Post on 11-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Wallenberg merupakan termasuk ke dalam bagian besar penyakit cerebro
vaskular atau CVD. CVD sendiri mempunyai pembagian yang luas seperti oklusi dari
pembuluh darah besar seperti arteri karotis interna, arteri cerebral anterior, arteri cerebral
media, arteri cerebral posterior, arteri vertebral, arteri basilar atau keduanya digabung
menjadi vertebrobasilar. Arteri vertebrobasilar memiliki cabang –cabang lagi yang dapat
mengalami oklusi maupun perdarahan. Cabang dari arteri basilar akan mengakibatkan
kelainan klinis berupa :
- Sindroma arteri cerebelar superior pada midbrain
- Sindroma arteri cerebelar anterior inferior pada pons
- Sindroma arteri cerebelar posterior inferior pada medula
Arteri vertebrobasilar memperdarahi ke bagian medula, cerebelum, pons, midbrain,
thalamis dan korteks occipital. Oklusi pada pembuluh darah ini dapat menyebabkan
kecacatan maupun kematian. Mortalitas dari stroke vertebrobasilar ialah lebih dari 85%
karena keterlibatan batang otak dan cerebelum yang mempunyai multifungsi sistem.1
Sindroma Wallenberg ditemukan oleh seorang internist dan neurologis yang berasal dari
Jerman bernama Adolf Wallenberg pada tahun 1895 mengenai gejala yang didapatkan dan
melakukan autopsi pada tahun 1901 dan menemukan adanya oklusi pada arteri cerebelar
posterior inferior.2
Pada sindroma ini dikarakteristikan dengan adanya defisit sensoris yang mengenai batang
tubuh dan ekstremitas yang berlawanan dengan lesi infark serta defisit motorik yang megenai
wajah dan nervus kranial di sisi yang sama dengan lesi infark. Penyebab sindroma ini ialah
oklusi dari arteri cerebelar posterior inferior.1
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 1
BAB II
ISI
Definisi
Sindroma Wallenberg atau memiliki nama lain Sindroma medula lateral atau
Sindroma arteri cerebelar posterior inferior (PICA syndrome) merupakan suatu penyakit
dimana pasien memiliki gejala neurologis yang disebabkan karena adanya cedera pada bagian
lateral medula di otak yang mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Sering pula disebut
disebabkan oleh stroke pada batang otak.3
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak
fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.4
Epidemiologi
Insiden stroke bervariasi di berbagai negara di Eropa, diperkirakan terdapat 100-200
kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun (Hacke dkk, 2003). Di Amerika
diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih
dari 160.000 kematian per tahun, dengan 4.8 juta penderita stroke yang bertahan hidup.
(Goldstein dkk, 2006). Rasio insiden pria dan wanita adalah 1.25 pada kelompok usia 55-64
tahun, 1.50 pada kelompok usia 65-74 tahun, 1.07 pada kelompok usia 75-84 tahun dan 0.76
pada kelompok usia diatas 85 tahun (Lloyd dkk, 2009).4
Untuk kategori stroke pada vertebrobasilar, frekuensi, insiden dan prevalensi
bervariasi tergantung areanya. Sekitar 80-85% dari seluruh stroke merupakan stroke iskemik
dan 20% lesi penyebab iskemik terjadi di sistem vertebrobasilar. Stroke hemoragik terjadi
sekitar 15-20%. Walaupun hampir keseluruhan perdarahan intraserebral terjadi di regio
putamen dan talamus, sekitar 7 % nya melibatkan serebelum dan 6% lainnya melibatkan
pons.5
Anatomi
Perdarahan otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi.6
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 2
Gambar 1. Sirkulus Willisi
Arteri Carotis Interna
Arteri karotis interna keluar dari sinus cavernosus pada sisi medial processus clinoideus
anterior dengan menembus duramater. Kemudia arteri ini membelok ke belakang menuju
sulcus cerebri lateralis dan disini bercabang menjadi :
A. Ophtalmica
A. Comunicans posterior
A. Choroidea
A. Cerebri anterior
Arteri ini berjalan di atas nervus optikus dan mengikuti alur dari corpus calosum.
Segera setelah beranjak dari asalnya, kedua pembuluh dari a. Cerebri anterior
digabungkan oleh arteri comunicans anterior. Arteri ini memperdarahi hemisfer
orbital, frontal dan parietal. Cabang dalamnya melewati kapsula interna dan basal
nuklei.
A. Cerebri media
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 3
Arteri ini merupakan cabang terbesar dari arteri karotis interna. Memberikan
perdarahan dengan cabang yang dalam ( perforating vessels) pada badan anterior
kapsula interna dan basal nuclei. Selain itu juga memberi cabang untuk temporal,
parietal dan frontal.6
Arteri Vertebralis
Merupakan cabang dari bagian pertama a. Subclavia. Berjalan ke atas melalui
foramen processus transversus vertebra C1-C6. Pembuluh ini masuk ke otak melalui foramen
magnum dan berjalan ke atas, depan dan medial medula oblongata. Arteri vertebralis dan
cabangnya memperdarahi medula dan bagian bawah serebelum.
Cabangnya ialah : a. Meningea, a. Spinalis anterior dan posterior, a. Cerebeli postero inferior
dan a. Medulares.6
Arteri Basilar
Arteri ini dibentuk dari gabungan kedua a. Vertebralis dan berjalan naik dalam alur
pada permukaan pons. Pada pinggir atas pons bercabang dua menjadi a. Cerebri Posterior.6
Cabang dari arteri basilar dibagi menjadi :
- Arteri Cerebral posterior
Merupakan arteri terminal dari a. Basilar. Cabang kecil memperdarahi struktur
midbrain, pleksus koroid dan posterior thalamus. Cabang kortikal memperdarahi
bagian bawah temporal dan korteks occipital dan visual.
