Post on 04-Aug-2020
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang dijadikan rujukan, terutama adalah pustaka yang
memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan, berfungsi sebagai
pelengkap informasi, dan dapat menunjang penelitian ini. Kajian terhadap pustaka
perlu dilakukan secara komprehensif agar diperoleh benang merah yang mampu
menghubungkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu dengan
penelitian sekarang ini.
Dalam menambah wawasan, mempertajam konsep dan teori, serta
menunjukkan keaslian penelitian, maka dilakukan kajian terhadap pustaka-
pustaka yang relevan. Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan ada
beberapa pustaka yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini.
Penelitian tentang agama pada masyarakat Samin adalah tulisan
Retnaningtyas (2002) yang berjudul Perubahan dari Agama Adam ke Agama
Islam pada Masyarakat Samin 1967-1998. Penelitian ini memfokuskan kajiannya
terhadap perubahan keyakinan masyarakat Samin. Masuknya agama Islam ke
dalam kehidupan masyarakat Samin telah mengubah keyakinan masyarakatnya,
terutama pada golongan muda. Pengaruh Islam terhadap golongan muda Samin
berlangsung harmonis dan penuh toleransi. Golongan tua yang masih tetap
menganut agama lama, yaitu agama Adam memberikan kebebasan kepada
golongan muda Samin untuk memeluk agama baru, yaitu agama Islam dengan
13
tetap menghargai keyakinan golongan tua. Penelitian ini dapat memberikan
informasi mengenai keterpinggiran suku Akit di dalam bidang agama akibat
masuknya agama Islam. Salah satu ciri suku Akit sebagaimana dilihat oleh orang
Melayu adalah agama mereka bersifat animistik. Agama suku Akit memang
berdasarkan kepercayaan pada berbagai mahluk halus, ruh, dan berbagai kekuatan
gaib dalam alam semesta, khususnya dalam lingkungan hidup manusia
mempunyai pengaruh terhadap kesejahteraan hidup mereka. Suku Akit melakukan
ritual yang bertujuan untuk menyatukan manusia dengan penguasa adikodrati,
khususnya penghuni alam gaib, cara beradaptasi, memperlakukan alam dan roh
para leluhur (penghuni alam gaib, roh leluhur), serta memperlakukan alam serta
lelehur yang berkaitan dengan ritual pengobatan, permohonan kesehatan, dan
keselamatan suku Akit.
Penelitian tesis Griapon (2005) tentang “Pengetahuan Lokal, Sikap dan
Perilaku Masyarakat Gayem terhadap Penyakit di Desa Gemebs Distrik
Nimboran Jayapura” membahas penyakit dan proses penyembuhannya
berdasarkan pemahaman masyarakat. Pada penilitian ini lebih banyak difokuskan
pada etiologi penyakit secara personalistik dibandingkan dengan sebab-sebab
naturalistik. Hal ini menambah wawasan penulis tentang sebab-sebab sakit
menurut konsep suku Akit. Hal ini berlaku juga pada kehidupan masyarakat suku
Akit. Silih berganti berbagai nama dan jenis penyakit ada yang muncul dan ada
yang hilang. Bomoh berusaha terus mencari cara penyembuhannya, dengan
berbagai cara dan dari berbagai ilmu. Demikian juga peran bomoh (dukun) masih
berfungsi baik sebagai orang pintar terkait dengan badekeh dan kegiatan lainnya.
14
Sirait (2009) dalam disertasinya yang membahas “Sando dan Dokter
(Kontestasi Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Modern di Sulawesi Tengah)”
mengemukakan bahwa kelompok masyarakat Kaili Da’a dalam mencari
pelayanan kesehatan berawal dari kendala masyarakat mengakses pelayanan
kesehatan modern. Oleh karena itu, mereka mengobati sendiri dengan cara-cara
tradisional berdasarkan pengetahuan yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan daripada berobat ke sistem modern dan
puskesmas. Relevansi penelitian tersebut adalah menambah rujukan pada penulis
bagaimana membahas ritual pengobatan bomoh dan alasan suku Akit untuk
pengobatan. Masyarakat Akit mempunyai tradisi tersendiri dan sangat menarik
dalam menangani masalah kesehatan dalam penyembuhan penyakit. Menariknya
adalah jika orang sakit pada umumnya berobat ke paramedis, ternyata orang-
orang Akit lebih sering memakai jasa dukun yang disebut bomoh.
