Post on 01-Jan-2016
MAKALAH
KEBANGKITAN KEMBALI TEORI-TEORI
HUKUM ALAM
Oleh :
KELOMPOK III
1. IDA MADE SANTIADNA (29)
2. ILIAS (30)
3. I KETUT PURWATA (31)
4. I KETUT SURYA BAWANA (32)
5. I MADE BADUARSA (33)
6. I MADE DHANUARDANA (34)
7. IRAWAN (35)
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
Filsafat Hukum ini dengan judul “Kebangkitan Kembali Teori-Teori Hukum
Alam” sehingga dapat kami presentasikan di hadapan teman-teman
mahasiswa dan dosen.
Pembuatan makalah ini dibentuk dengan kerjasama anggota kelompok III
dengan fokus bahasan tentang “Bagaimana Bangkitnya Hukum Alam dan
Kritik-Kritik Terhadap Nilai-Nilai Hukum Alam”. Tugas makalah ini
merupakan bagian dari proses pembelajaran pada Magister Ilmu Hukum agar
mahasiswa lebih memahami secara mendalam dan konfrehensif tentang teori-
teori hukum.
Pendekatan belajar secara kelompok tentu sangat baik karena memberi
ruang lebih besar terhadap interaksi pembelajaran diskusi untuk mencapai
tingkat pemahaman lebih mendalam. Dari diskusi-diskusi di antara anggota
kelompok dalam kelompok kecil ini, kemudian dikembangkan lagi pada
diskusi-diskusi antar kelompok dan diskusi kelas. Dengan demikian
diharapkan dapat digali lebih jauh masalah-masalah pada teori hukum alam
dan bagaimana kritik-kritik terhadap hukum alam sehingga akan didapat
pemahaman yang mendalam terhadap hukum alam.
Tulisan ini pada dasarnya secara utuh bersumber dari literatur atau buku
hukum yang berkenaan dengan bahasan makalah. Mudah-mudahan tulisan ini
akan mampu memberikan sumbangan pemahaman bersama mengenai hukum
alam, khususnya bagi kelompok III terhadap materi pembelajaran teori hukum
yang diberikan.
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN
A. Faktor yang mendorong bangkitnya hukum alam..................................................... 5
B. Pengaruh bangkitnya hukum alam terhadap perkembangan hukum positif ............. 10
C. Kritik-kritik atas hukum alam dalam mencari nilai keadilan.................................... 13
BAB III. PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................................... 19
B. Saran.......................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu kelebihan manusia yang tidak bisa dimiliki oleh mahluk-
mahluk Tuhan lainnya adalah keingintahuannya yang sangat dalam terhadap
segala sesuatu di alam semesta ini. Sesuatu yang diketahui oleh manusia disebut
pengetahuan.
Pengetahuan manusia, terlepas darimana sumber perolehannya
sesungguhnya merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia.
Melalui indera, eksperimen, perenungan, dan agama, manusia berusaha
mendekati kebenaran atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Adapun istilah pengetahuan tidaklah sama dengan ilmu, yang seringkali
juga disebut “ilmu Pengetahuan”. Menurut Poedjawijatna (1986 : 4-5),
kebanyakan pengetahuan diperoleh dari pengalaman inderawi manusia.
Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya sendiri atau
seringkali juga dari orang lain, yang biasanya digunakan untuk keperluan hidup
sehari-hari atau sekedar tahu. Adapun yang disebut dengan Ilmu, lebih jauh
daripada itu. Ilmu adalah pengetahuan yang memiliki objek, metode, dan
sistematika tertentu. Unsur lain lagi yang dapat ditambahkan disini, bahwa ilmu
juga bersifat universal.
Sayangnya, sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia,
tetap saja ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Bahkan,
sebagian besar pertanyaan-pertanyaan tersebut telah diajukan sejak berabad-abad
lampau, yang sampai sekarang tetap aktual untuk dibahas. Pertanyaan-pertanyaan
tentang hakikat manusia, tujuan hidup dan kematiannya, adalah sebagian contoh
pertanyaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh ilmu
itulah yang menjadi porsi pekerjaan filsafat.