- Cabang long circumflex
- Cabang paramedian1
Setiap arteri vertebralis biasanya memberi cabang menjadi arteri cerebelli posterior
inferior. Di atas dari pons, arteri basilar membagi menjadi 2 arteri cerebral posterior.
Proksimal dari percabangan arteri terminal tersebut, terdapat percabangan lagi yaitu arteri
cerebelar superior yang memperdarahi aspek lateral pons dan midbrain yaitu permukaan atas
serebelum. Serebelum sendiri duperdarahi oleh arteri cabang long circumfleksial, arteri
cerebelli posterior inferior dan arteri cerebelli anterior inferior serta arteri cerebelli superior.
Medula diperdarahi oleh arteri cerebelli posterior inferior dan cabang kecil langsung dari
arteri vertebralis. Pons diberikan suplai darah oleh cabang kecil dari arteri basilar dan cabang
utamanya. Arteri penetrasi dari arteri cerebelli posterior inferior memperdarahi midbrain dan
thalamus serta korteks occipital oleh cabang dari arteri cerebral posterior.5
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 4
Pada arteri cerebeli posterior inferior cabang medial memperdarahi pleksus koroid
ventrikel keempat sedangkan bagian lateral ke bagian bawah cerebelum dan kemudian
beranastomosis dengan arteri cerebeli anterior inferior dan arteri cerebelli superior. Struktur
yang terdapat pada bagian ini ialah :
- Peduncle inferior cerebeli
- Traktus spinotalamikus lateral
- Traktur descending dari n. V
- Nucleus ambigus
- Nucleus dan traktus solitarius
- Bagian kaudal nucleus vestibular inferior
- Serat nervus vagus dan asesorius
- Bagian substansi reticular yang mengandung serat simpatis descending dari thalamus.3
Arteri karotis dan basilar bersatu membentuk sirkulus Willisi. Karena sistem ini
mempunyai bentuk aliran kolateral maka bila adanya arteri yang teroklusi, maka perfusi ke
otak masih dapat dilakukan.
Etiologi
Etiologi dari sindroma Wallenberg ialah adanya oklusi dapat berupa trombosis
ataupun emboli dari arteri cerebeli posterior inferior. Adanya oklusi ini menyebabkan
terjadinya infark pada bagian lateral dari medula oblongata. Oklusi sering berasal dari arteri
vertebralis yang merupakan ibu cabang dari arteri cerebeli posterior inferior. Hal ini sering
disebabkan oleh trauma pada leher, contoh kegiatan ciropractic, yoga dan trauma kepala
leher. Arteri vertebralis melintas di sepanjang leher sebelum masuk ke dalam kepala dan
bercabang menjadi arteri cerebeli posterior inferior.5,7
Gambar 2. Bagian medula oblongata yang terkena
Faktor resiko
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 5
Beberapa faktor yang meningkatkan kecenderungan seseorang mengalami stroke baik itu
jenis yang iskemik maupun hemoragik :
A. Faktor Definitif
• Usia
Usia merupakan faktor utama pembentukan ateroma, sehingga merupakan faktor
utama terjadinya stroke. Pembentukan ateroma terjadi seiring bertambahnya usia, dimana
stroke paling sering terjadi pada usia lebih dari 65 tahun, tetapi jarang terjadi pada usia
dibawah 40 tahun. Dikatakan bahwa proses pembentukan ateroma tersebut dapat terjadi 20 -
30 tahun tanpa menimbulkan gejala.
• Jenis kelamin pria
Stroke lebih sering terjadi pada pria. Diperkirakan bahwa insidensi stroke pada
wanita lebih rendah dibandingkan pria, akibat adanya estrogen yang berfungsi sebagai
proteksi pada proses aterosklerosis. Di lain pihak pemakaian hormon estrogen dosis tinggi
menyebabkan peningkatan kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada pria. Oleh karena
itu faktor ini sebenarnya masih diperdebatkan.
• Tekanan darah tinggi
Merupakan faktor yang penting pada pathogenesa terjadinya stroke iskemia dan
perdarahan. Biasanya berhubungan dengan tingginya tekanan diastolik. Mekanismenya
belum diketahui secara pasti, tetapi pada percobaan binatang (anjing) didapatkan bahwa
adanya tekanan darah yang tinggi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah dan
meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein. Di Framingham,
resiko relatif terjadinya stroke pada setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik
adalah 1,9 pada pria dan 1,7 pada wanita dimana faktor-faktor lain telah diatasi.
• Merokok
Merokok merupakan faktor resiko yang independen. Mekanisme terjadinya ateroma
tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan akibat:
a. Stimulasi sistim saraf simpatis oleh nikotin dan ikatan O2 dengan hemoglobin akan
digantikan dengan Karbonmonoksida
b. Reaksi imunologi direk pada dinding pembuluh darah
c. Peningkatan agregasi trombosit
d. Peningkatan permeabilitas endotel terhadap lipid akibat zat-zat yang terdapat di dalam
rokok.
• Diabetes mellitus
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 6
Salah satu penyulit vaskuler pada penderita ini adalah penyakit pembuluh darah
serebral. Penderita ini mempunyai resiko terjadinya stroke 1,5-3 kali lebih sering jika
dibandingkan dengan populasi normal. Hipertensi yang terjadi pada penderita DM,
merupakan salah satu faktor terjadinya stroke. Hiperglikemi kronis akan menimbulkan
glikolisasi protein-protein dalam tubuh. Bila hal ini berlangsung hingga berminggu-mingu,
akan terjadi AGES (advanced glycosylate end products) yang toksik untuk semua protein.
AGE protein yang terjadi diantaranya terdapat pada receptor makrofag dan reseptor endotel.
