiri belum lama ini
meninggal dunia, dan untuk mencari posisi penggantinya dibutuhkan kualifikasi
standart PNS tetapi karena di desa Bajulan susah mencari orang yang memiliki
standart tersebut akhirnya sampai saat ini posisi tersebut dibiarkan kosong.
Nama Pejabat Pemerintahan Desa Bajulan
No. Nama Jabatan
1 Madin Kepala Desa
2 - Sekretaris Desa
3 Samaun Ahmad Jogoboyo
4 Sutaji Jogotirto
5 Soimun Modin
6 Suwito Kebayan
7 Listiyono Kamituwo Semanding
8 Santoso Kamituwo Pogoh
9 Suparno Kamituwo Nglarangan
10 Sumijo Kamituwo Jati
11 Jamin Kamituwo Plangkat
12 - Kamituwo Sb.Nongko
70
Struktur Organisasi Pemerintahan Desa
Keterangan :
= garis komando
= garis koordinasi
3.3.2 Proses Pembuatan Kebijakan
Kebijakan yang ada di Desa Bajulan sebagian besar merupakan
perpanjangan tangan dari kebijakan pemerintahan pusat (dekonsentrasi). Bisa
dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak lah lahir dari pemerintahan
desanya sendiri, melainkan lebih pada menjalankan program yang dicanangkan
pemerintah pusat, dan pemerintah desa tinggal menjalankan kebijakan yang berasal
dari pemerintah pusat. Apalagi ditambah dengan “mandek”nya fungsi BPD di Desa
BPD KEPALA DESA
SEKRETARIS DESA
URUSAN URUSAN URUSAN
MODIN
KAMITUWO
PLANGKAT
JOGOTIRTO JOGOBOYO KEBAYAN
KAMITUWO
POGOH
KAMITUWO
SEMANDING
KAMITUWO
JATI
KAMITUWO
NGLARANGAN
KAMITUWO
SB. NONGKO
71
Bajulan ini yang semakin membuat pemerintah desa kurang produktif dalam
membuat kebijakan yang menampung aspirasi masyarakat. Jadi, dapat dikatakan
bahwa pembangunan dan perkembangan di desa ini hanya bertumpu pada
kebijakan dan program-program dari pemerintah pusat.
Dalam undang-undang pemerintahan desa menyebutkan fungsi dari Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) yaitu membentuk panitia pemilihan kepala desa
yang tidak memihak dan bersifat mandiri. BPD turut membahas dan menyepakati
berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggotanya
merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis. Untuk meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat
desa, memperkuat kebersamaan serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat, pemerintah desa dan/atau BPD memfasilitasi penyelenggaraan
musyawarah desa.
BDP yang seharusnya berperan sebagai lembaga pemusyawaratan desa,
yang menampung aspirasi masyarakat dan mewujudkannya dalam bentuk
kebijakan. Akan tetapi menurut banyak pihak di Desa Bajulan justru lembaga ini
serasa “mati” tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam bentuk fisik
keanggotaanya memang ada, tetapi dalam bentuk hasil kinerjanya yang sama sekali
tidak ada. Hal ini dikarenakan Sumber Daya Manusia anggota-anggota BPD
tersebut yang dinilai tidak memadai. Untuk kegiatan musyawarah sendiri menurut
keterangan Pak Jogoboyo biasanya dilakukan melalui ketua RT dan nanti ketua RT
akan menyampaikan aspirasi atau keluhan-keluhan kepada Kepala Desa, secara
teknisnya seperti itu. Akan tetapi pada kenyataannya, sekali lagi proses tersebut
tidak dapat dilakukan secara maksimal karena keterbatasan Sumber Daya Manusia
dikalangan para Ketua RT.
72
Selain melalui ketua RT, terdapat pula kelompok tani yang menampung
masalah pertanian dan biasa dilakukan pertemuan satu bulan sekali di hutan yang
terletak di dusun Semanding. Pertemuan ini pada umumnya membahas tentang
keluhan-keluhan warga terhadap serangan hama di lahan pertanian mereka serta
menentukan jenis tanaman yang cocok untuk ditanam di suatu kurun waktu
tertentu. Namun tidak semua masyarakat dapat ikut serta dalam musyawarah
tersebut hanya para petani yang masuk ke dalam kelompok tani saja yang bisa
mengikuti segala kegiatan yang ada. Dan yang tergabung dalam kelompok tani
tersebut adalah para pemilik lahan pertanian yang luas, biasanya didominasi oleh
para perangkat desa sendiri beserta kerabatnya.
Berikut adalah kutipan wawancara dari Pak Jogoboyo mengenai BPD di
Desa Bajulan:
73
Dan di bawah ini merupakan penjelasan Pak Jogoboyo mengenai kegiatan
musyawarah dengan masyarakat:
Jogoboyo : BPD itu sebetulnya sudah lama orang – orangnya juga lama. Semua
buku disana tadi yang periksa sama BAWASDA itu yang 7 buku
semuanya punya BPD tapi kalo kita serahkan ke BPD ya gitu juga
gak jalan mas. Makanya kami yang membantu untuk pengisiannya,
contoh kegiatan BPD itu bulan ini kemana misal enjang sono
(silahturahmi) ke dusun jati mereka punya kegiatan kunjungan,
kunjungan ke dusun jati terus disana mengangkat apa. Kan dia disana
juga sebagai wakilnya masyarakat nanti dibawa ke kantor terus
dimusyawarahkan bersama perangkat desa apa aspirasi masyarakat
dusun Jati. Terus kita serahkan ke Lurah, ikilo pak lurah masyarakat
Jati pengen ngene ngene ngene terus ditulis di buku, tapi ya
kenyataannya bukunya juga kosong ( hehehe ). Akhirnya juga kami
sendiri yang merekayasa ngisi bukunya itu mas, ditulis masyarakat
Jati pengennya ini kan akhirnya bohong mas ( hehehe )
Pewawancara : Jadi BPD itu masih aktif ya pak?
Jogoboyo : Kalo masih sih sebenarnya tidak ya mas, kembali lagi pada SDM.
Kalau gak ditutuk tok ya gak jalan
Pewawancara: Kalo ada perintah baru mau jalan ya pak?
Jogoboyo : Iya mas , seperti keuangannya BPD kan 9 juta. Sebetulnya SPJ itu ya
kita serahkan BPD dan kita tinggal terima SPJ tapi itu ya gak jalan
Musyawarah biasanya lewat ketua RT. Dalam satu bulan itu saya menampung
aspirasi, apa kendala yang ada di masyarakat biasanya Pak RT itu datang dan
dilaporkan kepada Pak Lurah. Tapi karena Pak RT disini SDMnya kurang mampu dan
kalau ketemu malah guyonan jadi ya kita repot juga. Terus kelompok tani berkaitan
dengan pertanian kalo disini itu 14 malam 15 biasanya ada pertemuan untuk
menampung khusus masalah pertanian misalnya ada kendala padinya terserang hama,
ini umpamanya loh ya itu nanti ada wadahnya untuk menyelesaikannya. Pertemuannya
setiap bulan sekali di hutan sana di semanding, biasanya juga bahas masalah
pertanian missal kalau musim kemarau enaknya menanam apa ya, itu juga
dimusyawarahkan.
74
3.3.3 Dominasi Abangan-Ndara Dalam Memutuskan Kebijakan
Kebijakan desa dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara BPD dan
pemerintah desa melalui musyawarah desa. Hasil musyawarah desa dalam bentuk
kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar
oleh BPD dan pemerintah desa dalam menetapkan kebijakan pemerintahan desa.
Meskipun demikian, masyarakat desa juga memiliki hak untuk mengusulkan atau
memberikan masukan kepada kepala desa maupun BPD dalam proses
penyusunan peraturan dan kebijakan desa.
Arah kebijakan suatu desa dapat terlihat dari formulasi struktur
pemerintahan desa dimana dalam struktur yang berisi jabatan-jabatan dalam
pemerintahan desa merepresentasikan aktor dari komunitas varian tertentu.
Aktor-aktor yang berasal dari komunitas dominan ini akan tarik menarik dengan
masyarakat yang berbeda komunitas untuk penentuan kebijakan desa. Terkadang
komunitas minor akan melawan komunitas yang memiliki dominasi didalam
proses pembuatan kebijakan desa.
Kebijakan yang cukup kami jadikan sorotan dalam penelitian kali ini adalah
mengenai program PNPM Mandiri Pedesaan. Ada 3 sektor yang menjadi fokus
realisasi program PNPM di desa Bajulan. Sektor pertama adalah pendidikan
dimana program dari PNPM ini diwujudkan melalui bentuk pembangunan
sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Sektor kedua adalah infrastruktur jalan diwujudkan dengan perbaikan jalan rabat
beton di dusun Semanding dan dusun Plangkat. Dan yang ketiga adalah sector
kewirausahaan, yaitu dengan program simpan pinjam yang diberikan kepada
usaha-usaha kecil menengah yang ada di desa Bajulan.
75
Salah satu kebijakan adalah pembangunan desa wisata dengan menjadikan
pasar yang dulunya gagal berkembangn dijadikan pasar buah untuk dijadikan
kembali sentral buah yang para tengkulak bisa membeli dari sana denan harga
yang bersaing daripada dijual perorangan. Namun masyarakat kemudia kurang
meiliki kesadaran atau perhatia terhadap pembangunan pasar buah. Yang
membuat kebijakan tersebut tidak ada andil dari BPD dikarenakan yang membuat
kebijakan seperti itu adalah perangkat desa sendiri. BPD telah lama ada namun
kinerjanya kosong, tidak menghasilkan apa-apa. Ketika BPD itu bertugas
mengunjungi dusun-dusun untuk mencari keluhan masyarakat mungkin hal itu
memang dilakukan tetapi tidak ada tindak lanjut untuk menyampaikan aspirasi
masyarakat tersebut, laporan yang seharusnya dibuat oleh BPD untuk
disampaikan ke kepala desa pun selalu kosong.
Untuk kegiatan musyawarah sendiri, lebih cenderung dihadiri oleh para
perangkat desa secara struktural karena segala kebijakan berasal dari pemerintah
pusat, sedangkan pemerintah desa lebih pada agen yang menjalankan kebijakan
dari pusat tersebut. namun pemerintah desa tetap diberikan wewenang untuk
mengajukan aspirasi sesuai kebutuhan desa yang harus diutamakan sehingga
didirikanlah kelompok-kelompok dengan harapan mempermudah aspirasi rakyat
sesuai profesi dan bidang masing-masing, untuk diajukan kepada pemerintah.
Namun ternyata SDM masyarakat termasuk perangkat desa sendiri di struktural
bagian bawah belum mencukupi untuk menjalankan program tersebut. Sehingga
Pihak kepala desa dan juga perangkat di struktural atas susah mendapatkan
aspirasi langsung, dan memberikan gambaran aspirasi secara umum sesuai sudut
pandang mereka sendiri. Jadi, dapat dikatakan bahwa pembangunan dan
76
perkembangan di desa ini hanya bertumpu pada kebijakan dan program-program
dari pemerintah pusat.
Kebijakan yang cukup kami jadikan sorotan dalam penelitian kali ini adalah
mengenai program PNPM Mandiri Pedesaan. Ada 3 sektor yang menjadi fokus
realisasi program PNPM di desa Bajulan. Sektor pertama adalah pendidikan
dimana program dari PNPM ini diwujudkan melalui bentuk pembangunan
sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Sektor kedua adalah infrastruktur jalan diwujudkan dengan perbaikan jalan rabat
beton di dusun Semanding dan dusun Plangkat. Dan yang ketiga adalah sektor
kewirausahaan, yaitu dengan program simpan pinjam yang diberikan kepada
usaha-usaha kecil menengah yang ada di desa Bajulan.
PNPM sendiri mempunyai prinsip bahwa seluruh anggota masyarakat dapat
ikut serta dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses
perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana
sesuai kebutuhan yang menjadi prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan
kegiatan dan pelestariannya. Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan, banyak
warga di desa Bajulan yang tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan
maupun sampai tahap pelaksanaan kegiatan.
Untuk program SPP (Simpan-Pinjam) sendiri ternyata banyak dari
masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang tidak medapatkan bantuan dari
program ini. Program-program bantuan dari pemerintah tersebut cenderung
dinikmati oleh kalangan-kalangan tertentu saja yang berada di lingkup para
perangkat desa (abangan ndara). Hal ini di dapat dari keterangan salah satu
pedagang mie ayam di dusun Pogoh, beliau sudah lama mengajukan permohonan
77
untuk mendapat dana simpan-pinjam tersebut tetapi sampai saat ini belum ada
respon dari pihak terkait. Dan menurut keterangan beliau juga yang mendapat
dana SPP tersebut hanya “orang-orang itu saja” (maksudnya adalah orang-orang
yang dekat dengan para perangkat desa). Berikut adalah kutipan dari percakapan
kami dengan pedagang tersebut:
Selain itu, sebenarnya masyarakat di desa ini mayoritas belum mengetahui
secara jelas tentang apa program PNPM itu sendiri. Mereka merasa pemerintah
desa tidak pernah memberikan sosialisasi kepada warganya. Dari keterangan
pedagang tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada komunikasi dua arah (adanya
missing link) antara pemerintah desa (abangan ndara) dan masyarakat (abangan
wong cilik). Hal ini terlihat bagaimana tidak pernah dilakukannya
pertemuan/musyawarah antara warga masyarakat dengan pemerintah desa, baik itu
kepala desa maupun BPD nya. Masyarakat hanya sekedar mengetahui hasil akhir
dari setiap program-program yang dijalankan aparat pemerintah desa tanpa ikut
terlibat dalam prosesnya.
Di sisi lain, menurut penuturan Pak Jogoboyo sebagai salah satu perangkat
desa di Bajulan, program SPP (Simpan Pinjam) sebagai salah satu program kerja
PNPM bukanlah wewenang para perangkat desa Bajulan, melainkan ada tim
Pewawancara 1 : Dapat bantuan dari Kepala Desa pak?
Pewawancara 2 : Bantuan Modal atau apa gitu?
Penjual: Nggak ada. PNPM? Tapi saya nga dapet dek. Sebelah sini nga ada yang
dapat.
Pewawancara 3 : itu yang dapet yang gimana pak?
Penjual: Kalo nga minta ya nga dikasih, Padahal saya mengajukan tapi nga dikasih.
Biasanya bisa tidak diberikan kepada orang-orang,untuk modal sendiri. paling-paling
ngutang kalo yang baik ya dikasih.
78
tersendiri dari pihak PNPM untuk melakukan uji penelitian sebelum memberikan
dana SPP tersebut kepada suatu usaha. Berikut adalah kutipan percakapan kami
dengan Pak Jogoboyo mengenai program SPP tersebut:
Dalam pelaksanaan program SPP tersebut terjadi kesalah pahaman antara
masyarakat dengan perangkat desa dimana pihak masyarakat memberikan keluhan
atas minimnya peran mereka dalam pembangunan desa serta kurang bisa
menikmati program-program, yang menurut masyarakat adalah hak mereka.
Sedangkan di pihak perangkat desa semua keluhan masyarakat tersebut bukanlah
tidak beralasan. Menurut para perangkat desa segala program yang diberlakukan
di desa tersebut merupakan program dari pemerintah pusat. Jadi ketika ada rapat
mengenai program-program tersebut pemerintah desa tidak mempunyai
wewenang, sehingga masyarakat tidak dapat dihadirkan dalam rapat. Wewenang
perangkat desa lebih pada sosialisasi mengenai program-program tersebut kepada
masyarakat.
Pewawacara: Program PNPM Mandiri itu kan ada yang apa itu pak, yang pinjam-
pinjaman ?
Jogoboyo :SPP.
Pewawancara : Itu apa pak?
Jogoboyo : Simpan Pinjam mas.
Pewawancara : Oh iya simpan pnjam, itu apa semua warga berhak meminjam uang
itu atau bagaimana pak?
Jogoboyo :Sebetulnya berhak tapi, PNMP Generasi itu selektif sekali, tidak semudah
yang kita bayangkan. Administrasi yang sekarang ini sebagai percontohan itu baru
PNMP, selain itu tidak pernah berkecimpung dengan PNPM. Nantinya mereka survey
harga di 3 toko, dan diambil yang terendah. PNPM itu ya sampai sedetail itu mas,
tidak semudah yang dibayangkan. Yang survey dari pihak tim PNPM sendiri yang
beranggotakan 10 orang itu sudah aturannya. PNPM memang sulit mas.
79
Di luar dari konteks kebijakan PNPM, ada pula yang sering dikeluhkan oleh
masyarakat sekitar, yaitu masalah yang melingkupi pertanian, mulai dari gangguan
hama hingga pendistribusian pupuk dan bibit dari pemerintah pusat. Akan tetapi
keluhan-keluhan tersebut kurang diperhatikan oleh perangkat desa. Untuk
pendistribusian pupuk dan bibit sendiri juga cenderung diberikan kepada orang-
orang “nduwur” saja yang memiliki lahan pertanian luas, dan mayoritas pemilik
lahan luas tersebut adalah para perangkat desa itu sendiri. Jadi dengan kata lain,
bantuan-bantuan tersebut dimanfaatkan sendiri oleh para perangkat desa dan
kerabat/orang terdekatnya. Masyarakat dengan lahan pertanian terbatas tidak dapat
merasakan bantuan tersebut. Hal ini diperkuat dengan bukti percakapan kami
dengan petani di desa Bajulan:
Pewawancara 1 : kalau bantuan untuk lahan pertanian sendiri apa buk? Dari
kelurahan?
Ibu Saikem (Petani) : biasane yo wit wit-an opo ngunu, tapi yo ra tau di ewehin og
mbak, di gawe dewe gawe kami tuwo e, sek disik e yo oleh bantuan cengkeh uwakeh
kok mbak, yo ra tau di ewehi. (biasanya ya pepohonan gitu, tapi ya gak pernah
dikasihkan kok mbak, di pakai sendiri sama kami tuwo nya, waktu dulu, ya dapet
bantuan cengkeh banyak mbak, ya tidak dikasihin)
Pewawancara 1 : oh iya buk, tadi kan pupuk kan dari kepala desa ya buk? Kira kira
harga pupuk nya mahal gak buk?
Ibu Saikem (petani) : leg pupuk pupuk ngunu kuwi urusanne pak-e mbak, aku ra tau
ngurusi mbak. Hehehe.... se-sak piro? Aku yo ra tau ero mbak, iku pak.e kabeh. Sak
njukuk e pak e engkuk di bayar pak e ngunu.. biasa ne sing melok kelompok kuwi sing
sawah e omboh-omboh kuwi (menunjuk ibu Wiyatun) sing sawah e sa ithik yo tuku e
sing eceran. (kalau pupuk gitu urusannya suami ku mbak, aku tidak pernah mengurusi
mbak. Heheheh.... se karung berapa? Aku ya gak pernah tahu mbak, itu suami saya
semua. Se-ambilnya ae, suami saya entar yang bayar.. biasanya kalau ikut kelompok
tani gitu yang mempunyai sawah yang luas-luas itu)
Pewawancara 2 : kira-kira ibu tahu gak yang punya lahan gede gitu yah?
Ibu Saikem (Petani) : (sambil menunjuk) iku loh, mbah wiyatun, pak woh kuwi iku lak
sawah e yo omboh, pak RT kuwi, sing genteng e abang kuwi... hehehe (itu loh, mbah
wiyatun, pak woh itu mempunyai sawah yang luas, pak RT itu, yang gentengnya merah
itu... hehehe)
80
Jika kita perhatikan kutipan percakapan diatas, terlihat ada sedikit rasa
kekecewaan yang ingin petani tersebut sampaikan. Program bantuan yang
ditujukan untuk kalangan masyarakat miskin justru tidak sampai ke tangan mereka.
Hanya segelintir orang yang dapat merasakan efek dari bantuan tersebut. Segelintir
orang tersebut merupakan orang-orang yang berada dekat dengan lingkup aparat
desa. Contohnya seperti yang petani tersebut katakan, hanya orang-orang yang
memiliki lahan pertanian yang luas diakomodasi oleh kelompok/perhimpunan tani.
Dan kebanyakan orang-orang tersebut adalah perangkat desa seperti pak RT, Pak
Kamituwo dan Ibu Wiyatun yang kebetulan atau tidak ibu wiyatun ini adalah
kerabat dari pak Kamituwo sendiri.
Berkenaan tentang kebijakan pendidikan, keluhan dari pihak pengajar salah
satu SD di Desa Bajulan yaitu tentang murid yang kurangnya motivasi dari pihak
orang tua murid, karena dari pihak orang tua tidak memperhatikan anaknya,
alasannya adalah karena sang anak Ikut Bekerja bersama orang tuanya ke ladang.
Bahkan orang tua telah lepas tangan dan menyerahkan pada pihak sekolah. Sampai
pernah murid kelas enam tidak bisa membaca sama sekali pada tiga tahun yang lalu
dan akhirnya tidak diluluskan
Keluhan terhadap sekolah yaitu mengenai bangunan yang belum di perbaiki
pada ruang kelas satu sampai kelas lima. Selain runag kelas keluhan juga dirasakan
pada fasilitas lapangan olahraga yang tidak memadai. Pak Wut salah satu guru
menceritakan bahwa beliau sudah mengajukan untuk pembangunan Kelas satu
sampai lima, namun tidak ada tanggapan dari dinas terkait.
Tentang dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah ) tidak 100% diberikan
oleh Pihak sekolah kepada murid, hal ini karena untuk kebutuhan sepatu, baju dan
81
lain-lain itu merupakan tanggung jawab wali murid. Maka dari itu tidak
sepenuhnya diberikan agar sisa uang yang ada bisa dibelikan oleh sekolah untuk
kebutuhan seperti seragam dan lain lain. Dana BOS yang didapat Sebesar Rp.
