Post on 30-Jan-2018
SISTEM POLITIK
1. Pengertian Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik
yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusiona l maupun
nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(teori klasik Aristoteles)
politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan
politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga
tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
2. Teori politik
Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana
mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain
adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan,
legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia
antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme,
fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 1
libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi,
totaliterisme, oligarki dsb.
Lembaga politik
Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu
kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang diakui oleh
negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat saja
tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah suatu perilaku yang
terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu
demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik
adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik.
Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu
dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu
bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan umumnya
(atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita mencari dan
menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen.
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi
seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku
pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-
norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku
yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran
atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga
yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan
perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa
menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang
sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh
negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai
dengan norma dan hukum yang berlaku.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 2
Hubungan Internasional
Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara, namun
dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang berlangsung
lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional diperankan hanya oleh para
diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan peperangan. Sedangkan dalam konsep
baru hubungan internasional, berbagai organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba,
bahkan perorangan bisa menjadi aktor yang berperan penting dalam politik internasional.
Peran perusahaan multinasional seperti Monsanto dalam WTO (World Trade
Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) misalnya mungkin jauh lebih besar dari peran
Republik Indonesia. Transparancy International laporan indeks persepsi korupsi-nya di Indonesia
mempunyai pengaruh yang besar.
Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting,
karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang dingin PBB
harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa membuat keputusan
efektif, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik cenderung menjadi unipolar dengan
Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power, PBB menjadi relatif lebih efektif untuk
melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai tindakan multilateral dan bukan tindakan
unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk mendapatkan dukungan atas inisiatifnya menyerbu Irak
dengan melibatkan PBB, merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang
dilakukan lewat PBB.
Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di
berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan perdamaian
dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah komando PBB. Hal ini
diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi berbagai konflik bersenjata. Saat
misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap yang setiap saat bisa dikerahkan oleh
Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi
Civpol (Civilian Police/polisi sipil) pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.
Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan
segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang bisa
menjadi aktor dan mempengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun lokal. Pada sisi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 3
lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan dunia dalam bentuk PBB, yang
mengarahkan pada keteraturan suatu negara (konfederasi?).
Masyarakat : adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.
Kekuasaan : Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain
melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga
sumber kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari
kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.
Negara : negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah
penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan
pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. ketentuan yang tersebut diatas
merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konferensi Montevideo pada tahun
1933
Tokoh dan pemikir ilmu politik, Pemikir-pemikir politik Mancanegara : Tokoh
tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter
antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel Kant,
John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo Machiavelli,
Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci, Harold Crouch,
Douglas E Ramage
Tokoh-tokoh politik Indonesia: Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik
dan Hubungan Internasional dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan
Ramlan Surbakti.
Perilaku politik
Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh
insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan
politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan
kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik
contohnya adalah:
Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 4
Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau
parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya
masyarakat
Ikut serta dalam pesta politik
Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
Berhak untuk menjadi pimpinan politik
Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna
melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan
perundangan hukum yang berlaku
3. INDIKATOR SISTEM POLITIK DEMOKRATIS
Pada saat ini konon bangsa kita sedang menghadapi reformasi yang kebablasan, sehingga
banyak masyarakat yang mengeluh kapan masa transisi rejim lama kepada rejim yang lebih
demokratis berakhir.
Sambil menunggu berlalunya masa transisi tersebut, ada baiknya kita menengok sejenak
indikator-indikator mana yang dapat menuntun kita ke arah demokrasi.
Sistem demokrasi dapat diukur antara lain dari peranan partai politik dan standar
penampilan politiknya. Apa yang dimaksud dengan penampilan politik itu? Ada tiga standar
penampilan yakni partisipasi warga negara dalam pemilihan, stabilitas pemerintahan dan
terjaminnya tata tertib masyarakat.
Partisipasi warga dalam pemilihan
Partisipasi warga negara dalam pemilihan kompetitif adalah sifat khusus yang
membedakan politik demokratis dari politik nondemokratis. Partisipasi penuh dari warga negara
bukan hanya memperkuat legitimasi sistem politik demokratis tapi juga membantu mencegah
terjadinya kekerasan politik dan munyalurkannya ke dalam kompetisi regular. Beberapa faktor
partisipasi pemilihan antara lain:
Banyaknya partisipasi.
Banyaknya peserta pemilu hanya salah satu bentuk partisipasi dalam proses politik.
Partisipasi dalam sistem demokratis dapat pula dilakukan dalam format lain seperti
diskusi isu-isu yang sedang hangat, mobilisasi massa dalam kampanye, usaha kolektif
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 5
untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, serta komunikasi dengan pejabat
pemerintah. Aneka bentuk partisipasi manyebabkan jumlah partisipan dalam pemilihan
bukan satu-satunya indikator tinggi-rendahnya partisipasi politik. Itulah sababnya peserta
pemilu rendah di AS, Swiss, Turki dan Jamaica.
Makna Pemilihan.
Pemilihan menjadi berarti jika ia mengubah pemerintahan berdasarkan ketentuan bahwa
partai pemenang menggantikan partai yang dikalahkan dalam pemiliham seperti di Amerika.
Namun demikian bukan berarti bahwa tidak adanya perubahan pemerintahan adalah cermin dari
keadaan tidak demokratis. Bisa jadi partai tertentu seperti LDP di Jepang terus-menerus
memerintah. Hal ini bisa terjadi karena kepercayaan terhadap LDP sangat tinggi, sehingga
terpilihnya partai lain justru menumbuhkan keraguan di pihak massa pemilih.
Stabilitas dan Efektifitas Pemerintahan .
Stabilitas pemerintahan parlementer diukur dari apakah ada perubahan komposisi partai
politik di kabinet dan juga Perdana Menteri tidak berhenti secara paksa. Stabilitas pemerintahan
presidensiil diukur dari kelangsungan presiden sekalipun kabinet mengalami perubahan. Akhir
sebuah pemerintahan adalah bila terjadi pemilihan, atau masuk atau keluarnya sebuah partai dari
kabinet, intervensi militer.
Efektifitas sistem parlementer lebih mudah diukur daripada sistem presidensiil. Dalam
sistem parlementer, selama mayoritas parlemen tetap dikuasai kabinet maka pemerintahan
tersebut stabil. Ditinjau dari ukuran ini maka AS tidak tergolong ke dalam pemerintahan yang
efektif. Karena Konggres dikuasai partai lawan dalam jangka waktu lama.
Pemeliharaan Tatanan Politik:
Dalam rejim-rejim non demokratis sedikit sekali kesempatan untuk mengoreksi
pemerintahan. Kritik dibatasi dalam bentuk petisi atau hanya boleh dilakukan oleh kalangan elit
tertentu. Sementara itu konflik dan ketegangan politik cenderung ditekan semaksimal mungkin
hingga mencapai titik terendah. Jika perlu digunakan kekerasan untuk melancarkan penekanan
tersebut.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 6
Dalam sistem demokrasi koreksi, konflik dan perbedaan pendapat disalurkan melalui
lembaga pemilihan. Jadi melalui pemilihan koreksi terhadap pemerintah dapat dilakukan secara
resmi oleh setiap warga negara dewasa.
Ukuran kegagalan tatanan politik.
Kegagalan tatanan politik dapat diukur antara lain dari indikator kerusuhan (riots),
kematian (deaths) dan penundaaan peme-rintahan demokratis.
Kerusuhan adalah sejumlah besar warga negara beraksi di luar kontrol tanpa perencanaan
dan merusak barang-barang penduduk. Amerika dan India tergolong ke dalam ranking tertihggi
dalam hal kerusuhan. Kematian bisa terjadi akibat dari kerusuhan atau teroris berseniata. India
dan Philipina menduduki ranking teratas dalam hal kematian karena kekerasan politik.
Penundaan/penghapusan sistem demokrasi dapat terjadi karena intervensi militer atau
jika kegiatan politik dilarang oleh pemerintah atau pencabutan hak-hak sipil oleh rejim berkuasa.
Demokrasi berjalan dengan baik pada negara-negara yang penduduknya berukuran kecil,
dengan tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi serta homogenitas etnis. Sebaliknya, negara-
negara besar lebih banyak diwarnai dengan kerusuhan dan kematian akibat dari kekerasan
politik. Negara dengan pertumbuhan ekonomi rendah serta miskin umumnya juga banyak terjadi
kekerasan dan kematian politik, tingkat partisipasinya rendah dan pemerintahannya tidak stabil.
Keterlibatan Warga Negara
Wajib memilih dan jumlah pencoblos negara-negara demokrasi yang menerapkan
kewajiban memilih bagi warganya disertai dengan sangsi hukuman antara lain adalah Australia,
Belgia, Belanda, Venezuela dan Costa Rica. Di negara-negara ini kewajiban mencoblos
mengakibatkan jumlah pencoblos jauh lebih tinggi dari negara-negara yang tidak mewajibkan
warga negaranya untuk mencoblos seperti Amerika misalnya. Sebaliknya Belanda yang berusaha
untuk menghapus ketentuan tersebut menderita penurunan jumlah pencoblos. Sementara
Uruguay dengan mengeluarkan ketentuan wajib memilih memperoleh hasil lebih banyak
pencoblos dari pada sebelumnya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 7
Mobilisasi Partai
Di Eropa hubungan antara kelompok-kelompok di msyarakat dengan partai politik
mempengaruhi jumlah pencoblos dalam pemilihan. Misalnya, petani lebih percaya dengan
pemerintahan yang didominasi oleh partai "Rakyat". Sementara kalangan buruh lebih cenderung
memilih pemerintahan dari partai "sosialis". Sebaliknya di negara-negara lain partai tergantung
dari berbagai jenis dan lapisan masyarakat yang bersifat plural.
Konstitusi Dan Penampilan Politik.
Hubungan antara konstitusi dan penampilan politik terwujud dalam bentuk-bentuk sistem
pemerintahan seperti sistem prasidensial dan parlementer.
Sistem Presidensial
Ciri utamanya adalah presiden (top executive) dipilih untuk suatu periode tertentu dan
dilakukan melalui pemilihan langsung. Bentuk pemerintahan ini mumungkinkan stabilitas
eksekutif.
Jika eksekutif dipilih secara langsung maka ia memiliki basis pemilih sendiri sehingga
tidak tergantung pada badan legislatif. Dengan demikian presiden tidak mudah digulingkan oleh
parlemen yang mungkin saja menguasai mayoritas parlemen. Namun demikian pemisahan secara
tegas kekuasaan presiden (eksekutif) dengan kekuasaan legisistif sering menghalangi
pelaksanaan program pemerintah. Khususnya jika parlemen tidak setuju dengan program
pemerintah. Jika parlemen dikuasai oleh oposisi maka besar kemungkinan pemerintah akan
menjadi pamerintah minoritas. Situasi dimana partai menguasai hak eksekutif maupun legislatif
juga mungkin terjadi. Dalam keadaan seperti ini jelas bahwa eksekutif sangat dominan, dominasi
eksekutif bukan tanpa bahaya. Karena eksekutif dominan jika terancam kelangsungan
pemerintahannya dapat mengubah sistem demokrasi munjadi non demokrasi seperti di Philipina.
Sistem Parlementer
Sistem Parlementer cenderung lebih stabil dan efektif karena partai yang berkuasa di
cabang eksekutif dapat mengendalikan pemerintah serta kebijaksanaan Kabinet misalnya dapat
menggunakan kekuasaan pemerintah untuk memperkuat, posisi partai yang berkuasa.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 8
4. Demokrasi
Semua negara mengakui bahwa Demokrasi sebagai alat ukur dari keabsahan politik.
Kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintahan menjadi basis tegaknya system
politik demokrasi. Demokrasi meletakkan rakyat pada posisi penting, hal ini karena masih
memegang teguh rakyat selaku pemegang kedaulatan. Negara yang tidak memegang demokrasi
disebut negara otoriter. Negara otoriterpun masih mengaku dirinya sebagai negara demokrasi. Ini
menunjukkan bahwa demokrasi itu penting dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan.
Pengertian
Demokrasi dikenal dalam pengertian universal,. Konseptual dan kontekstual. Demokrasi
pengertian etimologis mengandung makna pengertian universal. Abraham Lincoln th 18673
memberikan pengertian demokrasi “ government of the people, by the people, and for the
people”.
Menurut etimologi/bahasa, demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu dari demos =
rakyat dan cratos atau cratein=pemerintahan atau kekuasaan. Demokrasi berarti pemerintahan
rakyat atau kekuasaan rakyat. Oleh karena itu dalam sistem demokrasi rakyat mendapat
kedudukan penting didasarkan adanya rakyat memegang kedaulatan.
Pelaksanaan demokrasi ini ada dua cara yaitu demokrasi langsung dan tidak langsung.
Demokrasi langsung, rakyat seluruhnya dikutsertakan dalam permusyawaratan untuk
menentukan kebijakan dan mengambil keputusan. Hal ini terjadi pada zaman yunani kuno (abad
ke 4 SM – abad ke 6 SM). Pada masa itu Yunani berupa negara kota (polis). Akan tetapi pada
masa itu ada pembatasan ikut dalam pemerintahan adalah anak, wanita dan budak. Akibat
perkembangan penduduk maka system demokrasi. Akibat perkembangan penduduk maka
demokrasi langsung sudah tidak memungkin lagi sehingga timbul cara kedua yaitu demokrasi
tidak langsung.
Demokrasai tidak langsung dilaksanakan melalui system perwakilan. Biasanya
dilaksanakan dengan cara pemilihan umum. Secara terminology . Demokrasi dari segi
terminology mengandung makna demokrasi konseptual. Demokrasi dilihat dari segi pemikiran
politik. Torres demokrasi dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik. Clssical Aristotelian theory,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 9
medieval theory dan contemporary doctrine. Torres melihat demokrasi dari segoi formal dan
substantive.
Formal menunjuk pada demokrasi dlm arti system pemerintahan. Substantive menunjuk
pada demokrasi dalam 4 bentuk.
(1) menitik beratkan pada perlindungan terhadap tirani.
(2) titik berat pada manusia mengembangkan kekuasaan dan kemampuan.
(3) melihat keseimbangan partisipasi masyarakat terhadap beban yang berat dan tuntutan
yang tidak dapat dipenuhi.
(4) bahwa tidak dapat mencapai partisipasi yang demokratis tanpa perubahan lebih dulu
dalam keseimbangan social dan kesadaran social. Perubahan social dan partisipasi
demokratis perlu dikembangkan secara bersamaan karena satu sama lain saling
ketergantungan.