Alkausar (2011) melakukan penelitian tentang “Keterancaman Ritual
Mappandesasi pada Masyarakat Nelayan Suku Mandar di Kelurahan Bungkutoko,
Sulawesi Tenggara”. Dalam penelitian Alkausar, diketahui bahwa ritual
mappandesasi bertujuan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan rezeki yang
banyak bagi para nelayan. Ritual ini dilaksanakan sebelum para nelayan berlayar
agar mendapatkan hasil yang banyak. Namun, pada era sekarang proses pewarisan
yang ada malah terjadi penyusutan terhadap eksistensi ritual tersebut. Artinya
pengurangan dan pembaruan terhadap sarana-sarana dari ritual mappandesasi.
Penelitian di atas memberikan sumbangsih dalam berpikir, khususnya
pemahaman peneliti terhadap konsep, bentuk, faktor-faktor penyebab penurunan,
15
serta dampak dan makna penurunan ritual. Penelitian yang dilakukan oleh
Alkausar menjadi sumber masukan yang membangun sekaligus sebagai bahan
pembanding dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam
masyarakat di Kelurahan Bungkutoko tidak lagi ditemukan ritual mappandesasi
sebagai bentuk perwujudan masyarakat nelayan suku Mandar terhadap
kepercayaan terhadap mitos penguasa laut. Ritual mappandesasi yang dilakukan
oleh suku Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai fungsi sosial untuk
mengintensifkan kerja sama atau memperkuat rasa solidaritas sesama nelayan
suku Mandar.
Penelitian yang dikakukan oleh Alkausar memiliki persamaan dan
perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan yang dimaksud adalah sama-sama
mengakaji ritual yang dilakukan oleh masyarakat dengan siklus kehidupan
manusia dengan pendekatan penelitian kajian budaya. Sebaliknya perbedaannya
Alkausar melihat ritual nelayan yang mengalami keterancaman karena sudah
jarang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Sementara penelitian ini
melihat ritual yang mengalami keterpinggiran. Berdasarkan lokasi dan objeknya
tentu menunjukkan perbedaan yang jauh dan keterpinggiran ritual bedekeh karena
bergesernya keduudkan batin akibat dari adanya undang-undang desa yang
mengatakan bahwa tidak harus dari pemimpin suku Akit sehingga kaitannya
dengan keterpinggiran dari suku Akit dapat memberikan kontribusi yang dapat
dijadikan alasan keterpinggiran ritual. Dalam kehidupan masyarakat suku Akit
telah ada puskesmas yang menghadirkan dokter sebagai tenaga medis, tetapi
16
berbagai penyakit yang tidak dapat disembukan oleh dokter maka masyarakat
cenderung berobat pada bomoh.