Berangkat dari pemikiran tersebut sepatutnyalah Hukum perlu kita
pertanyakan bersama. Adapun yang menjadi persoalan yang dihadapi manusia
dari zaman ke zaman, dari abad ke abad, yang memang tidak ada kata akhirnya,
adalah bagaimanakah wajah hukum yang bagus. Bagus dalam arti dapat
memenuhi berbagai tujuan hukum, yaitu yang dapat mencapai keadilan,
kepastian hukum, ketertiban, keselarasan, saling menghormati satu sama lain,
tanpa ada penindasan, peperangan, pelicikan, dan penjajahan (model lama atau
model baru). Disadari bahwa hukum seperti ini tidak boleh hanya menjadi mitos
belaka, tetapi mesti diwujudkan ke dalam kenyataan hidup manusia. Karena itu,
sudah sangat banyak pikiran dicurahkan, cukup banyak buku ditulis, cukup
banyak riset dilakukan, dan cukup banyak teori dan aliran dalam hukum dan
filsafat hukum yang bagus tersebut. Dan usaha ini telah terjadi dalam kurun
ribuan tahun yang lalu dan akan terjadi dalam ribuan tahun ke depan, tidak akan
habis-habisnya.
Tentunya hukum yang bagus tidak akan mentolerir adanya perbudakan,
zaman dahulu hal ini sesuatu yang wajar dan sesuai dengan martabat manusia,
kemudian terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II pada abad ke-20 ini
yang telah menimbulkan kehancuran yang sangat fatal. namun kita harus akui
bahwa pandangan tersebut keliru.
Berbeda dengan pandangan para pemikir zaman dahulu umumnya
menerima suatu hukum, yaitu hukum alam atau hukum kodrat. Berbeda dengan
hukum positif sebagaimana diterima orang dewasa ini, hukum alam yang
diterima sebagai hukum tersebut bersifat tidak tertulis, hukum alam ditanggapi
tiap-tiap orang sebagai hukum oleh sebab menyatakan apa yang termasuk alam
manusia sendiri (Huijbers, 1995:82).
Mazhab hukum alam adalah mazhab tertua dalam sejarah pemikiran
manusia tentang hukum. Menurut mazhab ini, selain hukum positif (hukum yang
berlaku di masyarakat) yang merupakan buatan manusia, masih ada hukum yang
lain yaitu, hukum yang berasal dari tuhan , yang disebut hukum alam.
Hukum alam berintikan pada usaha manusia untuk mencari keadilan yang
mutlak. Kelsen menguraikan ajaran hukum alam tentang keadilan menjadi dua
tipe dasar yaitu, rasionalistis dan metafisis, tokoh dari tipe rasionalistis adalah
aristoteles dan tokoh dari metafisis adalah plato.
Namun para pemikir hukum modern memberikan kritikan terhadap
hukum alam dalam mencari nilai-nilai keadilan mutlak walaupun mereka
menolak berlakunya hukum alam, tetapi mereka menerima berlakunya asas-asas
hukum alam yang menjadi dasar berlakunya hukum positif dan yang menentukan
sifat kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum positif itu.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Faktor apakah yang mendorong kebangkitan kembali hukum alam ?
2. Apakah pengaruh dari bangkitnya hukum alam terhadap perkembangan
hukum positif?
3. Bagaimanakah kritik-kritik terhadap hukum alam dalam mencari keadilan?
BAB IIPEMBAHASAN
A. Faktor yang Mendorong Kebangkitan Hukum Alam
Tidak lama sebelum masyarakat barat hancur karena perang dunia
pertama dan akibatnya, reaksi timbul, yaitu ketidakpuasan dengan materi yang
dimiliki, dengan jaminan diri sendiri dengan golongan borjuis yang berlagak
menang perang dan banyak lagi hal-hal lain. Sekali lagi pikiran manusia tidak
tenang, berontak terhadap patokan-patokan hidup yang diterima dan seperti
halnya generasi-generasi terdahulu, mencari keadilan yang ideal.
Situasi zaman abad ke-19 ini ditandai oleh beberapa kecenderungan
utama. Pertama, terjadinya revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolusi
industri. Revolusi ini selain membawa perkembangan ekonomi yang luar biasa,
tetapi juga menimbulkan masalah baru di bidang sosial ekonomi. Ini ditandai
munculnya kelas-kelas baru yang berbeda menurut kemampuan ekonominya,
yakni kaum buruh dan kaum industrialis. Kaum industrialis berkuasa secara
penuh atas kaum buruh dan sering kali memerasnya. Situasi ini menjadi landasan
“Kritis Marx” dengan mengajukan pedoman untuk mengubah situasi masyarakat
yang timpang ini menuju tatanan egalitarian.