Dari segi terminology dan konseptual ada beberapa pendapat : 1. Tradisi pemikiran
Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan; 2. Tradisi medieval theory
menerapkan roman law dan konsep popular souvregnty. 3. Contemporary doctrine dengan
konsep republik dipandang sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni. 4. Harris Soche,
Demokrasi adalah pemerintahan rakyat karena itu kekuasaan melekat pada rakyat. 5..Henry B.
Mayo, system politik demokratis adalah menunjukkan kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat, dan didasarkan atas
kesamaan politik dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
International Commision for Jurist, Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan untuk
membuat keputusan politik diseleng-garakan oleh wakil wakil yang dipilih dan
bertanggung jawab kepada mereka melalui pemilihan yang bebas.
C.F. Strong, Suatu system pemerintahan pada mayoritas anggota dewasa dari masyarakat
politik ikut serta atas dasar system perwakilan yang menjamin bahwa pemerin-tah akhirnya
mempertanggung jawabkan tindakan kepada mayoritas
Samuel Huntington, system politik sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan
kolektif yang paling kuat dalam system itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan
semua orang dewasa mempunyai hak yang sama memberikan suara.
Demokrasi secara kontekstual dilihat dari fakta kenyataan pemerintahan yang pernah dan
sedang terjadi. Indosnesia pada zaman pemerintahan Soekarno masa orde lama dengan konstitusi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 10
RIS dan UUDS 50 dikenal demokrasi liberal, setelah kembali ke UUD 45 dikenal demokrasi
terpimpin. Era Soeharto dan orde baru diukenal demokrasi Pancasila, era reformasi sejak 1998
masih dikenal demokrasi Pancasila.
DEMOKRASI SEBAGAI BENTUK PEMERINTAHAN
Demokrasi pernah dipahami sebagai bentuk pemerintahan, akan tetapi perkembangannya
dipahami dalam pengertian luas, sebagai bentuk pemerintahan dan politik.
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan.
Pada awalnya Plato mengemukakan 5 macam bentuk negara sesuai dengan sifat tertentu
dari jiwa manusia. Aristokrasi, pemerintahan dipegang oleh sekelompok kecil para cerdik pandai
berdasarkan keadilan. Kemerosotan dari aristokrasi ini menjadi Timokrasi. Timokrasi,.
Pemerintahan dijalankan untuk menda-patkan kekayaan untuk kepentingan sendiri. Oleh karena
kekayaan untuk kepentingan sendiri lalu jatuh dan dipegang olah kelopmpok hartawan. Sehingga
yang berhak memerintah adalah orang yang kaya saja timbullah oligarchi. Oligarchi,
pemerintahan dijalankan oleh sekelompok orang yang memegang kekayaan untuk kepentingan
pribadi.. Timbul kemelaratan umum. Banyak orang miskin. Tekanan penguasa semikin berat.
Rakyat semakin sengsara. Akhirnya rakyar sadar dan bersatu memegang pemerintahan.
Timbullah Demokrasi. Demokrasi. Pemerintahan secara demokrasi diutama-kan kemerdekaan
dan kebebasan. Oleh karena kebe-basan dan kemerdekaan ini terlalu diutamakan timbul
kesewenang-wenangan. Kemerdekaan dan kebebasan menjadi tidak terbatas. Lalu timbullah
prinsip Anarki. Anarchi, pemerintahan anarki seseorang dapat berbuat sesuka hatinya. Rakyat
tidak mau lagi diatur, karena ingin mengatur dan memerintah sendiri. Negara menjadi kacau.
Untuk itu perlu pemimpin yang keras dan kuat. Akhirnya timbullah Tirany. Tirany.
Pemerintahan dipegang oleh seorang saja dan tidak suka terdapat peresaingan. Semua orang
yang menjadi saingan disingkirkan dan diasingkan,. Pemerintahan ini tambah jauh dari keadilan.
Plato juga dalam perkembangan ajarannya tentang bentuk pemerintahan mengemukakan
lagi : Bentuk negara Ideal form (bentuk cita), yaitu negara dalam bentuk kesempurnaan.
1. Monarki. Bentuk pemerintahan dipegang oleh seorang sebagai pemimpin tertinggi
dijalankan untuk kepen-tingan orang banyak biasanya pada kerajaan.
2. Aristokrasi, Pemerintahan dipegang oleh orang yang pandai.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 11
3. Demokrasi, Pemerintahan dipegang oleh rakyat.
The Corruption form (bentuk pemerosotan)
1. Bentuk Tirani, bentuk pemerosotan dari monarhci
2. Oligarchi, bentuk pemerosotan dari Aroistokrasi
3. Mobokrasi, pemerosotan dari demokrasi. Pemerintahan dipegang oleh rakyat yang tidak
tahu dan tidak menguasai pemerintahan, tidak terdidik. (the rule of the mob)
DEMOKRASI SEBAGAI SISTEM POLITIK
Demokrasi dari system politik lebih luas dari bentuk pemerintahan.
Menurut Huntington, system politik dapat dibedakan dari system politik demokrasi dan non
demokrasi.
Sistem politik demokrasi, system pemerintahan dalam suatu negara yang menjalankan
prinsip demokrasi. Tidak sewenag-wenang. Kekuasaan tidak takterbatas. Mengutamakan
kepentingan umum dan keadilan. (contoh lihat penjelasan umum UUD 45 sebelum amandemen,
ada disebutkan 7 prinsip pemerintahan yang baik).
Sistem politik non demokrasi, politik otoriter, totaliter, dictator, rezim militer, rezim satu partai,
monarki absolut, dan system komunis.
DEMOKRASI SEBAGAI SIKAP HIDUP
Demokrasi ini dipahami sebagai sikap hidup dan pandang-an hidup yang demokratis.
Pemerintahan dan system politik tumbuh dan berkembang tidak datang dengan sendirinya.
Demokrasi membutuhkan usaha nyata dan perilaku demokratis untuk mendukung pemerintahan
dan system politik demokrasi. Perilaku didasarkan nilai-nilai demokrasi dan membentuk
budaya/kultur demokrasi baik dari warganegara maupun dari pejabat negara/pemerintah.
DEMOKRATISASI
Demokratisasi merupakan penerapan kaidah-kaidah atau prinsip demikrasi pada keguatan
sistem politik kenegaraan. Tujuasn untuk membentuk kehidupan politik bercirikan demokrasi.
Demokratisasi merujuk pada proses perubahan menuju system pemerintahan yang lebih
demokratis.
Tahapan demokrasi:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 12
1. pergantian dari penguasa non demokratis ke penguasa demokrasi
2. pembentikan lembaga dan tertib politik demokrasi;
3. konsolidasi demokrasi
4. praktik demokrasi sebagai budaya politik bernegara.
Ciri-ciri demokrasi.
1. berlangsung secara evolusioner;
2. perubahan secara persuasive bukan koersif; (musyawarah bukan paksaan atau kekerasan);
3. proses demokrasi tidak pernah selesai. Demokrasi suatu yang ideal tidak pernah tercapai.
Negara yang benar-benar demokrasi tidak ada. Bahkan negara yang menyatakan
negaranya demokrasi dapat jatuh menjadi otoriter.
Demokrasi di Indonesia
Bangsa Indonesia sejak dulu sudah mempraktikkan ide ten-tang demokrasi walau bukan
tingkat kenegaraan, masih tingkat desa. Disebut demokrasi desa.Contoh pelaksanaan demokrasi
desa pemilihan kepala desa dan rembug desa. Inilah demokrasi asli.
Demokrasi desa mempunyai 5 ciri. Rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan
protes bersama dan hak menyingkir dari kekuasaan raja absolute Mempergunakan pendekatan
kontekstual, demokrasi di Indonesia adalah demokrasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila ini oleh karena Pancasila sebagai ideology negara, pandangan hidup
bangsa Indonesia, dasar negara Indonesia dan sebagai identitas nasional Indonesia. Sebagai
ideology nasional, Pancasila sebagai cita-cita ma-syarakat dan sebagai pedoman membuat
keputusan politik. Sebagai pemersatu masyarakat yang menjadi prosedur penyelesaian konflik.
Nilai-nilai demokrasi yang terjabar dari nilai-nilai Pancasila sbb:
1. Kedaulatan rakyat;
2. republik
3. Negara berdasar atas hukum
4. Pemerintahan yang konstitusional
5. Sistem perwakilan
6. Prinsip musyawarah
7. Prinsip ketuhanan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 13
Demokrasi Pancasila dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara luas, demokrasi
Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dalam bidang
politik, ekonomi dan social. Secara sempit, demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan menurut hikmat kebi-jaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Sehubungan dengan demokrasi Pancasila, di Indonesia mengenal juga istilah “masyarakat
Madani” (civil society). Welzer dengan rumusan konseptual, civil society adalah jaringan yang
kompleks dari LSM diluar pemerintahan ne-gara (NGO) yang bekerja secara merdeka atau
bersama-sama pemerintah yang diatur oleh hukum. Ia merupakan ranah publik yang
beranggotakan perorangan.
Masyarakat madani Indonesia tidak sepenuhnya sama dengan civil society menurut
konsep liberalisme/komunita-rianisme Barat. Masyarakat madani Indonesia mempunyai ciri
khas, tetap agamis/religius dan adanya fasilitasi lebih nyata dari negara dalam hal memberikan
jaminan hukum dan dukungan politik bagi kehadiran masyarakat madani, suasana kulturtal dan
ideologis dan menyediakan infrastruktur social yang diperlukan.
Keterkaitan Demokrasi Pancasila dengan civil society/ masyarakat madani Indonesia, secara
kualitatif ditandai oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, jaminan hak
asasi manusia, penegakan prinsip rule of law, partisipasi yang luas dari warganegara dalam
mengam bil keputusan publik diberbagai tingkatan, pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan
untuk mengembangkan warganegara Indonesia yang cerdas dan baik, berakhlak baik serta
berbudi luhur.
SISTEM POLITIK DEMOKRASI
1. Landasan System Politik Demokrasi di Indonesia
Menurut Samuel Huntington sistem politik demokrasi dapat dibedakan dari system
politik demokrasi dan non demokrasi. Sistem politik demokrasi didasarkan pada nilai, prinsip,
prosedur dan kelembagaan yang demokratis. Sistem ini mampu menjamin hak kebebasan
warganegara, membatasi kekuasaan pemerintah dan mem-berikan keadilan. Indonesia sejak awal
berdiri sudah menjadikan demokrasi sebagai pilihan sistem politik.
Negara Indonesia sebagai negara demokrasi terdapat pada pembukaan UUD 45 alinea ke 4 dan
Ps 1 ayat (2) UUD 45 (sebelum di amandemen), kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 14
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ps 1 ayat (2) setelah
diamandemen berubah menjadi “kedaulatan berada dita-ngan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD”. Perubahan ini menghi-langkan kata “dilaksanakan sepenuhnya” menjadi dilaksanakan
menu-rut UUD. Apapun perubahannya ini membuktikan sejak berdirinya negara Indonesia telah
menganut demokrasi.
2. Sendi-Sendi Pokok Sistem Politik Demokrasi Di Indonesia Berdasarkan UUD 45
a. Berbentuk republik (Ps 1 ayat (1)
b. Ide kedaulatan rakyat (Ps 1 ayat (2))
c. Negara berdasar atas hukum (Ps 1 ayat (3))
d. Pemerintahan berdasarkan konstitusi (lihat BAB III)
e. Pemerintahan yang bertanggung jawab. Masalah pertanggung jawaban pemerintah dalam hal
ini Presiden kepada siapa dan bagaimana serta waktu penyampaian pertanggung jawaban
tidak diatur dalam UUD 45, baik sebelum dan sesudah di amandemen.
f. Sistem perwakilan. Sistem ini jelas dalam UUD 45 dengan adanya Pemilihan Umum, untuk
memilih wakil rakyat di DPR/D dan DPD.
g. Sistem pemerintahan Presidensiil. Hal ini jelas pada makna negara berbentuk republik, dan
Presiden memegang kekua-saan pemerintahan menurut UUD. Presiden dibantu oleh wakil
Presiden. Selain itu Presiden dibantu oleh menteri-menteri.
PENDIDIKAN DEMOKRASI
Perilaku dan kultur demokrasi menunjuk pada nilai-nilai demokrasi di masyarakat.
Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi.
Menurut Henry B. Mayo nilai-nilai demokrasi meliputi damai, sejahtera, adil, jujur, menghargai
perbedaan, menghormati kebebasan. Membangun kultur demokrasi berarti tindakan
mensosialisasikan, mengenalkan dan menegakkan nilai demokrasi pada masyarakat. Membangun
kultur demokrasi lebih sulit dari membangun struktur demokrasi. Tidak tegaknya kultur
demokrasi menyebabkan masya rakat sulit diatur, terjadi kekerasan, terror, brutal, masyarakat
tidak aman. Contohnya : Sampai sekarang masih ada usaha RMS yang ditandai dengan ulang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 15
tahun RMS, Gerakan Papua Merdeka yang ditandai dengan ulang tahun setiap tahun. Perang
antar suku yang bermotifkan SARA.
Indonesia sudah ada institusi demokrasi, masyarakat belum menikmati demokrasi, baik
dikalangan pemerintahan, jasa usaha. Dari segi pemerintahan masyarakat banyak merasa
tertindas. Pada jasa usaha terjadi penindasan terhadap pekerja. Nampaknya demok rasi masih
merupakan usaha, dan masih terbatas pada kaum elit. Disini terlihat institusi tidak didukung oleh
perilaku demokratis. Tercapainya demokrasi sampai menyentuh kehidupan rakyat cukup lama
dan sulit, sehingga masih sangat mutlak diperlukan.
Ada 3 hal pengetahuan dan kesadaran demokrasi.
1. demokrasi adalah pola kehidupan menjamin hak warganegara;
2. demokrasi merupakan the long learning process
3. kelangsungan demokrasi tergantung kepada proses pendidikan demokrasi pada
masyarakat secara luas.
Pendidikan demokrasi ini dapat diterapkan pola pemasyara-katkan moral pancasila
dengan P4 yang berlaku seluruh lapisan masyarakat, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi,
pegawai rendah hingga Presiden, petani, pedagang, hingga pengusaha.
Pendidikan nilai-nilai demokrasi lebih baik dari sosialisasi. Pendidikan demokrasi dalam arti
melakukan pendidikan nilai-nilai demokrasi itu terhadap semua warganegara tanpa kecuali
rakyat atau birokrat. Pendidikan nilai-nilai demokrasi ini merupakan ba-gian dari pendidikan
politik terhadap warganegara. Selama ini sa-lahnya pada kegiatan sosialisasi nilai-nilai,
seharusnya pendidikan nilai-nilai demokrasi. Secara analogi pada waktu penataran P4 yang
diajarkan adalah nilai-nilai Pancasila, mengapa tidak diajar-kan nilai-nilai demokrasi dalam
pendidikan demokrasi.