Porath (2012) menulis buku berjudul Ketika Burung Itu Terbang. Buku itu
dijadikan salah satu acuan dalam penelitian penulis karena dapat mengungkapkan
bahwa dalam tradisi pengobatan lebih difokuskan pada dukun sebagai media
arwah dan memanggil arwah tersebut untuk mencari obat atau ”ubet”. Selain itu,
dukun akan menafsirkannya ke dalam pertunjukan fisik bagi sang pasien berupa
tari-tarian, musik, dan pantun. Bagi Nathan, aksi fisik tersebut merupakan cermin
atas apa yang dilakukan oleh jiwa pasien di dimensi arwah. Penelitian Nathan
Porath terhadap peneliti dapat memberikan kontribusi dalam metedologi tentang
penelitian ritual tentang dunia spiritual dan kaitannya dengan orang Melayu
bagaimana dukun memosisikan diri untuk berkomunikasi dengan roh agar
menemukan jawaban terhadap obat yang akan digunakan dalam mengobati
pasien. Setelah berkomunikasi akhirnya dukun melalui media, seperti bantuk
tarian musik dan pantun mentransfer obat terhadap pasien. Dengan demikian,
penelitian ini akan menambah wawasan peneliti dan memberikan kontribusi
tentang metodologi penelitian yang digunakan dalam ritual. Penelitian atas
pengobatan tradisional yang berfokus pada medium dunia arwah ini mulai
menarik perhatian peneliti mencari adanya hubungan antara pengobatan
tradisional yang supranatural dengan kesembuhan pasien. Meski dianggap mistis,
pada kenyataannya terapi yang dilakukan suku Akit berhasil menyembuhkan
pasien,
17
Aris (2012) menulis sebuah artikel berjudul ”Fungsi Ritual Kaago-Ago
(Ritual Pencegah Penyakit) Pada Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara”.
Dalam artikel itu dinyatakan bahwa fungsi ritual pencegah penyakit berfungsi
religius yang dapat memberikan selamat atau terhindarnya manusia dari penyakit,
tercapainya ketenangan jiwa, dan terjadinya hubungan baik antara manusia dan
makluk halus. Di pihak lain fungsi sosial, yaitu terciptanya solidaritas sosial
kontrol, edukasi, dan integrasi. Penelitian La Ode Aris lebih memfokuskan kajian
pada pencegahan penyakit dalam masyarakat Muna dan bagaimana fungsi ritual
tersebut. Di pihak lain penelitian ini lebih menekankan kajian pada pengobatan,
bukan pencegahan. Oleh karena itu, penelitian yang terdahulu melengkapi ritual
pengobatan.
Darmawan (2013) menulis sebuah artikel yang berjudul ”Peran Battra
dalam Pengobatan Tradisional pada Komunitas Dayak Agabag di Kecamatan
Lumbis, Kabupaten Nunukan”. Dalam artikel itu, dinyatakan bahwa pengobatan
tradisional masih mendapat tempat di samping pengobatan modern hingga waktu
ini di Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan. Penelitian tersebut memberikan
relevansi terhadap penulis tentang profesi battra dianggap membantu dan masih
sangat dibutuhkan. Artinya battra tetap melakukan pengobatan di zaman modern.
Selain itu dalam penelitian memberikan harapan agar pemerintah dapat
memberikan bantuan kepada profesi battra berupa pendanaan (tunjangan) supaya
battra dapat lebih fokus terhadap profesi sebagai pengobat tradisional. Di
samping itu, juga diadakan pembinaan kepada battra untuk meningkatkan
pengetahuan battra tentang pengobatan tradisional. Hal lainnya adalah berharap
18
agar tenaga pengobatan medis dapat mendukung peran battra melalui praktik
pengobatan di permukiman yang jauh dari puskesmas induk. Di pihak lain
penelitian penulis mengungkapkan pewarisan bomoh terhadap generasi
penerusnya pada suku Akit. Kesamaan penelitian itu dengan penelitian penulis,
yaitu bahwa pengobatan tradisional masih diperlukan pada zaman modern seperti
sekarang sebagai pendamping pengobatan modern, bukan sebagai saingan.
Berdasarkan uruaian di atas, tidak ditemukan penelitian ritual bedekeh
oleh bomoh pada suku Akit di Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau
pada era globalisasi sebagai kajian budaya (cultural studies). Sepanjang penulis
ketahui bahwa penelitian yang ada dan beberapa jurnal yang ada membahas
pengobatan baik menggunakan media, pengobatan, maupun ritual tentang
pencegahan penyakit. Akan tetapi, penelitian tentang bagaimana keterpinggiran
dan pewarisan ritual dalam pengobatan pada era globalisasi belum diketemukan.