AGE reseptor dimakrofag akan meningkatkan produksi TNF (tumor necrosis factors), ILI
(interleukine-I), IGF-I (Insuline like growth factors-I). Produk ini akan memudahkan
prolipelisasi sel dan matriks pembuluh darah. AGE Reseptor yang terjadi di endotel
menaikkan produksi faktor jaringan endotelin-I yang dapat menyebabkan kontriksi pembuluh
darah dan kerusakan pembuluh darah.
• Peningkatan fibrinogen plasma
Fibrinogen berhubungan dengan pembentukan aterogenesis dan pembentukan
trombus arteri. Pada penelitan di Bramingham, angka kejadian penyakit Kardiovasculer
meningkat sesuai dengan peningkatan kadar fibrinogen plasma.
• Profil lipid darah
Produk kolesterol didalan darah yang terbanyak adalah Low Density Lipoprotein
(LDL), LDL ini meningkat dengan adanya proses aterosklerosis. Sedangkan High Density
Lipoprotein (HDL) merupakan proteksi terhadap terbentuknya aterosklerosis akibat fasilitas
pembuangan (disposal) partikel kolestrol.
B. Posibel
Aktifitas fisik yang rendah
Pada pekerja dengan aktifitas fisik yang berat menimbulkan penurunan angka
kejadian penyakit kardiovaskuler. Hal ini disebabkan karena, pada pekerja berat, akan terjadi
penurunan tekanan darah akibat kehilangan berat badan, dan menyebabkan penurunan denyut
nadi, peningkatan kolesterol HDL, penurunan kolesterol LDL, memperbaiki toleransi
glukosa, perubahan kebiasaan buruk seperti merokok.
Peningkatan hematokrit
Biasanya akibat peningkatan sel darah merah dengan peningkatan fibrinogen darah
yang menyababkan peningkatan viskositas darah. Hal ini menyebabkan kelainan patologis
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 7
yang akan menyebabkan penyempitan arteri penetrasi yang berukuran kecil, dan arteri serebri
yang besar mengalami stenosis yang berat.
Obesitas
Obesitas menjadi faktor resiko biasanya berhubungan dengan tingginya tekanan
darah, gula darah, dan lipid serum.
Diet
Pada makanan yang paling menentukan angka kejadian penyakit kardiovaskuler
adalah konsumsi garam yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Jika pada
penderita kelainan vaskuler akibat konsumsi minuman yang mengandung kafein, hal ini
disebabkan karena adanya efek hiperlipidemia pada minuman kopi, atau karena pada
peminum kopi sering disertai dengan adanya kebiasaan merokok.
Alkohol
Alkohol dapat menyebabkan terhambatnya proses fibrinolisis, biasanya terjadi pada
penderita dengan hipertensi dan diabetes mellitus. Ada yang mengatakan bahwa alkohol
masih merupakan faktor resiko yang kontroversial. Walaupun begitu angka kejadian stroke
meningkat pada peminum alkohol sedang hingga berat dibandingkan dengan seseorang yang
bukan peminum alkohol.
Ras
Prevelansi yang berbeda terjadi pada orang dengan kulit putih, hitam dan Asia, bukan
hanya akibat faktor genetik. Hal ini akibat rendahnya kolesterol serum, tingginya intake
alkohol dan konsumsi makanan tradisional Asia yang rendah lemak dan protein yang berasal
dari hewan berhubungan dengan rendahnya penyakit jantung koroner tetapi menyababkan
tingginya kejadian stroke.8
Patofisiologi
Penyebab utama kelainan vaskular yang menyerang ke sistem vertebrobasilar adalah
aterosklerosis, dimana terbentuk plak di dinding pembuluh darah yang menyebabkan
lumennya menyempit dan dapat terjadi oklusi. Aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah
yang besar. Kejadian tersebut berbeda dimana menyerang pembuluh darah kecil yaitu pada
diameter 50 – 200 µm. Pada pembuluh darah kecil prosesnya bernama lipohyalinosis yang
sering terjadi berhubungan dengan hipertensi. Oklusi dari pembuluh darah kecil ini akan
membentuk infark kecil dan melingkar bernama lakuna dimana dapat muncul soliter ataupun
multiple di daerah subkorteks dan batang otak.
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 8
Lipohyalinosis melemahkan dinding pembuluh darah dan pada penderita hipertensi
rupturnya arteri dapat terjadi dan menyebabkan hemoragik fokal. Hampir selurah perdarahan
intracerebral berasal dari rupturnya arteri kecil yang merupakan penghubung.
Karena didapatkannya kedekatan secara anatomi antara arteri vertebral dan servikal,
maka bentuk-bentuk manipulasi pada leher dapat mencederai arteri vertebral di leher dan
akhirnya membentuk oklusi dari trauma yang ditimbulkan tersebut. Oklusi emboli dari sistem
vertebrobasilar tidaklah umum terjadi.
Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial dapat lisis akibat
mekanisme fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang menyebabkan terbentuknya emboli,
yang akan menyumbat arteri yang lebih kecil, distal dari pembuluh darah tersebut. Trombus
dalam pembuluh darah juga dapat terjadi akibat kerusakan atau ulserasi endotel, sehingga
plak menjadi tidak stabil dan mudah lepas membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan
penyumbatan pada satu atau lebih pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung
endapan kolesterol, agregasi trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh
dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi,
konsistensi dan umur plak tersebut, dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran
darah.
Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah di otak) akan
meyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung pada adanya pembuluh
darah yang adekuat. Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima
perdarahan 15% dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang diperlukan tubuh
manusia, sebagai energi yang diperlukan untukmenjalankan kegiatan neuronal. Energi yang
diperlukan berasal dari metabolisme glukosa, yang disimpan di otak dalam bentuk glukosa
atau glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk
metabolisme tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2 menit
aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan
lebih dari 9 menit, manusia akan meninggal. Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka
oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi
penurunan Na-K ATP ase, sehingga membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke
ruang CES sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan
permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal
depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural
ruang menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 9
menurun dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga
dibawah 10 ml/100 gr.menit.
Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi
enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral
yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap
mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian
penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik.
Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra seluler pada keadaan ini sudah
makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untuk mengurangi perluasan daerah iskemi
dengan mengatur masuknya ion Ca. Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah
edema serbral. Kejadian ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam jaringan otak
sebagai akibat pengaruh dari kerusakan lokal atau sistemis. Segera setelah terjadi iskemia
timbul edema serbral sitotoksik. Akibat dari osmosis sel cairan berpinda dari ruang
ekstraseluler bersama dengan kandungan makromolekulnya. Mekanisme ini diikuti dengan
pompa Na/K dalam membran sel dimana transpor Na dan air kembali keluar ke dalam ruang
ekstra seluler. Pada keadaan iskemia, mekanisme ini terganggu dan neuron menjadi bengkak.
Edema sitotoksik adalah suatu intraseluler edema. Apabila iskemia menetap untuk waktu
yang lama, edema vasogenic dapat memperbesar edema sitotoksik. Hal ini terjadi akibat
kerusakan dari sawar darah otak, dimana cairan plasma akan mengalir ke jaringan otak dan
ke dalam ruang ekstraseluler sepanjang serabut saraf dalam substansia alba sehingga terjadi
pengumpalancairan. Sehingga vasogenik edema serbral merupakan suatu edema
ekstraseluler. Pada stadium lanjut vasigenic edema serebral tampak sebagai gambaran
fingerlike pada substansia alba. Pada stadium awal edema sitotoksik serbral ditemukan
pembengkakan pada daerah disekitar arteri yang terkena. Halini menarik bahwa gangguan
sawar darah otak berhungan dengan meningkatnya resiko perdarahan sekunder setelah
rekanalisasi (disebut juga trauma reperfusy). Edema serbral yang luas setelah terjadinya
iskemia dapat berupa space occupying lesion. Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang
menyebabkan hilngnya kemampuan untuk menjaga keseimbangan cairan didalam otak akan
menyebabkan penekanan sistem ventrikel, sehingga cairan serebrospinalis akan berkurang.
Bila hal ini berlanjut,maka akan terjadi herniasi kesegala arah, dan menyebabkan
hidrosephalus obstruktif. Akhirnya dapat menyebabkan iskemia global dan kematian otak.3,8
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 10
Gejala Klinis
Dapat disebabkan oleh oklusi salah satu dari lima pembuluh darah yang bertanggung
jawab antara lain arteri vertebral, posterior inferior cerebellar, atau superior, tengah atau
inferior lateral medullary.
Infark yang berada di daerah medula umumnya mempunyai gambaran paralisis di satu
sisi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah di sisi lainnya.7
Gambar 2. Potongan melintang medula7
Gejala klinis pada sindroma Wallenberg terbentuk karena adanya trombosis yang
membentuk plak ateromatosa di bagian a. Vertebralis. Hanya sekitar 25 % sindroma ini yang
berasal benar-benar oklusi dari arteri cerebeli posterior inferior.3
Tabel 1. Gejala klinis Sindroma Wallenberg7
Gejala klinis Struktur yang berperan
Ipsilateral
1. Nyeri, baal, kelainan sensasi pada setengah
wajah
Traktus descenden dan nukleus nervus 5
2. Ataxia ekstrmitas dan jatuh pada sisi sakit Belum pasti restiform body, cerebellar
hemisphere, serat olivocerebellar dan traktus
spinocerebellar
3. Vertigo, mual dan muntah Nukleus Vestibular dan hubungannya
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 11
4. Nistagmus, diplopia dan oscilopsia Nukleus Vestibular dan hubungannya
5. Horner syndrome ( miosis, ptosis dan
anhidrosis)
Traktus descending simpatis
6. Disfagia, serak, berkurang refleks
menelan, paralisis pita suara
Serat saraf ke 9 dan 10 (ambigus)
7. Kehilangan rasa Nucleus and tractus solitarius
8. Baal ipsilateral lengan, badan atau kaki Nukleus Cuneate and gracile
9. Cekukan ( hiccup) Tidak pasti
Kontralateral
1. Nyeri dan kelainan rasa suhu pada
setengah badan atau muka
Spinothalamic
Gambar 3. Gejala klinis
Diagnosis
Beberapa langkah yang perlu untuk mencapai sebuah diagnosis ialah
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 12
Anamnesis
Diperlukan anamnesis yang baik dalam menunjang terdiagnosisnya suatu
penyakit. Ditanyakan apakah keluhan utama pasien dan sejak berapa lama. Komponen
waktu sangat penting dalam perjalanan penyakit. Ditanyakan pula keluhan tambahan
yang mengikuti keluhan utama. Pada sindroma Wallenberg, dapat ditanyakan gejala-
gejala umum yang terjadi pada stroke. Akan tetapi karena ini merupakan lokasi yang
khusus, maka didapatkan gejala-gejala khusus seperti yang sudah dijelaskan di bagian
gejala klinis seperti baal, nyeri di wajah, tangan dan kaki, penglihatan ganda, vertigo dan
gejala lainnya. Bagaimanakah gerakan-gerakan aktif yang dilakukan biasa, adakah
kelemahan, penurunan kesadaran, disabilitas dan sebagainya. Ditanyakan pula mengenai
faktor resiko yang melatarbelakangi seperti kencing manis, tekanan darah tinggi,
kolesterol dan sebagainya. Ditanyakan pula penyakit apa saja yang pernah diderita pasien
maupun keluarga. Perlu digali sebanyak mungkin informasi yang membantu
menegakkan diagnosis.8,9
Pemeriksaan fisik
1. Status generalis
a. Keadaan umum :
b. Gizi :
c. Tanda vital :
Tekanan darah kanan :
Tekanan darah kiri :
Nadi kanan :
Nadi kiri :
Pernafasan :
Suhu :
d. Limfanodi :
e. Toraks : meliputi jantung dan paru
f. Abdomen : meliputi hepar, lien, ginjal
g. Ekstremitas : adakah odem, keadaan akral hangat / dingin
2. Status psikiatris
a. Tingkah laku :
b. Perasaan hati :
c. Orientasi :
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 13
d. Jalan fikiran :
e. Daya ingat :
3. Status neurologis
a. Kesadaran : kualitas ( CM, sopor, somnolen)
kuantitas ( GCS E..M..V..)