Nilai-nilai demokrasi itu dapat digali dalam makna demok-rasi itu sendiri yang telah
dijabarkan dalam UUD dan kehidupan bernegara. Paling tidak nilai-nilai demokrasi itu
mencakup :
1. masalah kedaulatan
2. makna negara berbentuk republic
3. negara berdasar atas hukum
4. pemerintahan yang konstitusionil
5. sistem perwakilan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 16
6. prinsip musyawarah
7. prinsip ketuhanan
Pola demokrasi dapat mengembangkan unsur demokrasi desa yang terdiri dari rapat,
mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan menyingkir dari kekuasaan
absolut.
Nilai-nilai demokrasi langsung dijabarkan dalam demokrasi dibi-dang politik, dibidang ekonomi
dan dibidang sosial.
Demokrasi memiliki dua komponen dasar: substantif dan prosedural. Komponen pertama
adalah landasan normatif yang bermuatan seperangkat nilai-nilai dasar bagi suatu tatanan
(sistem) kehidupan politik dan ketatanegaraan yang keberadaanya mutlak diperlukan serta
membedakannya dengan sistem yang lain. Komponen kedua adalah seperangkat tata cara yang
dipergunakan agar sistem tersebut dapat bekerja secara optimal dalam suatu konteks masyarakat
tertentu. Jika komponen yang pertama pada hakekatnya bersifat universal dan permanen, maka
komponen kedua bersifat kontekstual dan bentuknya terus menerus mengalami perkembangan
serta terbuka (open-ended). Kendati keduanya tak dapat dipisahkan, namun kedua elemen
tersebut dapat dibedakan satu dari yang lain.
Sebuah sistem politik dan ketatanegaraan dapat disebut demokratis apabila ia memenuhi
kedua komponen dasar tersebut. Pada kenyataannya tidak ada praktik demokrasi yang
“paripurna” dan telah selesai. Yang bisa dibuat adalah suatu spektrum praktik dari sebuah sistem
politik dan ketatanegaraan yang telah mapan (established) atau yang dalam tahap masih
berkembang (developing), atau yang belum berkembang (underdeveloped) karena masih adanya
kelemahan-kelemahan dalam komponen dasarnya. Pada sebuah sistem demokrasi yang mapan,
yang menjadi persoalan pada dasarnya adalah pada komponen prosedur yang mengalami
pengembangan karena terjadinya perubahan structural yang harus diakomodasi sehingga tidak
terjadi degenerasi sistem. Pada sistem demokrasi yang masih berkembang, dapat dikatakan
bahwa ancaman terhadap kedua komponan masih belum terselesaikan secara keseluruhan
sehingga masih ada kecenderungan degenerasi dan degradasi kualitas sistem demokrasi yang
berjalan. Pada sistem demokrasi yang masih belum berkembang, kecenderungan degenerasi dan
degradasi sangat dominan dan bahkan ancamanakan terjadinya proses pembalikan kea rah non
demokrasi sangat besar.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 17
Landasan utama demokrasi adalah norma-norma egalitarianism (persamaan) dan liberty
(kebebasan) yang dalam perkembangan modern dikukuhkan dalam Hak-hak Asasi Manusia
Universal. Khususnya, hak-hak dasar yang berkaitan dengan hak berbicara, menyatakan
pendapat, berserikat dan berkumpul adalah norma paling dasar. Seterusnya, kedaulatan rakyat,
rule of law, dan pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat (baik langsung maupun tidak
langsung) juga merupakan norma-norma dasar dalam demokrasi.
Sementara itu, komponen prosedural demokrasi antara lain adalah sistem perwakilan,
pola-pola pemilihan dan rotasi yang berkala atas mereka yang diberi amanat/mandat oleh rakyat,
adanya pemisahan kekuasaan atas cabang-cabang pemerintahan, penerapan mekanisme checks
and balances antar lembaga negara, partisipasi yang tinggi oleh warganegara dalam urusan
publik, tata kelola yang baik (good governance) dalam pemerintahan, dsb.
Berdasarkan kedua komponan diatas, maka sejarah pemikiran dan praktik demokrasi bisa
digambarkan dalam tiga fase utama: Fase Klasik (Demokrasi Athena); Fase Pra-Pencerahan;
Fase Modern; dan Fase Kontemporer (Paska Perang Dingin). Praktik demokrasi pada fase-fase
tersebut tidak berarti selalu berjalan berkesinambungan, tetapi bisa terjadi overlapping dan
bahkan ruptures, sehingga perkembangan tersebut tidaklah berjalan linear. Demikian pula, harus
diingat bahwa selalu ada diskrepansi atau gap antara “pemikiran”,“gagasan (ideas)” dengan
praksis dan realitas yang sedang berkembang. Dengan demikian tidak berarti bahwa dalam fase
klasik realitas politik di Athena merupakan pengejawantahan total gagasan demokrasi yang ada.
Bisa jadi bahwa gagasan yang muncul pada suatu era ternyata masih merupakan gagasan yang
belum terealisasi sebelumnya, atau kalaupun terealisasi ternyata mengalami berbagai
penyimpangan atau perbedaan.
Fase Klasik ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik
dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city
states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi
(democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants
atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan
terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM),
Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang
mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai
ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 18
Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan
(egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar
sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani
tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu
sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi.
Perbedaan Sistem Politik di Berbagai Negara
Pendekatan Sistem Politik Negara
Dalam hal ini terdapat 3 fungsi pokok yang tidak secara langsung terlibat dalam
pembuatan dan pelaksanaan pemerintahan (public policy), tetapi sangat penting dalam
menentukan cara bekerjanya system politik. Ketiga fungsi itu adalah :
Sosial Politik. Setiap system politik memiliki fungsi pengembangan dan memperkuat
sikap-sikap politik di kalangan penduduk umum, bagian-bagian dari penduduk, atau
melatih rakyat untuk mejalankan peranan-peranan politik. Fungsi ini melibatkan
keluarga, sekolah, media komunikasi, lembaga keagamaan, pekerjaan, dan berbagai
struktur politik.
Rekrutmen Politik (political recruitment). Rekrutmen merupakan fungsi penyeleksian
rakyat untuk kegiatan politik dan masa jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam
media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu,
pendidikan, dan ujian.
Komunikasi Politik. Merupakan jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan
melalui berbagai struktur yang ada dalam system politik.
Setiap negara memiliki sistem politik yang berbeda-beda. Dalam mempelajari proses
politik suatu Negara diperlukan beberapa pendekatan , diantaranya sebagai berikut :
Pendekatan Sejarah, Sistem politik dipelajari dari sejarah bangsa. Pendekatan ini
memiliki tiga factor, yaitu masa silam, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Pendekatan sosiologis, untuk mempelajari system politik suatu Negara perlu
mempelajari system social/system kemasyarakatan yang ada di suatu Negara. Perbedaan
system social akan mempengaruhi system politik suatu Negara.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 19
Pendekatan cultural, pendekatan ini dilihat dari pendidikan dan budaya masyarakatnya.
Suatu masyarakat yang anggota-anggotanya telah terdidik dan mempunyai budaya yang
tinggi akan berpengaruh terhadap suatu system politik dari Negara tersebut.
Pendekatan psikologi social/Kejiwaan masyarakat, Suatu masyarakat yang tertutup
atau menolak, terhadap segala perubahan atau pengaruh luar, akan mempengaruhi system
politik, sehingga system politik itupun akan bersifat tertutup.
Pendekatan fisafat, Sistem politik suatu bangsa atau Negara akan sulit dipisahkan dari
way of life masyarakat atau bangsanya. Masyarakat dalam hidupnya selalu
mengutamakan kepentingan-kepentingan dan pola pikir yang menjunjung tinggi norma-
norma adapt dan agama maka system politiknya tidak akan lepas dari filsafat yang dianut
oleh masyarakat atau bangsanya.
Pendekatan Ideologi, Dalam pendekatan ini, suatu system politik dilihat dan dipelajari
dari ideology bangsa/Negara yang berlaku di dalam Negara itu.
Pendekatan Konstitusi dan Hukum, Suatu system politik tidak bisa dipisahkan dari
konstitusi Negara atau hukum yang berlaku dalam Negara itu. Segala kegiatan dari suatu
system politik akan selalu bersumber dan berpedoman kepada undang-undang dasar dan
undang-undang yang dapat mencerminkan apakh system politik yang berlaku di Negara
itu demokrasi atau kediktatoran.
Perbedaan Sistem Politik Negara
Berikut ini ada 3 contoh Negara yang diharapkan dapat mewakili komunitas Negara-
negara yang ada di dunia, yaitu : a. Sistem politik Negara Inggris (liberal), b. Sistem politik
Negara Republik Rakyat China (komunis), dan c. Sistem politik Negara Indonesia.
Sistem politik Negara Inggris
1. Latar belakang sejarah
Masyarakat Inggris sejak abad 19, mulai mengubah bentuk ekonominya dari ekonomi
pertanian dan kerajinan tangan menjadi masyarakat industri modern. Para politisi mulai
menyesuaikan system politik dan pemerintahannya dengan membuat undang-undang pembaruan
yang disahkan tahun 1918.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 20
2. Kondisi Sosiologis
Kondisi masyarakat Inggris yang semula agraris feodal, dengan cepat menyesuaikan diri
menjadi masyarakat industri modern. Oleh sebab itu, masyarakat Inggris daloam waktu cepat
mampu bersaing dengan Negara-negara lain yang lebih dahulu merintis kea rah industrialisasi.
Masyarakat Inggris sampai saat ini tetap menghendaki system monarki satu raja dan banyak
bangsa.
3. Kondisi Kultural/ Budaya
Sebagian masyarakat Inggris memiliki tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang baik
sehingga dikenal sebagai masyarakat yang disiplin dan taat pada aturan. Nilai-nilai, keyakinan-
keyakinan dan perasaan-perasaan dari kebudayaan politik diwariskan dari generasi ke generasi
melalui suatu rangkaian pengalaman yang merupakan pencerminan sikap yang mereka pelajari
semasa kanak-kanak dan sikap-sikap yang berkembang sesudah dewasa.
4. Kondisi Psiko-Sosial/ Kejiwaan Masyarakat
Mayoritas masyarakat Inggris sangat menghormati simbol-simbol kekuasaan Negara,
seperti raja/ratu, lembaga pemerintah, dan lain-lain. Mereka sangat setia kepada wewenang
kekuasaan politik dan senantiasa menunjukkan ketaatannya kepada undang-undang politik asasi.
5. Pedoman Filsafat
Masyarakat Inggris akan sangat mendukung rezim yang berkuasa, mana kala para
penguasa juga mentaati undang-undang politik asasi, dan jika dilanggar maka akan menghadapi
perlawanan.
6. Paham atau Ideologi yang Diterapkan
Penerapan ideology Negara Inggris yang umumnya dianut oleh Negara-negara Eropa
(Barat) adalah ideology liberal. Masyarakat Inggris dalam kehidupan sehari-hari sangat
menghormati kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Kekuasaan pemerintah Inggris tergantung
pada raja/ratu, akan tetapi raja/ratu tersebut hanya berperan sebagai symbol kolektif bagi
lembaga-lembaga pemerintah dalam system Inggris.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 21
7. Pedoman Konstitusi dan Hukum
Kekuasaan pemerintah Inggris lebih banyak dibatasi oleh konvensi (hukum tidak tertulis)
dari pada hukum formal. Rakyat hidup dalam ketenangan dan kepastian hukum karena
pemerintah memberikan perlindungan hokum yang baik dan penghormatan terhadap hak-hak
asasi warga negaranya.
Dalam struktur politik pemerintahan Inggris, pemegang peranan politik pusat
digolongkan dalam 3 bagian, yaitu : para menteri cabinet, para pegawai negeri senior, dan
para pegawai negeri tidak tetap lainnya. Penyelenggaraan pemerintah dilaksanakan oleh
cabinet (perdana menteri dan dewan menteri) serta parlemen yang terdiri dari Majelis Rendah
dan Majelis Tinggi. Peranan parlemen dalam merumuskan kebijakan pemerintah dibatasi, karena
cara bekerjanya diawasi oleh cabinet. Perdana Menteri dapat memastikan bahwa setiap usul yang
diajukan oleh pemerintahnya akan diputuskan dalam parlemen tepat pada waktu yang telah
ditetapkan, dan disetujui dalam bentuk yang dikehendaki oleh parlemen.
Sistem politik Negara Republik Rakyat Cina (RRC)
1. Latar belakang sejarah
Proses kehidupan system politik di Cina merupakan produk revolusi antara tahun 1911
s.d 1949. revolusi pertama (1911) menggantikan system kerajaan yang telah bertahan berabad-
abad. Revolusi kedua (1928) membentuk pemerintah pusat yang baru di bawah Kuomintang
dengan dominasi satu partai yang lebih bersemangat, terorganisir, dan terpusat. Revolusi ketiga
(1949) menjadikan PKC sebagai penguasa dan membentuk pemerintahan komunis sampai
sekarang.
2. Kondisi Sosiologis
Pada masyarakat Cina tradisional, lembaga-lembaga social yang dominant adalah
keluarga. Mereka mengakui wewenang kekuasaan para pemimpinnya atas tingkah laku social
mereka. Wewenang kekuasaan politik, pada tingkat apapun, adalah lebih tinggi daripada tuntutan
unsure-unsur dalam masyarakat.
3. Kondisi Kultural/ Budaya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 22
Pemerintah Cina sejak tahun 1949 telah mengupayakan pendidikan sebagai salah satu
alat yang paling efektif untuk mengubah sikap politik orang-orang Cina karena dapat
mempermudah melakukan mekanisme control dalam mengendalikan warga Negara yang
mencapai usia sekolah. Melalui pendididkan, masyarakat ikut menanggung beban sosialisasi
sebagai syarat pendidikan politik dan keterlibatan politik.
4. Kondisi Psiko-Sosial/ Kejiwaan Masyarakat
Negara Cina yang memiliki wilayah dan penduduk terbesar di dunia, sebelum PKC
berkuasa selalu dilanda perang saudara. Dengan kepercayaan diri yang tinggi telah mampu
berada dalam suatu posisi menguasai pengaruh atas suatu wilayah yang sangat luas dan penting.
5. Pedoman Filsafat
Mayoritas masyarakat Cina memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Mereka
memiliki keyakinan bahwa mobilisasi dan perjuangan adalah inti dari politik.