Namun, dalam upaya melaksanakan penelitian yang baik dan ilmiah menurut
paradigma kajian budaya, pencarian kepustakaan dan studi yang terkait terus
diusahakan dalam rangka penyempurnaan penelitian ini. Penulis menyadari
bahwa kajian budaya itu sendiri bukan akhir dari sebuah ilmu, tetapi masih dapat
dikembangkan lagi.
2.2 Konsep
Definisi operasional tentang suatu konsep yang dikemukakan oleh setiap
peneliti dapat berbeda meskipun topik atau konsep yang diteliti sama. Adapun
konsep yang dirumuskan dalam penelitian ini bertujuan menghindari
19
kesimpangsiuran dalam menafsirkan berbagai konsep yang digunakan. Oleh
karena itu, perlu dijelaskan beberapa konsep sebagai berikut :
2.2.1 Ritual
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008:1178), ritual dapat diartikan
berkenaan dengan ritus (tata cara, upacara keagamaan), tindakan
seremonial. Menurut Hadi (1999:29--30), ritual merupakan suatu bentuk upacara
atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang
ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur, dalam
arti merupakan suatu pengalaman yang suci.
Pendapat lain mengatakan bahwa ritual adalah bentuk atau metode tertentu
dalam melaksanakan upacara keagamaan atau upacara penting atau tata cara
dalam melakukan upacara. Makna ritual ini mengisyaratkan bahwa, di satu sisi,
aktivitas ritual berbeda dari aktivitas biasa, terlepas dari ada tidaknya nuansa
keagamaan dan kekhidmatan (Sukendar, 2010:28--29).
Helman (1984:123) mengatakan bahwa ritual adalah serangkaian kegiatan
stereotip yang melibatkan gerak-gerik, kata-kata, dan benda-benda yang digelar di
suatu tempat dan dirancang untuk memengaruhi entitas atau kekuatan alam demi
kepentingan dan tujuan pelakunya. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa
karakteristik kunci semua ritual adalah perilaku yang berulang yang tidak
memiliki dampak langsung seperti teknologi. Simbol ritual berkaitan dengan nilai-
nilai, norma-norma, kepercayaan-kepercayaan, sentimen-sentimen, peran-peran
20
dan hubungan-hubungan sosial dalam sistem budaya komunitas penyelenggara
ritual, yang dapat dijabarkan sesuai dengan konteksnya.
Pendapat lain tentang pengertian ritual merupakan ”tindakan periodik
menciptakan kembali perasaan keanggotaan dan yang memberikan kekuatan
objek suci sebagai simbol keanggotaan kelompok.” (Randall,1988:188). Dalam
pelaksanaan ritual yang bersifat massal dan reguler, menurut Durkheim (1965:
30), para peserta memahami dirinya sebagai anggota kelompok yang dapat
menumbuhkan rasa kebersamaan yang kuat dengan anggota lainnya. Seseorang
yang berpartisipasi dalam ritual akan terpengaruh secara tidak sadar. Ritual
memberikan energi emosional dalam bentuk penegasan kembali keanggotaan
seseorang dalam suatu kelompok.
Konsep lain yang cenderung banyak digunakan untuk menggambarkan
keterikatan ini adalah ritual antara lain The Ritual Proces; Structur and Anti-
Structure (1969) dan The forest of Symbol karya Victor Turner (1967). Buku yang
sebagian besar memuat ritual komunitas Ndembu. Turner juga menunjukkan
bahwa diantara masyarakat Ndembu terdapat hubungan yang erat antara konflik
sosial dan ritual pada level desa dan sekeliling desa. Ritual bagi masyarakat
Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharan kepada nilai-nilai
spritual agama serta menciptakan kondisi yang teratur dalam hidup manusia.