380.000 per anak. Namun untuk siswa yang baru pindah sulit mendapatkan bantuan
karena KK yang digunakan bukan asli dari daerah Nganjuk, Pada tahun kemaren
Presentase kelulusan adalah 100%
Pihak sekolah selalu mengadakan rapat rutin terhadap orang tua murid saat
perganttian seragam dan saat kenaikan kelas saat mengambil rapot. Partisipasi
orang tua hanya dalam kegiatan rapat rutinan tersebut. Mengenai kesuksesan
belajar di sekolah, rata-rata orang tua murid menyerahkan tanggung jawab
sepenuhnya kepada pihak sekolah
Pengajar di SD tersebut terdapat empat PNS , Status K1 1 Orang, dan K2
1 Orang. (Gaji yang diberikan Status K1 diberikan langsung oleh Pihak Pemerintah
Nganjuk) dan semua pengajar sudah mendapatkan gelar S1. Peserta ajar di SD
Bajulan tersebut 100% Merupakan beragam Muslim,
Kami sebagai peneliti melihat bahwa ada jurang pemisah antara masyarakat
kecil (abangan wong cilik) dengan para penguasa di pemerintahan desa (abangan
ndara). Jika kita melihat dari kacamata orang-orang yang ada di pemerintahan desa
Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya kesadaran atau kurang responsifnya
masyarakat kecil akan berbagai perkembangan yang terjadi di desanya sehingga
tidak adanya control terhadap aparat desa dalam menjalankan program-program
yang ada. Dan hal tersebut berimplikasi pada pembentukan pola pikir masyarakat
(abangan wong cilik) yang kurang respek terhadap pemerintah desanya sendiri
(abangan ndara).
82
Sedangkan jika dilihat menurut sudut pandang masyarakat (abangan wong
cilik), justru ketidak-tahuan/kekurangsadaran masyarakat ini disebabkan oleh
kurang aktifnya pemerintah desa untuk terjun langsung ke dalam masyarakat, tidak
ada komunikasi yang nyata sehingga aspirasi mereka terkesan tidak didengar oleh
elit penguasa yang berada di atas sehingga mereka menyimpulkan bahwa
kebijakan-kebijakan yang dijalankan lebih mengarah demi keuntungan
sekumpulan orang-orang yang memiliki kepentingan saja.
83
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama tiga hari di Desa
Bajulan, kami menemukan terdapat dua pembelahan di Desa tersebut, yakni varian
abangan yang terbelah menjadi dua, yaitu abangan ndara dan abangan wong cilik
serta varian Hindu.
Pertama yaitu abangan ndara yang terlihat seperti bangsawan yang
memiliki kedudukan dan jabatan di pemerintahan desa. Mereka berasal dari
kalangan perangkat desa yang memiliki kehidupan sangat berkecukupan. Abangan
ndara diidentifikasi dari mereka yang memiliki rumah yang bagus, memiliki sawah
yang luas, dan mereka jarang mengikuti kegiatan kultural desa, mereka pada
pemerintahan desa dan mengurusi program-program dari pemerintah daerah.
Varian abangan lainnya yaitu abangan wong cilik yang disimbolkan dengan
masyarakat yang berasal dari kelompok petani, buruh tani, dan pedagang kecil.
Mereka ini tidak jarang yang masih mengontrak rumah, bangunan rumah juga
masih sangat sederhana sekali. Abangan wong cilik sangat rutin dalam mengikuti
kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti kegiatan-kegiatan slametan yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Kedua, yaitu hindu yang menempati Dusun Semanding. Masyarakat Hindu
di Desa Bajulan bisa dibilang paling sedikit, namun merupakan penduduk tertua
disana. Umat Hindu disana juga memiliki sebuah pura yang bernama Pura Kerta
Bhuwana Giri Wilis yang digunakan sebagai tempat sembahyang dan juga salah
satu dari tempat wisata yang ada di kota Nganjuk.
84
Kontestasi yang terlihat di Desa Bajulan terjadi diantara sesama varian
abangan, yaitu antara abangan ndara dan abangan wong cilik. Kontestasi yang
terjadi bisa dibilang kontestasi secara horizontal. Abangan wong cilik tetap menjadi
orang-orang yang pasif untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan desa. Hal ini
dikarenakan para abangan wong cilik tidak memiliki jabatan-jabatan penting di
pemerintahan desa untuk bisa menyalurkan aspirasi mereka, terutama dalam bidang
pertanian, perdagangan (yang berhubungan dengan modal) serta penyaluran
program kesejahteraan desa yang tidak merata. Meskipun bukan komunitas
dominan, namun abangan ndara di Desa Bajulan mampu mempengaruhi arah
kebijakan yang dibuat. Hal ini dikarenakan karena tidak aktifnya BPD desa serta
peran masyarakat yang tidak dilibatkan secara langsung maupun tidak langsung
dalam pemerintahan desa. Setiap kebijakan maupun keputusan desa secara sepihak
dibuatkan sendiri oleh orang-orang yang memiliki jabatan di pemerintahan desa
dimana para pemegang jabatan tersebuat adalah orang-orang abangan ndara
Tidak terjadi kontestasi antara abngan dan komunitas hindu di Desa
Bajulan. Hal ini dikarenakan karena latar belakang budaya keduanya samasama.
Selain itu, komunitas Hindu tidak berorientasi untuk terlibat dalam proses politik
di desa Bajulan termasuk untuk menduduki jabatan-jabatan perangkat desa. Mereka
hanya kelompok minoritas yang menjalankan rutinitasnya dan hanya terlibat dalam
kegiatan bersama di desa terkait dengan ritual-ritual yang bersifat sakral.
Kelompok-kelompok mereka menjadi dominan ketika mereka dilibatkan untuk
menjadi pimpinan yang membaca puji-pujian (Bhujangga) dalam upacara panen
(Wiwit), Nyadran dan kegiatan sacral lainnya di desa Bajulan.
85
4.2 Saran
Dengan melihat beberapa permasalahan yang kami temukan di lapangan saat
pelaksanaan kuliah lapangan di Desa Bajulan, kami sebagai peneliti bermaksud
memberikan beberapa saran atau masukan yang meliputi sebagai berikut:
1. Perangkat desa harus mampu membangun interaksi dan komunikasi yang baik dengan
para warga masyarakatnya, perlu adanya transparansi di setiap kegiatan yang
berkenaan dengan pemerintahan desa agar masyarakat juga mengetahui perkembangan
apa yang tengah berlangsung di desa mereka sendiri.
2. Untuk warga masyarakatnya juga harus ikut berperan aktif dalam setiap kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan desa. Menumbuhkan
kesadaran akan pentingnya partisipasi, meningkatkan rasa keingin-tahuan terhadap
informasi-informasi terbaru yang menyakut kepentingan mereka sebagai warga
masyarakat.
Kedua hal tersebut sangat lah penting mengingat dalam sebuah pemerintahan baik
itu pemerintahan pusat maupun pemerintahan desa memerlukan sebuah check and
balances untuk mengontrol satu sama lain agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan.
Adapun teknis pelaksanaan secara real yaitu dengan menghidupkan kembali BPD
sesuai fungsinya. BPD merupakan penghubung antara pemerintah desa dengan
masyarakat desa. Tidak berfungsinya BPD di desa Bajulan mengakibatkan terganggu
bahkan hilangnya komunikasi antara pemerintah desa dengan masyarakat desa. Hal
inilah yang menjadikan golongan abangan wong cilik menjadi kesulitan dalam
mengawasi pemerintah desa dan memunculkan kesempatan bagi pemerintah desa
untuk mempertahankan dominasinya. Dengan berfungsinya BPD kembali masalah
desa yang selama ini belum ataupun sudah terselesaikan tanpa keterlibatan pemerintah
atau sebaliknya tanpa keterlibatan masyarakat dapat terselesaikan secara bersama-sama
86
oleh keduanya. Dominasi abangan ndara pun juga bisa berkurang sehingga abangan
wong cilik dapat menemukan jalan kesejahteraan mereka melalui jalan pemerintahan
desa.
Sedangkan saran bagi teknis pelaksanaan kuliah lapangan mata kuliah Politik di
Desa ini, waktu yang diberikan guna terjun di lapangan sangat lah minim. Akan lebih
baik jika waktu pelasanaanya bisa diperpanjang agar peneliti dapat melakukan
penelitian lebih dalam mengingat bahwa penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
87
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks
Geertz, Cliford. 1983. Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat
Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya
Geertz, Cliford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius
Maliki, Zainuddin. 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi
Resistensi Petani Berbasis Religio Politik SantriNegaranisasi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Zaini, Muchtarom. 2002. Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan
Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah
Ridwan, Nur Khalik. 2004. Santri Baru: Pemetaan, Wacana Ideologi
dan Kritik. Yogyakarta: Gerigi Pustaka
Sugihen, Bahrein. 1996. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada
Ndraha, Talizidhu. 1981. Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta:
PT. Bina Aksara
Harrison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.
88
Gramedia Pustaka Utama
Artikel
Kuntowijoyo. Desa Dalam Perspektif Perubahan Sosial dan Kultural.
Proposal Penelitian
M.M. Bilah, Beberapa Masalah Penelitian Metodologis di Seputar Pengusahaan Penelitian
Kuliah Lapangan dalam Proposal Penelitian Politik di Desa Ngawi tahun 2013
Internet
afrikenz.blogspot.com, diakses pada Rabu, 14 mei 2014 pukul 18.10 WIB
Joglo.tv, diakses pada Rabu, 28 Mei 2014 pukul 20.08 WIB
www.balipost.co.id, diakses pada hari Minggu, 22 Juni 2014 pukul 10.37 WIB
www.tempo.co.id, diakses pada Hari Senin 23 Juni 2014 pukul 05.28 WIB
nilaaudina0202.blogspot.com, diakes pada hari Senin, 23 Juni 2014 pukul 05.39 WIB
89
LAMPIRAN – LAMPIRAN
TRANSKRIP WAWANCARA
90
Lokasi : TK Pertiwi 1, Desa Bajulan, Kec. Loceret (hasil program
PNPM)
Pukul : 10.00 – 10.20 WIB/Jumat, 6 Juni 2014
Suasana : Duduk di ruang kepala sekolah di jam istirahat
Narasumber : Ibu Satinah (Kepala sekolah TK. Bajulan)
Pewawancara : Retno Purwaningtias
Pewawancara : Ibu tinggalnya juga dari Bajulan sini?
Narasumber : Iya di Bajulan sini juga
Pewawancara : Sudah lama ngajar di TK ini Bu?
Narasumber : Mulai tahun ‘86
Pewawancara : Oh tahun ’86? Lama ya Bu..
Narasumber : Gak trimo lama lah (sambil tertawa)
Pewawancara : (hahahaha) iya Bu lama banget..
Terus disini ada berapa pengajar Bu?
Narasumber : Ada tiga, iya ada tiga. Kelompok A sama kelompok B, kelompok
1, kelompok 2.
Pewawancara : Tiga itu termasuk Ibu juga?
Narasumber : Iya, termasuk saya
Pewawancara : Oh iya Bu begini, tujuan penelitian kita disini kan ingin
mengetahui masyarakat yang berasal dari kalangan guru, petani,
pedagang melihat sebenarnya di desa ini ada masalah apa saja dan
bagaimana para masyarakat yang berbeda latar belakang itu
merespon masalah tersebut. Nah ini kan ibu bisa dibilang yang
berasal dari tokoh akademisi. (sambil tertawa bersama). Menurut
Ibu yang berasal dari tokoh akademisi apa yang menjadi masalah
utama di Desa ini?
Narasumber : (Diam sebentar) Apa ya.. Kebanyakan kan yang disini itu petani
ya, buruh tani, petani. Mungkin ya penyuluhan-penyuluha untuk apa
ya.. Ya hasil tani itu supaya meningkat, mungkin kan masih kurang.
Ini nih salah satu tokoh petani (menunjuk salah satu guru TK), itu
nanti jenengan tanyain aja, pasti tau apa yang jadi masalah petani.
Nanti jenengan tanyain langsung juga ke kepala desa, perangkat
desa tanya langsung aja kesana, kan yang lebih tau masalah di desa
ini. Nanti kan kalo dari saya langsung ga enak kalo salah ngomong.
Yang terjun langsung kan kepala desa, perangkat desa, kan tau
91
persis apa masalahnya apa. Saya tau sih, cuman kan ga enak kalo
saya yang bilang. Dari kelompok tani, buruh tani.
Pewawancara : Iya Bu.. Nah itu kan dari kelompok tani, buruh tani, nah ini Ibunya
kan yang berasal dari kalangan akademisi seenggaknya kan juga
pasti mengamati. Iki sakjane koyok ngene, tapi kok koyok ngono?
(sambil tertawa).
Narasumber : Iya ya.. (sambil tertawa)
Pewawancara : Oh iya Bu, mungkin dari segi pendidikan.?
Narasumber : Oh kalo dari pendidikan alhamdulillah sudah baik dari tahun-tahun
yang lalu. Dari wali murid juga uda ada perhatian, ya mungkin dari
segi ekonomi ya yang buat kadang anak-anak itu bisa sekolah. Ya
begini ini Tk nya. Mau menarik yang lebih tinggi lagi masih kasian
sama orangtua murid, soalnya kan disini aja rata-rata penduduk
kamar mandi aja belum punyak. Ya itu mungkin masalah ekonomi.
Tapi kalo masalah yang lain ya nanti bisa tanya sendiri lah ke
perangkat desanya.
Pewawancara : Oh gitu ya Bu.. terus kalau anak-anaknya disini tu uda sekolah
semua ya Bu?
Narasumber : Iya Insya Allah disini sekolah semua. Tapi mungkin ada ya
beberapa yang gak sekolah. Mungkin bisa tanyak ke kantor kepala
desa, pasti ada data-data anak yang sekolah dan yang gak sekolah.
Kan yang data desa, pasti ada, tanyain aja mbak. Di TK kan gak
mendata itu
Pewawancara : Oh iya Bu.. Itu kan dari segi pendidikan. Kalo dari masyarakat
sendiri disini biasanya ada kegiatan apa saja? Kalo kemarin kata Bu
kamituwo disini ada kegiatan pengajian
Narasumber : Iya iya disini ada pengajian, PKK. Aku juga ikut, kan gantian
dirumahnya sapa gitu. Tapi dulu, kalo sekarang uda gak ikut lagi
(sambil tertawa). Agak vacum yang untuk kegiatan PKK. Mungkin
yang uda tua kayak gini ya ikut kagiatan ngaji mungkin(sambil
tertawa). Rutinan lingkungan lah
Pewawancara : Setiap hari apa itu Bu pengajiannya?
Narasumber : Setiap malam Jumat, hari Jumat.ini nanti ada jam 3 pengajian.
Nanti kalo gak salah yang ngadain di rumah yang deket sungai itu
Pewaancara : Kalo pengajian itu isinya apa Bu? Kayak yasinan gitu apa gimana?
Narasumber : Iya yasinan aja
Pewawancara : Terus itu ada yang mimpin atau gantian gitu Bu?
Narasumber : Ya sementara ini ya ada ibu-ibu yang mimpin, gantian kalo misal
ga bisa hadir diganti sapa gitu yang bisa mimpin
92
Pewawancara : Berarti disini gak ada tokoh keagamaan, kayak kyai, ustadz, yang
misal kayak ditokohkan sebagai tokoh agama gitu?
Narasumber : Kalau disini mungkin, ada di belakang, Pak Tohuri itu. Ya kan kalo
disni ya sama-sama lah dimasjid itu. Di masjid sini orangnya itu,
kalo dimasjid sana ya tergantung sana siapa. Tapi mungkin kalo
keseluruhan ya Pak Tohuri itu yang tinggal di belakang
Pewawancara : Oh gitu ya.. terus kalo disini itu masih ngadain kayak slametan gitu
ya Bu?
Narasumber : Iya masih ada. Untuk orang-orang yang udah meninggal itu kan..
Pewawancara : Oh gitu ya Bu. Masyarakat sebagian besar ngadain itu ya Bu?
Narasumber : Iya, semuanya rata-rata disini gitu
Pewawancara : Oh gitu. Ada gak Bu masyarakat disini yang gak ngelakuin
slametan? Maksudnya mereka yang mikirnya apa sih pentingnya
slametan itu?
Narasumber : Kalo yang saya tau, gak ada ya mbak. Disini itu yang kayak gitu
kuat.
Pewawancara : Berarti uda kentel banget ya Bu.. terus Bu disini katanya juga ada
upacara Nyadran?
Narasumber : He’em,, disini kalo Nyadran itu ada. Tiap setahun sekali bulan
suro;. Bersih desa
Pewawancara : Terus sebenernya Nyadran itu buat apa ya Bu? Saya kan bukan
berasal dari desa ya.. jadi kan ga paham sama yang begituan
(hehehe)
Narasumber : (sambil tertawa). Kalo yang bisa jelasin gitu ya tokoh-tokoh yang
udah tua disini itu mungkin bisa jelasin, yang paham
Pewawancara : Kalo menurut ibunya sendiri?
Narasumber : Nek menurutku yo ajane sebenere ya yang penting itu kalo pribadi
ya doa. Tapi itu kan yang buat orang Jawa. Jawa kuno itu masih
kental sekali disini. Ya mungkin tujuannya untuk keselamatan diri,
menghindari dari hal-hal yang negatif, gangguan dari makhluk-
makhluk, ya kemungkinan besar gitu. Tapi ya kalo menurut saya
sendiri ya untuk doa. Tapi gimana ya menurut saya pribadi ya
gimana lagi umumnya gitu, tapi disini semuanya gitu (sambil
tertawa). Ya untuuk menjaga lingkungan, untuk kebersamaan. Jadi
adat Jawa kan ya gitu masih kuat disini, biasanya kan sulit untuk
dihilangkan, sudah menjadi semacam budaya
Pewawancara : Iya Bu bener. Terus di desa ini Ibu mungkin pernah mengikuti
semacam musyawarah desa gitu? Mungkin pernah memberi
masukan apa gitu
93
Narasumber : Oh untuk sementara ini saya vacum ya. Hanya fokus di TK ini
(sambil tertawa). Kalo dulu ya apa aja ikut, tapi sekarang uda tua,
diganti dengan yang muda-muda
Pewawancara : Oh gitu.. terus kegiatan besar desa disini selain Nyadran apalagi
Bu? Yang melibatkan satu desa?
Narasumber : kalo kegiatan yang kumpul-kumpul bareng, kan aku sekarang uda
agak vacum ya. Mending tanyakan langsiung ke kepala desanya aja
atau perangkat desa, apa kegiatannya
Pewawancara : Oh iya Bu, nanti rencana juga mau ke kantor kepala desa. Disini
TK nya ada berapa ya Bu?
Narasumber : Disini TK ada 3. TK Pertiwi 1, Pertiwi 2, Pertiwi 3.
Pewawancara : Terima kasih Bu ya, sudah mau meluangkan waktunya
Narasumber : Oh iya iya.
Pewawancara : Ini mau langsung ke kantor kepala desa
Narasumber : Oh gitu, iya iya
Lokasi : Warung Mie ayam dan bakso
Pukul : 16.00 WIB/Jumat, 6 Juni 2014
94
Suasana : Duduk santai, di warung
Narasumber 1 : Pak Mursidi (Pedagang Mie Ayam dan Bakso)
Pewawancara 1 : Istianatul Maulidia
Pewawancara 2 : Ainur Rahmatin
Pewawancara 3 : Arif Bagus Permadi
Pewawancara 1 : Buka jam berapa ini pak?
Narasumber : Jam 12
Pewawancara 1 : kok tadi lewat masih tutup, mau beli padahal ya.
Narasumber : Owww, sudah matang tapi biasanya, sore atau kalo mau jam 10
juga sudah bisa mesan. sudah masak tapi belum dibuka.
Pewawancara 1 : belum dipersiapin?
Narasumber : He’ehh tapi biasanya, saya masak dibelakang, kalo ada yang mesen
dibelakang.
Pewawancara 1 : Boleh ya pak?
Narasumber : Boleh
Pewawancara 2 : dianter berarti
Pewawancara 1 : gak kalo mau pesen, boleh ke belakang?
Narasumber : Boleh, maksudnya disini belum buka ya.
Pewawancara 2 : memang rumahnya disini ya pak?
Narasumber : Yang satu di roro kuning sana jualannya.
(Suara Motor )
Pewawancara 1 : Sama pak jualannya?
Narasumber : Ya Mie Ayam Sama Bakso.
Pewawancara 1 : Bakso
Narasumber : Di Wisata, bawahnya patung itu.
(Suara Motor)
Pewawancara 1 : Sudah berapa lama?
Narasumber : Lama, dari 1991
Pewawancara 2 :1991 sampai sekarang ya pak
Narasumber : Saya belum kawin, sudah dagang mie ayam.
95
Pewawancara 2 : anaknya berapa pak ?
Narasumber : Dua
(Penjualnya lagi bicara sama anaknya )
(Suara Motor)
Narasumber : Dari Surabaya, dari Mana?
Pewawancara 1 : Dari UNAIR Pak.
Narasumber : Owww, Surabaya Ya?
Pewawancara 1 : Iya
Narasumber : Ini yang depan dari unair, Mas Ikhsan.
Pewawancara 1 : Jurusan apa pak?
Peawawancara 2 : Jurusan Apa Pak?
Narasumber : Perkapalan
Pewawancara 2 : Owww Perikanan dan Kelautan
Narasumber : enggak.
Pewawancara 3 : ITS?
Pewawancara 2 : ITS?
Narasumber : Nah ya ITS ITS.
Pewawancara 1 : Oww. ITS
Pewawancara 3 : Kalo ITS Ada.
Narasumber : Iya ITS, ini rumahnya (menunjuk ke arah rumahnya), Penelitian?
Pewawancara 2 : Iya Penelitian Pak.
Pewawancara 1 : Semester berapa pak?
Narasumber : Semester akhir kayaknya
Pewawancara 1 : Skripsi berarti
Narasumber : empat Tahun
Pewawancara 2 : Nggak punya kerja sampingan gitu?
Narasumber : Siapa?
Pewawancara 2 : Bapak
Narasumber : Belum.
Pewawancara 1 : Jualan Mie Tok
96
Pewawancara 2 : Iya Mie Ayam sama Bakso
Narasumber : Nambal Ban
Pewawancara 3 : Dapat bantuan dari Kepala Desa?