Kedua, munculnya penolakan terhadap rasionalisme universal abad
sebelumnya (yang masih dilanjutkan Hegel di abad ke-19) yang dianggap
cenderung mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Padahal latar
belakang kehidupan suatu bangsa merupakan sejarah di mana orang-orang
membangun suatu kehidupan bersama bagi meraka sendiri. Mewakili
kecenderungan ini, muncul historisme dengan tokoh utamanya yaitu Savigny “
Tertib Hidup” manusia yang ditawarkan Savigny adalah setia pada hukum sejati
yang berbasis volksgeist. Bagi Savigny, hukum sejati bukanlah yang dibuat
secara artifisial oleh Negara dan ahli hukum. Hukum sejati adalah hukum yang
tumbuh dan berkembang dari rahim kehidupan rakyat. Tapi ada juga sanggahan
terhadap Savigny, yakni Jhering lewat teori “akomodasi dan manfaat”. Karena
itu menurut Jhering, Savigny keliru besar kalau menyangka, hukum nasional
sebuah bangsa seutuhnya timbul secara spontan begitu saja dari jiwa bangsa.
Akantetapi hukum merupakan tatanan hidup bersama yang dianggap sesuai
dengan kepentingan nasional. Ini fenomena umum untuk semua bangsa. Hanya
apa yang dianggap berguna saja bagi bangsa itu, yang dapat dipertimbangkan dan
diterima sebagai hukum.
Ketiga, hampir bersamaan dengan historisme, muncul pula pemikiran
evolusionisme yang berusaha melacak perkembangan kebudayaan manusia dari
tradisional ke modern. Pemikir utama arus ini adalah Sir Henry Maine dan
Durkheim.
Keempat, menguatnya kosmologi positivism. Semangat ilmiah dan
rasionalitas yang tumbuh pada abad ke-18, kian kuat pada abad ke-19. Muncul
kegairahan saintisme di segala bidang, termasuk di bidang hukum. Kosmologi
positivisme ini berpengaruh terhadap hukum dalam tiga bentuk :
1. Positivisme Yuridis yang melihat hukum sebagai fakta yuridis menurut
metode ilmu hukum positif.
2. Positivisme Sosiologis yang berusaha melihat hukum sebagai gejala sosial.
3. Ajaran Hukum Umum yang berusaha menggunakan metode empiris dalam
menemukan prinsip-prinsip hukum yang dianggap universal melalui studi
perbandingan antar tata hukum positif.
Ilmu pengetahuan mulai meragukan kemajuan sendiri dan tentang
kepastian fakta-fakta ilmiah, kaum muda berontak terhadap rasa puas diri dari
golongan borjuis, terhadap kota-kota, pemujaan uang dan kehampaan kehidupan
modern. Para pembaharu sosial dan golongan sosialis menyerang berbagai
ketimpangan sosial yang bersembunyi di belakang formalisme hukum, dan
pemujaan kekuasaan kaum positivis. Para ahli hukum mulai menyadari, bahwa
hukum bukan hanya soal menerapkan undang-undang atau preseden terhadap
setiap kasus atau situasi yang ada, dengan menggunakan logika murni, sehingga
makin lama makin banyak problema yang tak terpecahkan, pemecahan terhadap
berbagai problema menuntut adanya petunjuk yang lebih tinggi dari hukum
positif. Selama kepastian diragukan, filsafat idealistik hidup kembali, dalam
bidang hukum ini berarti sekali lagi orang mencari keadilan yang ideal karena
kebanyakan dari teori-teori hukum yang ada sebelumnya biasanya dianggap
sebagai kebangkitan kembali hukum alam.
Selepas abad ke-19, hukum kembali dikaitkan lagi dengan mosaik sosial
dan kemanusiaan melalui Radbruch, hukum kembali dikaitkan dengan keadilan.
Memalui Marx, Holmes, Rawls dan lainnya, hukum dikaitkan dengan upaya
mewujudkan keadilan sosial. Hukum merupakan bagian dari perjuangan
mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena itu muncul kehendak meninggalkan
tradisi analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek yang hanya melihat ke dalam
hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke
dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai
sistematis dan logis. Dunia luar seperti manusia, masyarakat, dan kesejahteraan
(yang ditepis oleh analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek), dirangkul
kembali dalam pemikiran hukum. Disinilah muncul gagasan Frei Recjtslehre,
Sosiological Jurisprudence, Realistic Jurisprudence, Critical Lega Teory, Hukum
Responsif, dan juga Hukum Progesif.