Ritual menekankan keseluruhan kesatuan kelompok untuk mengatasi
kontradiksi yang ada dalam masyarakat (Turner, 1969:48). Fungsi lain dari ritual
adalah dapat membentuk kesatuan kelompok sosial yang kuat (Turner, 1969:83).
masyarakat Ndembu di atur oleh dua prinsip tempat tinggal dengan kekuatan
21
hampr sama yaitu keturunan matrilinial dan virilokal patrilokal. Prinsip ini
cenderung menjadi bersaing daripada menyesuaikan diri. Turner melihat bahwa
ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk
menyampaiakan konsep kebersaman. Oleh karena itu ritual mempunyai beberapa
fungsi penting yaitu : (1) tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada
nilai-nilai spiritual agama serta menciptakan kondisi yang teratur dalam hidup
manusia, (2) ritual meneankan keseluruhan kesatuan kelompok untuk mengatasi
kontradiksi, (3) ritual dapat membentuk kesatuan kelompok sosial yang kuat.
Penelitian para ahli tersebut masih memiliki keterkaitan dengan penelitian
yang saya lakukan. Didalam penelitian ini, saya mengamati beberapa kegiatan
yang mengandung unsur-unsur ritual bedekeh. Beberapa unsur ritual dari
penelitian tersebut digunakan sebaga acuan dalam penelitian ini. Seperti unsur
simbol yang mengandung makna, ritual mengandung beberapa fungsi serta
memiliki tujuan. Dengan demikian saya menggunakan beberapa referensi dari
hasil penelitian mereka karena memiliki keterkaitan dengan penelitian yang saya
teliti.
Berdasarkan penjelasan mengenai ritual di atas, dapat penulis simpulkan
bahwa ritual bedekeh oleh bomoh merupakan suatu kegiatan yang unik yaitu
dengan cara mendiagnosis dan mencari obat untuk si sakit yang dilakukan oleh
bomoh. Ritual tersebut bersifat khas yang sarat makna dengan cara ritual,
memiliki suatu kekuatan tertentu (magis), dan mencerminkan identitas diri suku
Akit sebagai fenomena budaya. Upacara bedekeh dapat meningkatkan rasa
emosional para pengikut ritual tersebut. Kegiatan ritual bedekeh merupakan
22
proses meningkatkan perasaan kolektif sehingga tercipta suatu situasi dimana
individu-individu kehilangan individualitasnya, meningkatkan kekompakkan,
serta terciptanya solidaritas yang kuat diantara seluruh masyarakat suku Akit.
Terkait dengan pelaksanaan ritual ini terdapat beberapa aspek, yaitu waktu
dilaksanakannya ritual, tempat ritual, pemimpin ritual, pelaku ritual, benda-benda
dan peralatan ritual, dan yang penting adalah tujuan diadakannya ritual.
Berdasarkan konsep ritual tersebut, diketahui bahwa yang dimaksud dengan ritual
dalam penelitian ini adalah sistem pengobatan yang dilakukan oleh bomoh dalam
hal pengobatan dengan berbagai sistem mulai dari merancang, meramu,
menjemput bomoh, dan pelaksanaan bedekeh oleh bomoh dalam pengobatan pada
pasien.
2.2.2 Bomoh (Dukun)
Pengertian dukun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) adalah
“Orang yang pekerjaannya menolong orang susah dan sakit, mengobati,
memberikan jampi-jampi dan mantra, dan konon di antaranya melakukan
kegiatannya lewat kemampuan tenaga gaib”. Dalam bahasa Indonesia bomoh
sering disebut dengan istilah Dukun. Terkait dengan istilah bomoh di beberapa
negara digunakan dengan macam-macam nama, yaitu clairvoyant (Inggris),
macumba atau xango (Brazil), obeah atau santeria (Jamaica), voodoo (Afrika
bagian barat, yang berkembang pula hingga Haiti di Kepulauan Karibia), Dalam
bahasa Arab dukun disebut kahin sedangkan tukang ramal disebut ”arraf.”
Pengertian ”arraf” (tukang ramal) adalah orang yang mengaku mengetahui
23
kejadian yang telah lewat, bisa menunjukan barang yang dicuri atau tempat
hilangnya suatu barang (http://wapedia.mobi/id/Dukun).