Narasumber : Apanya?
Pewawancara 1 : Bantuan Modal atau apa gitu?
Pewawancara 2 : Simpan Pinjam, Pinjam di Koperasi?
Narasumber : Nggak ada.
Pewawancara 2 : itu lumayan pak, dari tahun tahun sebelumnya, sebelum bantuan
itu diturunkan.
Narasumber : PNP, PNPM? Tapi saya nga dapet dek. Sebelah sini nga ada yang
dapat. yang dapat itu?
Pewawancara 1 : Dipilih itu pak?
Narasumber : Haa?
Pewawancara 1 : Dipilih?
Pewawancara 2 : itu yang dapet yang gimana pak?
Narasumber : gak tau yang dapet yang gimana
Pewawancara 3 : Kebijakan mayoritas PNPM?
Narasumber : Pedagang ada yang dapat, tergantung minta e.
Pewawancara 2 : Owalah
Narasumber : Kalo nga minta yang nga dikasih, Padahal saya mengajukan tapi
nga dikasih
(Suara Motor)
Pewawancara 2 : Apa namanya, kalo misalnya ngeluh ke siapa pak? Ke pak kades
kah? menyampaikan keluhan itu
Narasumber : Ya ke kelompok
Pewawancara 1 : Kelompok? Kelompok Pedagang?
Narasumber : bukan ,kelompok yang memberi.
Pewawancara 3 : yang memberikan kebijakan itu, kepala desanya?
Narasumber : Kelompoknya
Pewawancara 1 : Kelompoknya tadi, Dipilih gitu pak? dipilih langsung?
Pewawancara 3 : Berdasarkan apa pak? bapak kok nga dapat?
Narasumber : Kalo ngutang oleh, yo wes
97
Pewawancara 2 : Bapaknya asli sini?
Narasumber : nggak . kalo yang dapat ada, kalo yang jualan tapi nga jelas. ini
malah nga dikasih
Pewawancara 1 : uang gitu pak?
Narasumber : ya dapat pinjaman, PNPM . nggak tau PNPM Itu apa.
Pewawancara 2 : Simpan pinjam gitu ya pak?
Narasumber : katanya PNPM itu apa, saya nggak tau.
Pewawancara 1 : PNPM
Narasumber : Paling-paling nga dapat ya sudah. Urusan dewe-dewe
Pewawancara 2 : Padahal kan tujuan utamanya itu koperasi simpan pinjam itukan
kembali ke Masyrakat. Untuk modal nah, harapan bapak, apa
perlu, kelompok bapak itu kenapa nggak dikasih. sementara itu kita
punya hak untuk itu.
Pewawancara 1 : Bapak punya hak ini, sementara kembali pada tujuanya tadi,
untuk masyrakat kembali ke masyrakat. Kira-kira kelompoknya itu
sebelah mana pak ?
Narasumber : Itu Pak RT, Bu RT
Pewawancara 2 : Owww.
Narasumber : Biasanya bisa tidak diberikan kepada orang-orang,untuk modal
sendiri. paling-paling ngutang kalo yang baik ya dikasih.
Narasumber : Selama jadi Kades, belum pernah mengumpulkan warga
Pewawancara 2 : Sama sekali belum? pertemuan semacam?
Pewawancara 1 : Belum ada?
Narasumber : Hampir Setahun
Pewawancara 2 : BPD Belum terealisasikan?
Narasumber : Kemungkinan sudah tapi saya belum tahu
Pewawancara 2 : belum terasa, nah itu kalo kepala desanya mengumpulkan
masyrakat ...
(Suara Motor)
Narasumber : Tidak pernah di Undang, ada pertemuan apa-apa ga pernah di
undang. biasanya ditinggal saya sekrang, kalo saya bicara benar
saya nya tidak suka
Pewawancara 2 : kalo bantuan pemerintah gimana pak ?
Narasumber : Beras merata lah, Merata 4 KG
98
Pewawancara 2 : Perbulanya berapa pak
Pewawancara 1 : 1 Kantong?
Narasumber : 4kg, semua dapat
Pewawancara 2 : Pake kupon?
Narasumber : minta langsung. 4 KG itu 9 ribu
(Suara Motor)
Pewawancara 3 : bapak tidak pernah ketemu pak kades untuk ngomongin apa,
ngomongin apa gitu?
Narasumber : gak pernah
Pewawancara 2 : Kalo kades yang dulu Pak
Narasumber : Ya Sama malah parah
Pewawancara 2 : jadi mending sekarang berarti?
Narasumber : Kalo sekarang belum
Pewawancara 2 : kalo sekarang lumayan berkembang ya pak?
Narasumber : ya belum ada perkembangan apa-apa
Pewawancara 2 : Tapi untuk Insfraktuktur jalan sudah lama ta.
Pewawancara 1 : jalan ini loh pak, jalan aspal
Narasumber : ini jalan negara.
Pewawancara 2 : kalo yang beton itu pak
Narasumber : Itu baru
Pewawancara 2 : Itu programnya pak kades yang sekrang atau yang lama?
Narasumber : Kemungkinan yang lama, yang mengajukan orang yang lama, kalo
yang sekrang mengjukan kayanya ga diterima.
Narasumber : Kades yang dulu malah parah, gak pernah mgnumpulkan rakyat
Pewawancara 2 : dua Periode itu ya?
Narasumber : dua Periode gak pernah
Pewawancara 2 : tapi kok menang lagi ya pak?
Narasumber : uang nya orang-orang itu
Pewawancara 2 : Pake uang ya pak?
Narasumber : Kemungkinan begitu, 100% ya pake uang orang- orang itu,.
Pewawancara 1 : Biasanya dikasih berapa pak
99
Narasumber : Gak tentu, kalo menang banyak, ya dikasih banyak.
Pewawancara 2 : itu dikasihnya sampai 50 ribu?
Narasumber : ya bisa juga, bisa lebih
Pewawancara 2 : gitu ya?
Narasumber : kalo dikaish uang, ya milih yang dikasih uang, sedikit ya ga dipilih.
kemungkinan yang meratnya sedikit, kalo 10 ribu emrata gitu
Tpewawancara 2 : kemungkinan besar ga jadi?
Narasumber : ga jadi. bakal milih yang besar. kalo di itung itung semuanya
korupsi
Narasumber : Mulai Rakyat
Pewawancara 2 : kalo dipikir-pikir memang benar?
Narasumber : ya memang benar.
100
Lokasi : Rumah Pak Damri
Pukul : 17.00 WIB
Suasana : Formal, di Ruang tamu
Narasumber : Pak Damri (Pemangku Pure)
Pewawancara 1 : Bayu Aditya Amang
Pewawancara 2 : Anas Herlambang
Pewawancara 1 : anu pak kulo dalem mahasiswa saking unair surabaya. Wonten PKL
penelitian tentang tradisi budaya di desa bajulan. Ngih termasuk kalean
nopo masyarakat agamane teng mriki kan beragam ngoten lo pak. Terus
kalean pak yo disanjangi kalau untuk masyarakat Hindunya monggo ke
pak Damri. La niki bade tanglet-tanglet sekedik pak mengenai
masyarakat hindu disini. Ngih niku pak, sejarahnya masyarakat hindu
disini niku masuknya bagaimana. Kapan masuknya pak dan bagaimana
prosesnya di desa bajulan?
Narasumber : ouuh ngih pada dasare umat Hindu di tanah jawa pada umumnya ibarate
“sirno ilang kertoning bumi”. Jadi Hindu sudah tidak ada kabar
semenjak surute kerajaan Mojopahit. Nah terus tapi ada istiadat ajaran
hindu kan masih menyebar. Nah dasarnya umat hindu di desa bajulan
yang dilaksanakan sehari-hari memang dari ajaran hindu. Nah pada
akhirnya setelah hindu sudah diakui oleh pemerintah lagi, sudah
mendirikan lembaga, lembaga agamnya sudah diresmikan. Nah terus
masyarakat yang disini akhirnya juga identitasnya masuk ke hindu.
Dulu juga islam, Cuma islam-islam KTP. Tiap hari yang dilakukan juga
ajaran hindu , hindu kan punya dasar yang namanya kerangka dasar
agama “ fatwa susila upacara”. nah pelaksanaan upacara inilah yang
setiap hari dilaksanakan. Termasuknya upacara
budayatnya,manusiatnya,hikayatnya ,sosiatnya. Upacara itu selalu
dilaksanakan. Budayatnya suatu contoh upacara bersih desa, terus
sedekah bumi itu kan termasuk budayatnya. Terus ngopeni tanduran ,
metil ,segala macam itu kan hikayatnya, kalau manusiatnya mulai
bobot sampe nikah sampe meninggal niku kan di upacarai, lahir dan
segala macem memang itu sumbernya dari hindu.
Pewawancara 1 : terus niki kan wonten pure bade tanglet-tanglet pembangunane awal
mulanya bagaimana pak prosesnya terus bagaimana?
Narasumber : intine dulu ngih pure niku sawah, pada tahun 80an dibentuk tempat suci
sederhana teng mriku. Pada akhirnya pada tahun 1994 niku berencana
membuat tempat suci. Ngih tanah niku dihibahkan. awal mulane ngih
tanah pribadi, jadi dihibahkan ke yayasan untuk dibuat tempat suci.
Kemudian tahun 94 dimulai pembangunan, tapi karena kendala
macem-macem kan namane tempat suci, prosese melewati berbagai
101
hal, tersendat-sendat baru tahun 1998 niku saget dimulai. Tahun 2001
niku bisa diresmikan, difungsikan sebagai tempat suci. Peresmian pure
lewat ritual-ritual ngih dipandu pendeta yen lewat pemerintah ngeh
lewat bupati. Bupati meresmikan pendeta mengupacarai beserta umat
hindu tahun 2001. terus berkembang-berkembang akhire pembangunan
terus bertambah karena sejarah pembangunan tempat suci kan enggak
hanya harus mendirikan tempat suci hindu pure saja. Tempat suci hindu
pure dibangun berdasarkan satu lokasi lingkungan, alamnya
terpengaruh. Kedua, karater umat, ketiga sejarah. itu disatukan pada
akhire ndak sama tempat suci. Termasuk pure iki identitase tempate
gunung wilis. Sing jaman dulu semasa leluhur digunakan tempat suci.
Kan ndak mungkin sekarang sembayang di puncak wilis, kan ndak
mungkin. Nah pada akhirnya inilah ditumbuhkan, diperbarui wujude.
Tapi isi sejarah dan lain sebagainya istilae fisiknya pure tapi rohnya
gunung wilis. Gampangane termasuk puncak wilis itu tempat suci,
persis kok struktur bangunane persis ngih anehe niku, begitu pura jadi
naik ke puncak lo kok struktur bangunananya kok sama.
Pewawancara 1 : padahal mboten direncanaaken ngih pak?
Narasumber : mboten, mbonten pelajari teng mriko mboten. (suara tidak jelas karena
ada suara sapi) ngih mung bimbingan-bimbingan, berbagai tempat suci
itu harus bagaimana. Ya ada dari kitab istilahe, terus ditambah wahyu
istilahe ngih dari petunjuk-petunjuk, terus sejarah. makane tempat suci
iku dibangun berdasarkan situasi alam, sejarah terus karakter
masyarakatnya terus disatukan. Kalau tidak manyatu tidak bisa jadi
puranya. Pasti hancur
Pewawancara 2 : kendalanya itu apa saja pak? Kendala mengenai pembangunan pura ini?
Narasumber : kendala itu kan pertama juga karena ijin, ijin pembangunan. Yang
kedua, juga masalah pendanaan. Yang ketiga masalah macam-macam
lah, masalah sosial juga. Ngih termasuk kecemburuan yang lain.
Mungkin karena belum tau toh tempat suci itu seperti apa. Jadi ada
yang merasa dirugikan. Pada akhirnya ngih kita tetep menyadari, biasa
kan perbedaan itu harus, tanpa perbedaan kan ngak ada kemajuan, ngak
ada keseimbangan.
Pewawancara 1 : jadi niku kecemburuan niku sejak pura itu dibangun siapa yang
cemburu pak?
Narasumber : gampangane, terus terang ngih mas, umat sanes sing mayoritas
istilahemboten trimo dan sebagian orang wonten dadi provokator
wonten. Cuma kan pripun, niku biasa ngih pada akhire tetep sadar
meskipun bangun gerejo, masjid lan segala macem pasti ada
kecemburuan. Karena itu bentuk keseimbangan, penunjang, pemicu.
Tanpa dipicu perbedaan mboten saget berkembang.
Pewawancara 2 : niku pas bangun pure niku wonten bantuan saking kepala desa nopo
mbonten pak?
102
Narasumber : ouh ngih mbantune ngih mbantu, mbantu masalah menyelesaikan
utowo menengahi permasalahan di desa bajulan. Tapi Masalah
pendanaan ngih saking umat umat hindu mriki dan umat hindu sing
merasa terpanggil. Ngih lumayan, tapi pada akhirnya tahun 2010 ada
bantuan dari gubernur. Riyen-riyen ngih saking pemerintah daerah
ngih sulit . memang ngih teng pemerintah nganjuk mboten gadah akses.
Pemerintah nganjuk kan paling kecil keuangannya. yen kanggo
pembangunan tempat suci kesulitan.
Pewawancara 1 : anu pak kalian emh misalkan tradisi khasnya umat Hindu, di tengah
perbedaan masyarakat disini masalah agama niku, mungkin apakah
mulai terkikis atau mereka juga bisa menghargai.
Narasumber : yah bisa wong upacara niku nggeh upacara niku lancar mboten enten
masalah. Nggeh mung membangunan niku tok. Tapi lak masalah
kehidupan sehari-hari tetep rukun enggak ada
Pewawancara 2 : nggeh sampek sekarang mboten wonten masalah nggeh?
Narasumber : mboten. Nggeh kecemburuan niku mboten saking umate mriki mboten.
Nek sekitare mriki kiyambak rukun-rukun.
Pewawancara 2 : oh jadi niku saking luar?
Narasumber : nggeh njawihe mriki ngeroso pripun ngoten nggeh akhire masuk.
Nggeh biyasa niku iku neror. Umat mriki kiyambak mboten masalah.
Yah termasuk pura kan nggeh boten lamung tempat ibadah. Pura niku
wadah pembinaan, termasuk cagar budaya sebenarnya, karena dengan
upacara kan budaya masyarakat itu akan muncul. Budaya tradisi di sini
kan seni karya terus budaya kesenian termasuk tari niku tradisi orang
hindu pasti.
Pewawancara 2 : jadi di sini niku wonten kelompok-kelompok tarine niku?
Narasumber : nggeh, setiap upacara besar niku pasti wonten tariane nggeh niku reog.
Niki lain dari yang lain
Pewawancara 2 : ngajeng nikiwonten seni kuda nopo niku?
Narasumber : oh niku damel latihan lak niku.
Pewawancara 1 : oooh
Narasumber : damel latihan, nek reogke nggeh wonten.. niku reog kan nggeh
termasuk seni sakral niku seng rumiyen didamel ngajarake agama
hindu niku.. sebenarnya reog, tari reog niku sejarah tuntunan,
pengetahuan tapi karena ketidaktahuan lah akhire konsepe sebagai anu
bedo-bedo .tapi sejatine konsepe resi anom. Lah termasuk petilasane
ten gunung wilis. Wonten padepokan
Pewawancara 1 : niku pak menawi punden niku senes saking umat hindu ten dusun
pogoh niku?
103
Narasumber : oh pogoh niku punden niku kan nggene tiang seng berpengaruh jaman
rumiyen..
Pewawancara 1 : oh ngoten...
Narasumber : tapi kebanyakan punden niku tempat pembakaran mayat jaman dulu.
Tapi katah seng mboten paham. Nggeh tiang ten punden mesti
diarteake makam. Niku nggene mpu. Nggeh jelas niku leluhure hindu..
mpu niku termasuk penganut ajaran syiwa. Nek resi penganut ajaran
wisnu. Termasuk ten mriki nggeh syiwa., ngeh wisnu nggeh macem-
macem.hindu niku nggeh kadose islam ngoten niku.enten NU enten
Muhammadiyah.. tapi nggeh ajarane, kitabe nggeh tetep sami. Cuma
bedo leluhur. Masih islam kan ngoten nggeh islam NU kerono leluhure
wong jowo. Muhammadiyah kerono leluhure arab. Turunane jowo kale
turunane arab lak ngoten. Gampangane kan ngoten.
104
Lokasi : Rumah Pak Damri
Pukul : 17.00 WIB
Suasana : Formal, di Ruang tamu
Narasumber : Pak Damri (Pemangku Pure)
Pewawancara 1 : Bayu Aditya Amang
Pewawancara 2 : Anas Herlambang
Pewawancara 1 : begini pak, saya dari mahasiswa unair surabaya. Ada PKL penelitian
tentang tradisi budaya di desa bajulan. ya termasuk bagaimana
masyarakat agamanya di sini kan beragam begitu lo pak. Terus sama
pak yo dibilangin kalau untuk masyarakat Hindunya silahkan ke pak
Damri. La disini ingin bertanya sedikit pak mengenai masyarakat hindu
disini. Ya itu pak, sejarahnya masyarakat hindu disini itu masuknya
bagaimana. Kapan masuknya pak dan bagaimana prosesnya di desa
bajulan?
Narasumber : ouuh iya pada dasarnya umat Hindu di tanah jawa pada umumnya
ibaratnya “sirno ilang kertoning bumi”. Jadi Hindu sudah tidak ada
kabar semenjak runtuhnya kerajaan Mojopahit. Nah terus tapi ada
istiadat ajaran hindu kan masih menyebar. Nah dasarnya umat hindu di
desa bajulan yang dilaksanakan sehari-hari memang dari ajaran hindu.
Nah pada akhirnya setelah hindu sudah diakui oleh pemerintah lagi,
sudah mendirikan lembaga, lembaga agamnya sudah diresmikan. Nah
terus masyarakat yang disini akhirnya juga identitasnya masuk ke
hindu. Dulu juga islam, Cuma islam-islam KTP. Tiap hari yang
dilakukan juga ajaran hindu , hindu kan punya dasar yang namanya
kerangka dasar agama “ fatwa susila upacara” . nah pelaksanaan
upacara inilah yang setiap hari dilaksanakan. Termasuknya upacara
budayatnya,manusiatnya,hikayatnya ,sosiatnya. Upacara itu selalu
dilaksanakan. Budayatnya suatu contoh upacara bersih desa, terus
sedekah bumi itu kan termasuk budayatnya. Terus mengurus tanaman ,
metil ,segala macam itu kan hikayatnya, kalau manusiatnya mulai
bobot sampe nikah sampe meninggal niku kan di upacarai, lahir dan
segala macem memang itu sumbernya dari hindu.
Pewawancara 1 : terus ini kan ada pura ingin tanyak-tanyak pembangunannya awal
mulanya bagaimana pak prosesnya terus bagaimana?
Narasumber : intinya dulu ya pura itu sawah, pada tahun 80an dibentuk tempat suci
sederhana disana. Pada akhirnya pada tahun 1994 itu berencana
membuat tempat suci. ya tanah itu dihibahkan. awal mulannya ya tanah
pribadi, jadi dihibahkan ke yayasan untuk dibuat tempat suci.
Kemudian tahun 94 dimulai pembangunan, tapi karena kendala
macem-macem kan namanya tempat suci, prosesnya melewati berbagai
105
hal, tersendat-sendat baru tahun 1998 itu bisa dimulai. Tahun 2001 itu
bisa diresmikan, difungsikan sebagai tempat suci. Peresmian pura lewat
ritual-ritual ya dipandu pendeta kalau lewat pemerintah ya lewat
bupati. Bupati meresmikan pendeta mengupacarai beserta umat hindu
tahun 2001. terus berkembang-berkembang akhirnya pembangunan
terus bertambah karena sejarah pembangunan tempat suci kan tidak
hanya harus mendirikan tempat suci hindu pura saja. Tempat suci hindu
pura dibangun berdasarkan satu lokasi lingkungan, alamnya
terpengaruh. Kedua, karater umat, ketiga sejarah. itu disatukan pada
akhirnya tidak sama tempat suci. Termasuk pura ini identitasnya
tempatnya di gunung wilis. yang jaman dulu semasa leluhur digunakan
tempat suci. Kan tidak mungkin sekarang sembayang di puncak wilis,
kan tidak mungkin. Nah pada akhirnya inilah ditumbuhkan, diperbarui
wujudnya. Tapi isi sejarah dan lain sebagainya istilanya fisiknya pura
tapi rohnya gunung wilis. Gampangannya termasuk puncak wilis itu
tempat suci, persis kok struktur bangunannya persis ya anehnya itu,
begitu pura jadi naik ke puncak lo kok struktur bangunananya kok
sama.
Pewawancara 1 : padahal tidak direncanakan ya pak?
Narasumber : tidak, tidak dipelajari disana. (suara tidak jelas karena ada suara sapi)
ya cuma bimbingan-bimbingan, berbagai tempat suci itu harus
bagaimana. Ya ada dari kitab istilahnya, terus ditambah wahyu
istilahnya ya dari petunjuk-petunjuk, terus sejarah. makannya tempat
suci itu dibangun berdasarkan situasi alam, sejarah terus karakter
masyarakatnya terus disatukan. Kalau tidak manyatu tidak bisa jadi
puranya. Pasti hancur
Pewawancara 2 : kendalanya itu apa saja pak? Kendala mengenai pembangunan pura ini?
Narasumber : kendala itu kan pertama juga karena ijin, ijin pembangunan. Yang
kedua, juga masalah pendanaan. Yang ketiga masalah macam-macam
lah, masalah sosial juga. Ngih termasuk kecemburuan yang lain.
Mungkin karena belum tau toh tempat suci itu seperti apa. Jadi ada
yang merasa dirugikan. Pada akhirnya ngih kita tetep menyadari, biasa
kan perbedaan itu harus, tanpa perbedaan kan ngak ada kemajuan, ngak
ada keseimbangan.
Pewawancara 1 : jadi itu kecemburuan iyu sejak pura itu dibangun siapa yang cemburu
pak?