Terlepas dari doktrin Katolik Neo-Skolastik, pemikiran yang paling
penting dalam kembangkitan hukum alam dapat ditemukan dalam hukum Jerman
Kontemporer. Kebangkitan kembali pemikiran ini, dalam garis besarnya, tidak
hanya salah satu siklus intelektual periodic. Hal ini secara langsung terlihat dari
reaksi yang berlebihan terhadap, dan dalam tahap-tahap berikutnya dari
Pemerintahan Nazi, manifestasi-manifestasi tanpa arti dari positivisme dalam
hukum. Dalam mencoba membangun kembali, tidak hanya memperbaharui kota-
kota dan pabrik-pabrik, tetapi juga tata nilai yang baru dari puing-puing material
dan spiritual akibat Perang Dunia II.
Ditengah trauma terhadap kekejian Perang Dunia II dan kekejaman Nazi,
perhatian terhadap hukum alam kembali bangkit. Ada kehendak agar kekejian
tersebut tidak terulang lagi dimasa datang. Karena itulah, norma-norma hukum
harus dijaga sedemikian rupa agar tetap mencerminkan prinsip-prinsip etika,
humanisasi hidup, dan keadilan.
Sehingga para filsuf jerman maupun badan-badan hukum berusaha
memikirkan dan merumuskan kembali hubungan prinsip-prinsip “Hukum
Tertinggi” dengan kondisi positif.
Gustav Radbruch, yang sangat tergerak hatinya oleh ekses-ekses dari
kedaulatan absolute Negara yang dilakukan oleh Kekuasaan Nazi, ditegaskan
bahwa Hukum positif tertentu tidak dapat didefinisikan sebagai hukum, hukum
pada dasarnya bertujuan mencapai keadilan.
B. Pengaruh Bangkitnya Hukum Alam terhadap Perkembangan Hukum
Positif
Pada pertengahan abad ke-19 sebuah gerakan mulai menentang tendensi-
tendensi metafisika yang ada pada abad-abad sebelumnya. Hal ini ditandai
dengan perubahan besar disegala bidang terutama akibat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang dimulai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, penemuan alat-alat teknologi, hingga revolusi industri dan
terjadinya perubahan-perubahan sosial beserta masalah-masalah sosial yang
muncul kemudian memberi ruang kepada para sarjana untuk berpikir tentang
gejala perkembangan itu sendiri. Pada abad-abad sebelumnya, orang merasa
kehidupan manusia sebagai sesuatu yang konstan yang hampir tidak berbeda
dengan kehidupan masa lalu. Pada abad ini perasaan itu hilang, orang telah sadar
tentang segi historis kehidupannya, kemungkinan terjadinya perubahan-
perubahan yang memberikan nilai baru dalam kehidupannya.
Para ahli hukum mulai menyadari bahwa hukum bukan hanya soal
menerapkan undang-undang atau preseden setiap kasus atau situasi yang ada
dengan menggunakan logika murni, tetapi bagaimana menciptakan rasa keadilan
ideal.
Keinginan untuk mendapatkan keadilan yang ideal inilah yang akhirnya
hukum alam memasuki bidangnya lagi pada akhir abad kesembilan belas dan
awal abad kedua puluh. Pemikiran zaman ini menerima bahwa terdapat prinsip-
prinsip tertentu yang menjadi pedoman bagi pembentukan undang-undang,
namun berbeda dengan pemikiran zaman dulu, pemikiran zaman ini menginsyafi
bahwa hidup manusia bersifat dinamis.
Kebangkitan hukum alam yang lebih sejati dapat ditemukan dalam teori-
teori modern yang berlainan dalam memahami hukum alam sebagai suatu cita
yang revolusioner, sehingga merupakan kekuatan langsung dalam perkembangan
hukum positif.
Menurut Aquinas hukum kodrat sebagai prinsip-prinsip segala hukum
positif, berhubungan langsung dengan manusia dan dunia sebagai ciptaan Tuhan.