b. Sikap tubuh :
c. Cara berjalan : apakah pasien datang berjalan sendiri, dituntun / berbaring
d. Gerakan abnormal : adakah korea, atetosis dan sebagainya
e. Kepala
Bentuk :
Simetris :
Pulsasi a.temporalis :
Nyeri tekan :
f. Leher
Sikap : apakah tegang, lemah
Gerakan : apakah bebas atau terbatas
Vertebrae : adakah penonjolan, miring
Nyeri tekan :
Pulsasi a. carotis :
4. Gejala rangsang meningeal:
(kanan/kiri)
a. Kaku kuduk :
b. Laseque :
c. Kernig :
d. Brudzinsky I :
e. Brudzinsky II :
5. Syaraf kranialis:
a. Nervus I (N. olfactorius) :
Daya penciuman baik atau tidak, adakah kelainan atau halusinasi. Diperiksa
dengan menutup salah satu hidung dan memberikan aroma untuk dicium.
b. Nervus II (N. opticus) :
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 14
Yang dinilai ialah ketajaman penglihatan, pengenalan warna, lapang pandang
pasien apakah ada bagian yang tidak terlihat dan dilakukan funduskopi untuk
menilai keadaan retina.
c. Nervus III, IV dan VI (N. occulomotorius/ trochlearis/ abdusens) :
Yang dinilai apakah terdapat ptosis yang merupakan parese nervus III,
strabismus yang merupakan terjadi kelumpuhan otot penggerak bola mata. Hal ini
diperiksa dengan meminta pasien melirik ke arah jari tangan yang pemeriksa
gerakkan untuk menilai gerakan bola mata. Hal lainnya ialah apakah ada
eksoftalmus maupun enoptalmus. Diperiksa juga mengenai pupil yaitu ukuran,
bentuk, isokor atau tidak, refleks cahaya baik langsung maupun tak langsung serta
refleks konvergensi.
d. Nervus V (N. trigeminus) :
Merupakan bagian dari sensoris dan sebagian motoris. Sensoris diperiksa
dengan menggunakan kapas di bagian atas tengah dan bawah. Pasien juga diminta
mengattupkan gigi seperti menggigit. Apakah refleks maseter, kornea, bersin dan
zygomatikus pasien baik juga diperiksa.
e. Nervus VII (N. fasialis) :
Dapat diperiksa dengan melihat gerakan aktif maupun pasif. Gerakan pasif
dapat berupa kerutan kulit dahi, kedipan mata, lipatan nasolabial dan sudut mulut.
Dari gerakan pasif tersebut dinilai apakah terdapat kemiringan dan lebih jatuh di
satu sisi tubuh. Gerakan aktif diperiksa dengan meminta pasien untuk
mengerutkan dahi, alis, menutup mata, meringis, menggembungkan pipi dan
bersiul. Untuk fungsi sensosirs N. VII dilakukan dengan menguji daya
pengecepan lidah 2/3 depan.
f. Nervus VIII (N. acusticus) :
Diperiksa fungsi pendengaran pasien dengan alat sederhana mulai suara
gesekan jari pemeriksa sampai menggunakan garputala.
g. Nervus IX (N. glossopharyngeus) :
Fungsi saraf ini diketahui biasanya bersama dengan saraf kesepuluh. Pasien
diminta membuka mulutnya dan melihat dimanakan posisi uvula, apakah tertarik
ke salah satu sisi. Terdapat pula daya pengecapan lidah 1/3 bagian belakang,
namun sulit dilakukan karena sering juga merangsang refleks muntah yang
membuktikan fungsinya masih baik.
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 15
h. Nervus X (N. vagus) :
Dinilai bagaimana cara berbicara apakah terdapat serak ,pelo maupun sulit
dimengerti. Pasien juga diminta menelan, apakah terdapat kesulitan atau tidak.
i. Nervus XI (N. assesorius) :
Merupakan fungsi kerja dari otot sternocleidomastoideus dan trapezius yaitu
dengan cara memalingkan kepala, sikap dan mengangkat bahu.
j. Nervus XII (N. hipoglosus) :
Pasien diminta untuk menjulurkan lidah, apakah terdapat kemiringan ke salah satu
sisi. Kemudian pasien diminta mempertahankannya, dilihat kekuatannya. Apakah
ada atrofi dari lidah. Cara berbicara pasien juga dinilai, yang menyebabkan
disartria tidak hanya n. VII tapi XII juga bisa.
6. Motorik:
Gerakan : gerakan yang diperiksa ialah gerakan aktif maupun pasif.
Kekuatan : dinilai dengan jarak 0 – 5. 0 untuk yang tidak bergerak sama sekali
dan 5 untuk yang dapat menahan beban yang diberikan.
Tonus otot : dinilai bagaimana tonus otot tersebut.