Narasumber : gampangannya, terus terang ya mas, umat selain yang mayoritas
istilahya tidak terima dan sebagian orang ada yang jadi provokator.
Cuma kan bagaimana ya, itu biasa ya pada akhirnya tetap sadar
meskipun bangun gereja, masjid dan segala macem pasti ada
kecemburuan. Karena itu bentuk keseimbangan, penunjang, pemicu.
Tanpa dipicu perbedaan tidak bisa berkembang.
106
Pewawancara 2: waktu pembangunan pura itu ada bantuan dari kepala desa apa tidak
pak?
Narasumber : ouh iya membantunya ya membantu, membantu masalah
menyelesaikan oatau menengahi permasalahan di desa bajulan. Tapi
Masalah pendanaan ya dari umat hindu disini dan umat hindu yang
merasa terpanggil. ya lumayan, tapi pada akhirnya tahun 2010 ada
bantuan dari gubernurdulu-dulu ya dari pemerintah daerah ya sulit .
memang ya dig pemerintah nganjuk tidak ada akses. Pemerintah
nganjuk kan paling kecil keuangannya. kalau buat pembangunan
tempat suci kesulitan.
Pewawancara 1 : begini pak emh misalkan tradisi khasnya umat Hindu, di tengah
perbedaan masyarakat disini masalah agama itu, mungkin apakah
mulai terkikis atau mereka juga bisa menghargai.
Narasumber : yah biasa upacara itu ya upacara lancar tidak ada masalah. ya cuma
pembangunan itu saja. Tapi kalau masalah kehidupan sehari-hari tetep
rukun
Pewawancara 2 : ya sampai sekarang tidak ada masalah ya?
Narasumber : tidak. yah kecemburuan itu bukan dari umatdisini tapi dari umat luar
desa bajulan. Kalau sekitar sini ya rukun-rukun.
Pewawancara 2 : oh jadi itu dari luar?
Narasumber : ya luar sini merasa bagaimana gitu.ya biasa itu teror. Umat disini
sendiri tidak masalah. Yah termasuk pura kan ya tidak hanya tempat
ibadah. Pura itu wadah pembinaan, termasuk cagar budaya sebenarnya,
karena dengan upacara kan budaya masyarakat itu akan muncul.
Budaya tradisi di sini kan seni karya terus budaya kesenian termasuk
tari itu tradisi orang hindu pasti.
Pewawancara 2 : jadi di sini itu ada kelompok-kelompok tarinnya itu?
Narasumber : ya, setiap upacara besar itu pasti ada tariannya ya itu reog. ini lain dari
yang lain
Pewawancara 2 : depan sini ada seni kuda apa itu?
Narasumber : oh itu untuk latihan.
Pewawancara 1 : oooh
Narasumber : untuk latihan, kalau reognya ya ada.. itu reog kan ya termasuk seni
sakral itu yang dulu dibuat mengajarkan agama hindu itu.. sebenarnya
reog, tari reog itu sejarah tuntunan, pengetahuan tapi karena
ketidaktahuan lah akhirnya konsepnya sebagaian berbeda-beda. tapi
sebenarnya konsepnya resi anom. Lah termasuk petilasannya di
gunung wilis. ada padepokan
Pewawancara 1 : itu pak bilamana punden itu bukan dari umat hindu di dusun pogoh itu?
107
Narasumber : oh pogoh itu punden itu kan punyaknya orang yang berpengaruh jaman
dulu.
Pewawancara 1 : oh begitu
Narasumber : tapi kebanyakan punden itu tempat pembakaran mayat jaman dulu.
Tapi banyak yang tidak paham. ya orang di punden selalu diartikan
makam. itu tempatnya mpu. ya jelas itu leluhurnya hindu.. mpu itu
termasuk penganut ajaran syiwa. kalau resi penganut ajaran wisnu.
Termasuk disini ya syiwa., ya wisnu ya macam-macam. hindu itu ya
sama halnya islam begitu itu. ada NU ada Muhammadiyah, tapi ya
ajarannya, kitabnya ya tetep sami. Cuma beda leluhur. Masih islam kan
begitu ya islam NU karena leluhurnya orang jawa. Muhammadiyah
karena leluhurnya arab. turunan jowo sama turunan arab kan begitu.
Gampangannya kan begitu.
108
Lokasi : Balai Desa
Pukul : 10.00 WIB/Jumat, 6 Juni 2014
Suasana : Formal
Narasumber 1 : Pak Sama’un Ahmad (Jogoboyo)
Narasumber 2 : Pak Soimun (Mudin)
Narasumber 3 : Pak Jarwo
Pewawancara 1 : Anas. H. Pewawancara 6 : Istianatul Maulidia
Pewawancara 2 : Bayu Aditya. A Pewawancara 7 : Reza Putri D
Pewawancara 3 : Arif Bagus. P Pewawancara 8 : Retno Safitri
Pewawancara 4 : Heru Prasetya Pewawancara 9 : Retno
Purwaningtias
Pewawancara 5 : M. Irfan. N pewawncara 10 : Ainur Rahmatin
Pewawancara 2 : ini pak kita dari mahasiswa unair mengadak penelitian di desa ini.
Narasumber 1 : oh ya ini informasi apa aja yang di butuhkan?
Pewawancara 6 : nah itu pak kami perlu data sekunder tentang desa ini.
Narasumber 1 : datanya gag ada mbak ini di pinjem anak unesa belum di kembalikan
saya buat lagi ini belum selesai paling dua hari uda selesai tapi
tenang perangat desa siap membantu, ini mau tak prinkan peta
petanya dulu.
Narasumber 1 : kalau peta desanya sudah ada ini. Cuma tiga mas konputernya gag
bisa kalo mau nanti sore dateng lagi kesini gag papa, kantor desa
dibuka terus kok, kalau mau pake kantor desa buat rapat silahkan.
Narasumber 2 : asssalamualaikum
Pewawancara : waailaikumsalam
Narasumber 2 : dari mana?
Pewawancara 1 : ini pak dari unair Surabaya yang kebetulan lagi penelitian di
bajulan
Narasumber 2 : oh ya ya
Narasumber 1 : bapak disni menjabat sebagai apa pak?
Narasumber 2 : saya, disini sebagai mudin
Pewawancara 3 : itu kerjanya di bagian apa pak, ngurusu perkawinan ta?
109
Narasumber 2 : ya gag cuman itu saja, di samping ngurusi perkawinan juga ngurusi
kematian.
Pewawancara 6 : ohya pak sejauh ini di desa bajulan sendiri ada permasalahan apa
pak
Narasumber 2 : oh gak ada, meskipun ada paling ya cuman masalah ekonomi, biasalah
mbak masalah ekonomi ya....wajar
Narasumber 3 : ada program apa ini dek?
Pewawancara 1 : PKL pak
Narasumber 3 : oalah sekarang ganti ya dulu kan KKN
Pewawancara 1 : oh bukan pak ini pkl (kuliah lapangan) semacam penelitian gitu,
kalo KKN kan ada program ngajar atau yang lainya, ini cuman
PKL pak.
Narasumber 3 : oh yayaya
Pewawancara 1 : oh ya pak terkait PNPM sendiri itu progrmnya apa saja pak?
Narasumber 3 : PNPM itu sudah jalan tapi sejauh ini hanya bergerak di bidang
pembangunan seperti halnya pembangunan jalan /betton terus
yang satunya pembangunan sekolah PAUD
Narasumber 1 : sudah? ini perlu informasi apa lagi? hehe
Pewawancara 8 : ohya pak terkait dengan kesehatan, dulu kan ada program
jamkesmas sekarang yang baru kan BPJS, itu masyarakat disini
mengguanakan program itu gag pak?
Pewawancara 3 : disini itu ada BPD gag pak trus kalau misalkan ada BPD itu ikut
bermusyawarah dengan masyarakat gak pak?
Narasumber 1 : disini itu ada BPD tapi baru di fungsikan selama setahun ini selama
kades yang sekarang menjabat kalau sebelum sebelumnya itu
BPD itu sendiri kurang di jalankan
Pewawancara 10 : terkait dengan kondisi masyarakat disini kan beda beda pak,ada
masyarakat islam dan masyarakat hindu , nah itu selama ini
masalah apa pak yang di rasa oleh masyarakat setempat
dengan adanya dua perbedaan agama tersbut.
Narasumber 1 : ya, kalau masalah itu rukun rukun saja mbk, disini ka nada langgar
mabk nah dalam pembangunan langgar itu masyarakat hindu
antosias untuk bantu bantu kayak semisal ngankat batu
dll,begitu juga sebaliknya
Pewawancara 7 : oya pak katanya kalo pembangunan pure sendiri itu isunya harus
mendapatkan persetujuan dari 27 santri di desa ini?
110
Narasumber 1 : ohhhhhh….. klo masalah itu ya kayak gini mbak awalnya itu,
Cuma isu sja, jadi waktu itu ada pembangunan pure, lurah
yang dulu itu minta izin kepada kyai jombang yaitu gus tom
beliau menanggapinya masak membangun pure aja harus
dapat izin 27 kyai… membangun masjid aja gag perlu minta
izin, jadi monggo di bangun saja. Pure itu pada awalnya hanya
sebatas bangunan kecil itu mbak tapi namanya bukan pure,
nah setelah mendapat izin itu baru di bangun jadi besar seperti
sekarang ini mbak
Pewawancara 7 : ohhh……..gtu….
Pewawancara 8 : rata-rata berapa KK (Kepala Keluarga) Pak yang dihitung? Per
kepala apa per KK?
Narasumber 3 : per kepala.
Pewawancara 8 : per kepala?
Narasumber 3 : iya per kepala.
Pewawancara 8 : per kepala berapa pak?
Narasumber 3 : 20rb
Pewawancara : 20rb. Oooo
Pewawancara 3 : calonnya kades kemarin ada berapa orang Pak?
Narasumber 3 : Kepala desa?
Pewawancara 1 : Iya.
Narasumber 3 : Kepala desa ada dua orang.
Pewawancara 6 : Baru menjabat berapa lama Pak itu kepala desa yang
sekarang?
Narasumber 3 : baru belum dua tahun. Baru satu tahun. Yang naik pangkat bukan
kepala desa, kepala dusun.
Pewawancara 6 : pak Kami Tuwo?
Narasumber 3 : Iya Pak Kami Tuwo.
Pewawancara 8 : Kalau Pak Kami Tuwonya sekarang itu diangkat seumur hidup
katanya ya Pak?
Narasumber 3 : Iya.
Pewawancara 6 : itu katanya pakai tes ya Pak?
Narasumber 3 : Iya pakai tes.
Pewawancara 6 : Tes Tulis gitu Pak?
111
Narasumber 3 : Iya tes tulis. Semua mata pelajaran. Kayak PNS. Terus tambahan
kayak kompetensi bidang gitu.
Pewawancara 3 : Calonnya kades itu darimana Pak yang satu lagi? Dari dusun
mana?
Narasumber 3 : Dari dusun Plangkat.
Pewawancara 3 : Kalau dari dusun semanding yang mayoritas beragama Hindu
enggak punya calon kepala desa Pak?
Narasumber 3 : Enggak ada. Adanya Pak Kami Tuwonya Pak Istiyono. Paling
banyak penduduknya desa Semanding. Diatas 400 KK lebih.
Pewawancara 3 : Sebelum ini kepala desanya dari mana Pak?
Narasumber 3 : Dari dusun Semanding. Pak Joko
Pewawancara : Oooo Pak Joko.
Narasumber 3 : Eh 3 tadi calon kepala desanya. Ada 3 orang. Yang plangkat satu
istrinya Pak Joko. Jadi sudah dua periode ingin digantikan
istrinya.
Pewawancara 3 : Gak pernah ada kandidat dari yang agama Hindu.
Narasumber 3 : Belum ada.
Hening sejenak . . . . . . . . . . . . . .
Narasumber 3 : Kalau disini orang-orangnya mayoritas sudah tergolong mampu.
Ya secara ekonomi.
Pewawancara 8 : Kalau pendidikan gimana Pak?
Narasumber 3 : Kalau pendidikan ya disini lumayan. Rata-rata sudah lulusan
SMA.
Pewawancara 8 : Selama ini kepala desanya berasal dari desa ini juga apa pernah
dari luar Pak?
Narasumber 3 : Sejauh ini asli semua.
Pewawancara 9 : Kalau kandidat calon kepala desa yang dari luar sini ada enggak
Pak?
Narasumber 3 : ada kemaren ada yang dari Kediri. Enggak lolos. Sudah disini
puluhan tahun.
Pewawancara : Oh pendatang.
Narasumber 3 : Iya pendatang.
Pewawancara 3 : Tapi disini rata-rata jalannya sudah bagus semua ya Pak?
112
Narasumber 3 : sudah. Sudah sudah sudah.
Pewawancara 6 : Itu dari program-program sebelumnya Pak? Seperti
APBDes atau APBD.
Narasumber 3 : oh itu jalan dari pemerintah. Yang jelek di daerah Jati. Dulu
itu sudah di aspal. Tapi karena aspalnya jelek belum ada satu
tahun sudah rusak.
Pewawancara 3 : Oh jadi itu yang di kebun-kebun cengkeh itu.
Narasumber 3 : Iya disitu.
Pewawancara 3 : Oh jadi disitu.
Narasumber 3 : Kebun cengkeh kadang jadi kebun duren kalau musim.
Sekarang lagi ga musim.
Pewawancara 1 : Wah enak kalau musim duren.
Narasumber 3 : Iya baru aja sebulan kemaren akhir musimnya.
Pewawancara 8 : Untuk mudin itu tersebar di setiap dusun Pak?
Narasumber 3 : Satu desa Cuma ada satu mudin aja. Tapi ada perwakilan mudin
kalau sewaktu-waktu mudinnya lagi ga ada ada yang
menggantikan.
Pewawancara 3 : Pak mudin kalau berdo’a itu pakai bahasa jawa apa arab Pak?
Narasumber 3 : bahasa arab.
Pewawancara : Oh bahasa arab.
Narasumber 3 : Kalau pujonggo itu kebanyakan masih pakai bahasa Jawa.
Pewawancara 3 : Kalau pujonggo itu dimana biasanya Pak?
Narasumber 3 : Kalau pujonggo adanya di setiap acara slametan. Tiap dusun ada.
Mungkin ya dianggap orang mendalami ilmu jawa. Kejawen.
Kalau disini seperti panen itu kebanyakan yang digunakan bahasa
jawanya. Doanya tetap ada tapi yang bahasa jawa yang utama.
Pewawancara 8 : itu biasanya dilakukan dimana acaranya Pak?
Narasumber 3 : Di rumah masing-masing.
Pewawancara 3 : Saya lihat banyak anak kecil-kecil ngaji. Yang ngajar itu siapa
Pak?
Narasumber 3 : Yang ngajar itu sukarela Mas.
Pewawancara 3 : Itu yang sukarela lulusan dari pesantren gitu Pak?
113
Narasumber 3 : Bukan Mas. Itu yang ngerti al-qur’an aja. Enggak lulusan
pesantren.
Pewawancara 3 : Kalau pengajian kayak yasinan itu ada Pak?
Narasumber 3 : kalau yasinan itu rutin tiap jum’at ada.
Pewawancara 8 : hari jum’at hari ini Pak?
Narasumber 3 : Bukan. Malam jum’at maksudnya.
Pewawancara 8 : itu ibu-ibu apa bapak-bapak pengajiannya?
Narasumber 3 : bapak-bapak. Kalau ibu-ibu itu nanti habis jum’atan.
Pewawancara 8 : jam 3 sore itu Pak?
Narasumber 3 : Iya jam 3.
Pewawancara 9 : Di masjid Pak?
Narasumber 3 : bukan. Itu di rumah. Bergilir. Itu kan semacam arisan. Nanti
arisannya dikocok siapa yang dapat berarti berikutnya gentian di
rumahnya.
Pewawancara 8 : perbulan ya Pak?
Narasumber 3 : Bukan. Per minggu. Itu di setiap kedukuhan ada.
Pewawancara 8 ; Itu biasanya pengajian saja apa ada yang ceramah?
Narasumber 3 : Pengajian saja.
Pewawancara 9 : itu yang mimpin ada beberapa apa satu orang aja Pak? Kayak bu
nyai gitu?
Narasumber 3 : Enggak ada bu nyai. Tapi yang mimpin Cuma satu.
Pewawancara 3 : Orang pintar disini masih ada Pak?
Narasumber 3 : Orang pintar gimana?
Pewawancara 3 : Orang pintar kayak dukun atau paranormal Pak.
Narasumber 3 : Masih ada. Kebanyakan orang-orang sini ga cocok. Tapi malah
orang dari luar datang kesini.
Pewawancara 3 : yang ada dukunnya dimana Pak?
Narasumber 3 : Di dusun semanding ada. Kedukuhannya magersari. Dekat roro
kuning. Disini dulu ada tapi orangnya sudah meninggal.
Pewawancara 3 : kalau disini banyak yang mempelajari ilmu jawa Pak?
Narasumber 3 : Sebenarnya disini banyak yang mendalami ilmu kejawen. Tapi
kalah sama orang biasa. Jadi ga patek dianggep.
Pewawancara 3 : Jum’atan dimana Pak disini?
114
Narasumber 3 : disini (sambil menunjuk arah musholla depan balai desa) sama
disebelah sana (sambil menunjuk arah dukuh pogoh). Kalau disini
nyebutnya langgar.
Pewawancara 9 : Ada berapa langgar di desa ini Pak?
Narasumber 3 : Banyak Mas. Di semua kedukuhan ada. Tapi kalau jum’atan
orang-orang pilih masjid yang dekat.
Pewawancara 8 : Kalau kita mau ke Pure mau cari tau tentang isinya itu boleh Pak?
Narasumber 3 : Boleh.
Pewawancara 8 : itu izinnya dimana Pak?
Narasumber 3 : Langsung masuk aja enggak apa-apa.
Pewawancara 8 : Oh langsung masuk aja.
Narasumber 3 : nanti kan ada juru kuncinya disana. Itu untuk umum. Gak apa-apa
langsung masuk aja.
Pewawancara 8 : itu katanya purenya ditengah-tengah. Jadi yang diatas hindu yang
dibawah islam.
Narasumber 3 : Iya. Ini kan dusun semanding yang banyak hindunya sampai
perbatas jalan. Sisanya dibawah jalan yang islam (sambil
menunjuk ke Peta).
Pewawancara 8 : persebaran hindunya Cuma disitu aja?
Narasumber 3 : Iya.
Pewawancara 8 : kalau dibawah-bawah enggak ada?
Narasumber 3 : ada karena pernikahan. Cuma ya seikit. Ada yang di luar-luar dusun.
Kalau ibadah tetap di pure itu.
Hening selama 30 detik.......
Narasumber 3 : Lha terus ini nginepnya dimana?
Pewawancara 3 : Di depannya Pak Kami Tuwo Pak.
Narasumber 3 : Oh iya ada rumah kosong itu. Di rumahnya Pak Kami Tuwo
sendiri apa?
Pewawancara : Di depannya.
Narasumber 3 : Pak Kami Tuwo rumahnya dua. Itu yang disebelahnya sama yang
di depannya.
Pewawancara 5 : Rumahnya yang merah Pak.
115
Narasumber 3 : Itu rumahnya saudaranya. Kebetulan kosong. Orangnya lagi ke
Kalimantan.
Pewawancara : Oh gitu.
Narasumber 3 : Kalau rumah saya pas pertigaan.
Pewawancara 3 : Yang warung-warung itu Pak?
Narasumber 3 : Iya warung-warung terus ada puskesmas. Selatan puskesmas pas.
Pewawancara 3 : Ada billiardnya juga Pak disini.
Narasumber 3 : Iya pas. Pas billiard’nya. Ngarep’e pas.
Pewawancara 8 : Kalau puskesmasnya itu dokternya dari mana Pak?
Narasumber 3 : Bukan dokter itu. Mantri.
Pewawancara 8 : Oh mantri. Jadi ga ada istilah dokter disini Pak?
Narasumber 3 : Enggak ada.
Pewawancara 8 : Itu dari desa sini juga Pak mantrinya?
Narasumber 3 : Bukan. Itu dari luar. Dari dinas kesehatan.
Pewawancara 8 : Oh pendatang. Itu sukarela atau gimana Pak?
Narasumber 3 : Ditugaskan.
Pewawancara 8 : Oh ditugaskan.
Narasumber 3 : Sebenarnya bukan mantra yang ditugaskan disini. Bidan.
Berhubung bidannya enggak ada diisi mantri. Sekarang setelah ada
bidan mantrinya ga mau pulang.
Pewawancara 10 : Disana berarti ga ada bidannya Pak?
Narasumber 3 : Bidan satu nding. Setelah ada bidan orangnya ga mau. Tetap nempati
puskesmasnya.
Pewawancara 8 : Kalau jaman dulu kan di dukun beranak gitu. Sekarang kayaknya
udah ga ada. (sambil terkekeh).
Narasumber 3 : Masih ada.
Pewawancara : Oh masih ada Pak.
Narasumber 3 : Masih. Tapi rata-rata kerjasama sama bidan.
Pewawancara 8 : Jadi ilmunya tukeran gitu Pak.
116
Narasumber 3 : Iya. Tapi tetep di rumahnya bidan. Pembantunya itu dukun
beranaknya.
Pak Mudin datang sambil membawa kopi dan mempersilahkan pewawancara untuk
minum.
117
Lokasi : Di depan rumah ibu Wiyatun, dusun Pogoh, desa Bajulan.
Pukul : 15.30 WIB/ Jumat, 6 Juni 2014
Suasana : santai, berdiri di depan rumah
Narasumber : Ibu Wiyatun (Petani pemilik lahan)
Pewawancara 1 : Istianatul Maulidia
Pewawancara 2 : Ainur Rahmatin
Pewawancara 3 : Retno Safitri
Pewawancara 4 : M. Irfan Nuryaddin
Pewawancara 2 : apakah di sini ada semacam kaya selamatan gitu bu?
Narasumber : yah enggak ngerti mbak, yh sudah enggak ada selametan enggak
ada apa.
Pewawancara 1 : hmm mksudnya misalnya enggak ada selametan hasil panen gitu
bu?