Prinsip-prinsip tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Hukum alam primer, yaitu norma-norma umum yang bersifat semesta
sehingga dirasakan wajar oleh semua manusia (seperti hak atas kehidupan,
laki-laki dan wanita bersatu dalam perkawinan, kekuasaan orang tua atas
anaknya dan mendidiknya, hak mencari kebenaran ilahi, hidup
bermasyarakat, neminem laedere (tidak merugikan orang lain), unicueque
suum tribuere (memberikan orang lain haknya)
2. Hukum alam sekunder, berupa norma-norma hasil derivasi langsung dari
hukum alam primer ataupun pengembangan sesuai dengan situasi tertentu
(seperti jangan membunuh, jangan mencuri dan lain sebagainya).
Yang lebih representatif dari teori-teori tentang hukum alam modern ini
terlepas dari teori-teori neo-skolastik adalah teori-teori Geny dan Delvechio.
Keduanya memberikan uraian yang terinci dalam hubungannya dengan teori
umum dari kedua filsuf ini. Bagi keduanya, hukum alam merupakan penuntun
penting menuju hukum positif.
Delvechio mengartikan hukum alam sebagai prinsip evolusi hukum yang
menuntut umat manusia, dan hukum yang mengaturnya menuju otonomi
manusia yang lebih besar.
Geny mengemukakan ide hukum alam berhadapan dengan teori hukum
positifis. Ide-idenya sendiri mengenai hukum alam dimuat dalam donnenya yang
ketiga dan keempat, yakni donne rasionel (Statis) dan donne ideal (dinamis).
Le Fur menganggap pentingnya konsepsi hukum alam karena berkaitan
tentang keadilan. Teori hukum alam bersandar pada tabiat manusia yang sebagai
mahluk berakal menunjukkan bahwa ciptaan kehendak dan kecerdasan yang
lebih tinggi yakni kecerdasan dan kehendak Tuhan.
Hukum alam hanya menyediakan kerangka umum prinsip-prinsip hukum.
Ada tiga prinsip: kesucian kewajiban, kewajiban untuk memperbaiki kerusakan
yang ditimbulkan oleh prilaku tidak sah dan menghormati kekuasaan. Hukum
positif memiliki objek benda harus memiliki landasan moral yang berfungsi
untuk menentukan , berbuat seksama, dan memberi sanksi pada perintah-perintah
hukum alam yang dikembangkan oleh hukum rasional. Jadi terminologi hukum
alam diterima oleh filsuf hukum modern, tetapi tidak oleh filsuf-filsuf lainnya
karena dapat mengaburkan hubungan antara semua teori hukum modern yang
bertentangan dengan hukum positivisme, dan menekan akan kebutuhan-
kebutuhan akan cita-cita hukum.
Namun demikian para positivis memandang bahwa prinsip-prinsip hukum
yang terdapat dalam hukum alam sebagai prinsip regulatif belaka, yaitu sebagai
pedoman terbentuknya hukum, dan bukan sebagai prinsip konstitutif dari hukum.
Artinya prinsip-prinsip tersebut memang harus diindahkan pada saat undang-
undang yang ada seandainya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum alam,
maka undang-undang tersebut tetap sah berlaku. Dengan kata lain menurut para
positivis cenderung menganut kepastian hukum, dibanding sarjana tradisional
yang lebih memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum bagi
kemasyarakatan.
C. Kritik-Kritik Atas Hukum Alam Dalam Mencari Nilai Keadilan
Filsafat hukum alam memberikan dasar teologis yang mengambil suatu
perangkat prinsip-prinsip hukum keagamaan untuk merumuskan cita-cita
keadilan absolut. Prinsip-prinsip hukum alam ini dapat diamati oleh manusia
tetapi berasal dari akal Tuhan yang abadi. Semua ahli teori rasionalitas tentang
hukum alam percaya bahwa alam mengandung prinsip-prinsip umum tentang
akal yang mengatur perbuatan manusia dalam arti tertentu. Perkiraan ini
kemudian dikecam oleh Hume yang menunjukkan bahwa akal adalah budak
nafsu yang mengilhami perbuatan manusia. Oleh karena itu ada usaha-usaha
yang meletakkan prinsip-prinsip keadilan objektif dan umum yang didasarkan
atas dalil-dalil yang berbeda. Selanjutnya Duguit menyimpulkan prinsip-prinsip
hukum yang secara umum mengikat dari fakta solidaritas sosial yang dapat
diamati secara empiris, tentang suatu rumusan singkat untuk prinsip-prinsip
yang mempersatukan masyarakat modern.
Para pemikir-pemikir hukum berusaha merumuskan cita-cita keadilan.