Koentjaraningrat dkk (2003:46) menyatakan bahwa dukun mengandung
tiga pengertian. Pertama seseorang individu yang mempunyai keahlian yang
bersangkutan dengan pelaksanaan upacara adat atau keagamaan atau bagian-
bagiannya. Kedua orang yang ahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh
roh dan kekuatan-kekuatan gaib. Ketiga orang yang mempunyai keahlian dalam
melakukan ilmu gaib.
Istilah bomoh menurut suku yang ada di Riau, memiliki bermacam-macam
penyebutannya walaupun esensi praktiknya sama, yaitu berarti dikir (suku Sakai),
badewa (suku Bonai), bedekeh (suku Akit) dan belian (suku Petalangan/Talang
Mamak). Di sini diberikan pengertian bomoh menurut pandangan masyarakat
Akit, yaitu seseorang yang memiliki kepercayaan dan amalan-amalan dalam ritual
pengobatan atau sebagai seseorang yang ahli dalam penyembuhan penyakit.
Selain sebagai orang yang ahli dalam penyembuh atau sebagai pengobat (dalam
bahasa Akit), bomoh tersebut juga memegang peranan penting, yaitu sebagai
pemimpin Akit (batin) dan merangkap sebagai pengendali atau pengontrol dalam
proses upacara-upacara adat masyarakat Akit. Peranan batin tersebut, antara lain
sebagai pemimpin dalam ritual penyembuhan, sebagai peramal dalam menentukan
hari baik seperti pesta baik pesta pernikahan, pesta kampung, dan sebagainya.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa bomoh menurut pandangan suku Akit
adalah seseorang yang mempunyai keahlian khusus dan sekaligus sebagai
pemimpin dalam komunitas masyarakat Akit. Konsep bomoh/dukun dalam
24
penulisan ini adalah orang yang secara socio-cultural mempunyai skill atau
keahlian dan sebagai mediator antara dunia gaib dan dunia semesta dalam
pengobatan penyakit di suku Akit Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis,
Provinsi Riau.
2.2.3 Pengobatan Tradisional
Pengobatan adalah suatu kebudayaan untuk menyelamatkan diri dari
penyakit yang mengganggu hidup. Upaya memahami konsep tentang pengobatan
terutama pengobat tradisional dalam praktik pengobatan tradisional sangatlah
diperlukan. Konsep tersebut setelah diketahui diharapkan dapat diikuti sesuai
dengan jalan pikiran dan alasan dilakukannya suatu tindakan oleh pengobat
terhadap seseorang penderita yang meminta pertolongannya. Konsep yang
dimaksud di sini adalah sistem pengobatan ada kaitannya dengan sistem
pengobatan tradisional.
Menurut WHO (dalam Timmermans, 2000), pengobatan tradisional adalah
jumlah total pengetahuan, keterampilan, dan praktik-praktik yang berdasarkan
pada teori-teori, keyakinan, dan pengalaman masyarakat yang mempunyai adat
budaya yang berbeda, baik dijelaskan maupun tidak, digunakan dalam
pemeliharaan kesehatan dan dalam pencegahan, diagnosis, perbaikan atau
pengobatan penyakit secara fisik dan mental. Selain itu, pengobatan tradisional
juga salah satu cabang pengobatan alternatif yang bisa didefinisikan sebagai cara
pengobatan yang dipilih oleh seseorang bila cara pengobatan konvensional tidak
memberikan hasil yang memuaskan.
25
Konsep pengobatan dalam penelitian ini adalah sistem pengobatan yang
dilakukan oleh bomoh dengan menggunakan berbagai media dan cara tersendiri
dalam mengobati pasien pada suku Akit di Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis,
Provinsi Riau.