Trofi :
7. Refleks fisiologis:
a. Refleks tendon: bisep, trisep, patela dan achiles.
b. Refleks permukaan: dinding perut, spinchter ani dan cremaster
8. Refleks Patologis:
Dicari apakah terdapat refleks patologis seperti hoffman trommer, babinski,
chaddok, oppenheim, gordon, schaefer, rosolimo, mendel beckertrew dan klonus.
9. Sensibilitas:
Yang dinilai ialah sensibilitas suhu, nyeri dan taktil serta posisi, vibrasi dan tekanan
dalam. Alat pemeriksa dapat menggunakan kapas maupun jarum halus.
10. Koordinasi dan keseimbangan:
a. Tes Romberg
b. Tes tandem
c. Rebound phenomen
d. Dismetri
e. Tes telunjuk hidung
f. Tes telunjuk telunjuk
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 16
g. Tes tumit lutut
11. Fungsi otonom:
Dinilai fungsi miksi dan ddeefekasi. Dicari apakah terjadi inkostinesia, retensi.
Hal ini dapat disebabkan oleh lesi di daerah konus maupun kauda.
12. Fungsi luhur:
a. Fungsi bahasa
b. Fungsi orientasi
c. Fungsi memori
d. Fungsi emosi9
Pemeriksaan penunjang
a. Darah lengkap
Dengan pemeriksaan darah lengkap akan didapatkan kadar hemoglobin. Kadar
hemoglobin berguna untuk menilai faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit
cerebrovaskular dan stroke seperti anemia dan polisitemia.
b. Laju endap darah
Laju endah darah didapatkan meningkat pada penyakit-penyakit kronis, malignan dan
cranial arteritis.
c. Gula darah ( sewaktu, puasa dan 2 jam post prandial)
Digunakan untuk melihat ada tidaknya diabetes melitus yang diketahui penyakit ini
memiliki hubungan yang erat dengan penyakit kardiovaskular dan cerebrovaskular.
d. Fungsi ginjal ( ureum dan kreatinin)
Fungsi ginjal yang terganggu, menunjukkan adanya kelainan pada ginjal yang dapat
berupa akut maupun kronis. Pada gagal ginjal kronis, memiliki hubungan yang erat
dengan hipertensi dan diabetes melitus yang diketahui berhubungan erat dengan stroke.
e. Asam urat
Peningkatan kadar asam urat lebih bertendesi dalam membentuk plak di arteri carotis
dan vertebralis.
f. Hormon tiroid
Pada individu dengan hipotiroid, didapatkan kadar kolesterol yang tinggi oleh karena
itu lebih mudah terjadi aterosklerosis.
g. Screening penyakit kolagen ( ANA, ACA, C3,C4)
h. Serologi sifilis
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 17
i. Elektrokardiografi
Berguna dalam melihat irama jantung dan mendeteksi adanya kelainan pada jantung
seperti gangguan irama / konduksi. Sebagaimana diketahui, penyakit jantung dapat
melepaskan emboli yang menyebabkan oklusi di otak.
j. X’ray ( cervical dan kepala )
Dengan foto cervical dapat dilihat bila adanya spondilosis cervical yang dapat
mengkompresi a. Vertebralis. Sedang dengan foto kepala, dapat terlihat bila ada tumor
maupun perdarahn.
k. USG Doppler
Dapat melihat aliran dan perjalanan dari a. Carotis dan a. Vertebralis.
l. CT-Scan
CT scan non kontras baik untuk melihat infark untuk membedakan iskemik dan
perdarahan.
Gambar 4. Hasil CT-Scan Sindroma Wallenberg
m. MRI
Lebih superior daripada CT Scan, dapat mendeteksi yang tidak terdeteksi di CT scan.
n. Arteriografi
Bila hasil USG doppler menunjukkan adanya stenosis, dapat dilakukan arteriografi
untuk diagnosis dan terapi.
o. Lumbal punksi
Penggunaannya sudah sangat terbatas pada masa kini, tergantikan dengan adanya CT
scan.3,5,7
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 18
Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan pada stroke mempunyai tujuan utama untuk memperbaiki
keadaan penderita sehingga kesempatan hidupnya maksimum. Merupakan usaha
terapeutik/medik terutama dalam fase akut hingga optimal.
Perencanaan umum
1. Breathing
Harus dijaga agar jalan nafas bebas dan bahwa fungsi paru-paru cukup baik. Karena
dengan pernapasan yang baik, oksgen akan cukup untuk diperfusikan ke otak. Pengobatan
dengan oksigen hanya perlu bila kadar oksigen darah berkurang. Pantau berkala
pernapasan dengan auskultasi atau roentgen bila perlu. Hal ini disebabkan dapat terjadinya
resiko ateletaksis atau pneumonia terutama untuk pasien yang imobilisasi lama.
2. Brain
Udem otak dan kejang-kejang harus dicegah dan diatasi. Bila terjadi udem otak, dapat
dilihat dari keadaan penderita yang mengantuk, adanya bradikardi atau dengan
pemeriksaan funduskopi, dapat diberikan manitol. Untuk mengatasi kejang-kejang yang
timbul dapat diberikan Diphenylhydantoin atau Carbamazepin.
3. Blood
Tekanan Darah dijaga agar tetap cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke otak.
Pengobatan hipertensi pada fase akut dapat mengurangi tekanan perfusi yang justru akan
menambah iskemik lagi. Kadar Hb dan glukosa harus dijaga cukup baik untuk
metabolisme otak. Pemberian infus glukosa harus dicegah karena akan menambah
terjadinya asidosis di daerah infark yang ini akan mempermudah terjadinya udem.
Keseimbangan elektrolit harus dijaga.
4. Bowel
Defekasi dan nutrisi harus diperhatikan. Hindari terjadinya obstipasi karena akan
membuat pasien gelisah. Nutrisi harus cukup. Bila pelu diberikan nasogastric tube.