6. Paham atau Ideologi yang Diterapkan
Sistem komunis timbul secara langsung dari periode revolusioner yang bukan diciptakan
oleh kaum komunis. Revolusi Cina telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun sebelum
partai komunis menjadi kekuatan terbesar dalam politik Cina dan mulai menguasai
pemerintahannya.
7. Pedoman Konstitusi dan Hukum
Berdasarkan Konstitusi tahun 1954, organ wewenang Negara tertinggi dan pemegang
wewenang legislatif satu-satunya dalam system politik Negara adalah Kongres Rakyat Nasional
(KRN). KRN merupakan forum proses politik untuk mempelajari, mendukung dan mengesahkan
tindakan-tindakan pimpinan pusat yang melambangkan dukungan rakyat. Selain KRN, organ
administrative utama dalam struktur politik Negara adalah Dewan Negara yang terdiri dari
Perdana Menteri, Wakil-wakil Perdana Menteri, dan kepala-kepala dari semua kementrian dan
komisi, karena mereka merupakan pusat kekuasaan Negara yang sesungguhnya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 23
Sistem politik negara di Indonesia
1. Latar Belakang Sejarah
Terjadinya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melalui perjalanan politik yang
panjang. Proklamasi akhirnya terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasca proklamasi, para
pemimpin Indonesia terlibat dalam proses politik dengan mencari format berdasarkan demokrasi
Pancasila. Indonesia juga pernah mengalami pasang surut politik kenegaraan karena pernah
memakai beberapa sistem politik yang berlainan, diantaranya adalah demokrasi liberal dan
demokrasi terpimpin.
2. Kondisi Sosiologis
Kondisi bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan sangat merasakan
penderitaan di berbagai bidang kehidupan. Masyarakat Indonesia yang multibangsa, agama, ras
dan antargolongan telah dipersatukan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
3. Kondisi Kultural Dan Budaya
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun atas dasar sendi-sendi multikultural,
berbeda-beda suku, agama, ras dan antargolongan. Budaya musyawarah, toleransi,gotong
royong, dan saling menghormati telah dapat diwariskan kepada generasi mendatang baik sebagai
anggota masyarakat maupun calon pemimpin bangsa.
4. Kondisi Psiko-Sosial/Kejiwaan Masyarakat
Bangsa sebelum menjadikan Pancasila sebagai dasar negara selalu dapat dipecah belah
oleh bangsa lain. Hal ini menyebabkan negara pernah mengalami penjajahan oleh Bangsa
Belanda dan Jepang. Dengan semangat pantang menyerah bangsa Indonesia bisa dijajarkan
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa Indonesia secara politik dan dinyatakan dalam
Pembukaan UUD 1945, bahwa Indonesia sangat menentang penjajahan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 24
5. Pedoman Filsafat
Pancasila dam sistem politik Indonesia telah dijadikan dasar dan motivasi dalam segala
sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk
mencapai tujuan nasionalnya sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
6. Paham atau Ideologi yang Diterapkan
Ideologi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, akan selalu dikaitkan dengan
proses politik dalam pengaturan penyelenggaraaan pemerintahan negara yang meliputi bidang
ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan.
7. Pedoman Konstitusi dan Hukum
Berdasarkan Konstitusi UUD 1945, implementasi demokrasi Pancasila telah memberikan
kekuasaan yang besar kepada Presiden. Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai kekuasaan
memerintah dan melaksanakan undang-undang dengan pengawasan legislatif (DPR). DPR tidak
dapat dibubarkan oleh Presiden, maka dalam menjalankan kebijakan politiknya kepada eksekutif
perlu diperhatikan suara-suara wakil rakyat tersebut. Pengawasan terhadap pelaksanaan
penggunaan anggaran negara oleh lembaga-lembaga penyelenggaraan negara, dilakukan oleh
Badan Pengawas Keuangan (BPK). Sedangkan dalam hal pelaksanaan pelanggaran terhadap
undang-undang akan dilakukan oleh lembaga yudikatif (MA dan MK).
Negara Indonesia dalam sistem politik menerapkan sistem demokrasi Pancasila yang
merupakan suatu paham demokrasi yang bersumber pada pandangan hidup atau falsafah hidup
bangsa Indonesia yang digali dari kepribadian rakyat Indonesia itu sendiri.
Demokrasi menurut Pancasila atau disebut Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang
merupakan perwujudan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan yang mengandung semangat ke-Tuhanan YME, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun
isi pokok pelaksanaan Demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut :
Pelaksanaan demokrasi harus berdasarkan Pancasila sebagaimana disebut di dalam
Pembukaan UUD 1945, serta penjabarannya dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD
1945.
Demokrasi ini harus menghargai dan melindungi hak-hak manusia.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 25
Pelaksanaan kehidupan ketatanegaraan harus berdasarkan atas kelembagaan
(institusional).
Demokrasi ini harus bersendi atas hukum sebagaimana dijelaskan di dalam Penjelasan
UUD 1945.
Demokrasi Pancasila tidak hanya meliputi demokrasi di bidang pemerintahan atau politik
(demokrasi dalam arti sempit), tetapi juga telah berkembang menjadi demokrasi dalam arti yang
luas, yaitu meliputi berbagai sistem dalam arti yang luas, yaitu meliputi berbagai sistem dalam
masyarakat, seperti sistem politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Sistem politik Demokrasi Pancasila menghargai nilai-nilai musyawarah. Oleh karena itu,
kita pun harus memahami bagaimana tata cara bermusyawarah sebagai berikut :
Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
Adapun tata cara bermusyawarah dalam berbagai kehidupan harus mengandung prinsip-
prinsip sebagai berikut :
Setiap peserta musyawarah mempunyai hak dan mempunyai kesempatan yang sama
dalam mengeluarkan pendapat.
Hasil musyawarah atau setiap putusan, baik sebagai hasil mufakat maupun berdasarkan
suara terbanyak harus diterima dan dilaksanakan.
Apabila cara musyawarah tidak dapat mempertemukan pendapat yang berbeda maka
diambil cara dengan pengambilan suara terbanyak (voting).
Cara pengambilan suara terbanyak (voting) dalam demokrasi Pancasila dilakukan dengan
persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
Jika jalan musyawarah tidak berhasil mencapai mufakat.
Karena faktor waktu yang mendesak.
Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah jika diambil dalam rapat
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota rapat (quorum) dan disetujui
oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir memenuhi quorum.
Adapun nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap pengambilan keputusan adalah
sebagai berikut :
Legawa atau belapang dada.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 26
Religius.
Tenggang rasa.
Keadilan Kemanusiaan.
Aspek-aspek yang terkandung dalam Demokrasi Pancasila adalah :
Aspek formal, yaitu aspek yang mempersoalkan proses dan cara rakyat dalam menunjuk
wakil-wakil dalam badan-badan perwakilan rakyat dan pemerintahan serta cara mengatur
permusyawaratan wakil-wakil rakyat.
Aspek materiil, yaitu mengemukakan gambaran manusia dan mengakui harkat dan
martabatnya dan menjamin terwujudnya Indonesia sesuai dengan gambaran, harkat dan
martabat manusia
Aspek normatif, yaitu mengungkapkan seperangkat norma atau kaidah yang menjadi
pembimbing dan kriteria dalam mencapai tujuan kenegaraan.
Penerapan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila. Demokrasi pancasila pada hakikatnya
demokrasi yang bercorak khas indonesia, yang penerapannya dijabarkan dalam :
1). Pemerintahan berdasarkan hukum. Segala tindakan atau kebijakan harus berdasarkan
pada hukum yang berlaku
2). Perlindungan terhadap hak asasi manusia, Konstitusi negara Republik Indonesia
memberikan jaminan atas pelaksanaan hak-hak manusia yang dituangka dalam
pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, ketetapan MPR RI no.XVII/MPR/1998
tentan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.39 tahun 1999, dan Undang Undang
No.26 tentang peradilan HAM.
3). Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah Dalam setiap pengambilan
keputusan diusahakan melalui musyawarh untuk mencapai mufakat
4). Peradilan yang bebas dan merdeka. Badan peradilan kehakiman merupakan badan
yang merdeka, artinyaterlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan
lainnya. Berdasarkan pasal 24 dan 25.
5). Partai Politik (parpol) dan Organisasi Sosial Politik (orsospol). Keberadaan partai
politik atau orsospol di dalam Demokrasi Pancasila diperlukan guna menyalurkan
aspirasi atau kehendak rakyat, membina pendidikan politik para kader simpatisannya.
Hal ini terdapat dalam UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 27
6). Pelaksanaan pemilihan umum. Pemilihan umum telah diatur dalam UU No.12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemilihan
umum merupakan perwujudan dari demokrasi pancasila.
Pelaksanaan demokrasi Pancasila dalam pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan sesuai dengan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila menekankan
empat prinsip penting sebagai berikut :
1. Keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu prinsipdalam melaksanakan musyawarah
ketiks setiap orang mengetahui apa yang menjadi hak pribadi, hak orang lain dan
kewajiban orang lain.
2. Persamaan, yakni prinsip yang menekankan bahwa setiap orang memiliki kedudukan hak
dan kewajiban yan sama
3. Kebebasan yang bertanggung jawab, artinya bahwa setiap orang bebas unruk
mengemukakan pendapat.
4. Mengutamakan persatuan dan kesatuan, artinya setiap pelaksanaan musyawarah harus
mengutamakan kepentingan umum.
Peran Serta dalam Sistem Politik di Indonesia
a. Partisipasi Politik Warga Negara
Partisipasi Politik dapat diartikan sebagai penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap
individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu
tersebut berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap
pertanggungjawaban bersama.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 28
Bentuk – bentuk partisipasi politik, Menurut Almond kegiatan politik ada yang berbentuk
konvensional dan non-konvensional
Konvensional Non-Konvensional
Pemberian suara (vooting) Pengajuan petisiDiskusi politik BerdemonstrasiKegiatan kampanye KonfrontasiMembentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan
Mogok
Komunikasi individual dengan pejabat politik administratif
Tindak kekerasan politik terhadap harta benda ; Perusakan, Pemboman,PembakaranTindak kekerasan terhadap manusia ; penculikan, pembunuhan, peranggerilya revolusi.
Rousseau menyatakan bahwa hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam
kehidupan politik secara langsung dan berkelanjutan, negara dapat terikat ke dalam tujuan
kebaikan sebagai kehendak bersama. Berbagai bentuk partisipasi adalah ;
1. Terbentuknya organisasi – organisasi politik maupun organisasi masyarakat
2. Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat
3. Pelaksanaan PEMILU yang memberi kesempatan kepada warga negara untuk dipilih
ataupun memilih
4. Munculnya kelompok – kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input
dan output kepada pemerintah
Ditingkat individu, secara lebih spesifik Milbrath M.L Goel mengidentifikasi tujuh bentuk
partisipasi politi individual ;
1. Aphatetic Inactives : Tidak beraktifiyas dan partisipasif
2. Passive Supporters : Memilih secara reguler atau teratur
3. Contact Specialist : Pejabat penghubung lokal, profinsi dan nasional dalam
masalah-masalah tertentu
4. Communicators : Mengikuti informasi-informasi politik
5. Party and Campaign Workers : Bekerja untuk partai politik atau kandidat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 29
6. Community Activist : Bekerja dengan orang-orang lain berkaitan dengan masalah-
masalah local
7. Protesters : Bergabung dengan demonstrasi-demonstrasi politi di jalanan
Tingkatan partisipasi politik
Menurut Hunington dan Nelson, ada dua kriteria tingkat-tingkat partisipasi politik :
1. Dilihat dari ruang lingkup atau proporsi dari suatu kategori warga negara yang
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pertisipasi politik
2. Intensitas atau ukuran, lamanya dan arti penting dari kegiatan khusus itu bagi sistem
politik.
Semakin luas ruang lingkup partisipasi politik, maka semakin rendah hasil intensitasnya. Dan
sebaliknya, semakin kecil ruang lingkup partisipasi politik, intensitasnya semakin tinggi.
Tingkat pengamat
Pada tingkat pengamat, seperti menghadiri rapat umum, memberikan suara dalam pemilu,
menjadi anggota kelompok kepentingan, mendiskusikan masalah politik, perhatian pada
perkembangan politik dan usaha meyakinkan orang lain, merupakan contoh-contoh yang banyak
dilakukan oleh warga Negara, artinya proporsi atau lingkup jumlah orang yang terlibat di
dalamnya tinggi.
Namun tidak demikian dengan intensitas partisipasi politiknya, terutama kalau dikaitkan
dengan arti pentingnya bagi system politik, praktik-praktik tersebut pengaruhnya rendah atau
tingkat efektivitasnya dalam mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah, membutuhkan
waktu dan sumber daya yang cukup banyak.
Tingkat Aktivis
Kategori aktivitis, pejabat umum, pejabat partai penuh waktu, pimpinan kelompok
kepentingan merupakan pelaku politik yang memiliki intensitas tinggi dalam berpartisipasi
politik. Dengan memiliki akses yang cukup kuat untuk melakukan contacting dengan pejabat
pemerintah, sehingga upaya untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan pemerintah menjadi
sangat efektif.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 30
Terutama bagi pejabat umum, secara politis memiliki peluang yang cukup kuat dalam
mempengaruhi kebijakan politik yang dibuat pemerintah, secara individual bisa mempengaruhi
secara langsung. Warga negara yang terlibat praktik partisipasi politik di tingkat aktivis
jumlahnya terbatas, hanya diperuntukkan sejumlah kecil orang (terutama elit politik), yang
memiliki kesempatan untk terlibat dalam proses politik dengan mekanisme dan kekuatan
pengaruh seperti ini.
Kegiatan partisipasi politik di tingkat aktivis ditempuh bukan saja dengan cara-cara yang
formal – prosedural atau mengikuti aturanyang ditetapkan, dapat dengan cara nonformal, tidak
mengikuti jalur yang ditetapkan secara hukum, bahkan tindakan kekerasan. Tindakan yang
dilakukan bisa pembunuhan, tindakan terorisme nasional dan internasional, dan pembajakan.
Tingkatan atau hirarki yang terdapat pada partisipasi politik tergantung dari akibat yang
disebabkannya terhadap sistem politik. Tingkatan partisipasi politik disampaikan sebagai berikut
1. Menduduki jabatan politik atau administratif.
2. Mencari jabatan politik atau administrative.
3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik.
4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik.
5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi-political).
6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi-political).
7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya.
8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat dalam bidang politik.