Hans Kelsen membagi ajaran tentang keadilan menjadi dua tipe dasar yaitu:
1. Tipe Rasionalistis yang diadopsi dari ajaran Aristoteles. Tipe rasionalistis ini
merupakan tipe yang mencoba menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan
mendefinisikannya dalam cara ilmiah, atau semu-ilmiah, dengan cara
berdasarkan akal.
2. Tipe metafisis yang diadopsi dari ajaran Plato, percaya bahwa keadilan itu ada
tetapi menganggapnya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super yang tidak
dapat diamati oleh manusia. Filsafat hukum Plato ini mendasarkan keadilan
pada pengetahuan perihal sesuatu yang baik yang merupakan persoalan di luar
dunia dan diperoleh dengan kebijaksanaan. Pemikiran inilah yang kemudian
menghubungkan Plato dengan sejumlah para filsuf yang mendasarkan
pencapaian keadilan pada inspirasi intuitif, tanpa dasar teologis.
Pembenaran yang lebih terinci akan perasaan intuitif dalam pencarian
keadilan adalah “perasaan ketidakadilan” dari Edmund N. Cahn yang melihat
realisasi keadilan tidak dalam ide-ide abstrak dan statis dari hukum alam, juga
tidak baik dalam penerimaan kekuasaan yang dilegalisasi belaka tetapi dalam
proses akan perbaikan atau pencegahan timbulnya suatu perasaan ketidakadilan
yang merupakan “gabungan akal dan perasaan terdalam” yang dikonkretkan
dalam enam pernyataan yaitu:
1. Tuntutan akan kesederajatan;
2. Pembalasan;
3. Martabat manusia;
4. Keputusan hakim yang teliti;
5. Pembatasan fungsi pemerintah secara tepat; dan
6. Pemenuhan akan harapan-harapan masyarakat.
Persoalan mengenai keadilan tidak lepas dari penguasa dan rakyat.
Penguasa dan rakyat merupakan komponen-komponen dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan yang nantinya akan menjadi hukum positif dalam mengatur
rakyat. Hukum positif itu sendiri akan kehilangan jati dirinya sebagai suatu
aturan apabila tidak mencerminkan rasa keadilan di dalamnya. Aristoteles
memberikan rumusan keadilan yang berbunyi bahwa mereka yang sederajat di
depan hukum harus diperlakukan sama. Mengacu pada pendapat Aristoteles,
Radbruch menyebutkan bahwa sumber yang lebih layak untuk merumuskan
kembali patokan-patokan keadilan absolut, nilai-nilai minimum yang tidak
dibenarkan dirusak oleh hukum positif, adalah reaksi atas pengalaman yang
menjengkelkan dari keadilan totaliter. Dengan kata lain, apabila hukum positif
sama sekali telah kehilangan prinsip persamaan, maka hukum itu bukan lagi
hukum. Sebagai contoh, hukum dari pemerintahan Nazi yang sama sekali tidak
mencerminkan rasa keadilan dan persamaan karena hal-hal yang diucapkan oleh
Hittler merupakan hukum yang harus ditaati. Hal ini oleh pengadilan setempat
dilukiskan sebagai “penurunan martabat anggota-anggota masyarakat hukum
dengan menyerahkan diri pada seorang autokrat, yang dipandang dari sudut
ketentuan hukum, tidak pantas untuk diperhitungkan secara serius”.
Para fisuf-filsuf skolastik percaya bahwa konsepsi mengenai “kebaikan
bersama” dapat memberikan tuntunan praktis dalam membedakan antara yang
baik dan buruk. Akan tetapi sejauh mana prinsip ini dapat bertahan dalam
memecahkan problema-problema hukum yang terjadi di masyarakat dan dalam
kaitannya dengan kebebasan kesadaran manusia. Sebagai contoh, ajaran Katolik
menganggap keluarga berencana bertentangan dengan sifat manusia, tetapi tidak
demikian dengan ajaran majelis tinggi dan banyak sistem-sistem hukum dan
orang-orang yang cermat, yang menganggap keluarga berencana sebagai syarat
pokok dari kelangsungan keturunan manusia. Sejak Grotius, banyak orang
menganggap kewajiban untuk memenuhi janji sebagai prinsip hukum alam, akan
tetapi seberapa jauh prinsip ini dapat bertahan ketika berhadapan dengan
kontrak-kontrak perdagangan yang memberi hak untuk secara sepihak
mengakhiri suatu kontrak, atau pelaksanaan kontrak menurut undang-undang
misalnya dalam hal nasonialisasi industri. Hal ini tentunya menurut ajaran hukum
alam dianggap bertentangan, tetapi tidak demikian halnya dengan prinsip
kebebasan. Ketika menghadapi pemecahan problema-problema hukum yang
konkret kita mempunyai waktu dan ketentuan-ketentuan hukum alam dapat
menutupi tetapi tidak menyelesaikan pertentangan nilai-nilai yang berkaitan
dengan berbagai kepentingan, tujuan-tujuan, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang saling bertentangan satu sama lain. Pertentangan ini merupakan persoalan
nilai etis atau politis yang diungkapkan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan
legislatif dan sampai batas-batas waktu tertentu dalam dampak dari gagasan-
gagasan yang berubah-ubah atas penafsiran-penafsiran menurut hukum.