5. Bladder
Miksi dan balance cairan harus diperhatikan. Jangan sampai terjadi retentio urinae.
Karena bila terdapat retensi urin, akan terjadi distensi bladder dan meningkatkan tekanan
darah. Pemasangan kateter jika terjadi inkontinensia. Akan tetapi, perawtan kateter harus
dijaga untuk mencegah infeksi sekunder.3
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 19
Pada fase akut pengobatan ditujukan untuk membatasi kerusakan otak semaksimal
mungkin. Untuk daerah yang mengalami infark kita tidak bisa berbuat banyak. Yang penting
adalah menyelamatkan daerah disekitar infark yang disebut daerah penumbra. Neuron-neuron
di daerah penumbra ini sebenarnya masih hidup, akan tetapi tidak dapat berfungsi oleh karena
aliran darahnya tidak adekuat. Daerah inilah yang harus diselamatkan agar dapat berfungsi
kembali.
Perlu di perhatikan pada pemberian:
- Cairan
Pada pasien stroke biasa di berikan cairan koloid atau kristalkoloid (hindari
pemberian cairan yang mengandung glukosa kecuali dalam keadaan hipoglikemi).
Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambahn
dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urine sehari ditambah 500
ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan di tambah lagi 300 ml per derajat
celcius pada penderita panas)
- Nutrisi
Nutrisi enteral paling lambat sudah diberikan dalam 48 jam, oral nutrisi hanya
boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik. Bila terdapat gangguan menelan
atau kesadaran menurun, makanan dapat diberikan melalui pipa nasogastrik. Pada
keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari.
- Kulit
Perawatan terhadap pasien koma atau tidak dapat bergerak dan hanya
berbaring di tempat tidur, harus diperhatikan mengenai kulit dan sendi karena mudah
terbentuk ulkus decubitus. Pasien harus dipindah-pindahkan posisi untuk mencegah
itu terutama di bagian yang menumpu kuat seperti tumit dan sakrum.3
Medika Mentosa
Pengelolaan harus bedasarkan penyebabnya dengan obat-obatan yang berfungsi untuk
- Pemberian obat-obatan yang dapat memperbaiki aliran darah ke otak seperti rt-PA
( recombinant tissue activator plasminogen) tetapi hal ini bermanfaat apabila
diberikan kurang dari 3 jam setelah terjadi serangan. Fungsinya ialah rekanalisasi
arteri yang mengalamai oklusi. Dosisnya ialah secara intravena 0,9 mg.kgBB
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 20
maksimal 90 mg dengan 10 % secara bolus dalam 1 menit dan sisanya infus drip
selama 1 jam.
- Nimodipin dapoat menurunkan morbiditas dan mortalitas terutama bila diberikan
dalam 12 jam pertama.
- Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan imaging yang
memastikan bahwa tidak ada pendarahan intracranial primer. Terhadap penderita yang
mendapatkan pengobatan antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan.
Contoh obat antikoagulan adalah heparin, LMWH atau heparinoid. Dalam
pemeberian antikoagulan harus diperhatoikan mengenai perdarahan. Hal ini dipantau
dengan pemeriksaan INR secara berkala. Nilai yang ditetapkan ialah 2.5-3.0 dengan
PT 1.5 kali normal. Akan tetapi terdapat pengecualian bagi penderit atrial fibrilasi
atau gangguan katup jantung ialah INR 3.0-3.5. penggunaan antikoagulan
berkepanjangan pasien dapat terjadi stroke hemorgaik, oleh karena itu pemantauan
harus dilakukan secara ketat.
- Pemberian antiplatelet aggregasi seperti aspirin, clopidogrel, dipiridamol.
- Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke
iskemik akut
- Dalam keadaan tertentu dapat digunakan vasopresor untuk memperbaiki aliran darah
ke otak. Pada keadaan tersebut harus dilakukan pantauan kondisi neurologic dan
jantung secara tepat.
- Pemberian obat-obatan neuroprotektan (citicolin)
- Pemberian vitamin B (neurobion)
- Pengobatan terhadap faktor-faktor resiko seperti hipertensi (menurunkan tekanan
darah harus secara bertahap), hiperglikemi atau hipoglikemi3,4
Pengendalian faktor resiko dan komplikasi :
a. Diabetes melitus
- Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg
% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama.
- Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi
segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya.
b. Hipertensi
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 21
- Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220
mmHg dan diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130
mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan
infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan
darah maksimal adalah 20% MAP, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid 10 ug/kgBB, penyekat reseptor alfa-beta ( ct : labetalol 20 mg selama 2
menit). Jangan diberikan penyekat ACE, atau antagonis kalsium karena dapat terjadi
vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intrakranial.
- Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi
NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL
selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan
darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai
tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
c. Kejang
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv perlahan selama 3 menit, maksimal 100 mg
per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang
muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
d. Tekanan intrakranial meningkat
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum
memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan
hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.3,4
Non Medika Mentosa
- Tirah baring
- Rehabilitasi :
Fisioterapi
Fisioterapi dapat membantu memulihkan kekuatan otot-otot serta
mengajarkan bagaimana bergerak yang aman dan nyaman dengan keterbatasan
gerak akibat kelemahan otot.
Terapi okupasi
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 22
Ini dapat membantu penderita untuk dapat makan, minum dan
berpakaian sendiri.
Terapi wicara
Dapat membantu penderita untuk mengunyah, berbicara maupun
mengerti kembali kata-kata.
Tujuan rehabilitasi ialah :
• Memperbaiki fungsi motoris, bicara, dan fungsi lain yang terganggu
• Adaptasi mental; sosial dari penderita stroke, sehingga hubungan interpersonal
menjadi normal.