Narasumber : oh tradisine kalo sini mbak, kalo mau petik padi, yah selametane
ya sederhana
Pewawancara 2 : berarti tetep selametan yah bu yah
Narasumber : iyah mbak kalo disini namanya wiwit
Pewawancara : ooh wiwit
Narasumber : itu selametannya di rumah, tapi yah sederhana. Pake ember gitu
yah gak banyak di lingkungan sini aja ke tetangga tetangga
Pewawancara 3 : lah ini kegiatannya lagi ngapain ibu tadi ?
Narasumber : itu ada kopi diladang
Pewawancara 1 : oh nanem kopi juga yah ibu.
Pewawancara 2 : itu ditanam dipinggiran gitu yah bu
Narasumber : enggak mbak, di ladang yang tengah itu ditanami kopi.
Pewawancara 2 : selain itu tanemannya apa aja bu selain kopi?
Narasumber : yah ada cengkeh, kenongo, kaya ini mbak (sambil menunjuk
tanaman bunga kenanga di depan rumah),
Pewawancara 1 : kaya ini yah bu (sambil menunjuk bunga kenanga), buat apa yah
bu kembang kenongonya?
Narasumber : yah disuling mbak, kalo diladang di sana ada dua ratus pohon,
dibuat minyak.
Pewawancara 1 : oh minyak wangi.
118
Narasumber : minyak wangi ituloh mbak
Pewawancara 1 : iya bu minyak wangi itu yah ooh
Pewawancara 3 : kalo boleh tau luas lahannya itukira-kira berapa?
Narasumber : sedikit hanya setengah hektar. Ho.o
Pewawancara 3 : tapi itu milik ibu sendiri?
narasumber : tapi disana itu sebagian ada yang ditanemi padi, jagung, sebagian
ada yang belimbing, ada kopi, ada cengkeh gituloh mbak. Jadi
enggak semua ditanemi padi jagung. Jadi sepertiganya. Hehehehe
pewawancara 3 : terus hasilnya didistribusikan?
Pewawancara 1 : dijual gitu bu maksudnya
Narasumber : yah dijual nanti ada tengkulak kesini. Tapi itu tanah diberi pupuk,
tapi pupuknya pinjem. Nanti kalo sudah panen, disetori panennya
sambil dijual, nanti berapa anu hutangnya berapa nanti ada berapa.
Pewawancara 1 : terus ini bu, kira-kira ibu keluhannya apa, masalah nenemnya,
produksinya, atau pupuknya
Narasumber : kalo pupuknya ada yang nyetoki ya mbak tapi kalo keluhane padi
itu banyak hama, jagung itu juga banyak hama. Ya kaya tikus gitu
mbak
Pewawancara 2 : kalo banyak tikus gitu terus dikasih apa bu?
Narasumber : ada obatnya mbak tapi jarang yang..
Pewawancara 2 : pake
Narasumber : ho.oh. sulit pemberantasane tikus itu. Sulit, seluruh bajulan itu
hamanya tikus sekarang.. ada kacang ada padi itu tikus semua
Pewawancara 1 : ini katanya ada padi yang memutih itu kenapa bu?
Narasumber : ini juga ada, ini lo mbak kalo namanya njebul kalo padinya mau
keluar ituloh namanya njebul itu sudah putih semua namanya potong
leher. Sudah tidak bisa memberantas. ppl juga pernah kesini katanya
gini-gini tapi orang tani ini yah nurut tapinya tetep gitulah mbak.
enggak ada perbedaan
Pewawancara 3 : sejauh ini kalo ada masalah yang menangani atau yang menjadi
orang ketiga itu siapa? Misalkan keluhannya di kepala desa atau
kemana gitu bu?
Narasumber : sebenernya ada kelompok tani mbak. Nanti kelompok tani itu nanti
itu ada pplnya
Pewawancara 3 : pplnya disni dmn bu?
Narasumber : kalo disini adanya diloceret mbak. Kalo disini Cuma ada kelompok
tani.
Pewawancara 1 : untuk ketuanya kelompok tani itu siapa bu?
119
Narasumber : kalo kelompok tani disini itu pak taji
Pewawancara 2 : rumahnya dimana bu?
Narasumber : rumahnya didusun semanding yah mbak. Dipinggir jalan.
Pokoknya namanya pak taji ketua kelompok tani. Namanya apa gak
tau kalo disini dlu ada namanya fajar wilis
Pewawancara 1 : apa itu bu?
Narasumber : namanya kelompok ituloh mbak namanya fajar wilis
Pewawancara : ooh
Narasumber : ketuanya pak bambang, sekarang ganti apa tidak, saya ora, enggak
tau hihihi
Pewawancara 3 : ini lahannya ibu garap sendiri atau sama anak-anaknya atau sama
bapaknya atau ada buruhnya?
Narasumber : yah hanya sama bapak
Pewawancara 2 : mungkin ada penghasilan lain kaya apa gitu
Narasumber : kalo alpukat enggak punya. Klo cengkeh sudah tua mbak, sudah
tua tiga puluh tahun, sudah ngarang gituloh, sudah gak ada daunnya
Pewawancara 1 : ini cengkeh buk yah (sambl menunjuk pohon di samping rumah)?
Bukan?
Narasumber : itu randhu mbak. Cengkeh ituloh mbak, yah gitu itu mbak (sambil
menunjuk tanaman cengkeh di depan rumah).
Pewawancara 3 : Itu sudah tiga puluh tahun yah bu?
Narasumber : kalo itu duapuluh lima tahun. Sudah enggak berbuah.
Pewawancara 2 : terkait masalah itu yah bu, harapannya itu ehm semua kaitannnya
masalah lahan itu mungkin harapannya hama-hama bisa diberantas
kan buk yah. mungkin ibu punya usulan di berantas dengan ini-ini
itu bu?
Narasumber : tapi kalo bapaknya itu Tanya sama teman-teman aja gitu, anu kaya
disawahku banyak hama apa obatnya, terus temen-temen lahanku
tak berantas pake ini. Terus bapake beli gitu aja. Saya enggak pernah
ke kelompok tani
Pewawancara 1 : hemh jadi enggak pernah dibicarain gitu yah bu sama kelompok
tani?
Narasumber : bapak itu enggak pernah ke kelompok tani
Pewawancara 2 : itu karena apa bu? Mungkin gara-gara jauh ta apa keluhannya
enggak sampe kekelompok tani?
Pewawancara 1 : atau lebih mudah pake cara kaya gitu mungkin bu yah?
Narasumber : wong bapaknya itu loh mbak mungkin yang ditanya itu deket sama
kelompok tani to mbak namanya sudah tua
120
Pewawancara 3 : kelompok tani itu kan untuk mengumpulkan tani-tani yang ada kan,
perkumpulan itu membicarakan apa?
Narasumber : disini itu ada mbak. Tapi bapaknya itu ada keluhan sakit. Apaknya
itu sakit jantung. Jadi enggak pernah ikut kumpul.
Pewawancara 2 : yah mungkin ada perwakilan anak?
Narasumber : anak mudah yah enggak pernah mau mbak ahahahahha
Pewawancara 4 : Pak taji tadi disemanding mana?
Pewawancara 1 : semanding sebelah pure yah bu?
Narasumber : disini loh mbak. Jalan yang ke sana kekiri jembatan ituloh kebalai
desa lurus
Pewawancara : ooooh yah yah yah
Narasumber : hehehehe. Belum pernah ke atas to? Ke roro kuning? Sudah
Pewawancara 3 : oh belum kalo ke roro kuning
Pewawancara 2 : ibu juga punya ternak juga ya?
Narasumber : enggak punya mbak
Pewawancara 2 : ini tambak ta (sambil menunjuk kolam di depan rumah)?
Narasumber : ini dulunya ternak ikan lele tapi ini dikosongkan karena airnya
kurang. Kalo kemarau enggak bisa.
Pewawancara 2 : jadi ini kosong laan?
Narasumber : iyah masih kosong. Barusan dipanen lelenya. Tapi yah prihatin,
enggak banyak dikit soalnya kena virus banyak yang mati. Separuh
yang mati
Pewawancara 1 : oh iyah kalo gitu terimakasih buat informasinya maaf kalo
ngerepotin yah buk yah
Narasumber : engggak-enggak mbak saya malah terima kasih.
Narasumber : kotor ini mbak
Pewawancara 1 : enggak kok buk
Narasumber : dari surabaya yah ini?
Pewawancara : iyah dari Surabaya bu
Narasumber : anak saya itu yah di tuban. Yang sulung. Lakinya anak saya terus
istrinya bidan di tuban tapi di desa. Di palang kecamatan palang
ituloh mbak
Pewawancara 2 : jarang pulang buk yah kesini?
Narasumber : yah tiga bulan sekali. satunya suaminya marinir di Surabaya. Terus
anak saya itu wiraswasta di salon ituloh mbak. Kalo yang ragil itu
yah buka bengkel itu mbak.
121
Narasumber : ini unair to mbak?
Pewawancara : iya bu
Narasumber : ini mbak keponakan saya juga kerjanya di unair.. dulu
perpustakaan ituloh mbak. Dulu pertama kali di perpustakaan. Kalo
sekarang enggak tau lagi mbak. Hehehhehe
Pewawancara 1 : yah sudah ibu kami mau pamit dulu
Narasumber : mampir masuk dlu mbak?
Pewawancara : enggak bu makasih ini kita mau jalan lagi.
Narasumber : pak wo itu keponakan saya loh mbak, yang pak wo nya
Pewawancara : ooh pak wo buk?
Pewawancara 1 : sekali lagi kita makasih buk yah
Narasumber : sama-sama mbak hehehe
122
Lokasi : Di depan rumah ibu Saikem, Dusun Pogoh, Desa Bajulan.
Pukul : 16.00 WIB/ Jumat, 6 Juni 2014
Suasana : santai, berdiri di depan rumah bu Saikem
Narasumber : Ibu Saikem (Petani pemilik lahan)
Pewawancara 1 : Istianatul Maulidia
Pewawancara 2 : Ainur Rahmatin
Pewawancara 3 : Retno Safitri
Pewawancara 4 : M. Irfan Nuryaddin
Pewawancara 1 : Ibu, maaf mengganggu waktunya, kami dari mahasiswa UNAIR
sedang melakukan penelitian kepada para petani yang ada di Desa
Bajulan ini.
Narasumber : oh iya mbak..
Pewawancara 2 : wah, rumah ibu ini ada pohon alpukatnya ya?
Narasumber : iya mbak, pohon-e kuwi wes di borong bakul pas isih mentil kuwi
lo mbak. (pohonnya itu udah di beli semua sama tengkulak waktu
buahnya masih kecil-kecil)
Pewawancara 3 : langsung satu pohon gitu ya buk?
Narasumber : iya
Pewawancara 2 : itu kira-kira panen nya tiap berapa bulan sekali buk?
Narasumber : setahun pindo, rolas peng pindo. Hehehe (satu tahun dua kali,
dua belas bulan dua kali ambil)
Pewawancara 3 : kalau boleh tahu, luas lahan ibu kira-kira berapa hektar yah?
Narasumber : saitik, hehehe... (sedikit)
Pewawancara 3 : Kira-kira, ada satu hektar?
Narasumber : paling seprapat (seperempat)
Pewawancara 3 : oh, seperempat hektar....
Pewawancara 4 : maaf, ibu nama nya siapa buk?
Narasumber : saya Saikem
Pewawancara 2 : ini anaknya buk yah?
Narasumber : he’eh, iki nomer limo. Tapi enek putu wes-an. (iya, ini yang
nomer lima, tapi ada cucu sudahan)
Pewawancara 2 : huhuhuu, udah gede gede berarti ya buk?
Narasumber : iki sitok-e wes kerjo nag Suroboyo. (ini satunya sudah kerja di
surabaya)
123
Pewawancara 3 : selama ibu jadi petani itu punya keluhan-keluhan apa gitu?
Pewawancara 1 : lahannya, produksinya atau pupuknya atau bibitnya atau hama?
Narasumber : homo e opo? Paling yo uler, hehehehe (hama nya apa? Paling
juga ulat)
Pewawancara 3 : terus katanya tadi, hamanya yang sekarang itu lagi tikus?
Narasumber : iyo tikus, hama pari (iya tikus, hamanya padi)
Pewawancara 2 : nah, itu biasanya dikasih obat apa ya buk yah?
Narasumber : obat.e yo obat tikus, tukue sing botole cilik kuwi. (obatnya ya
obat tikus, belinya yang botol kecil itu)
Pewawancara 3 : tapi itu mempan buk?
Narasumber : mempan, yo di mur sego opo, opo di uleg-i. (mempan, ya di
campurin nasi, atau di ulenin)
Pewawancara 2 : biasanya itu, obat tadi itu biasanya beli di kelompok tani atau
mana buk?
Narasumber : beli di toko
Pewawancara 3 : oh, di toko ada?
Pewawancara 2 : tempat nya dekat?
Narasumber : dekat
Pewawancara 2 : daerah sini juga ya buk berarti?
Narasumber : he’eh
Pewawancara 2 : terus ini ada kelompok tani gitu yah?
Pewawancara 1 : ibu, ibu jadi anggotanya buk?
Narasumber : egak (tidak)
Pewawancara 2 : sering ikut kumpul-kumpul?
Narasumber : arang. Lek arep e tuku yo tuku sing eceran mbak, kan sawah.e
saithik. Hehehe... leg sing sawah e kuwi biasane sing omboh-
omboh ngoten. (jarang. Kalau mau beli ya beli yang eceran mbak,
kan sawahnya kecil. Hehehee.... kalau sawahnya yang luas-luas
itu yang biasanya)
Pewawancara 3 : kalau boleh tahu, lahane ibu itu ditanami apa aja?
Narasumber : pari. (padi)
Pewawancara 3 : selain itu gak ada?
Pewawancara 2 : pinggirannya mungkin buk?
Pewawancara 1 : lainnya gitu mungkin buk?
Pewawancara 2 : kopi atau cengkeh gitu, kacang?
124
Narasumber : ora, kuwi sawah galang leg ngarani. Galang.. cengkeh yo wes ra
ono, yo alpukat. sawah e mung pari tok. (tidak, itu sawah galang
kalau dibilang orang sini. Cengkeh nya sudah tidak ada, ya
alpukat. Sawah saya cuman padi saja)
Narasumber : jagung, pari, yoh opo maneh kuwi.. katah... (jagung, padi, ya apa
lagi ya... yah banyak)
Pewawancara 3 : itu digarap ibu sendiri sama suaminya?
Narasumber : digarap dewe, mung saithik wae kok. (digarap sendiri, kan cuman
sedikit saja lahannya)
Pewawancara 3 : biasanya kalau ada masalah-masalah lahan gitu mengeluhnya ke
siapa buk?
Pewawancara 1 : maksudnya mengeluh nya ke siapa kalau ada masalah pada
lahannya gitu? Masalah hama? Masalah pupuk?
Pewawancara 2 : mungkin pakai obat tikus udah gak mempan atau mungkin tanya
langsung ke temannya?
Narasumber : yo wes, leg gak mempan, yo diumbar wae ngunu. (ya sudah,
kalau sudah gak mempan, ya di biarkan saja gitu)
Pewawancara 2 : gak ngomong ke Kades atau ke kelompok tani gitu?
Narasumber : (geleng-geleng)
Pewawancara 1 : jadi gak perlu mengeluh ke kelurahan gitu yah?
Narasumber : ora (geleng-geleng) (tidak)
Pewawancara 3 : jadi sejauh ini ibu bisa mengatasi sendiri gitu yah?
Narasumber : yah
Pewawancara 2 : biasanya kalau pupuk itu dari kota, disalurkan ke kepala desa gitu
ya biasanya?
Narasumber : he’eh
Pewawancara 2 : nah, itu dapat potongan harga atau gimana? Kan kadang ada
bantuan untuk lahan.
Narasumber : nah, kuwi biasane gae sawah sing mung gede, nggon ku kan
mung saithik toh. (nah, itu biasanya untuk sawah yang luas-luas,
punyak saya kan cuman sedikit)
Pewawancara 2 : yah mungkin selama ini bantuan dari desa itu apa aja bu?
Narasumber : bantuan paling yo beras, petang kilo lo dek, mbak yo mung ora
akeh. (bantuan mungkin ya beras, empat kilo gitu lo dek, mbak
ya gak banyak)
Pewawancara 3 : itu perbulan atau per berapa?
Narasumber : perbulan
125
Pewawancara 3 : oh, dapet jatah yah buk?
Narasumber : jatah
Pewawancara 3 : diambil langsung di kelurahan sana yah buk?
Narasumber : di pak RW
Pewawancara 3 : oh, pak RW?
Narasumber : yah pak RW.
Pewawancara 3 : sampai bulan ini juga masih dapet?
Narasumber : dapet
Peawawancara 3 : empat kilo ya buk, per kepala keluarga?
Narasumber : empat kilo per kepala keluarga
Pewawancara 1 : kalau bantuan untuk lahan pertanian sendiri apa buk? Dari
kelurahan?
Narasumber : biasane yo wit wit-an opo ngunu, tapi yo ra tau di ewehin og
mbak, di gawe dewe gawe kami tuwo e, sek disik e yo oleh bantuan
cengkeh uwakeh kok mbak, yo ra tau di ewehi. (biasanya ya
pepohonan gitu, tapi ya gak pernah dikasihkan kok mbak, di pakai
sendiri sama kami tuwo nya, waktu dulu, ya dapet bantuan cengkeh
banyak mbak, ya tidak dikasihin)
Pewawancara 2 : kalau di luar pertanian ya buk yah, gak papa.. kalau misalnya,
kesehatan seperti jamkesmas?
Narasumber : iyah masih ada
Pewawancara 2 : terus kan ada yang baru ya buk, seperti BPJS gitu, nah ibu itu
sudah bergabung disitu belum?
Pewawancara 1 : nah ini kan ganti dari jamkesmas ya buk ya, ibu ikut gak?
Narasumber : melu (ikut)
Pewawancara 2 : yang per bulannya yang berapa?
Narasumber : aku gak oleh mbak, nag loroh tok engkuk oleh bantuan. (aku gak
ikut mbak, cuman waktu sakit saja dapat bantuannya)
Pewawancara 1 : oh iya buk, tadi kan pupuk kan dari kepala desa ya buk? Kira kira
harga pupuk nya mahal gak buk?
Narasumber : leg pupuk pupuk ngunu kuwi urusanne pak-e mbak, aku ra tau
ngurusi mbak. Hehehe.... se-sak piro? Aku yo ra tau ero mbak, iku
pak.e kabeh. Sak njukuk e pak e engkuk di bayar pak e ngunu..
biasa ne sing melok kelompok kuwi sing sawah e omboh-omboh
kuwi (menunjuk ibu Wiyatun) sing sawah e sa ithik yo tuku e sing
eceran. (kalau pupuk gitu urusannya suami ku mbak, aku tidak
pernah mengurusi mbak. Heheheh.... se karung berapa? Aku ya
gak pernah tahu mbak, itu suami saya semua. Se-ambilnya ae,
126
suami saya entar yang bayar.. biasanya kalau ikut kelompok tani
gitu yang mempunyai sawah yang luas-luas itu)
Pewawancara 1 : oh, jadi di kelompok tani itu juga jual-jual gitu yah buk?
Narasumber : yo tuku toh mbak (ya beli loh mbak)
Pewawancara 3 : oh, di toko itu yah buk?
Narasumber : he’eh di toko itu mbak, mbak ninik iku. (itu)
Peawancara 2 : itu emang jual alat pertanian semua ya buk?
Narasumber : pupuk organik yo, pupuk urea. Yo nek sawah e saithik yo lek
tumbas yo eceran nek tuku, paling se-sak. (pupuk organik ya
pupuk urea. Ya kalau sawahnya kecil belinya ya eceran, mungkin
satu karung)
Pewawancara 3 : kira-kira ibu tahu gak yang punya lahan gede gitu yah?
Narasumber : (sambil menunjuk) iku loh, mbah wiyatun, pak woh kuwi iku lak
sawah e yo omboh, pak RT kuwi, sing genteng e abang kuwi...
hehehe (itu loh, mbah wiyatun, pak woh itu mempunyai sawah
yang luas, pak RT itu, yang gentengnya merah itu... hehehe)
Pewawancara 1 : ya udah buk, makasih yah... maaf ganggu waktunya yahh
Narasumber : hehee,,, oraa (tidak)
Pewawancara 1 : Monggo buk, (mari buk)
Narasumber : nggeh (iya)
Pewawancara 3 : Assalamu’alaikum
Narasumber : wa’alaikumsallam
127
Lokasi : Ruang tamu sekretariat SDN 1 Bajulan
Pukul : 10.00 WIB/ sabtu, 7 Juni 2014
Suasana : santai, tetap formal dengan posisi duduk
Narasumber 1 : Ibu Wiji Astutik
Narasumber 2 : Bapak Wit
Narasumber 3 : Bapak Ali
Pewawancara 1 : Retno Purwaningtias
Pewawancara 2 : Reza Putri Dewanti
Pewawancara 3 : M. Irfan Nuryaddin
Pewawancara 1 : bagaimana perkembangan sekolah ini dari awal mula berdiri hingga
sekarang ini?
Narasumber 1 : sekolah ini berdiri pada tahun 1994, merupakan SDN pertama yang
ada di desa Bajulan dan hasil pecahan dari Sekolah induknya yang
ada di tingkat kecamatan.
Pewawancara 1 : Kok kenapa bisa di pecah gitu ya pak/bu?
Narasumber 2 : ya karena letak sekolahnya yang ada di kecamatan kurang
strategis untuk anak-anak di desa Bajulan ini. medan yang
ditempuh sangat berat.
Narasumber 1 : karena kondisi itu ya anak-anak di sini jadi malas pergi ke
sekolah, Iya kalo sekarang jalan sudah enak lah pas dulu anak-anak
itu kalo berangkat sekolah harus jalan kaki puluhan kilo akses
jalannya juga ndak bagus seperti sekarang jadinya ya mereka malas
buat sekolah. terus dengan dibangunnya SD ini membuat anak-
anak yang putus harapan untuk sekolah jadi lebih semangat lagi
untuk belajar.