9. Voting (pemberian suara)
Perluasan kegiatan pemerintah dalam berbagai bidang membawa konsekuensi adanya
tindakan-tindakan yang semakin menyusup ke segala segi kehidupan rakyat.Ruang lingkup
aktivitas atau tindakan pemerintah yang semakin luas mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan
yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
Faktor-faktor Pendukung Partisipasi Politik
1. Pendidikan politik
Menurut Ramdlon Naning, pendidikan politik adalah usaha untuk memasyarakatkan
politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat, meningkatkan kecerdasan setiap
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 31
warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; serta meningkatkan kepekaan dan
kesadaran rakyat terhadap hak, kewajiban, bangsa dan Negara.
Melalui pendidikan politik, diharapkan kader-kader anggota partai politik tersebut akan
memperoleh manfaat atau kegunaan:
1) Dapat memperluas pemahaman, penghayatan, dan wawasan terhadap masalah-
masalah atau isu-isu yang bersifat politis.
2) Mampu meningkatkan kualitas diri dalam berpolitik dan berbudaya politik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Lebih meningkatkan kualitas kesadaran politik rakyat menuju peran aktif dan
partisipasinya terhadap pembangunan politik bangsa secara keseluruhan.
2. Kesadaran politik
Menurut Drs. M. Taopan, kesadaran politik adalah suatu proses batin yang menampakan
keinsyafan dari setiap warga Negara akan urgensi urusan kenegaraan dalam kehidupan
bermasyarakan dan bernegara. Kesadaran politik atau keinsafan hidup bernegara menjadi penting
dalam kehidupan kenegaraan, meningat tugas-tugas Negara bersifat menyeluruh dan kompleks
sehingga tanpa dukungan positif dari seluruh warga masyarakat, tugas-tugas Negara banyak yang
terbengkalai.
Di Negara berkembang khususnya di Indonesia, masyarakat yang hidup dipedesaan (lk.70%) dan
yang diperkotaan (lk.30%) menurut penanganan sungguh dari aparat pemerintah atau penguasa
setempat. Masyarakat pedesaaan yang secara kuantitatif jauh lebih besar memiliki kesadaran politik
yang minim sehingga berdampak pada kehidupan politik nasional. Hal ini jelas akan berpengaruh
terhadap kemajuan pembangunan nasional di segala bidang. Dalam hal kesadaran politik masyarakat,
Drs. Arbi Sanit antara lain menyatakan.
Bila dihubungkan dengan hak dan kewajiban sebagai warga Negara, partisipasi politik
merupakan kewajiban yang harus dilasanakan sebagai wujud tanggung jawab Negara yang berkesadaran
politik tinggi dan baik. Secara teknis operasional, partisipasi politik anggota masyarakat dapat
dilaksanakan dengan cara-cara seperti tampak pada matriks di bawah ini.
1. Politik Setiap warga Negara dapat ikut serta secara langsung ataupun tidak
Langsung dalam kegiatan-kegiatan antara lain:
1. Ikut memilih dalam pemilihan umum,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 32
2. Menjadi anggota aktif dalam partai politik, kelompok penekan (pressure group),
maupun kelompok kepentingan tertentu.
3. Duduk dalam lembaga politik, seperti MPR, Presiden, DPR, Menteri, dan
sebagainya,
4. Mengadakan komunikasi (dialog) dengan wakil-wakil rakyat,
5. Berkampanye, menghindari kelompok diskusi, dan lain-lain.
6. Mempengaruhi para pembuat keputusan sehingga produk-produk yang
dihasilkan/dikeluarkan sesuai dengan aspirasi atau kepentingan masyarakat.
2. Ekonomi Setiap warga Negara dapat ikut serta secara aktif dalam kegiatan-kegiatan
antara lain:
1. Menciptakan sektor-sektor ekonomi yang produktif dalam bentuk jasa, barang,
transportasi, komunikasi, dan sebagainya.
2. Melalui keahlian masing-masing, dapat menciptakan produk-produk unggulan
yang inovatif, kreatif dan kompetitif dari pada produk luar.
3. Kesadaran untuk membayar pajak secara teratur demi kesejahteraan dan
kemajuan bersama.
3. Sosial-Budaya Setiap warga Negara dapat mengikuti kegiatan-kegiatan antara lain:
1. Sebagai pelajar atau mahasiswa, harus dapat menunjukan prestasi belajar yang
tinggi.
2. Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum, seperti
misalnya tawuran, narkoba, merampok, berjudi, dan sebagainya.
3. Profesional dalam bidang pekerjaannya, disiplin, dan produktivitas tinggi untuk
menunjang keberhasilan pembangunan nasional.
4. Hankam Setiap warga Negara dapat ikut serta secara aktif dalam kegiatan-kegiatan
antara lain:
1. Bela Negara dalam arti luas, sesuai dengan kemampuan dan profesinya masing-
masing.
2. Senantiasa memelihara ketertiban dan keamanan wilayah atau lingkungan tempat
tinggalnya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 33
3. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa demi tetap tegaknya Negara Republik
Indonesia.
4. Menjaga stabilitas dan keamanan nasional agar pelaksanaan pembangunan dapat
berjalan sesuai dengan rencana.
Kebalikan dari partisipasi politik adalah sikap apatis. Seseorang dinamakan apatis (secara
politis), jika dia tidak mau ikut serta dalam berbagai kegiatan politik kenegaraan di berbagai
bidang kehidupan seperti tersebut di atas. Dengan demikian sesungguhnya kegiatan-kegiatan
pendidikan politik, kesadaran politik, dan partisipasi politik masyarakat baik di pedesaan
maupun di perkotaan perlu terus didorong dan ditingkatkan demi keberhasilan penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan nasional.
Sosialisasi politik
Studi tentang sosialisasi politik telah menjadi bidang kajian yang sangat menarik akhir-
akhir ini. Ada dua alasan yang melatarbelakangi sehingga asosiasi politik menjadi kajian
tersendiri dalam politik kenegaraan.
Pertama:
Sosialisasi politik berfungsi untuk memelihara suatu system, yaitu agar stabilitas berjalan dengan
baik dan positif. Dengan demikian sosialisasi merupakan alat agar individu sadar dan merasa
cocok dengan sistem serta kultur (budaya) politik yang ada.
Kedua
Sosialisasi politik ingin menunjukan relevansinya dengan system politik dan data mengenai
orientasi anak-anak terhadap kultur politik orang dewasa, dan pelaksanaannya di masa
mendatang mengenai system politik.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan
mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik. Alat yang dapat
dijadikan perantara atau sarana dalam sosialisasi politik :
1) Keluarga (family), Wadah penanaman atau sosialisasi nailai-nilai politik yang
efisien dan efektif adalah keluarga.
2) Sekolah, Melalui civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan guru
saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik yang
mengandung nilai politik teoritis maupun praktis.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 34
3) Partai politik, Fungsi partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai agen
sosialisasi politik. Ini berarti partai politik mampu menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma dari satu generasi k generasi berikutnya.
Demokrasi di Indonesia
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan
Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua
Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam
bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini
beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi
contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya
pembangunan ekonomi.
Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yang tidak banyak disadari
itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka
mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa.
Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era
baru di Asia yang demokratis dan makmur.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang
akrab disapa SBY menerima anugerah medali demokrasi. SBY pun memaparkan panjang lebar
perjalanan demokrasi Indonesia. Menurutnya, demokrasi Indonesia merupakan jawaban terhadap
skeptisme perjalanan demokrasi di negeri ini. Beliau pun mencontohkan beberapa nada skeptis
yang ditujukan kepada Indonesia. Pertama, demokrasi akan membawa situasi kacau dan
perpecahan. Demokrasi di Indonesia hanyalah perubahan rezim, demokrasi akan memicu
ekstrimisme dan radikalisme politik di Indonesia.
Beliau pun menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia menunjukkan Islam dan
moderitas dapat berjalan bersama. Dan terlepas dari goncangan hebat akibat pergantian 4 kali
presiden selama periode 1998-2002, demokrasi Indonesia telah menciptakan stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu, Indonesia juga telah berhasil menjadi sebuah
negara demokrasi terbesar di dunia dan melaksanakan pemilu yang kompleks dengan sangat
sukses.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 35
Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia,
kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang.
Sebagian orang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia,
karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga pernah mengatakan bahwa negara Indonesia
terlalu besar dan memiliki persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai
kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat mengakibatkan perpecahan.
Sementara itu, mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang turut hadir
menyebutkan bahwa demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil melaksanakan demokrasi.
Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah
berhasil menerapkan demokrasi. Dia juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin
meyakinkan sehingga demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal
tersebut tentunya bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan kekayaan
hanya pada elit tertentu.
Demokrasi, menurut Anwar Ibrahim, adalah pemberian kebebasan kepada warga negara,
sedangkan kegagalan atau keberhasilan ekonomi menyangkut sistem yang diterapkan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 36
Negara dan Demokrasi
A. Gagasan Kedaulatan Rakyat
Diskursus ilmiah mengenai negara selalu diwarnai oleh pertanyaan mengenai legitimasi
kekuasaan negara yang besar atas rakyat. Pemikiran mengenai hal ini muncul sejak jaman
Yunani kuno. Pada waktu itu Plato dan Aristoteles menyatakan bahwa negara memerlukan
kekuasaan yang mutlak, untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional.
Sebenarnya pada jaman yang sama, gagasan bahwa rakyat dapat menentukan kebijakan-
kebijakan negara -yang kemudian dikenal dengan nama demokrasi- mulai lahir dengan bentuk
yang masih sangat sederhana. Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state)
Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct
democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-
keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak
berdasarkan prosedur mayoritas. Walaupun pengambilan keputusan secara kolektif telah mulai
diselenggarakan, pelembagaannya belumlah dikenali secara utuh. Pada saat itu, tahap
pemikiran mengenai teori negara baru muncul.
Bagi Plato dan Aristoteles, kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang
sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak terkendali bila negara tidak memiliki kekuasaan
yang besar. Latar belakang dari pemikiran mereka adalah bahwa pada dasarnya individu
memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Oleh
karena itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga yang kuat untuk
mengarahkan individu-individu dalam masyarakat. Arah dan tujuan negara yang dimaksud oleh
Plato dan Aristoteles adalah penegakan moral dalam masyarakat.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Plato kemudian mengemukakan konsepnya tentang
siapa yang harus menyelenggarakan kekuasaan tersebut. Menurutnya negara harus dikuasai
oleh para filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya dalam
kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian para
filsuf memiliki kewenangan yang mutlak dalam negara atas dasar kapasitas pribadinya. Bentuk
pemerintahan ini dinamakan oleh Plato dengan "aristokrasi para cendekia".
Dasar pemikiran ini kemudian diadopsi oleh agama katolik pada masa abad
pertengahan dengan alasan pembenar yang berbeda yaitu bahwa pada dasarnya kekuasaan
adalah di tangan Tuhan dan wakil Tuhan di dunia adalah Gereja. Dengan demikian negara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 37
yang diberkati oleh gereja adalah negara yang diberkati oleh Tuhan. Kedudukan para filsuf
dalam negara digantikan oleh Gereja yang diwakili oleh Sri Paus, namun dalam pelaksanaan
sehari-hari kekuasaan negara yang mutlak tersebut diberikan kepada raja-raja katolik.
Kekuasaan para raja ini hanya dibatasi oleh hukum agama yang berada di bawah kekuasaan
Gereja.
Pada abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami
pergeseran dari yang bersifat Illahiah menjadi bersifat duniawi kembali. Hal ini ini diawali oleh
perlawanan kaum monarchomacha terhadap raja dan gereja di masa abad pertengahan.
Pemikiran mereka didasarkan pada keraguan terhadap anggapan bahwa raja-raja dan gereja
tidak mungkin melakukan kesewenang-wenangan. Pada tahun 1579 terbit sebuah buku
berjudul Vindiciae Contra Tyrannos, yang kemudian dianggap sebagai buku utama yang
pertama dari kaum Monarchomacha. Buku ini menganut prinsip kedaulatan rakyat dan
menyatakan bahwa meskipun raja dipilih oleh Tuhan, tetapi dia diangkat berdasarkan
persetujuan rakyat. Tiada orang yang dilahirkan sebagai raja, tak mungkin seseorang menjadi
raja tanpa ada rakyat. Timbulnya pemikiran ini dikarenakan adanya kesewenang-wenangan
yang memang terjadi pada masa itu. Arief Budiman mencatat bahwa sejak buku ini terbit,
lahirlah konsep kedaulatan rakyat.
Dengan adanya pemikiran ini, konsep-konsep agamawi yang tadinya dipakai sebagai
dasar, kini bergeser menjadi konsep-konsep duniawi. Akibatnya kaum pembela kekuasaan
negara harus memakai prinsip-prinsip yang bersifat duniawi pula untuk membantah pikiran-
pikiran yang dikemukakan oleh kaum monarchomacha, di antara mereka adalah Grotius dan
Thomas Hobbes. Mereka tidak lagi menggunakan agama sebagai pembenaran bagi kekuasaan
negara yang besar, walaupun mereka mengatakan bahwa bila kekuasaan yang besar tidak
diberikan kepada negara maka masyarakat akan kacau. Mereka mengakui bahwa kekuasaan
negara memang berasal dari rakyat, tetapi kekuasaan itu diberikan justru untuk kepentingan
rakyat itu sendiri.
Pendapat ini kemudian ditentang oleh John Locke, yang juga bertolak dari argumen
masyarakat primitif sebelum adanya negara. Tetapi bagi Locke masyarakat tersebut tidaklah
kacau, bahkan masyarakat itulah yang ideal, karena hak-hak dasar dari manusia tidak
dilangggar. Pemikiran Locke ini diakui sebagai pemikiran yang paling berpengaruh pada pada
gagasan mengenai kedaulatan rakyat. Buku Locke yang berjudul Two Treaties of Government
menyatakan bahwa semua pemerintah yang sah bertumpu pada "persetujuan dari yang
diperintah". Dengan pernyataannya tentang hukum alam itu, Locke membantah pengakuan
bahwa pemerintah, yang pada jamannya ada di bawah kekuasaan gereja, adalah suatu aspek
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 38
rangkaian takdir Ilahi. Hukum alam identik dengan hukum Tuhan dan menjamin hak-hak dasar
semua orang. Untuk mengamankan hak-hak ini, manusia dalam masyarakat sipil mengadakan
"kontrak sosial" dengan pemerintah.
Pemikiran Locke ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu, yang menyatakan
pentingnya pemisahan kekuasaan kepada tiga aspek, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Ajaran ini kemudian dikenal luas dengan nama Trias
Politica. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan
undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan
pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.