• Sedapat mungkin harus dapat melakukan aktivitas sehari-hari.4
Pencegahan
Primer
Mengatur pola makan yang sehat
Melakukan olah raga yang teratur
Menghentikan rokok
Memelihara berat badan ideal
Menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
Penanganan stress yang baik
Beristirahat yang cukup
Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat pada advis dokter dalam hal diet dan obat
Mengendalikan atau menghilangkan faktor resiko terjadinya stroke
Cari gejala stroke dan segera ke dokter untuk mendapat perhatian medis segera
Sekunder
Tirah baring
Cairan dan nutrisi yang cukup dan seimbang
Tersier
Mobilisasi untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan dekubitus
Pemberian antibiotika jika terjadi infeksi sekunder
Pencegahan terjadinya DVT dapat diberikan heparin subkutan 5000 IB dua kali sehari
atau LMWH atau heparinoid
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 23
Rehabilitasi sedini mungkin7
Prognosis
Untuk kasus sindroma Wallenberg belum didapatkan angka yang pasti. Sekitar 10%
dari orang-orang yang menderita stroke iskemik akan kembali memiliki pemulihan total dan
sekitar 25% akan mengalami perbaikan pada sebagian besar bagian yang terkena. Sekitar
40% memerlukan perawatan khusus, dan sekitar 10% memerlukan perawatan di sebuah panti
jompo atau perawatan jangka panjang di fasilitas kesehatan. Beberapa orang secara fisik dan
mental tidak bisa bergerak, berbicara, atau makan secara normal. Sekitar 20% meninggal
karena stroke di rumah sakit, dimana kejadiannya akan lebih sering terjadi pada orang tua.
Sekitar 25% dari orang yang sembuh dari stroke akan kembali mengalami serangan stroke
lagi dalam waktu 5 tahun. Usia yang lebih muda akan lebih cepat mengalami pemulihan.
Paralisis yang terjadi biasanya akan hilang saat pasien pulang dari rumah sakit. Kerusakan
yang menetap setelah 12 bulan biasanya akan menjadi permanent meskipun ada yang dapat
kembali normal.
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 24
BAB III
KESIMPULAN
Sindroma Wallenberg atau memiliki nama lain Sindroma medula lateral atau
Sindroma arteri cerebelar posterior inferior (PICA syndrome) merupakan suatu penyakit
dimana pasien memiliki gejala neurologis yang disebabkan karena adanya cedera pada bagian
lateral medula di otak yang mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Sering pula disebut
disebabkan oleh stroke pada batang otak.
Stroke sendiri dibagi menjadi 2 yaitu stroke iskemik sekitar 85% dan stroke
hemoragik sekitar 15%. Sindroma walenberg ini termasuk ke dalam bagian iskemik.
Terbanyak bukan langsung menyumbat di arteri cerebelar posterior inferior tetapi di arteri
besar yaitu vertebralis. Etiologi dari sindroma Wallenberg ialah adanya oklusi dapat berupa
trombosis ataupun emboli. Adanya oklusi ini menyebabkan terjadinya infark pada bagian
lateral dari medula oblongata. Hal ini sering disebabkan oleh trauma pada leher, contoh
kegiatan ciropractic, yoga dan trauma kepala leher.
Faktor resiko sindroma ini sama dengan faktor resiko stroke pada umumnya yang
meliputi usia, jenis kelamin pria, hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia,
hiperkoagulasi, diet, aktivitas tubuh yang kurang dan sebagainya.
Gejala klinis pada sindroma ini ialah ipsilateral nyeri, baal, kelainan sensasi pada
setengah wajah ; ataxia ekstrmitas dan jatuh pada sisi sakit ; vertigo, mual dan muntah ;
nistagmus, diplopia dan oscilopsia ; sindroma horner ( miosis, ptosis dan anhidrosis) ;
disfagia, serak, berkurang refleks menelan, paralisis pita suara ; baal ipsilateral lengan, badan
atau kaki ; cekukan ; dan kontralateral Nyeri dan kelainan rasa suhu pada setengah badan atau
muka
Terapi yang dapat diberikan pertama diperhatikan mengenai 5 B yaitu breathing,
brain, blood, bowel dan bladder. Diberikan antioklusi seperti rt-pa ( recombinant tissue
plasminogen activity, urokinase dsb) pada stroke yang sampai di rumah sakit kurang dari 3
jam. Bila setelah itu maka tidak berguna. Obat lainnya yang diberikan dapat berupa
antiagregasi yaitu aspirin dan bila stroke berulang dapat diberikan antikoagulan seperti
heparin dan warfarin. Namun harus diperhatikan INR untuk mencegah efek samping berupa
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 25
perdarahan. Lainnya dapat diberikan neuroprotektan seperti citikolin, vitamin b. Yang
penting pula ialah pengendalian terhadap faktor resiko hipertensi, diabetes melitus dan
hiperkolesterol. Perhatikan pula keadaan yang merupakan komplikasi dari penyakit ini sperti
tekanan intrakranial yang meningkat. Diperlukan penanganan yang baik untuk menurunkan
TIK. Dalam fase akut, tekanan darah tidak boleh langsung diturunkan. Diberikan obat apabila
tekanan darah sistolik > 220 mmHG dan diastolik > 120 mmHg. Setelah melewati fase akut,
untuk memperbaiki kualitas hidupnya dapat diberikan fisioterapi, terapi okupasi maupun
psikoterapi.
Prognosis untuk sindroma wallenbberg belum diketahui karena kurangnya data
namun untuk stroke pada sistem vertebrobasiler secara umum seperti stroke pada umumnya.
Perawatan awal yang cepat tepat tidak melewati golden period akan mengahasilkan keluaran
yang baik. 80 % pasien dapat merasakn gejala sisa dari stroke.
Sindroma WallenbergSophie isabela – FK UKRIDA – 11.2010.068 Page 26