Pewawancara 1 : untuk kendala / masalah yang sering dihadapi apa ya pak seiring
dengan berkembangnya sekolah ini?
Narasumber 2 : kalo kendala utama ya itu mbak pengertian dari orang tua siswa
itu kurang untuk memberikan motivasi ke anaknya bahwa
pendidikan itu penting, untuk bentuk perhatiannya pun sangat
kurang contohnya kalo anak itu tidak masuk sekolah tidak ada
perhatian dari orang tua, si anak itu malah pergi ke ladang/ke
128
sawah membantu orang tuannya ya gitu dianggap wes biasa dan
dibiarkan saja, kalo lebih dari 3 hari guru itu mencari ada
permasalahan apa
Pewawancara 1 : sampai datang kerumah anak itu ya?
Narasumber 2 : iya di datangi ke rumah, kalo anak sekolah itu di sesuaikan
dengan cocok tanam orang tuanya, kan ladang di sini tanamannya
macacm-macam dan kalo pas panen cocok tanamnya itu lama ya
berarti gak sekolah nya juga lama. Kasus-kasus gitu ya masih ada
sampai sekarang tapi ya gak banyak.
Narasumber 2 : untuk pengajar sendiri mayoritas dari pendatang luar wilayah
Bajulan. Tapi lama kelamaan ngajar akhirnya “kecantol” sama
orang sini, akhirnya ya menetap di sini.
Pewawancara 2 : Kalo bapak sendiri asalnya dari mana?
Narasumber 2 : kalo saya dari nganjuk tapi badut, dari… belok selatan. Sekolah ini
juga gak kalah dengan SD yang ada di bawah. Tenaga pendidiknya
rata-rata juga sudah S1 semua.
Narasumber 1 : anak-anak lulusan sini juga sudah banyak melanjutkan ke SMA
atau sampai Perguruan tinggi, di ITS juga ada…..
Narasumber 2 : di IPB
Narasumber 1 : iya di IPB
Narasumber 2 : yang kemaren ini juga ada di UNIBRAW. Siswa-siswa sekarang
juga sudah banyak kemajuan, mereka sudah tahu arti belajar itu
apa, ya meskipun masih susah buat menjalankannya.
Narasumber 1 : ya mungkin karena perhatian orang tua yang masih kurang
Pewawancara 1 : dan untuk anak-anak yang gak sekolah buat bantu orang tuanya
bertani itu gimana ya bu?
Narasumber 1 : gak ada ya pak
Narasumber 2 : Ya dulu ada seperti itu, gak masuk berhari-hari pas di cari
rumahnya ternyata lagi di lading. Ya kalo sekarang ada yang bantu
tapi ya dari pihak orang tuanya itu sebenarnya yang penting
sekolah jadi kadang-kadang tidak ada perhatian
Narasumber 1 : sekarang ini ya masih ada mbak tapi meski bantu orang tua
anaknya juga tetep sekolah
129
Narasumber 2 : anak-anak itu sebenernya sudah kami masukan ke program BSM
tapi karena lambatnya respon dari pemerintah jadinya ya
sementara kita ikutkan di dana BOS. Tapi kan itu Cuma bantuan
untuk dana operasional sekolahnya aja, lah kalo lks/seraga itu kan
diluar biaya BOS nah itu orang tua sering ngeluh “katanya sekolah
gratis tapi kok bayar”, hehehehehe
Pewawancara 2 : kalo komite sekolahnya juga aktif bu di sini?
Narasumber 2 : ya aktif, sangat aktif malah, wong semuanya diawasi meskipun
bukan kewenangannya. Hehehehehe tapi ya gak apa-apa mbak
kami persilahkan wong memang tidak ada yang disembunyikan.
Pewawancara 1 : apa komite tidak mengadakan rapat dengan wali murid gitu bu?
Narasumber 1 : ya pernah, itu setahun sekali nanti kalo ada keluhan apa dari orang
tua sekolah nanti membantu. Yang paling sering biasanya pas akhir
tahun kelulusan, jadi ada serah terima antara sekolah kepada orang
tua. Sebenernya ini sih mbk, kesadaran orang tua untuk
mendukung anaknya sekolah ini yang perlu ditingkatkan
Narasumber 2 : orang tua sering beranggapan kalo anaknya tidak sekolah itu tidak
apa-apa yang penting kasih modal buat usaha/dagang
Narasumber 1 : ya meskipun ada modal kan yang penting itu otak, hehehehehe
harta benda banyak kalo otaknya gak ada isinya kan ya percuma,
hehehehehe diteruskan ya mbak ini saya sama ibu-ibu di sini mau
ada acara dharma wanita (ibu wiji pamit meninggalkan obrolan)
Pewawancara 3 : kalo di sini ada gak pak kegiatan-kegiatan selain akademik?
Narasumber 2 : kegiatannya ya pramuka, itu masuk di materi pengembangan diri
siswa
Pewawancara 2 : oh ya di desa Bajulan ini kan juga ada yang beragama hindu ya
pak? sekolah/siswa-siswa di ini bagaimana pak?
Narasumber 2 : kebetulan untuk di sekolah ini tidak ada yang beragama hindu,
mungkin di SDN Bajulan II/III/VI itu ada tapi kalo di sini tidak
ada. Gurunya juga ada dulu tapi sekarang sudah pindah. Ada
pengajarnya tapi orangnya bukan beragama hindu.
Pewawancara 2 : untuk pembangunan infrastruktur sekolah ada bantuan/perhatian
dari pemerintah pak? Mungkin untuk pembangunan gedung apa
gitu pak?
130
Narasumber 2 : untuk ruang kelas 6 dan secretariat sekarang ini memang
pembangunannya berasal dari bantuan pemerintah, tapi ada 5
ruang kelas lagi yang sudah kami ajukan ke pemerintah karena
kondisinya yang sudah tidak layak tetapi sampai sekarang belum
ada tanggapan.
Pewawancara 1 : untuk data kelulusan sd ini boleh kami lihat pak?
Narasumber 2 : oh ya boleh-boleh, sebentar saya panggilkan pak Ali dulu beliau
yang mengurusi masalah ini
(Pak Wit memanggil Pak Ali)
Narasumber 3 : wah dari mana ini?
Pewawancara : kami dari unair pak
Narasumber 3 : ini data-data tentang kelulusan tahun kemarin, Alhamdulillah
SDN 1 Bajulan lulus 100%. Untuk sekarang sudah banyak yang
melanjutkan sekolah ke tingkat smp, bahkan SMA sampai kuliah.
Pewawancara : Oh gitu ya pak,
Pewawancara 1 : boleh kami melihat-melihat kondisi sekolah ini pak?
Narasumber 3 : oh boleh-boleh silahkan
(setelah keliling sekitar sekolah, kami kembali ke secretariat untuk berpamitan)
131
Lokasi : Di rumah Pak Sama’un Ahmad
Pukul : 18.45 WIB/ Jumat, 6 Juni 2014
Suasana : santai, di ruang tamu.
Narasumber : Bapak Sama’un Ahmad (Jogoboyo)
Pewawancara 1 : Anas Herlambang
Pewawancara 2 : Bayu Aditya Amang
Pewawancara 3 : Arif Bagus Permadi
Pewawancara 4 : Heru Prasetya
Pewawancara 1 : Bagaimana pembangunan desa di Bajulan ?
Narasumber : Untuk perkembangan pembangunan memang saya rasa cukup saja,
untuk Roro Kuning sendiri kan rencananya memang langsung
bukan dari desa. Desa cuma menjembatani saja dan menambah
tambahan yang ada tambah usulan saja tapi penentunya sebetulnya
sudah masuk dalam pengelolaan kabupaten. (1:00 – 1:20) *gak
jelas. Cuman sejak tahun 2012 kami sering kordinasi dengan pihak
pariwisata dalam hal penambahan–penambahan wisata itu
memang kurang tapi ini kelihatannya, tapi tahun ini juga belum
diadakan dan belum maksimal. (1:40–2:16) *gak jelas (Intinya
bahas jembatan yang rusak dan rencana besok berita jembatan
rusak itu akan dimuat di Koran Jawa Pos). Itu sampai sekarang
mulai dari tahun 2010, 2011, 2012 sudah ada pembebasan tanah
tapi sampai sekarang belum terealisasikan, saya kemarin itu
menyuruh konco saking jawa pos untuk memuat berita jembatan
itu, kalo gak salah sabtu besok beritanya akan keluar. Kita tadi
sudah dibel ‘besok kalo gak salah keluar pak yo. Enggak, saya
cuman ingin mengingatkan saja karena jembatan itu selain
memang sudah rawan, sudah ngesong dibawahnya itu, sudah gak
layak lah.
Pewawancara 1 : Jembatan mana pak ?
Narasumber : Yang pertigaan itu *gak jelas*
Pewawancara 2 : Oh itu sudah lama pak ?
Narasumber : Sudah lama, sudah tiga tahun gak direalisasikan. Nanti dari begini
( ) menjadi 5 – 6 meter gini ( )
Pewawancara 3 : Oh dilebarkan gitu pak ?
Narasumber : Iya, sudah itu lahan sudah beres semua
Pewawancara 3 : oh gitu, kalo masalah pendidikan pak ?
132
Narasumber : Kalo pendidikan, saya kira tidak ada masalah. Untuk pendidikan
semua disini sudah baik, kemarin juga desa sudah mengusulkan ke
dispora lewat wakil pak bupati untuk penambahan lahan untuk *
juga sudah. Untuk SMP * SD itu langsung dari DAK Dana Alokasi
Khusus pengajuannya bukan lewat desa tapi langsung dari kepala
sekolah lalu diajukan ke dinas. Tapi itu gak ada masalah (menit ke
3-4). Harapan kami untuk 1 M (pengajuan proposal dll) (menit ke
4– 4.45) Gak serta merta turun lah kalau kita gak bisa mengelak ya
kembali uang itu
Pewawancara 2 : Jadi gak langsung dikasih gitu ya pak ?
Narasumber : Enggak, ini jadi Bajulan ada uang 1 M dibank * kita cari lahan
mana yang harus dibangun berupa apa berupa proposal layak
untuk dibangun baru keluar. Jadi enggak serta merta turun, gak
gitu. Jadi mengelola uang itu gak gampang kalo teledor sedikit ya
berurusan sama KPK. Jadi uang itu sebetulnya bukan hanya
untuk mempermudah desa tapi itu juga berbahaya. Bagi desa yg
sembrono ya bahaya loh, Karena dalam pelaksanaannya ada
pengawasan dan pengSPJnya. Banyak pendampingannya Jadi
gak semudah apa yang dibayangkan, kalo satu tahun desa hanya
bisa menyerap 500 ya 500 sisanya kembali.
Pewawancara 2 : Oh ya pak masalah ekonomi juga, disini itu termasuk luas gak
sawah-sawahnya ?
Narasumber : Luasnya 273 kalo gak salah di * ada ( 6.16 ) luas area sawah.
Kalo tegalan itu 99 ( gak jelas ). Untuk perekonomian sekarang
ini Bajulan sudah mengarah pada perkebunan terutama cengkeh,
mangga, ada juga pala wijo.
Pewawancara 1 : Kalo untuk distribusinya, kayak penjualannya itu gimana pak ?
Narasumber : Kalo untuk masalah penjualan sebenarnya desa ini punya
perencanaan gini mas, desa berencana membuat desa wisata.
Pengertiannya begini kalo desa wisata itu, jadi desa kalo bisa
mengelola sendiri dan menggunakan tempat tempat yang
nantinya akan menambah penghasilannya sendiri *(7:17 – 7:20).
Karena pasar desa gak jalan, bisa digunakan untuk pasar buah
tempat penampungan buah. Jadi disitu nanti tertata bakul bakul
ijon jadi bakul ijon itu gak datang langsung kepetani gitu maksud
saya, jadi tengkulah nanti datangnya kepasar itu untuk
mendongkrak harga . Harapan kami tidak semua dijual,
disepanjang jalan nanti ada angkring - angkring yang sifatnya
nanti jualan buah – buahan tetapi kelihatannya masyarakat karena
kebutuhan yang sifatnya mendesak dan saat itu juga dibutuhkan
kadang kadang ( 8:05 – 8:07 ) anak’e jaluk motor itukan juga
kendala, maksudnya kita juga sudah kesulitan untuk
mengarahkan masyarakat itu buat untuk ke desa wisatanya itu.
133
Makanya desa wisata itu masyarakat harus betul – betul sadar.
Aku tak dol buah, lek tak dol buah nek payu 8 gede hasil’e aku
tak dol buah nang pasar buah kalo di ijon seperti ini kira” satu
kwintalnya hanya sekian tapi kalo ke pasar langsung ditimbang
dengan harga sekian sebetulnya gitu tapi kenyataannya
masyarakat ( 8:45 – 9:00 *gak jelas ) Kalo lahan hutan itu ada
sebagian yang sudah menjadi lahan dikuasai oleh lembaga.
Lembaga masyarakat desa hutan itu kerjasama dengan perhutani
tapi penggarapannya oleh masyarakat dengan cara membayar
sharring. Yang 70 ke masyarakat dan yang 30 ke perhutani terus
yang tegakkannya nanti yang 70 ke perhutani terus 30 masyarakat
jadi dibalik. Itu juga termasuk menambah perekonomian
masyarakat.
Pewawancara 1 : Nah iya pak, kalo mengambil kebijakan seperti pelebaran
jembatan dan desa wisata itu dalam pengambilan kebijakan itu
BPD dan masyarakat itu apa ikut musyawarah atau gimana pak ?
Narasumber : Oh tidak mas, jadi gini kalo jalan ini kan sudah dikuasai oleh
jalan kabupaten, jadi teknis sudah lewat PU Bina Marga dan
wilayah jalan ini sudah tanggung jawab PU mas. Termasuk
masalah jembatan itu Pak bupati sudah menurunkan timnya,
pembebasan lahan juga sudah beres ya cuman penggarapannya
saja yang belum. Sebetulnya sudah dog itu DPR sudah didog
sudah selesai bahkan pembebasan lahan juga sudah selesasi tapi
kok belum terealisasikan. Makanya itu saya minta teman Jawa
Pos memuat berita ini.
Pewawancara 2 : Tapi sering ya pak disini ada musyawarah – musyawarah ?
Narasumber : Musyawarah biasanya lewat ketua RT. Dalam satu bulan itu
saya menampung aspirasi, apa kendala yang ada di masyarakat
biasanya Pak RT itu datang dan dilaporkan kepada Pak Lurah.
Tapi karena Pak RT disini SDMnya kurang mampu dan kalau
ketemu malah guyonan jadi ya kita repot juga. Terus kelompok
tani berkaitan dengan pertanian kalo disini itu 14 malam 15
biasanya ada pertemuan untuk menampung khusus masalah
pertanian misalnya ada kendala padinya terserang hama, ini
umpamanya loh ya itu nanti ada wadahnya untuk
menyelesaikannya. Pertemuannya setiap bulan sekali di hutan
sana di semanding, biasanya juga bahas masalah pertanian missal
kalau musim kemarau enaknya menanam apa ya, itu juga
dimusyawarahkan.
Pewawancara 1 : Kalo BPDnya itu apa baru aktif satu tahun ini ya pak ?
Narasumber : Kalo BPD sebenarnya tidak, BPD itu sebetulnya sudah lama orang
– orangnya juga lama. Semua buku disana tadi yang periksa sama
* itu yang 7 buku semuanya punya BPD tapi kalo kita serahkan
134
ke BPD ya gitu juga gak jalan mas. Makanya kami yang
membantu untuk pengisiannya, contoh kegiatan BPD itu bulan
ini kemana misal *enjang sono* ( 13:28) ke dusun jati mereka
punya kegiatan kunjungan, kunjungan ke dusun jati terus disana
mengangkat apa. Kan dia disana juga sebagai wakilnya
masyarakat nanti dibawa ke kantor terus dimusyawarahkan
bersama perangkat desa apa aspirasi masyarakat dusun Jati. Terus
kita serahkan ke Lurah, ikilo pak lurah masyarakat Jati pengen
ngene ngene ngene terus ditulis di buku, tapi ya kenyataannya
bukunya juga kosong ( hehehe ). Akhirnya juga kami sendiri yang
merekayasa ngisi bukunya itu mas, ditulis masyarakat Jati
pengennya ini kan akhirnya bohong mas ( hehehe )
Pewawancara 1 : Jadi BPD itu masih aktif ya pak?
Narasumber : Kalo masih sih sebenarnya tidak ya mas, kembali lagi pada SDM.
Kalau gak ditutuk tok ya gak jalan
Pewawancara 3 : Kalo ada perintah baru mau jalan ya pak?
Narasumber : Iya mas , seperti keuangannya BPD kan 9 juta. Sebetulnya SPJ itu
ya kita serahkan BPD dan kita tinggal terima SPJ tapi itu ya gak
jalan * ( 14:37 – 15:00 ) yang penting jalan aja lah ( hehehe )
Pewawancara 4 : PNPM Mandiri niku kan wonten program nopo niku pak seng
pinjam – pinjaman?
Narasumber : SPP
Pewawancara 4 : Niku nopo pak?
Narasumber : Simpan Pinjam mas
Pewawancara 4 : Oh simpan pinjam, niku semua warga berhak meminjam uang itu
atau gimanapak?
Narasumber : Sebetulnya berhak tapi, PNMP Generasi itu selektif sekali, gak
semudah yang kita bayangkan. Administrasi yang sekarang ini
sebagai percontohan itu baru PNMP, selain itu tidak pernah
berkecimpung dengan PNPM. Tahun ini saya menjadi (15:58 –
16:06) seperti contoh kalau Bina Marga mengadakan proyek di
Bajulan untuk skala harga gak mau dia menggunakan harga di
Toko (16:13 - 16:18) untuk semen maksimal sekian 57 paling
bawah 53 itu pasti milih harga paling tinggi untuk mendongkrak
jumlah uang, ternyata gak begitu mas. Nanti mereka survey harga
di 3 toko, toko A itu berapa toko B itu berapa toko C itu berapa dan
yang ditentukan itu harga terendah
Pewawancara 1 : Harga terendah untuk ?
135
Narasumber : Harga dari toko itu, seumpama toko 1 54000, toko 2 54500, toko
3 harganya 55 ya yang 54 ini yang diambil mas. PNMP itu ya
sampai sedetail itu. Jadi gak semudah yang dibayangkan.
Pewawancara 1 : 54 maksudnya pak ?
Narasumber : Ya harga itu mas berdasarkan survey. Seng kene seqet papat seng
iki seqet papat setengah lah seng iki seqet limo. Yo seqet papat iki
seng dijupuk mas harga paling bawah, tapi ya gitu harapannya
harus SNI seperti besi juga gitu mas harga yang paling terendah itu
yg digunakan tapi ya harus ada label SNI. Nek wesine elek terus
kroyak kabeh piye mangkane yang tersulit yo iku mas. Makanya
dikantor tadi kan ada tulisan anti korupsi
Pewawancara 4 : ini kalo misalnya ada orang yang pas mau pinjem berarti *gak
jelas (17:51)
Narasumber : Ya yang mandiri pedesaan. Nah yang itu tadi kan generasi.
Kalau generasi itu di cek mas jadi PNMP itu petugasnya datang
ke desa sini. Nah iki desa opo didelok nek * (18:03 – 18:05)
Pewawancara 3 : Kalo ada tapi gak,misalnya punya usaha pak mengajukan PNPM
itu ada yang gak itu gimana pak misalnya ada yang gak dikasih
atau gimana gitu?
Narasumber : Dibatasi mas, untuk pertama kali 10 orang itu 10 juta, 1 orang
1 juta tapi kalo baik 2 bisa 2 juta balik lagi 3 bisa 3 juta itu PNMP
jadi tidak gampang percaya. Itu orangnya dipanggil di situ
diwawancarai
Pewawancara 1 : berarti yang survey itu dari PNPM nya sendiri ya pak ?
Narasumber : iya dari PNMP sendiri mas, jadi ada kelompok cari 10 orang
dan itu ketuanya pun gak boleh pinjem mas. Misalnya mas jadi
ketua PNMP itu mencari 10 anggota, ketuanya gak boleh pinjem
supaya kesepuluh ini nanti runtut bayarnya itu aturannya PNMP
mas sulit memang mas. Tapi ya perkembangan uangnya PNMP
* ( 19:01 – 19:10 ) saya salut sebenarnya sama PNMP bagus. Tapi
mungkin setelah ini saya gak mau jadi kader PNMP.
Pewawancara 1 : Kenapa pak?
Narasumber : Gini mas, saya dari sini ke kabupaten jaraknya 15 km. kalau ada
sms kumpul untuk PNMP sekarang dan itu harus datang itupun
setiap saat mas dan uangnya gak ada mas.*(20:00–20:32).
sebetulnya sudah dilakukan, tetapi karena saat itu juga… kalo
wabah lah jadi sudah diputuskan semua bencana para petani, itu
sudah masuk ke (missing word) DPR nya, bukan berarti kinerja
kami tidak mau tapi memang pada saat itu memang mewabah, dia
sendiri cari solusi menggunakan sistem, yang saya kenal itu
begini…kalo tahun ini menanam padi itu (missing word) alangkah
136
baiknya dialihkan dulu dengan tanaman yang lain, itu kalo mutus
rantai tapi kalo ingin berkesinambungan penyakit itu nyambung ke
padi, tapi kalo kita putus dari padi kita nanam jagung atau nnam
kacang ini akan putus, selain untuk memutus rantai itu juga
menyarankan untuk mencari bibit unggul, tapi kalo untuk
pengurangan wabah itu tidak ada, wabah dikasih obat itu yo gak
mampu…… minum kopi dulu mas
Pewawancara : hehehehehe iya pak
Pewawancara 1 : trus sekarang gak ada pengiriman lagi kayak orde baru dulu kan
dikasih benih gitu pak?