Proses pemikiran mengenai sumber legitimasi negara, yaitu kedaulatan rakyat, serta
pelembagaannya inilah -setelah melalui proses panjang- yang kemudian melahirkan konsep
demokrasi yang dikenal sekarang. Terlihat bahwa kedaulatan rakyat merupakan argumentasi
yang paling dapat diterima dalam gagasan mengenai legitimasi negara. Konsep inilah yang
merupakan pemikiran awal mengenai demokrasi, yang kemudian berkembang hingga saat ini.
B. Perkembangan Gagasan Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi
Robert A. Dahl menyatakan bahwa demokrasi yang kita kenal sekarang sebenarnya
merupakan hasil gabungan dari empat sumber, yakni paham demokrasi Yunani, tradisi
Republiken, paham pemerintahan perwakilan, dan logika kesamaan politik. Franz Magnis-
Suseno mengemukakan bahwa logika kesamaan politik barangkali merupakan unsur yang
paling universal. Yang dimaksudkan oleh Robert A. Dahl sebagai logika kesamaan politik
adalah sebuah gagasan yang muncul di banyak lingkungan budaya dan tradisi yang
menganggap bahwa semua anggota sebuah kelompok atau asosiasi sama saja berhak dan
mampu untuk berpartisipasi secara sama dengan rekan-rekannya dalam proses pemerintahan
kelompok atau asosiasi itu.
Sementara, paham demokrasi Yunani juga merupakan bagian yang penting dalam
mewujudkan demokrasi modern yang kita kenal sekarang karena, sebagaimana dikemukakan
di bagian awal bab ini, adanya tradisi untuk mengambil keputusan secara kolektif sebenarnya
sudah dimulai sejak jaman Yunani Kuno. Dalam sistem pemerintahan ini semua keputusan
penting diambil oleh sebuah majelis yang terdiri dari 500 orang yang dipilih untuk jangka waktu
tertentu satu atau dua tahun –oleh semua warga negara (tidak termasuk budak dan wanita)- di
mana orang tidak boleh dipilih lebih dari dua kali, sehingga jumlah warga negara yang secara
aktif terlibat sangat tinggi. Majelis itu mengangkat dan memberhentikan para pemimpin. Dalam
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 39
pandangan Yunani mengenai demokrasi, suatu tatanan demokrasi sekurang-kurangnya harus
memenuhi enam persyaratan:
1. Warga negara harus cukup serasi dalam kepentingan mereka sehingga mereka sama-
sama memiliki suatu perasaan yang kuat tentang kepentingan umum dan bertindak atas
dasar itu, sehingga tidak nyata-nyata bertentangan dengan tujuan atau kepentingan
pribadi mereka.
2. Warga negara benar-benar harus amat padu dan homogen dalam hal ciri-ciri khas.
3. Jumlah warga negara harus sangat kecil.
4. Warga negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan undang-
undang dan keputusan-keputusan mengenai kebijakan.
5. Namun demikian, partisipasi warga negara tidak hanya terbatas pada pertemuan-
pertemuan Majelis. Mereka juga berpartisipasi dengan aktif dalam memerintah kota.
Selanjutnya pola pemerintahan demokratis juga muncul pada akhir abad ke-11 di kota-kota
Italia Utara dan Tengah. Kota-kota itu tidak mengacu pada kota-kota demokratis Yunani
melainkan pada tradisi Republiken, yaitu tradisi Republik Roma Kuno. Lebih daripada
demokrasi, tradisi republiken sebenarnya merupakan sebuah aristokrasi (kekuasaan di tangan
para bangsawan dan golongan terpandang), tetapi di dalamnya rakyat (plebs) selalu
memainkan peranan amat penting.
Ada dua ciri khusus dari kedua budaya demokratis tersebut di atas, yaitu pertama,
pemerintahan demokratis hanya terwujud dalam kerangka negara yang luasnya tidak terlalu
besar; dan kedua, bahwa demokrasi bersifat cukup langsung di mana majelis rakyat dan badan-
badan perwakilan lain terus menerus berhubungan langsung dengan rakyat yang telah
menetapkan mereka. Akibatnya budaya ini tidak dapat diterapkan pada negara-negara bangsa
yang mulai tumbuh pada abad ke-16. Itulah sebabnya acuan terhadap cita-cita pemerintahan
rakyat secara langsung tidak dapat ditemukan dalam pustaka filsafat politik dan hukum abad
ke-17 dan ke-18. Demokrasi dalam arti modern baru menjadi suatu kemungkinan real sesudah
sebuah unsur baru masuk ke dalam wawasan para pemikir politik: prinsip perwakilan atau
pemerintahan representatif. Selanjutnya Suseno mencatat bahwa demokrasi representatif itu
baru menjadi cita-cita pemikiran politik berkat adanya dua peristiwa besar, yaitu revolusi anti
kerajaan Inggris di Amerika yang menghasikan United States of America pada tahun 1776 dan
revolusi Perancis tahun 1789.
Dengan adanya dua peristiwa tersebut, cita-cita kekuasaan di tangan rakyat yang diberi
dasar ideologis baru oleh paham kehendak umum Rousseau yang kelihatan begitu utopis,
sekarang dapat dikawinkan dengan paham John Locke tentang pemerintahan yang terbatas
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 40
dan terkontrol. Seratus tahun kemudian, pada akhir abad ke-19, pola pemerintahan demokratis
modern sudah mulai terwujud dalam beberapa negara.
Setelah pola pemerintahan yang demokratis itu dikenali dalam berbagai sistem
pemerintahan di dunia, timbul pula keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik itu
secara efektif. Untuk itu, timbul pula gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi
kekuasaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi, apakah ia berupa naskah (written
constitution) atau tidak berupa naskah (unwritten constitution). Konstitusi itu menjamin hak-hak
politik dan menjalankan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan
eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini
dinamakan konstitusionalisme, sedangkan negara yang menganut gagasan ini dinamakan
Constitutional State atau Rechtsstaat, dan konsep demokrasi yang dituangkan ke dalam
konstitusi tersebut disebut sebagai demokrasi konstitusional. Istilah "negara hukum" yang kita
kenal sekarang, atau dikenal luas dengan Rechsstaat (Eropa Kontinental) dan Rule of Law
(Anglo Saxon), merupakan suatu penamaan yang diberikan oleh para ahli hukum pada
permulaan abad ke-20 terhadap gagasan konstitusionalisme.
C. Pembagian Kekuasaan Dalam Negara Demokrasi Modern
Konstitusi lahir karena adanya semangat untuk membatasi kekuasaan, sehingga di
dalamnya dimuat pemisahan (atau pembagian) kekuasaan negara. Kemudian, untuk dapat
menyelenggarakan negara harus ditentukan pula sistem organisasi yang mengatur relasi antara
cabang-cabang kekuasaan negara. Dalam sistem yang demokratis, kedaulatan adalah di
tangan rakyat. Konsekuensinya, sistem organisasi ini harus dibuat sedemikian rupa sehingga
kekuasaan yang dilahirkan akan tetap mengakomodasikan kedaulatan rakyat tersebut.
Kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara, yaitu:
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Carl. J.
Friedrich menggunakan istilah pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division
of power), sedangkan Hans Kelsen mengistilahkannya dengan forms of organization.
Secara umum pembagian ini biasa disebut dengan "bentuk negara", yaitu negara
kesatuan, konfederasi dan federasi.
2. Secara horisontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Pembagian ini
menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, yang lebih dikenal dengan trias politica. Dalam bagian ini,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 41
pembahasan untuk pembagian kekuasaan secara horisontal akan ditujukan pada sistem
relasi antara cabang-cabang kekuasaan horisontal, yaitu yang biasanya disebut dengan
"sistem pemerintahan".
Sebenarnya kadar demokrasi suatu negara tidak dapat serta merta diukur dari sistem
pembagian kekuasaan yang dipilihnya. Bahkan harus disadari bahwa tidak ada suatu konsep
yang pasti dan bersifat universal dalam sistem ketatanegaraan. Konsep-konsep yang pada saat
ini dikenal luas pun tidak boleh dipahami sebagai sistem yang harus diterapkan dan dikenali
secara langsung pelaksanaannya dalam berbagai negara, sebab sesuai dengan sifatnya,
sistem penyelenggaraan negara adalah suatu proses yang lahir dari berbagai kondisi dalam
masing-masing negara. Sehingga negara-negara demokrasi dapat dijalankan dengan berbagai
variasi pembagian kekuasaan, baik vertikal maupun horisontal, yang lahir dari sejarah praktek
ketatanegaraan yang ada di dunia. Masalah yang jauh lebih penting adalah apakah sistem yang
dipilih itu kemudian diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu antara lain
adanya partisipasi rakyat dan perlindungan HAM. Namun di lain pihak, uraian mengenai
konsep-konsep ini penting juga untuk dikemukakan mengingat bahwa pemahaman dan
diskursus seputar penyelenggaraan negara akan selalu diwarnai oleh konsep-konsep ini
sebagai landasan analisisnya.
Pada dasarnya, tiap variasi dari sistem pembagian kekuasaan negara cenderung
berintikan prinsip demokrasi. Permasalahannya kemudian, variasi-variasi inti tersebut sangat
terbuka untuk dilaksanakan sedemikian rupa oleh penguasa pada suatu negara sehingga justru
dapat mengurangi kadar demokrasi yang terkandung dalam variasi intinya. Pengurangan ini
bisa memiliki dua akibat, yaitu berakibat negatif terhadap demokrasi, dalam arti mengurangi
kadar demokrasinya, dan bersifat positif, dalam arti perubahan yang dibuat sama sekali tidak
mengurangi kandungan prinsip-prinsip demokrasi di dalamnya, bahkan dapat menggabungkan
kelebihan-kelebihan di antara keduanya yang justru membuatnya menjadi lebih
mengedepankan partisipasi rakyat.
1. Pembagian Kekuasaan Secara VertikalPembagian kekuasaan secara vertikal dapat juga dinamakan pembagian kekuasaan
secara teritorial, yaitu persoalan integrasi dari golongan-golongan yang berada di dalam suatu
wilayah. Hans Kelsen dalam studinya menyatakan bahwa negara adalah suatu tata hukum,
unsur-unsur negara yang mencakup wilayah dan rakyat adalah bidang validitas teritorial dan
personal dari tata hukum tersebut. Bentuk-bentuk organisasi negara yang berkaitan dengan
pembagian teritorial diistilahkan oleh Kelsen dengan sentralisasi dan desentralisasi. Konsep
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 42
tentang suatu tata hukum yang sentralistis mengandung arti bahwa semua normanya berlaku
bagi seluruh teritorial yang dijangkaunya; ini berarti bahwa semua normanya memiliki bidang
validitas teritorial yang sama. Di lain pihak, suatu tata hukum yang desentralistis terdiri atas
norma-norma yang memiliki bidang validitas teritorial yang berbeda. Oleh karena itu, Kelsen
tidak membedakan secara tajam antara negara Konfederasi, Negara Kesatuan, dan Negara
Federal. Ia hanya membedakan ketiga bentuk negara tersebut dari "derajat desentralisasinya".
Menurut Kelsen, pada skala desentralisasi, negara federal berada di antara negara kesatuan
dan perserikatan negara-negara menurut hukum internasional.
1.1. Konsep Negara KonfederasiMenurut L. Oppenheim suatu "konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat
penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern dan intern, bersatu atas dasar
perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan berapa alat perlengkapan
tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negar anggota konfederasi, tetapi
tidak terhadap warga negara-negara itu." Kekuasaan alat bersama itu sangat terbatas dan
hanya mencakup persoalan-persoalan yang telah ditentukan. Negara-negara yang tergabung
dalam konfederasi itu tetap merdeka dan berdaulat, sehingga konfederasi itu pada hakekatnya
bukan merupakan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum
internasional. Oleh karena itu, pembahasan mengenai bentuk negara dalam studi ini hanya
akan difokuskan pada dua bentuk lainnya, yaitu negara kesatuan dan federal.
1.2. Konsep Negara KesatuanMenurut C.F. Strong negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang legislatif
tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Pemerintah pusat mempunyai
wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak
otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan
tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Yang menjadi hakekat negara kesatuan adalah
bahwa kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan perkataan lain kekuasaan pemerintah pusat
tidak dibatasi oleh karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain selain
dari badan legislatif pusat.
C.F. Strong selanjutnya menyatakan bahwa ada dua ciri mutlak yang melekat pada
negara kesatuan, yaitu: (1) adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat; dan (2) tidak
adanya badan-badan lainnya yang berdaulat. Dengan demikian bagi para warga negaranya
dalam negara kesatuan itu hanya terasa adanya satu pemerintah.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 43
1.3. Konsep Negara FederalMenurut K.C. Wheare dalam bukunya Federal Government, prinsip federal adalah ialah
bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara
bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain. Misalnya dalam soal
hubungan luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal bebas sama sekali dari
campur tangan pemerintah negara bagiannya; sedangkan dalam soal kebudayaan, kesehatan,
dan sebagainya, pemerintah negara bagian biasanya bebas dengan tidak ada campur tangan
dari pemerintah federal. Tetapi dalam beberapa hal oleh warga negara terasa adanya dua
kekuasaan, oleh karena dalam beberapa hal ia harus mentaati dua pemerintahan. Misalnya
saja seorang Amerika yang tinggal di negara bagian California harus membayar pajak baik
kepada pemerintah negara-bagian California maupun kepada pemerintah federal Amerika
Serikat.
Untuk membentuk negara federal, menurut C.F. Strong diperlukan dua syarat, yaitu: (1)
adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk
federasi itu; dan (2) adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik tersebut untuk
mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila kesatuan-kesatuan politik itu menghendaki
persatuan sepenuhnya, maka bukan federasilah yang dibentuk, melainkan negara kesatuan.
Bentuk negara yang bersifat lebih menyentuh langsung kepada hukum nasional adalah
negara kesatuan dan negara federal. Sementara konsep konfederasi lebih cenderung kepada
pola hubungan antar negara dalam lingkup hubungan internasional. R. Kranenburg
mengemukakan adanya dua kriteria untuk membedakan antara negara kesatuan dan negara
federal berdasarkan hukum positif sebagai berikut:
a. Negara bagian suatu federasi memiliki "pouvoir constituant", yakni wewenang untuk
membentuk undang-undang dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi
sendiri dalam rangka dan batas-batas konstitusi federal, sedangkan dalam negara
kesatuan organisasi bagian-bagian negara (yaitu pemerintah daerah) secara garis
besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat.
b. Dalam negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur
hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi federal, sedangkan dalam
negara kesatuan wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam
suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang rendahan (lokal)
tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu.