Teori hukum dapat melakukan tugas yang sangat penting dengan
membedakan dalam tiap problema hukum atau situasi, faktor-faktor yang
menggambarkan nilai-nilai yang bertentangan yang dapat dianalisis secara
objektif. Nilai dari faktor-faktor ini berbeda dari kasus ke kasus. Aspek lain dari
teori hukum adalah menyempitkan penilaian-penilaian minimum yang
bertentangan. Pendekatan ini dapat dilihat dari beberapa pendapat para filsuf
hukum seperti Reinach, Coin dan Fechner yang telah mengembangkan dalil-dalil
fenomenologis tentang sejumlah prinsip-prinsip hukum yang diambil dari hakikat
atau sifat konsepsi-konsepsi hukum dan lembaga-lembaga. Misalnya mengenai
transaksi dagang, perkawinan yang kesemuanya memiliki unsur-unsur minimum
yang khas. Teori hukum dalam pelaksanaannya dapat memberikan semacam
alternatif-alternatif dalam penyelesaian suatu problema hukum karena hukum
pada hakikatnya bukan merupakan ideologi murni semata dan bukan hanya suatu
susunan fakta-fakta dan keputusan faktual, tetapi hasil dari ketegangan yang tetap
dan masuknya cita-cita hukum dan data-data sosial yang dikonkretkan dalam
bentuk-bentuk khusus serta disusun secara berurutan dari undang-undang umum
hingga peraturan-peraturan di bidang administrasi dan keputusan-keputusan
menurut hukum atau administratif mengenai kasus-kasus yang konkret. Hal ini
tentunya berbeda dengan ajaran hukum alam yang selalu berpedoman pada akal
Tuhan yang pada akhirnya tidak dapat memberikan suatu kepastian pemecahan
terhadap permasalahan yang terjadi.
BAB IIIPENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Timbulnya reaksi dalam masyarakat pada akhir Perang Dunia I akan
ketidakpuasan terhadap undang-undang yang hanya memihak pada
golongan borjuis dan golongan-golongan tertentu mengakibatkan
terjadinya banyak kekacauan terutama mengenai rasa keadilan. Maka
perlu suatu pemikiran hukum yang dapat mengembalikan keadilan yang
ideal bagi masyarakat, berarti sekali lagi orang mencari keadilan yang
adil.
2. Prinsip-prinsip yang ada pada hukum alam merupakan kerangka umum
yang dapat menjadi dasar berlakunya hukum positif dan yang menentukan
sifat kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum positif.
3. Para sarjana mengkritik nilai keadilan yang absolut yang menjadi dasar
hukum alam, tetapi mereka menerima berlakunya asas-asas hukum alam.
B. Saran
1. Hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis seyogyianya mampu
memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
2. Dalam merumuskan hukum sebaiknya perlu memperhatikan juga nilai-
nilai yang terdapat dalam hukum alam karena pada dasarnya hukum alam
mengandung nilai-nilai atau asas-asas umum mengenai kebaikan.
3. Dalam perkembangannya, hukum senantiasanya mengalami perubahan.
Oleh karena itu, hukum sebaiknya dirumuskan dengan memperhatikan
perubahan atau nilai-nilai yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
L. Tanya, Bernad.,dkk, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
Fuady, Munir, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005.
Friedmann, Wolfgang, Teori dan Filsafat Hukum, CV. Rajawali, Jakarta,
1990.
Darmodiharjo, Darji.,dkk, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Kelsen, Hans, Pengantar Teori Hukum. Terjemahan dalam bahasa Indonesia
oleh Siwi Purwandari, Nusa Media, Bandung, 2008