Narasumber : jarang mas, gimana ya…. Sebetulnya sih ada seperti itu tapi ya
kadang orang pintar gak mikirin masalah kayak gini mas, fokusnya
tidak di pertanian, kalo masyarakat sini ya berharapnya meskipun
yang “atas” (pemerintah pusat) itu berubah gak masalah tapi yang
“bawah” ini tetap diperhatikan. Waktu dulu itu banyak acara dari
PTWT saat itu misalnya, UDT itu ada lagi, bantuan bibit, bantuan
sapi, bantuan pupuk itu komplit mas, sekarang gak ada. Kalo pun
ada ya paling pupuk itu mas, gak tau itu pupuk apa yg tanahnya
difermentasi (tersenyum miris), ya repot
Krikrikrikrikrik……..
Pewawancara 1 : oh ya pak untuk data profil desa kira-kira bisa pinjam kapan ya
pak?
Narasumber : ini besok itu saya mau kundur sebetulnya, ini mau lembur apa
emmmm profil desanya karena ada mahasiswa darimana itu juga
membutuhkan profil
Pewawancara 2 : anu pak buat skripsi atau apa?
Narasumber : bukan bukan, gak tau saya… apa ya… untuk ini loh pendataan
masyarakat cuma ambil sample kok. Ya nanti segera saya garap.
Pewawancara 1 : kalo untuk informasi desa itu kan sulit pak, pasti susah ketemu beda
kalo itu informasi kota, jadi ya kami Cuma berharap dari profil desa
itu toh kami minggu pagi juga sudah pulang kembali ke kampus.
Narasumber : minggu pagi?
Pewawancara : iya pak
Narasumber : kok cepet men, buat itu juga susah loh mas, mesti rinci betul dari
tiap RT/RW/Dusun itu sekian….
Pewawancara 1 : ya minimal kan ada data-data yang kita cari itu kayak data-data
kependudukan
Narasumber : kalo jumlah penduduk RT itu aja masih mungkin belum lengkap,
kalo detailnya langsung itu satu tahun belum tentu selesai. Atau
137
gini saja, data-data yang penting aja dulu nanti kami usahakan
kami bantu, tapi kalo detailnya saya jamin gak selesai
Pewawancara 1 : ada standartnya gitu pak untuk bikin profil desa?
Narasumber : ada, biayanya pun ada, karena dibiayai oleh pemerintah itu kalo gak
salah 150 dari pemerintah, harus detail itu mas,
Pewawancara 1 : ngelibatin dari luar juga gitu pak?
Narasumber : oh ya iya
(ada orang datang mengabarkan sesuatu ke pak yo)
Narasumber : ini mas program PNPM, kalo rapat ndadak-ndadak, besok ada
sosialisasi buat air minum termasuk penanggulangan air bersih
untuk masyarakat sini, ini dapat 150juta tapi ya harus
menyiapkan uang 11juta dimuka dan tenaga kerja, harus ada
swadayanya
Pewawancara 3 : airnya dari mana pak air bersih itu?
Narasumber : ya dari sumber tapi di check sama laborat, penge-check-annya tiga
kali. Itu juga dana dari APBN pusat. Dari se-kabupaten itu yang
dapat baru 28 desa. Itu satu rumah dengan PNPM, satu sistem
tapi dirut nya sendiri-sendiri.
Pewawancara 1 : jadi prosesnya juga sama?
Narasumber : iya sama, sama-sama sulitnya, untuk menghindari masalah KKN
jadi 9 orang yang bertanggung jawab itu semuanya warga desa
Bajulan dan ikut menentukaan pilihan sendiri. Tiap RT itu 3
orang, 3 dikali 28 itu sudah berapa trus disaring lagi jadi 9 orang
itu betul-betul dari masyarakat. Dan kebetulan ini pengalaman
yang ada di Bajulan, jujur ya mas pemerintah desa itu penguasa
tapi nek ditinggal ngunu wae yo nyuwun sewu, silahkan hak
masing-masing, nek iso yo mlakuo tak dukung, tapi dilepas
bingung, diserahi uang 11 juta aja yang aturannya harus dari
masyarakat swadaya gak bisa juga, kalo ada kebijakan nanti
ujung-ujungnya bilang kalo programnya gak jalan. Di sini
mahasiswa juga dibutuhkan mas sebenarnya untuk hal-hal
tertentu, pertama karena pinter yang kedua karena belum terbawa
arus. Jadi bisa menyampaikan seperti PNPM itu ke masyarakat.
Pewawancara 3 : biasanya juga ada mahasiswa pak?
Narasumber : dulu pernah ada mahasiswa, dari mana ya tapi jurusan teknik kalo
gak salah mas… ada yang ingin ditanyakan lagi?
Pewawancara 1 : kalo program PNPM itu baru ada di program PAUD itu ya pak?
Narasumber : oh ya ndak, ada TK ada rabat beton
138
Pewawancara 3 : sampai mana pak rabat beton itu?
Narasumber : TK nya di sini, kalo rabat beton itu di dusun Semanding, rabat
beton lagi di Dusun Plangkat, trus Paud. Dan itu pun setiap
kegiatan harus bener-bener bersinambungan, gak oleh mas kalo
duit iku gae bangun gerdu yo gak oleh mas, gak boleh. Jadi
PNPM itu memang untuk hal-hal yang sangat dibutuhkan, seperti
di bidang pendidikan atau infrastruktur jalan.
Pewawancara 3 : besok itu saya mau ke itu pak, ke pure itu boleh?
Narasumber : tadi sudah saya sampaikan ke (missing word) nek misale neng pure
piye pak, wes kon langsung ae neng pure metuk i pemangku pak
Damri. Mau apa boleh, mau masuk masuk boleh yang penting
kan tidak di dalam pintunya itu kalo naik dua trap kan sudah jadi
tempatnya para dewa jadi ya gak sembarangan orang boleh
masuk
Pewawancara 2 : makanya ini minta sarannya pak yo dulu, sebetulnya kita juga mau
wawancara kayak gini juga pak
Narasumber : oh gitu, langsung ke pemangkunya Pak Damri. Kalo ada penjelasan
saya yang kurang jelas seperti kenapa masyarakat disini kok
rukun-rukun gak ada konflik nanti bisa ditanyakan langsung ke
masyarakat sana.
Pewawancara 3 : ya disini kan memang tugasnya penelitian tentang budaya kayak
gitu, trus di sini pembelahan kulturalnya seperti santri,
abangan…. Abangan-santri tau pak ya?
Narasumber : oh iya tau-tau
Pewawancara 3 : disini mayoritas apa ya pak? Lebih ke dominan santri atau apa?
Narasumber : yang di sini di Bajulan itu mayoritas muslim, tapi muslim yang
KTP atau muslim yang abangan kan kita tidak bedakan lagi, tapi
Alhamdulillah desa Bajulan udah bagus mas untuk kesadaran ke
agama sekarang sering ada rutinitas setiap malem jumat itu
rutinan, kalo jumatan di sini juga penuh berarti kan masyarakat
sadar agama
Pewawancara 3 : terus ten mriki masih ada tradisi nyadran masih wonten nggeh
pak?
Narasumber : oh ya masih, di sini tradisi nyadran tiap tahun harus wayang
Pewawancara 3 : oh harus wayang ya pak?
Narasumber : harus wayang, kalo gak wayang gak mau orang-orang sini, dulu
pernah gak nanggap wayang tapi jaranan yo enek ae mas, kalo
kita gak usah nanggap juga gak apa-apa Cuma selametan aja tapi
ya itu
139
Pewawancara 3 : biaya buat nanngap itu dari mana pak?
Narasumber : ya dari masyarakat, ini aja masih sisa 40juta, nanti dikelola
Pewawancara 3 : itu berapa pak biasanya rata-rata urunannya masyarakat ?
Narasumber : yang pertama itu kelas donatur setelah itu kelas 1,2,3. Yang paling
kecil kemaren itu 15ribu trus lupa saya… kalo kelas donator ini
diatas kelas 1 lah, kalo kelas 1 ini 60ribu kelas donator bisa
200rb bisa 300rb sampai 400rb. Panitianya langsung dari
masyarakat mas
Pewawancara 1 : siapa panitianya pak?
Narasumber : ada lima orang, lupa saya… ada pak saiful, pak sugeng ditambah
6 RT
Pewawancara 3 : jadi panitianya itu tetep orang-orang itu aja atau nanti ganti?
Narasumber : panitia ketua, sekretaris,bendahara itu ganti-ganti tapi untuk
pencari dana itu tetep, istilahnya panitia penyandang dana
Pewawancara 3 : Oh ya satu lagi pak, tadi kan lihat di peta tadi itu kan banyak
yang pra sejahtera tapi kok mayoritas sepeda motornya masih
bagus-bagus, itu maksudnya dikatakan dalam prasejahtera itu
seperti apa pak?
Narasumber : kalo motor itu kredit mas, apa bisa dikatakan orang kaya? Belum
tentu kan, karena kebutuhanan dia harus membelikan anaknya,
dia harus menyisihkan sebagian hasilnya, kalo tuku sepeda
motor cash tanpa beban itu namanya kaya. Tapikalo menurut
saya ya mas, sepeda motor itu bukan barang mewah karena
disini tidak ada lagi kendaraan umum, ada dulu tapi sekarang
gak ada, sehingga kendaraan itu sudah menjadi kebutuhan
pokok, nek gak nduwe sepeda motor aku neng nganjuk
kebingungan, dengan kebingungan itu masyarakat itu nekat
mas, kredit, kalo gak percaya coba Tanya aja di bank mas
berapa orang di desa bajulan yang namanya ada di sana mas,
berapa orang yang macet, apa itu bisa dikatakan kaya?
Pewawancara 2 : jadi karena kebutuhan ya pak?
Narasumber : iya karena kebutuhan tadi, ada lagi? Menurut data itu masyarakat
di sini sebanyak 983 terjaring dengan jamkesmas, BLT, dan
raskin dari total KK kurang lebih ya seribu Sembilan ratus koma
berapa kalo jiwa enam ribu lebih, 983 termasuk keluarga pra
sejahtera yang mendapat bantuan BLT, raskin sama jamkesmas
140
141
Lokasi : Rumah Pak Damri
Pukul : 17.00 WIB
Suasana : Formal, di Ruang tamu
Narasumber 1 : Pak Damri (Pemangku Pure)
Narasumber 2 : Istri pak Damri
Pewawancara 1 : Bayu Aditya Amang
Pewawancara 2 : Anas Herlambang
Pewawancara 1 : Kalo misale ngadakan acara-acara kegiatan niku wonten kesulitan
nopo mboten pak? (Kalo misalnya mengadakan acara-acara
kegiatan begitu ada kesulitan atau tidak pak?)
Narasumber 1 : mboten. Nggih termasuk sing penting ijin teng pemerintah niku
wonten. Sakniki kan era kebebasan. Termasuk ritual-ritual
keagamaan niku kan sangat-sangat dibutuhkan oleh pemerintah.
Nggih kadose selalu harus didukung oleh pemerintah. Malah justru
kehadirane pura niki malah pemerintah daerah niku luwih luwih
sreg, nggih termasuk damel ngangkat wisata segala macem pada
akhire upacara keagamaan niku nggih dianggep budaya, padahal
niku upacara keagamaan. Nggih termasuk budaya sendiri nggih
sumbere kan sing jelas pengetahuan, budi daya. (Tidak. Ya
termasuk yang penting ijin ke pemerintah itu ada. Sekarang kan era
kebebasan. Termasuk ritual-ritual keagamaan itu kan sangat-
sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Ya seperti selalu harus
didukung oleh pemerintah. Malah justru kehadirannya pura ini
malah pemerintah daerah itu lebih-lebih mantap, ya termasuk
untuk mengangkat wisata segala macam pada akhirnya upacara
keagamaan itu ya dianggap budaya, padahal itu upacara
keagamaan. Ya termasuk budaya sendiri kan sumbnya kan yang
jelas pengetahuan, dari budi dan daya)
Pewawancara 1 : nggih berarti niku menawi wonten kegiatan nopo acara-acara teng
pura ngaten niku, ijinipin niku pun gampil nggih? (Ya berarti itu
kalau ada kegiatan atau acara-acara di Pura begitu itu, ijinnya
sudah gampang ya?)
Narasumber 1 : Nuwun? (Bagaimana?)
Pewawancara 1 : Ijinipun sampun gampil nggih? (Ijinnya sudah gampang ya?)
Narasumber 1 : Inggih gampil. (Iya gampang)
Pewawancara 2 : Tapi persiapan peralatan-peralatan nopo kebutuhan kangge acarane
niku mboten wonten kendala? (Tapi persiapan peralatan-peralatan
atau kebutuhan untuk acaranya begitu tidak ada kendala?)
142
Narasumber 1 : Mboten. Menawi masalah saking pemerintah kan namung
ndukung masalah ketertiban. Tapi nek masalah kebutuhan niku kan
sesuai kemampuan umat. Hindu kiambak upacara niku kan
didasarkan hukum, desa kala patra. Desa itu tempat, kala itu waktu,
patra itu situasi. Jadi situasi tempat, kemampuan manusiane. Dadi
mboten kaku, nggak harus begini tapi tetep didasarkan pada kitab
sucinya. Desa kala patra seje deso corone seje-seje wesan. Sing
seje niku kemampuane, jadi kembali pada karakter manusiane,
pengetahuane. Nggih suatu contoh persembahan yatnya sesaji.
Sesaji nek nek umpamane teng mriki mboten wonten apel kan
nggih mboten kok harus apel kan ngaten, lha lek entene jeruk,
entene buah mangga kan mboten masalah intine kan nggih buah.
Niku suatu contoh jadi disesuaikan kita punyanya. Tapi sebenarnya
upacara sendiri itu konsep, konsep keseimbangan alam dadi
konsep kangge ikatan sosial, bukan hanya sarana untuk beribadah
mboten, konsep untuk menyeimbangkan, suatu sarana. Lek
masalah cumak ibadah manusia ki individu. Manusia kan individu
to, tapi terus dikemas dikonsep dikemas menjadi upacara kangge
supoyo menungso niku seimbang, dos pundi hubungane teng
nggene sing nggawe urip, ditingali king meriku, dos pundi
hubungane sakpadane urip teng kerukunane, dos pundi hubungane
teng alame. Dadi konsep sarana niki diajukan, diwujudne king
upacara, dados upacara niku sarana kangge evaluasi, mboten
namung sarana kangge istilahe kangge suguhan mboten, Gusti
mboten merlokne suguhan nggih to wong ora mangan hehe (sambil
tertawa). Wong sumbere king mriko kok disuguhne kan, tapi etika,
sarane kangge kumpul makane umat Hindu saranane lengkap, niku
kangge evaluasi alame. Nek ngumpulne sarana niku cepet
gampang berarti alame kan kabeh subur kabeh seimbang. Nek
kesulitan nggih berarti perlu penanganan khusus kan ngoten.
Nggih suatu contoh umpamane pados pisang pun kangelan lho
berarti alame niki kinging nopo kok pisang mboten saget tumbuh
kan ngoten. Perlu dipelajari niku gampangane ngoten. Tur nggih
merlokne kerukunan tanpa kerukunan jelas mboten saget terwujud.
Nggih niku lah tujuane upacara, mboten mboten namung suguhan,
mboten namung persembahan maksud kulo, tapi sarana kangge
evaluasi, sarana ikatan, nerjemahne ajaran. (Tidak. Kalau masalah
dari pemerintah kan hanya mendukung masalah ketertiban. Tapi
kalau masalah kebutuhan itu kan sesuai kemampuan umat. Hindu
sendiri upacara itu kan didasarkan hukum, desa kala patra. Desa itu
tempat, kala itu waktu, patra itu situasi. Jadi situasi tempat,
kemampuan manusianya. Jadi tidak kaku, tidak harus begini tapi
tetap didasarkan pada kitab sucinya. Desa kala patra beda desa
sudah beda-beda caranya. Yang beda itu kemampuannya, jadi
kembali pada karakter manusianya, pengetahuannya. Ya suatu
contoh persembahan yatnya sesaji. Sesaji kan misalnya disini tidak
143
ada apel kan ya tidak harus apel kan begitu. Kalau adanya buah
jeruk, adanya buah mangga kan tidak masalah intinya kan ya buah.
Itu suatu contoh jadi disesuaian kita punyanya. Tapi sebenarnya
upacara sendiri itu konsep, konsep keseimbangan alam jadi konsep
untuk ikatan sosial, bukan hanya untuk sarana beribadah tidak.
Konsep untuk menyeimbangkan, suatu sarana. Kalau hanya
masalah ibadah manusia kan individu. Manusia individu kan, tapi
terus dikemas dikonsep dikemas menjadi upacara untuk agar
manusia dapat seimbang, bagaimana hubungannya dengan yang
membuat kehidupan, dilihat dari situ, bagaimana hubungannya
dengan sesama makhluk hidup menjalin kerukunan, bagaimana
hubungannya dengan alamnya. Jadi konsep sarana itu diajukan,
diwujudkan dengan upacara, jadi upacara itu sebagai sarana untuk
evaluasi, bukan untuk sarana untuk istilahnya untuk
menghidangkan tidak, Tuhan tidak membutuhkan hidangan yak
kan, kan tidak makan hehe (sambil tertawa). Kan sumbernya
berasal dari sana kenapa dihidangkan kembali, tapi etika, sarana
untuk kumpul maka dari itu Umat Hindu sarananya lengkap, itu
untuk evaluasi alamnya. Kalau mengumpulkan sarana itu cepat
gampang berarti kan alamnya semua subur semua seimbang. Kalau
kesulitan ya berarti perlu penanganan khusus kan begitu. Ya suatu
contoh misalnya mencari pisang pun kesulitan lho berarti alamnya
ini kan kenapa kok pisang tidak bisa tumbuh kan begitu. Perlu
dipelajari itu, sederhananya begitu. Toh juga membutuhkan
kerukunan tanpa kerukunan jelas tidak bisa terwujud. Ya itulah
tujuan upacara, bukan bukan hanya hidangan, bukan cuma
persembahan maksud saya, tapi sarana untuk evaluasi, sarana
ikatan, menerjemahkan ajaran)
Pewawancara 2 : Pak anu ngapunten, Pak Damri niki kan anu nggih, selaku
pemangku dateng meriki (Pak sebelumnya mohon maaf, Pak
Damri ini kan itu ya, selaku pemangku di sini)
Narasumber 1 : Nggih, (iya)
Pewawancara 2 : Ee Pak Damri niki sampun pinten tahun dados pemangku
meniko? (Ee Pak Damri ini sudah berapa tahun menjadi pemangku
itu?)
Narasumber 1 : Nggih kulo mulai tahun dua ribu satu, begitu pura diresmikan
kulo langsung diresmikan (Ya saya mulai tahun dua ribu, begitu
pura diresmikan saya langsung diresmikan)
Pewawancara 1 : Oo ngaten (Oo begitu)
Narasumber 1 : Inggih. Nggih nek nurut, nurut nopo niku, istilahe aturan nggih
sebenarnya nggih belum layak wong tasik umur dua lima (Iya. Ya
kalau menurut, nurut apa itu, istilahnya aturan ya sebetulnya ya
belum layak orang masih umur dua lima)
144
Pewawancara 1 : Waktu diresmikan niku? (Waktu diresmikan saat itu)
Narasumber 1 : Inggih. Tapi karena diperlukan, kan begitu hadire tempat suci kan
memerlukan orang-orang sing… nggih disucikan istilahe, karena
merawat tempat suci. Pada akhire yo mau tidak mau karena
mengawali hehehe (sambil tertawa) kan tempat suci awal (Iya.
Tapi karena diperlukan, kan begitu hadirnya tempat suci kan
memerlukan orang-orang yang… ya istilahnya disucikan, karena
merawat tempat suci. Pada akhirnya yam au tidak mau karena
mengawali hehehe (sambil tertawa) kan tempat suci awal)
Pewawancara 2 : Inggih pak (Iya pak)
Narasumber 1 : Dados tahun dua ribu satu nggih sampek sekarang (Jadi tahun dua
ribu satu ya sampai sekarang)
Pewawancara 2 : Jadi Pak Damri niki termasuk ingkang pertama nggih? (Jadi Pak
Damri ini termasuk yang pertama ya?)
Narasumber 1 : Dadi termasuk nang tempat suci pertama, tapi rumiyen sebelum
wonten tempat suci niku Pak Nyoman Supratnyo Pak Katemen
niku nggih termasuk sing gadah tanah niku, nggih riyen ee…
pimpinan lembagane, mulai tahun delapan puluh sampek Sembilan
ee… tahun dua ribu….. nggih dua ribu satu niku, dua ribu dua
terakhir. Riyen tiang kalih terus tahun dua ribu lima tambah maleh
kalih terus tahun dua ribu tujuh tambah maleh kalih, dados
pemangkune enem sakniki. Nggih sesuai kebutuhan dua orang, dua
orang, dua orang, tempat sucine ageng nek namung tiang kalih
kuwalahan nek pas acara. (Jadi termasuk di tempat suci yang
pertama, tapi dulu sebelum ada tempat suci itu Pak Nyoman
Supratnyo pak Katemen itu ya termasuk yang punya tanah itu, ya
dulu ee… pimpinan lembaganya, mulai tahun delapan puluh
sampek sembila ee… tahun dua ribu… ya dua ribu satu itu, dua
ribu dua terakhir. Dulu orang dua terus tahun dua ribu lima tambah
lagi dua terus tahun dua ribu tujuh tambah lagi dua, jadi
pemangkunya enam sekarang. Ya sesuai kebutuhan dua orang, dua
orang, dua orang, tempat sucinya besar kalau cuma dua orang
kerepotan kalau pas acara)
Pewawancara 1 : Oo inggih (Oo iya)
Narasumber 1 : Monggo kalihan diunjuk (Mari sambil diminum)
Pewawancara 2 : Inggih pak (minum teh suguhan) (Iya pak) (minum teh suguhan)
Pewawancara 2 : Oo nggih niki ngapunten nggih pak, niki sengerti kulo kan dateng
Bali niku umat Hindune nggih mayoritas. Dateng meriku kan enten
kasta niku (Oo iya ini mohon maaf ya pak, ini setau saya kan di
Bali itu umat Hindunya ya mayoritas. Disana kan ada kasta itu”
Narasumber 1 : Inggih mas, (Iya mas,)
145
Pewawancara 1 : Enten meriki wonten nopo mboten pak? (Disini ada atau tidak
pak?)