Pendapat lainnya datang dari Kelsen, yang lebih memandang derajat desentralisasi sebagai
suatu pembagian kekuasaan secara vertikal daripada penamaannya. Kelsen menyatakan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 44
bahwa demokrasi dapat dideskripsikan sebagai suatu metode pembuatan norma-norma yang
desentralistis. Sebab dalam suatu negara demokrasi norma-norma hukum dibuat oleh berbagai
individu yang perbuatannya diatur oleh norma-norma hukum tersebut, dan organ-organ
pembuat hukum ini tersebar di seluruh teritorial berlakunya tata hukum ini. Berangkat dari
pemikiran ini, selanjutnya Kelsen berpendapat bahwa hanya derajat desentralisasi itulah yang
membedakan negara kesatuan dari negara federal. Bahkan dalam paparan selanjutnya, Kelsen
hanya menguraikan perbedaan-perbedaan antara negara federal dan konfederasi negara-
negara, karena menurutnya negara federal berbeda dari negara kesatuan dengan propinsi-
propinsi yang otonom hanya oleh fakta bahwa masalah yang menjadi bidang pengaturan
negara-negara bagian adalah lebih beraneka ragam (luas) dan penting daripada masalah yang
menjadi bidang pengaturan provinsi-provinsi yang otonom.
2. Relasi Antar Lembaga-Lembaga Negara dalam Pembagian Kekuasaan Secara Horisontal
Relasi yang paling penting dalam pembagian kekuasaan antar lembaga-lembaga
negara adalah relasi antar lembaga eksekutif dan legislatif. Sementara lembaga yudikatif justru
harus memiliki relasi yang bersifat tidak dapat saling mempengaruhi dengan lembaga-lembaga
negara lainnya. Fungsi lembaga yudikatif sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan
keadilan dan menjaga hak-hak asasi manusia menyebabkan lembaga ini harus mandiri dan
terbebas dari intervensi lembaga-lembaga negara lainnya. Pada sisi lain, pola hubungan antara
kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi isu yang amat penting dalam negara demokratis
karena gagasan demokrasi konstitusional sendiri berpijak dari keinginan untuk membatasi
kekuasaan negara (yang dijalankan oleh lembaga eksekutif) dan melembagakan kedaulatan
rakyat (yang salah satunya dilakukan melalui adanya lembaga legislatif).
Pada dasarnya ada dua bentuk relasi antara lembaga eksekutif dan legislatif, yaitu sistem
pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.
2.1. Sistem Pemerintahan ParlementerAda sebelas ciri-ciri utama pemerintahan parlementer yang dikemukakan oleh Douglas
V. Verney, sebagai berikut.
a. Majelis menjadi parlemen.
Dalam teori sistem pemerintahan, terdapat tiga fase kekuasaan pemerintahan,
meskipun peralihan dari fase satu ke fase yang lain tidak selalu tampak jelas. Pada
awalnya, pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 45
seluruh sistem politik atau sistem kenegaraan. Kemudian muncul sebuah majelis
dengan anggota yang menentang hegemoni raja. Terakhir, majelis mengambil alih
tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen sehingga raja
kehilangan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya.
b. Eksekutif dibagi ke dalam dua bagian.
Salah satu konsekuensi penting dari perubahan majelis ke dalam parlemen adalah
bahwa sekarang eksekutif menjadi terbagi dua, perdana menteri atau kanselir menjadi
kepala pemerintahan dan raja atau presiden yang bertindak sebagai kepala negara.
Biasanya raja menduduki tahta karena keturunan (meskipun ada raja yang dipilih,
misalnya di Malaysia), sedangkan presiden dipilih oleh parlemen.
c. Kepala Negara mengangkat Kepala Pemerintahan
Dalam sistem parlementer yang membagi eksekutif menjadi dua bagian (kepala negara
dan kepala pemerintahan), kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara. Jika para
pemilih melakukan tugas ini, secara langsung atau melalui lembaga pemilihan seperti di
Amerika Serikat atau I Finlandia, maka sistem ini akan menjadi sistem presidensial.
d. Kepala pemerintahan mengangkat menteri
Salah satu ciri yang menarik dari parlementerisme adalah perbedaan antara perdana
menteri dan para menteri lain. Perdana Menteri diangkat oleh kepala negara, sedangkan
para menteri dipilih oleh Perdana Menteri setelah ia diangkat.
e. Kementerian (pemerintah) adalah badan kolektif
Peralihan dari pemerintahan monarki ke dewan menteri mengandung arti bahwa
seseorang (seorang penguasa) digantikan oleh sebuah badan kolektif. Di bawah rejim
lama, kekuasaan ini dipegang oleh raja (le roi le veult), di bawah parlementarisme,
perdana menteri merupakan orang pertama di antara pemegang jabatan yang setara
(primus inter pares), meskipun beberapa perdana menteri lebih berkuasa dari perdana
menteri lain.
f. Menteri biasanya merupakan anggota parlemen
Para anggota pemerintahan memainkan peranan ganda dalam sistem parlementer.
Mereka tidak saja menjadi menteri tetapi juga menjadi anggota parlemen, yang dipilih
(kecuali anggota Majelis Tinggi Inggris) seperti para anggota majelis dan juga
bergantung pada kehendak pemilih mereka. Karena parlemen terdiri dari pemerintah
dan majelis, maka seorang anggota pemerintahan adalah anggota parlemen secara ipso
facto, tetapi ia tidak dapat menjadi anggota majelis. Di negara-negara dengan sistem
parlementer penuh, seperti di Inggris di mana para menteri adalah anggota parlemen,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 46
tampak sulit untuk membedakan antara pemerintah, parlemen, dan majelis dengan
jelas.
g. Pemerintah bertanggung jawab secara politik kepada majelis
Dalam sistem parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada majelis yang
mungkin menolak memberikan dukungan jika majelis berpendapat bahwa pemerintah
bertindak tidak bijaksana atau bertindak bukan atas dasar konstitusi. Melalui mosi tak
percaya atau dengan menolak usulan penting dari pemerintah, majelis dapat memaksa
pemerintah untuk mengundurkan diri dan mendorong kepala negara untuk menentukan
pemerintahan yang baru.
h. Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara untuk
membubarkan parlemen.
Dalam monarki pra-parlementer di Eropa, jika tidak puas dengan majelisnya, raja dapat
membubarkan salah satu atau kedua badan legislatif dalam maksud untuk
mengamankan pemilihan para wakil yang lebih bertanggung jawab setelah pemilihan
baru. Saat inipun, di mana pemerintahan dibagi dua, kepala negara tetap membubarkan
parlemen, tetapi ia melakukannya hanya atas permintaan kepala pemerintahan.
i. Parlemen sebagai suatu kesatuan memiliki supremasi atas kedudukan yang lebih tinggi
dari bagian-bagiannya pemerintah dan Majelis, tetapi mereka tidak saling menguasai.
Konsep supremasi parlemen sebagai suatu kesatuan atas bagian-bagiannya merupakan
satu ciri khas dari sistem parlementer. Pemerintah bergantung pada dukungan majelis
jika pemerintahan ingin terus berkuasa, tetapi majelis tidak memiliki supremasi karena
pemerintah dapat membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum. Banyak
sistem parlementer gagal karena satu atau beberapa unsurnya menyatakan supremasi,
dan parlemen sebagai suatu kesatuan tidak berkuasa atas pemerintah dan majelis.
Pada prakteknya, sifat supremasi parlemen ini berbeda-beda dari satu negara ke negara
lain. Di Inggris dan Skandinavia, tekanan diberikan pada peranan pemerintah di
parlemen, dan di Britania sistem ini disebut "pemerintahan kabinet". Di negara-negara
lain, terutama di Republik Ketiga dan Keempat Perancis, peranan dominan di parlemen
telah dimainkan oleh majelis.
j. Pemerintah sebagai suatu kesatuan hanya bertanggung jawab secara tak langsung
kepada para pemilih.
Meskipun bertanggung jawab langsung kepada majelis, pemerintah parlementer hanya
bertanggung jawab secara tak langsung kepada pemilih. Pemerintah secara
keseluruhan tidak dipilih secara langsung oleh para pemilih tetapi diangkat secara tak
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 47
langsung dari para anggota majelis. Di masa lalu hubungan langsung antara raja dan
rakyat di mana individu-individu boleh mengajukan petisi kepada raja mereka telah
hilang ketika parlementarisme diperkenalkan.
Memang benar bahwa para anggota pemerintahan, seperti juga anggota parlemen
lainnya, harus mewakili para pemilih. Namun mereka bukan merupakan anggota
pemerintahan kecuali sebagai calon anggota majelis. Tanggung jawab untuk
menjadikan mereka (setelah dipilih) sebagai menteri terletak di tangan perdana menteri
saja (dan tentunya di tangan raja).
k. Parlemen adalah fokus kekuasaan dalam sistem politik.
Penyatuan kekuasaan eksekutif dan legislatif di parlemen menyebabkan penumpukan
kekuasaan parlemen dalam tatanan politik. Verney mengibaratkannya sebagai drama.
DI panggung parlemen ini drama politik dipentaskan; parlemen merupakan forum untuk
mengajukan berbagai gagasan bangsa dan merupakan sekolah tempat para calon
pemimpin politik dididik. Agar parlementarisme berhasil, maka pemerintah tidak boleh
banyak omong terhadap penolakan parlemen atas programnya, atau bergerenyit atas
kritik yang dilontarkan kepada penyelenggara pemerintahannya. Kemudian majelis
harus menahan diri untuk tidak menjalankan fungsi pemerintah. Di sini terdapat
keseimbangan kekuasaan tanpa mencari keuntungan bagi setiap institusi.
2.2. Sistem Pemerintahan PresidensialPemerintahan presidensial seringkali dihubungkan dengan teori pemisahan kekuasaan
yang populer pada abad ke-18 ketika UUD Amerika Serikat disusun.
Verney mengemukakan sebelas ciri-ciri pemerintahan presidensial, sebagai berikut.
a. Majelis tetap sebagai majelis saja.
Teori parlementer menyatakan bahwa fase kedua dan perkembangan konstitusi, di
mana majelis dan badan yudikatif menyatakan batas yurisdiksi masing-masing di
samping eksekutif, memberi jalan ke arah fase ketiga di mana majelis dan pemerintahan
dilebur ke dalam satu parlemen. Sedangkan teori presidensialis menuntut agar majelis
tetap terpisah seperti dalam fase kedua.
b. Eksekutif tidak dibagi, melainkan hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat
untuk masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih.
Penetapan eksekutif yang terpisah dimungkinkan karena eksekutif tidak terbagi
sebagaimana yang terjadi dalam sistem parlementer. Presiden dipilih untuk masa
jabatan yang pasti, hal ini mencegah majelis memaksa pengunduran dirinya, kecuali
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 48
dengan tuduhan pelanggaran yang serius, dan sekaligus menuntut presiden untuk
bersedia dipilih kembali melalui pemilihan umum jika ia ingin terus memegang
jabatannya, namun sebaiknya masa jabatan presiden ini dibatasi pada beberapa kali
masa jabatan. Hal yang juga penting adalah pemilihan presiden pada saat bersamaan
dengan pemilihan majelis, mekanisme ini akan menghubungkan dua cabang
pemerintahan, mendorong persatuan partai dan memperjelas berbagai masalah.
c. Kepala pemerintahan adalah kepala negara.
Jika dalam monarki praparlementer kepala negara juga merupakan kepala
pemerintahan, maka dalam sistem presidensial kepala pemerintahan menjabat sebagai
kepala negara. Ini merupakan satu perbedaan penting karena perbedaan ini menarik
perhatian ke arah kedudukan yang terbatas dan keadaan di seputar jabatan presiden.
Presiden mempunyai sedikit konsekuensi hingga ia dipilih sebagai pemimpin politik oleh
para pemilihnya dan ia tidak lagi memegang kekuasaan apapun setelah masa
jabatannya berakhir. Aspek seremonial dari kedudukannya sebagai kepala negara
hanya mencerminkan prestise politiknya.
d. Presiden mengangkat kepala departemen yang merupakan bawahannya.
Perdana menteri dalam sistem pemerintahan parlementer mengangkat menteri-menteri
yang merupakan rekan-rekannya di parlemen untuk bersama-sama membentuk
pemerintahan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden
mengangkat menteri-menteri untuk dijadikan kepala departemen eksekutif di bawahnya.
Dalam aturan formal yang berlaku di Amerika Serikat dan Filipina, pengangkatan
menteri oleh presiden harus mendapatkan persetujuan dari majelis atau salah satu
organnya (di Amerika Serikat adalah Senat dan di Filipina adalah Komisi
Pengangkatan), sehingga pemilihan oleh presiden terbatas pada orang-orang yang
disetujui oleh badan itu. Hal ini menghindarkan presiden untuk mengangkat orang-orang
yang diragukan kapabilitas pribadinya.
e. Presiden adalah eksekutif tunggal.
Dalam sistem pemerintah presidensial, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh satu
orang, yakni presiden. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang bersifat
kolektif, perdana menteri berkedudukan setara dengan menteri-menteri lainnya.
f. Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintah dan sebaliknya.
Dalam konvensi atau aturan parlementer negara-negara yang menganut sistem
pemerintahan parlementer, kecuali Belanda dan Norwegia, seseorang dibolehkan untuk
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 49
menduduki jabatan eksekutif dan legislatif sekaligus. Dalam sistem pemrintahan
presidensial, orang yang sama tidak boleh menduduki dua jabatan tersebut.
g. Eksekutif bertanggung jawab kepada konstistusi.
Sistem pemerintahan presidensial menuntut presiden untuk bertanggung jawab kepada
konstistusi, bukan kepada majelis sebagaimana dalam sistem parlementer. Biasanya
majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada konstitusi melalui proses dakwaan
berat atau mosi tidak percaya, namun hal ini tidak berarti ia bertanggung jawab kepada
majelis seperti dalam pengertian parlementer. Dakwaan ini menuntut kepatuhan hukum
dan sangat berbeda dengan pelaksanaan kontrol politik atas tindakan presiden.
h. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis.
Majelis dalam sistem presidensial tidak dapat memberhentikan presiden, begitu pula
sebaliknya presiden tidak dapat membubarkan majelis dan oleh karena itu mereka juga
tidak dapat saling memaksa. Hal ini, menurut pendukung sistem presidensial,
merupakan keadaan yang mendukung mekanisme check and balance agar berjalan
secara optimal.
i. Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada
peleburan bagian eksekutif dan legislatif seperti dalam sebuah parlementer.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam sistem presidensial terlihat seperti ada
kecenderungan tidak adanya lembaga yang dominan atas lembaga lain, karena
presiden dan majelis sama-sama independen. Namun dalam praktek ada hal-hal yang
justru memperlihatkan bahwa majelis berkedudukan lebih tinggi dari lembaga-lembaga
lain termasuk lembaga yudikatif. Salah satu contohnya adalah bahwa majelis dengan
dasar UUD dapat menjatuhkan hukuman kepada presiden dalam proses dakwaan berat.