Narasumber 1 : Mboten. Nggih sebenarnya kasta niku ngaten lho. Kasta niku kan
organisasi dadose termasuk kasta niku, (berfikir sejenak) (Tidak.
Ya sebenarnya kasta itu begini lho. Kasta itu kan organisasi jadinya
termasuk kasta itu, (berfikir sejenak)
Narasumber 2 : Golongan (menambahkan) (Golongan) (menambahkan)
Narasumber 1 : Aa.. golongan professional. Proffesionale golongane tiang sing,
niki disesuaikan kemampuan sebenarnya. Tapi karena politik, pada
akhire kasta niku istilahe didamel keturunan. Tapi sebenarnya
tidak, kasta I organisasi, ibarat badan nggih kasta niku Brahmana
niku kan saking guru to, guru niku pemikir, pemikir kan kepala.
Kan mboten mungkin kepala niku macem-macem. Ksatria, ksatria
niku pelindung. Pelindung kan… tangan. Niku lek ibarat organ lho
niki. Terus Waisha. Waisha niku ibarate perut. Terus Syudra niku
ibarate kaki. Nah niki sebenarnya niki tasik berkembang. Niki
sebenarnya niki suatu konsep, konsep keseimbangan bahwa
manusia ki harus sesuai dengan karmanya, kemampuan, bidang.
Bidang kemampuan, bidang professionalnya. Kalo Brahmana, niki
tasik berkembang di Indonesia. Brahmana sebenarnya nggih, nggih
DPR, Dewan. Niki bidange pemikir yang memikirkan formula-
formula untuk kesejahteraan rakyat. Ksatria nggih pemerintah.
Waisha niki investor, pengusaha. Niki nggih nguripi pemerintah
nggih nguripi Brahmana nggih nguripi Syudra ibarate perut. Nah
terus Syudra nggih rakyat, kan penyangga sedanten. Sebenarnya
niku organisasi kelompok , anu kelompok professional, bidang
professional. Nggih sinten mawon bisa menjadi Brahmana asalkan
mampu. Nggih to? (Nada bertanya) (Aa.. golongan professional.
Golongan professionalnya orang yang, ini disesuaikan
kemampuan sebenarnya. Tapi karena politik, pada akhirnya kasta
itu istilahnya dugunakan keturunan. Tapi sebenarnya tidak, kasta
itu organisasi, ibarat badan ya kasta itu Brahmana itu kan berasal
dari guru kan, guru itu pemikir, pemikir kan kepala. Kan tidak
mungkin kepala itu macem-macem. Ksatria, ksatria itu pelindung.
Pelindung kan… tangan. Itu kalau ibarat organ lho ini. Terus
Waisha. Waisha itu ibaratnya perut. Terus Syudra itu ibaratnya
kaki. Nah ini sebenarnya ini masih berkembang. Ini sebenarnya ini
suatu konsep, konsep keseimbangan bahwa manusia ini harus
sesuai dengan karmanya, kemampuan, bidang. Bidang
kemampuan, bidang profesionalnya. Kalau Brahmana, ini masih
berkembang di Indonesia. Brahmana sebenarnya ya, ya DPR,
Dewan. Ini bidangnya pemikir yang memikirkan formula-formula
untuk kesejahteraan rakyat. Ksatria ya pemerintah. Waisha ini
investor, pengusaha. Ini ya menghidupi pemerintah ya menghidupi
Brahmana ya menghidupi Syudra ibaratnya perut. Nah terus
146
Syudra ya rakyat, kan penyangga semua. Sebenarnya itu organisasi
kelompok, itu kelompok professional, bidang professional. Ya
siapa saja bisa menjadi Brahmana asalkan mampu. Ya kan?) (Nada
bertanya)
Pewawancara 2 : Inggih leres pak (Iya betul pak)
Narasumber 1 : Nah nek mampu pengetahuane, mampu napa-napane bisa. Tapi
karena dulu memang dimanfaatne kaleh penjajah makane dikotak.
Dadi keturunan Brahmana iku keturunan Ksatria diadu lha terus
bade pripun ngaten lho. Lha termasuk teng Bali nggih ngaten pada
akhire gaiso tego. Mboten purun to nisto karepe meneng thok
hehehe (sambil tertawa). Karepe levele pun level pemimpin, orang
suci. Kerjane niku berfikir, dengan kemampuan ilmu
pengetahuannya. Nah lek Ksatria melindungi, sing ndamping,
ndamping ngamanne Brahmana, ndamping ngamanne Waisha,
ndamping ngamanne Syudra kan ngoten melindungi. Pemerintah
tugase pelindung. Lha masi pelindung sing dikerjakne kan nggih
lewat pemikirane Brahmana ehehehe (sambil tertawa). Dadose
enten legislative enten eksekutif enten investor enten, masyarakat
niku jane, niku kedah bersatu niku mboten enten salah siji teng
organisasi gunjing. Organisasi mboten enten pemikire sing
dihormati sing di anu, tetep ngerusak organisasi, akhire ontok-
ontokan. Mboten enten pelindunge nggih mboten nyaman. Mboten
enten donature, investore nggih mboten saget bergerak hahaha
(sambil tertawa) sama seperti itu. Sebenarnya niku nek kasta, niku
namine nek teng “Wedha” niku catur warna jiwa, dadi warna jiwa,
jiwa seseorang, warnane, kemampuane dalam membidangi. Dadi
kemampuan dalam membidangi suatu pekerjaan atau karma, swa
dharmane. Namine nek pekerjaan kan bahwa intelek’e teng Wedha
kan swa dharma swa dharma masing-masing dharmane nopo.
Sesuai tugas, fungsinya. Dateng meriki mboten nggih niku mung
prono, Brahmanane sinten, Waishane sinten wong pancen
masyarakat’e nembe muncul nggih, nggih entene sami. Tapi pada
akhir’e tetep terbentuk niku mangke. Nggih suatu contoh teng
lembaga. Lembaga Hindu kan, sing kepemimpinan lembaga kan
enten tigo pun’e. Dadose wonten Brahmana nggih termasuk niku
“paruman pandita” golongan orang-orang suci. Terus “paruman
malaka” niki golongan ilmuan. Terus “paruman parisada”, niku
golongan ksatrione sing membidangi teng hukum, teng
pemerintahan. Dadose tetep, lha niki mboten saget nggih
memutuskan. Parisada niki memustuskan sendiri mboten pareng.
Setiap keputusan yang diambil berdasarkan musyawarah tiga
lembaga, paruman pandita, paruman malaka dan paruman
parisada. Parisada istilahe MUI, istilahe sami. Lek mutusne dhewe
nggih mangke mboten enten sing ngimbangi. Ngimbangi nggih
lewat ilmuan, lewat Brahmana, musyawarah. (Nah kalau mampu
147
pengetahuannya, mampu apa-apanya bisa. Tapi karena dulu
memang dimanfaatkan oleh penjajah maka dari itu digolongkan.
Jadi keturunan Brahmana itu keturunan Ksatria diadu domba lah
terus mau bagaimana begitu lho. Lah termasuk di Bali kan begitu
pada akhirnya tidak bisa tega. Tidak mau bekerja kan maunya diam
saja hehehe (sambil tertawa). Maunya levelnya sudak level
pemimpin, orang suci. Kerjanya itu berfikir, dengan kemampuan
ilmu pengetahuannya. Nah kalau Ksatria melindungi, yang
mendampingi, mendampingi mengamankan Brahmana,
mendampingi mengamankan Waisha, mendampingi
mengamankan Syudra kan begitu melindungi. Pemerintah
tugasnya sebagai pelindung. Nah meskipun pelindung yang
dikerjakan kan ya lewat pemikirannya Brahmana ehehehe (sambil
tertawa). Jadinya ada legislative ada eksekutif ada investor ada,
masyarakat itu sebetulnya, itu harus bersatu itu tidak ada salah satu
dalam organisasi akan goyah. Organisasi tidak ada pemikirnya
yang dihormati atau yang apa lah, tetap merusak organisasi,
akhirnya saling hujat. Tidak ada pelindungnya juga tidak nyaman.
Tidak ada donaturnya, investornya juga tidak bisa bergerak hahaha
(sambil tertawa) sama seperti itu. Sebenarnua itu kalau kasta,
namanya itu kalau dalam “Wedha” itu catur warna jiwa, Jadi warna
jiwa, jiwa seseorang, warnanya, kemampuan dalam membidangi.
Jadi kemampuan dalam membidangi suatu pekerjaan atau karma,
swa dharmanya. Namanya kalau pekerjaan kan bahwa
intelektualnya di Wedha kan swa dharma swa dharma masing-
masing dharmanya apa. Sesuai tugas, fungsinya. Disini tidak, ya
itu hanya tahu, Brahmanya siapa, Waishanya siapa kan memang
masyarakatnya baru saja muncul, ya adanya sama. Tapi pada
akhirnya itu nanti akan tetap terbentuk. Ya suatu contoh pada
lembaga. Lembaga Hindu kan, yang kepemimpinan lembaga sudah
ada tiga. Jadinya ada Brahmana ya termasuk itu “paruman pandita”
golongan orang-orang suci. Lalu “paruman malaka” ini golongan
para ilmuan. Lalu “paruman parisada”, itu golongan Ksatrianya
yang membidangi dalam hukum, dalam pemerintahan. Jadinya
tetap, nah ini tidak bisa langsung memutuskan. Parisada ini
memustuskan sendiri tidak boleh. Setiap keputusan yang diambil
berdasarkan musyawarah tiga lembaga, paruman pandita, paruman
malaka dan paruman parisada. Parisada istilahnya MUI, istilahnya
sama. Kalau memutuskan sendiri ya tidak mungkin ada yang
menyeimbangkan. Menyeimbangkan ya melalui ilmuan, melalui
Brahmana, musyawarah.)
Pewawancara 1 : Nggih niki pak menopo menawi wonten acara teng pura, acara
dateng meriki biasane niku sing terllibat teng acara niku sinten
mawon pak? Nopo umat Hindune mawon, nopo wonten saking
kepala desa nopo, (Ya ini pak kalau ada acara di pura, acara di sini
148
itu yang terlibat dalam acara itu siapa saja pak? Apakah umat
Hindunya saja, apakah ada yang dari kepala desa apakah,
Narasumber 1 : Nggih mboten enten saking kepala desa mboten. Nggih intine
nggih namung warga umat Hindu. Tapi nek acara besar niku sing
terlibat kathah. Nek acara besar khusus nggih termasuk biasane
niku, wedaran menawi, melati ngoten mangke nggih umat Hindu
luar daerah nggih masuk, termasuk saking mbali. Saking mbali
niku dengan sukarela tanpa diminta niku rawuh nek’e pas acara
wedaran. Nggih masalahe termasuk mengakui nek’e orang-orang
Bali niku leluhure kan wong Jowo ngoten. Dadose mengakui
bahwa leluhurnya ada di sini makane tetep, istilahe coro tiang
Islam ngoten ziarah teng nggene eyang’e, eyang dalam niku sing
kesempatan khusus. Niku nggih bagi sing pun mangartosi sing
dereng ngertosi kan nggih, dereng. Ngaten sing meyakini. (Ya
tidak ada yang dari kepala desa tidak. Ya intinya ya hanya warga
uat Hindu. Tapi kalau acara besar begitu yang terlibat banyak.
Kalau acara besar khusus ya termasuk biasanya itu, misalnya
wedaran, melati begitu nanti juga umat Hindu luar daerah juga
masuk, termasuk dari Bali. Dari Bali itu dengan sukarela tanpa
diminta turut hadir ketika acara wedaran berlangsung. Ya
masalahnya termasuk mengakui kalau orang-orang Bali itu
leluhurnya orang Jawa kan begitu. Jadinya mengakui bahwa
leluhurnya ada di sini maka dari itu tetap, istilahnya pada orang
Islam begitu seperti Ziarah kepada pendahulunya, pendahuludalam
itu yang kesempatan khusus. Itupun bagi yang sudah mengetahui
yang belu mengetahui kan ya, belum. Begitu itu yang meyakini.)
Pewawancara 1 : Tapi nopo niku pak, menawi dateng desa, balai desa menawi
gadhah acara niku umat Hindune nopo diundang dateng meriku,
(Tapi apa itu pak, apabila dalam desa, balai desa apabila punya
acara begitu umat Hindunya apakah diundang kesana,)
Narasumber 1 : Nggih tetep, tetep nek’e acara besar nggih termasuk temo
kelantikan nopo nopo niku teko, agama nggih tetep dihadirkan.
Nggih termasuk teng pemerintah Nganjuk nopo, pun lumayan.
Wong wingi nggih pelantikan teng kejaksaan kulo nggih tumut.
(Iya tetap, tetap kalau acara besar ya termasuk temu kelantikan apa
apa itu hadir, agama juga tetap dihadirkan. Ya termasuk di
pemerintah Nganjuk juga begitu, sudah lumayan. Kemarin juga
pelantikan di kejaksaan saya juga ikut.)
Pewawancara 2 : Tapi menawi misale wonten rapat-rapat desa niku tetep nggih sing
diundang niku BPDne, (Tapi kalau misalnya ada rapat-rapat desa
itu tetap ya yang diundang itu BPDnya,)
Narasumber 1 : Ooo nggih nek rapat desa. Nek rapat desa kan tiang agama
mboten cawe-cawe. Mboten cawe-cawe niku kan enten BPD enten
pamong kan RT, RW cukup. (Ooo iya kalau rapat desa. Kalau rapat
149
desa kan orang agama tidak ikut campur. Tidak ikut campur itu kan
ada BPD ada perangkan kan RT, RW cukup.)
Pewawancara 2 : Berarti teng desa niki Hindu niku pun dados bagian dari sebagian
besar nggih pak? (Berarti di desa ini Hindu itu sudah menjadi
bagian dari sebagian besar ya pak?)
Narasumber 1 : Inggih, nggih termasuk lek teng deso niki pun jadi sebagian besar
niku. Dua RT sing jan pemeluk Hindu niku pun dua RT. (Iya, ya
termasuk kalai di desa ini sudah menjadi sebagian besar itu. Ada
dua RT yang benar-benar menjadi pemeluk Hindu itu sudah dua
RT.)
Pewawancara 2 : Oo nggih berarti dateng meriki pun dianggep persaudaraan ngaten
nggih pak? (Oo ya berarti disini sudah dianggap persaudaraan
begitu ya pak?)
Narasumber 1 : Inggih. Masio anu, kalih tiang Muslim inggih sami mbah’e ngih
tunggale mawon. Biasa teng meriki mangke enten sing colok
Muslim colok Hindu biasa mboten masalah. Kang mas’e
umpamane Hindu mangke adik’e Muslim biasa ngoten. Mboten
enten pertentangan niku mboten enten hehe (sambil tertawa) (Iya.
Meskipun itu, dengan orang Muslim juga sama kakek-neneknya
juga sama saja. Disini sudah biasa nanti ada yang terlihat muslim
terlihat Hindu biasa tidak masalah. Misalnya kakaknya Hindu lalu
adiknya Muslim biasa begitu. Tidak ada pertentangan itu tidak ada
hehe (sambil tertawa).)
Pewawancara 1 : Berarti golongan tuwo, wong tuwone niku nopo sampun ngertos,
saget maklum? (Berarti golongan tetua, orang tuanya begitu
apakah sudah paham, bisa memaklumi?)
Narasumber 1 : Puun sampun. Nek teng meriki kiambak ngoten. Nggih cuma sing
kulo aturne teng riyen niku kan kelompok tiang luar to, sing istilahe
niku karepe niku ngadu domba, dimanfaatne niku kersane mboten
dadi ahaha (sambil tertawa) biasa to niku lumrah. Tapi nggih
pemerintah daerah’e kan lumayan itungane termasuk Bupatine
niku paling antusias, nggih jaman, tahun dua ribu niku paling
antusias Bupatine. Nggih kerono Bupatine kiambak kan ngertos.
Pandangane pak Sutrisno niku sae tentang agama. Tiap
pembangunan tempat suci didukung. Lha nek sakniki kan pun
wonten undang-undang khusus tentang pendirian tempat suci riyen
kan mboten enten. Inggih mboten enten ijine lewat sospol. Nek
sakniki nggih lewat SKUB sing berwenang mangke kan wakil
bupati sebagai pengendali niku enten SKB menteri , tiga menteri.
Menteri dalam negeri , menteri agama dan menteri nopo niku
ketahanan. Pun jelas sakniki mbangun tempat suci kan mboten
engkel-engkelan sing penting syarat’e pun memenuhi pun. Nggih
econe teng meriku syarat pun memenuhi pun jelas melampah.
150
(Sudah sudah. Kalau di sini sendiri begitu. Ya Cuma yang saya
jelaskan tadi dahulu itu kan kelompok orang dari luar, yang
istilahnya itu ingin mengadu domba, dimanfaatkan supaya itu tidak
jadi ahaha (sambil tertawa) biasa kan itu lumrah. Tapi juga
pemerintah daerahnya kan cukup membantu, termasuk Bupatinya
itu paling antusias, ya jaman, tahun dua ribu itu paling antusias
Bupatinya. Ya karena Bupatinya sendiri kan tahu. Pandangan Pak
Sutrisno mengenai agama itu bagus. Setiap pembangunan tempat
suci didukung. Nah kalau sekarang kan sudah ada undang-undang
khusus tentang pendirian tempat suci dulu kan tidak ada. Iya tidak
ada ijinnya melalui Sospol. Kalau sekarang ya melalui SKUB yang
berwenang nanti kan Wakil Bupati sebagai pengendali itu ada SKB
menteri, tiga menteri. Menteri dalam negeri, menteri agama dan
menteri apa itu ketahanan. Sudah jelas sekarang membangun
tempat suci kan tidak eyel-eyelan yang penting syaratnya sudah
memenuhi cukup. Ya enaknya di situ syarat sudah memenuhi
sudah jelas berjalan.)
Pewawancara 2 : Anu pak nopo, menawi pundene niku kiambak kan nggih sami-
sami saking leluhur’e Hindu, tapi aa.. masyarakat Hindu dateng
meriki niku nopo nggih menggunakan punden niku? (Begini pak,
tentang punden itu sendiri kan juga sama-sama berasal dari
leluhurnya Hindu, tapi aa.. masyarakat Hindu di sini itu apakah
juga menggunakan punden itu?)
Narasumber 1 : Inggih tetep, tetep nghormati. Setiap bade upacara besar nggih
sami. Niku kan penghormatan teng leluhur, bahwa menyadari nek
leluhur niku punya peran, kerono ilmune, kerono tinggalan
lokasine. Kan termasuk sing babat alas riyen pomo niki riyen alas
gede terus dados deso kan nggih sing kentun niki kan pun kari
penak’e ahaha (sambil tertawa) nah niku kan perlu. Peran’e besar
mas punden niku perane besar. Tanpa wonten ngaten-ngaten niku
tanah Jowo niku mboten roso (Iya tetap, tetap menghormati. Setiap
akan upacara besar juga sama. Itu kan penghormatan kepada
leluhur, bahwa menyadari kalau leluhur itu memiliki peran, karena
ilmunya, karena peninggalan daerahnya. Kan termasuk yang
membersihkan rawa dahulu missal ini dulu rawa yang luas lalu bisa
menjadi desa kan juga yang hidup sekarang ini kan tinggal enaknya
ahaha (sambil tertawa) nah itu kan perlu. Perannya besar mas
punden itu perannya besar. Tanpa ada seperti-seperti itu tanah
Jawa itu tidak berwarna)
Pewawancara 1 : Inggih leres pak hehehe (sambil tertawa) (Iya betul pak hehehe
(sambil tertawa).)
Narasumber 1 : Tiap punden niku, minimal tiga punden niku sing magersari,
bajulan sing, sing termasuk tiap acara dipamiti. Dadose kuburan
niko dadose istilahe nggih punden. Nggih kelentune niku punden
151
dingge kuburan tiang mbahe riyen. Kudune punden niku nggih pun
suci, tempat suci. Tiap acara besar dateng meriki niku nggenahne,
pamit teng punden-punden niku, candi termasuk candi loceret,
candi ngetos sowan meriko pamit. Niku kan penghargaan teng
leluhur, karyane leluhur. (Tiap punden itu, minimal tiga punden
yang di magersari, bajulan, yang termasuk tiap acara dimohonkan
pamit. Jadinya makam tu jadinya istilahnya ya punden. Ya
kesalahannya itu punden digunakan menjadi makamnya para
leluhur dahulu. Seharusnya punden itu ya sudah suci, tempat suci.
Tia acara besar di sini itu membenarkan, berpamitan ke punden-
punden itu, canti termasuk canti locret, candi ngetos berkunjng
kesana pamit. Itu kan penghargaan kepada leluhur, karyanya
leluhur.)
(Diam sejenak sambil menghabiskan teh suguhan)..................
Pewawancara 1 : Nggih sampun cekap semanten pak niki pun lengkap. Nyuwun
pangapunten menawi ngerepoti bapak ehehe (sambil tertawa) (Ya
sudah cukup begitu pak ini sudah lengkap. Mohon maaf apabila
merepotkan bapak ehehe (sambil tertawa).)
Narasumber 1 : Mboten nopo-nopo mas pun biasa, kulo pun sering wawancara
saking mahasiswa-mahasiswa (Tidak apa-apa mas sudah biasa,
saya sudah sering wawancara dari mahasiswa-mahasiswa)
Pewawancara 2 : Oo ngaten.. inggih-inggih pak (Oo begitu.. iya-iya pak)
Narasumber 1 : Nggih wonten saking IAIN niku nopo, king Unesa, king, kathah
maleh. (Iya ada yang dari IAIN itu apa, dari Unesa, dari, banyak
lagi.)
Pewawancara 2 : Inggih pak, nggih sampun cekap semanten, matur nuwun pak, bu,
pareng.. (Iya pak, iya sudah cukup begitu, terima kasih pak, bu,
mari..)
Narasumber 1 : Inggih monggo mas (Iya mari mas)