Contoh lainnya adalah kekuasaan mejelis untuk mengubah UUD menempatkan majelis
sebagai lembaga yang dapat berbuat apa saja dalam mengatur kekuasaan lembaga-
lembaga lain dalam negara. Dalam sistem parlementer, konstitusi harus diubah dengan
persetujuan pemerintah dan parlemen, sedangkan dalam sistem presidensial majelis
dapat merubah UUD tanpa persetujuan presiden.
j. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada para pemilih.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden dipilih oleh rakyat, baik secara
langsung atau melalui badan pemilihan, sedangkan perdana menteri dalam sistem
parlementer dipilih oleh badan legislatif. Konsekuensi dari sistem ini adalah presiden
akan merasa lebih kuat kedudukannya dari pada para wakil rakyat, karena ia dipilih oleh
seluruh rakyat sedangkan para wakil rakyat dipilih oleh sebagian rakyat. Di beberapa
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 50
negara Amerika Latin dan Perancis di masa de Gaulle, presiden dapat melangkah lebih
jauh dari batas kekuasaannya dengan menggunakan alasan ini.
k. Tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik.
l. Apabila dalam sistem parlementer kegiatan politik bertumpu pada parlemen, maka
dalam sistem presidensial tidak ada lembaga yang menjadi konsentrasi kekuasaan,
karena pada kenyataannya kekuasaan menjadi terbagi dan masing-masing lembaga
memiliki kewenangan yang dikontrol oleh lembaga lainnya
Keberpihakan Indonesia Baru
Politik adalah Keberpihakan
Realitas politik adalah realitas keberpihakan. Seperti ditulis John Maccionis, politik berkaitan erat dengan distribusi kekuasaan dan pengambilan keputusan. Bahkan menurut Marx, "…politik memegang peranan tertinggi sementara negara hanyalah sebuah panitia yang mengelola kepentingan kaum berkuasa secara menyeluruh" (Budiman, 1997: 56).Dalam kehidupan riil, paradigma politik akan menentukan pada siapa, atau kelompok mana, realitas politik berpihak. Realitas politik negara-negara kapitalis misalnya, cenderung berpihak pada kaum borjuis, para pemilik modal; sebaliknya di negara sosialis, realitas politik merupakan representasi kepentingan kaum pekerja, atau di negara feodal cenderung mengadaptasi kepentingan kaum bangsawan.
Maka, jelas kiranya jika kemudian berbagai kebijakan bagi masyarakat juga diwarnai oleh realitas politik itu. Padahal, kebijakan (policy) seharusnya adalah keputusan-keputusan publik yang diambil negara dan dilaksanakan aparat birokrasinya. Maka, idealnya, kebijakan pemerintah ditujukan untuk rakyat keseluruhan, tidak pada kelompok tertentu. Namun sebagai manifestasi keberpihakan politik, kebijakan pun menjadi tidak bebas nilai dan sulit untuk tidak memihak, seperti halnya yang terjadi di Indonesia selama hampir 55 tahun keberadaannya ini.
Selama Orde Lama, kebijakan politik condong ke polarisasi partisan antar partai politik. Orde Baru justru sebaliknya, kekuasaan negara diperkuat dan partisipasi politik rakyat ditutup. Walau keduanya mengklaim Pancasila sebagai ideologi negara, di satu sisi Orde Lama condong ke ideologi sosialis dengan komitmen poros Jakarta-Peking-Moskow, sedangkan Orde Baru memberi ruang tumbuhnya ideologi kapitalis dengan mendukung sepenuhnya kebijakan kapitalisme internasional melalui WTO, pasar bebas dan IMF. Namun di sisi lain, baik Orde Lama maupun Orde Baru menggunakan pola-pola otoritarian. Juga sosok Soekarno dan Soeharto, dengan atribut kebesaran-militernya, telah melanggengkan pola otoriter yang mematikan diskursus demokrasi. Maka, tidak heran walau keduanya mengakui Pancasila sebagai ideologi, keberpihakan Orde Lama dinilai lebih condong pada sosialisme-otoritarian sementara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 51
Orde Baru kapitalisme-otoritarian. Rakyat sebagai tujuan akhir perjuangan politik tetap ditinggalkan.
Keberpihakan yang dilandasi paradigma dan realitas politik demikianlah yang harus ditinjau kembali. Kehidupan rakyat secara holistik dan sistemiklah yang sepantasnya mendapat pemihakan politik. Di sinilah masalahnya. Paradigma dan realitas politik bersumber pada keyakinan dimana ideologi yang dianggap paling benar mengalir dan menentukan pola-laku seluruh masyarakat, termasuk yang tidak berideologi sama. Hal ini jelas menunjukkan tiadanya pemihakan pada manusia secara universal. Maka, politik harus mengubah orientasinya dari basis ideologis yang mereduksi partisipasi golongan masyarakat ‘yang berbeda’, ke basis humanisme universal yang memberi ruang bagi seluruh warga negara dengan semua keyakinannya untuk hidup bersama dalam tatanan sistemik yang lebih adil.
Wacana Baru Demokrasi Sosial
Demokrasi Sosial yang pernah dikenal sebagai ‘jalan tengah’ atau ‘jalan ketiga’ antara kapitalisme dan sosialisme, kini mendapat makna baru setelah runtuhnya Tembok Berlin dan Uni Soviet. Wacana Demokrasi Sosial saat ini, menurut Giddens dalam "Jalan Ketiga" adalah wacana pasca perdebatan kapitalisme-sosialisme klasik; wacana tentang jalannya dunia baru, yang selain memberikan kenyamanan dan keamanan hakiki (ontological security) namun sekaligus juga memiliki potensi resiko hidup yang tinggi (high consequence risk). Karenanya, diperlukan pula pergeseran-pergeseran dalam struktur dukungan dan pemihakan politik.
Ide Demokrasi Sosial lama, sebagaimana halnya Kapitalisme dan Sosialisme klasik, berdasar pada filsafat Cartesian dan Newtonian yang mereduksi sistem masyarakat-negara dalam kelas-kelas dan berpihak pada kelas penguasa. Demokrasi Sosial baru melihat tata masyarakat, termasuk peranan perempuan dan lingkungan yang lama diabaikan, sebagai sebuah kesatuan dan tujuan pemihakan politik, karena dunia secara fundamental sudah berubah.Dalam "Matinya Negara-Bangsa", Kenichi Omahe pun mengatakan, "…kita sekarang hidup dalam sebuah dunia tanpa batas, dimana negara-bangsa telah menjadi sebuah ‘rekaan’ dan di mana para politikus telah kehilangan semua kekuatan efektif mereka."
Pandangan yang ditentang para penganut sosialisme, kapitalisme, bahkan demokrasi sosial klasik ini secara obyektif sebenarnya menggagas fenomena dan perubahan dunia yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya, yang perlahan tapi pasti mengemuka sebagai masalah sistemik-saling-terkait (nested systemic problems) yang dihadapi seluruh penduduk dunia. Globalisasi yang sudah menjadi keniscayaan tidak mungkin dibicarakan tanpa membahas salah satu implikasinya yang penting yaitu individualisme. Lebih jauh, individualisme juga ditengarai sebagai dampak modernisasi masyarakat global yang sukar diklaim keberpihakannya; ke kanan (artinya kapitalistik) atau ke kiri (sosialistik), sebab keduanya makin kehilangan makna. Maka, para pelaku politik mengambil peran sentral dalam mendorong proses demokratisasi. Selain itu,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 52
timbul kesadaran lain dalam masyarakat global, yaitu penghargaan akan lingkungan hidup kita (ekologi).
Keberpihakan Indonesia Baru
Suka atau tidak, Indonesia sebagai sebuah entitas masyarakat, saat ini tengah bergerak, bergeser dan berayun. Ayunan tersebut, sebagian adalah hasil interaksi masyarakat, sebagian lain terdorong dunia yang juga tengah berayun. Dari sudut pandang Demokrasi Sosial, ‘ayunan’ inilah yang mengarah pada tujuan yang lebih mendasar, yaitu komitmen dan pemihakan politik pada kesejahteraan rakyat. Demokrasi Sosial melihat, proses pembangunan Indonesia Baru sebagai manifestasi praktis ide politik, harus bersifat menyeluruh dan sistemik dalam kerangka pikir holistik. Reduksi-reduksi terhadap rakyat maupun pembangunan harus dihentikan.
Indonesia Baru semestinya merupakan sebuah situasi sosial, yang ditandai peningkatan kualitas kehidupan serta tatanan masyarakat yang menghargai keragaman pilihan politik, ekonomi dan sosial. Tatanan masyarakat ini harus mengarah kepada upaya penegakan Hak Asasi Manusia, Keadilan dan Kesetaraan serta memiliki komitmen yang serius dalam Pelestarian Lingkungan. Dengan demikian, Indonesia Baru secara politik haruslah merupakan perwujudan nyata dari kemenangan dan kedaulatan rakyat atas negara.
Secara lebih konkrit, pemihakan pada rakyat harus dimulai dengan sikap berpihak pada mereka yang paling dipinggirkan selama ini, yang tidak punya akses baik pada sumber daya ekonomi sehingga miskin dan melarat, maupun pada keputusan-keputusan politik di tingkat basis masyarakat. Para petani penggarap, buruh, pekerja kasar, anak-anak jalanan, juga pegawai negeri golongan rendah dan tentara berpangkat rendah, adalah mereka yang harus menjadi perhatian pembangunan Indonesia Baru ini. Dari kacamata ini, lingkungan hidup juga termasuk ‘korban’ manifestasi politik lama yang membangun dengan merampas dan merusak alam.
Visi dan Prospek Pembaruan Politik
Apa yang disampaikan di atas membutuhkan pembaruan ‘niat politik’ untuk melakukannya. Namun pertanyaan kritisnya: seberapa besar prospek pembaruan politik Indonesia Baru ini sehingga mau mengarah ke sana? Menjawabnya tidak mudah, karena bersifat paradigmatis. Namun demikian, ada beberapa butir penting yang dapat diangkat:
Pertama, paradigma ideologi negara. Pancasila yang diselewengkan Orde Lama ataupun Orde Baru, harus dikembalikan ke tempatnya sebagi ideologi yang mendorong terciptanya demokrasi bagi rakyat. Pancasila tidak boleh diposisikan sebagai doktrin mati yang penafsirannya dimonopoli negara dan para pelaku politik untuk memasung kebebasan, dinamika dan kreativitas masyarakat. Dengan kata lain Pancasila tidak boleh menjadi sarana legitimasi politik penguasa dan instrumen pengontrol-penindas dinamika masyarakat.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 53
Kedua, paradigma bentuk negara. Perdebatan mengenai negara kesatuan versus federal harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu keberpihakan pada rakyat. Doktrin negara kesatuan, yang diilhami Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi 1945, bukanlah doktrin mati. Bentuk negara tidak cukup hanya didasari fakta sejarah, melainkan harus visioner-globalistik-bervisi ke depan-dan memihak kepentingan rakyat dalam konteks global. Almarhum Mangunwijaya pernah menulis, "Semakin terus desentralisasi dengan gaya "Serbia Raya", semakin disintegrasi separatis a la Yugoslavia merajalela. Maka, pasti RI tercinta kita lalu pecah berantakan." Karenanya, selama manusia yang tinggal di atas pulau-pulau itu tetap hidup, mendapat kesejahteraan dan perlakuan yang adil, bentuk negara apapun itu -federal, kesatuan, maupun administrasi kepulauan (archipelago administration) dengan 13.677 pulau- tidak menjadi masalah.
Terakhir, paradigma pembangunan ekonomi. Perkembangan ekonomi global menuntut paradigma baru dalam pengelolaan negara. Kesalahan selama ini adalah sentralisasi pengelolaan sumber daya lokal yang seharusnya menjadi wewenang pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat lokal tidak menikmati kekayaan alam daerahnya. Di sinilah Indonesia Baru harus membuat perubahan. Pembangunan harus diarahkan untuk menemukan daerah-daerah pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa. Kemudian, pemerintah daerah diberikan otonomi dan wewenang desentralisasi seoptimal mungkin untuk mengelolanya.
Dalam perspektif Demokrasi Sosial, pembangunan ekonomi macam inilah yang lebih holistik secara politis (perwujudan kemandirian daerah, masyarakat sipil dan kehidupan yang lebih demokratis), ekonomis (pengelolaan potensi dan sumber daya lokal secara adil bagi warganya), sosiologis (akomodasi kemajemukan daerah dan penduduk Indonesia), kultural (mempertahankan, mengapresiasi dan mempromosikan diversitas kultural dalam identitas sebagai bangsa bhineka) dan teknis administratif (efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik serta pengelolaan sumber daya). Konsekuensinya, kewenangan pemerintah pusat akan terbatas pada bidang-bidang hukum dan peradilan, pertahanan dan keamanan, hubungan luar negeri dan kebijakan fiskal serta moneter. Pembaruan politik ini akan benar-benar mendasar secara paradigmatis.
Epilog
Perubahan dan perbaikan besar memerlukan waktu untuk mengakar, mendalam, dan radikal. Tidak ada perubahan total yang berjalan mendadak dan lewat jalan pintas kecuali penghancuran. Indonesia Baru yang dibangun ini pun memerlukan waktu dan tentu, paradigma baru. Paradigma yang tegas menjelaskan bahwa sistem-manusia Indonesia hanyalah satu di antara sistem-manusia lainnya di dunia. Paradigma yang lugas menunjukkan bahwa tidak pernah ada pendekatan tunggal dalam pembangunan. Paradigma yang membantu masyarakat untuk memahami bahwa manusialah tujuan semua gerak-sosial-budaya, termasuk politik. Tidak ada pilihan lain bagi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 54
politik Indonesia Baru, selain untuk berpihak pada manusia, pada rakyat - masyarakat secara sistemik dan menyeluruh.
Daftar Pustaka.
Affan Gaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
G. Bingham Powell, Jr., Contemporary Democracies.
Ipong S. Azhar, Benarkah DPR Kita Mandul, Biograf Publishing, Yogyakarta, 1997
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Graha Ilmu, 2007
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1992
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1988
William R Thomson dan monte Palmer, The Comparative analysis of Politics, 1978.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 55