2.2.4 Suku Akit
Suku Akit merupakan suatu kelompok sosial yang berdiam di daerah
Hutan Panjang Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Suku Akit
merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Provinsi Riau. Suku Akit
merupakan suku asli yang mendiami wilayah Pulau Rupat tepatnya di Kecamatan
Rupat, Kabupaten Bengkalis. Suku ini telah lama mendiami pulau ini sebelum
suku-suku lainnya menjadikan pulau ini sebagai tempat tinggal.
Ditinjau dari segi kesejarahan (Melalatoa, 1985), kata Akit berasal dari
kata rakit, sebab suku Akit secara singkat dapat dikatakan suku rakit, orang rakit
atau tukang rakit. Suku ini pada mulanya telah menjadi rakyat Kerajaan Gasib-
Siak. Mereka mendapat tugas dari Sultan Siak mengambil dan merakit kayu.
Mereka telah dibagi menjadi tiga tugas, pertama, rombongan yang merakit di
sungai, disebut Akit Biasa. Kedua, rombongan yang merintis jalan di sungai
disebut dengan Akit Ratas. Ketiga, rombongan yang menebang kayu di hutan
yang disebut dengan Akit Hutan.
Menurut beberapa sumber tradisi lisan, Suku Akit Hutan inilah yang
kemudian menjadi suku hutan. Kayu hasil rakitan inilah yang kemudian hari
dijual oleh Kerajaan Siak sebagai salah satu sumber pendapatannya pada abad ke-
26
18. Nusrin Caniago (1985) mengutip pendapat H.A. Hijmans van Anrooij
(1885:347) dalam Het Rijk van Siak, mengatakan suku Akit merupakan keturunan
orang pesisir Timur Sumatera. Mereka mengembara sepanjang pantai selatan
Selat Malaka.
2.2.5 Keterpinggiran
Keterpinggiran mengacu pada suatu posisi yang diperbandingkan dengan
posisi yang lain. Keterpinggiran tidak berdiri sendiri. Keberadaan dan
pengertiannya sangat kuatbergantung pada antitesisnya, yakni posisi yang bukan
di pinggir (biasanya disebut “pusat” atau “tengah”). Kontras antara tengah dan
pinggir dalam pengertian keterpinggiran biasanya dikaitkan dalam distribusi
kekuasaan atau yang lebih tepat keberdayaan, yang bergradasi menurun dari pusat
ke pinggir.
Pusat atau tengah merupakan posisi yang paling berdaya. Mereka yang
menduduki tempat tersebut dianggap penting sebagai inti atau sumber acuan
sehingga mendapat perhatian. Sebaliknya, posisi pinggiran paling jauh dari
keberdayaan karena dianggap kurang penting. Keterpinggiran juga dapat diartikan
sebagai suatu posisi yang berada pada perbatasan, yang tidak dimiliki atau
memiliki yang berada di tengah karena identitas yang tidak jelas (Wahyudi, 2004:
87--88).
Penjelasan mengenai konsep keterpinggiran dalam penelitian yang
dilakukan penulis dapat memberikan penjelasan terhadap kesatuan konsep
keterpinggiran ritual bedekeh oleh bomoh pada suku Akit di Pulau Rupat,
27
Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Artinya, keterpinggiran dalam suatu
aktivitas, kegiatan kelompok dan individu yang tidak mendapatkan porsi yang
sentral (penting), bahkan ada kecenderungan terabaikan. Keterpinggiran
merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian dan penyelidikan untuk
mengetahui penyebab terjadi keterpinggiran. Dalam kaitan dengan keterpinggiran
dikatakan sebagai hal yang tidak diperhatikan lagi pada masa sekarang ini, yakni
identik dengan posisi atau tempat marginal.
Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keterpinggiran ritual
bedekeh oleh bomoh pada suku Akit di Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis
Provinsi Riau pada era globalisasi adalah (1) faktor ekstern yang meliputi
konversi agama, stereotip tentang Akit dalam pandangan suku Melayu,
pengobatan modern, pendidikan dan kemajuan teknologi; (2) faktor intern yang
meliputi hubungan mayoritas dan minoritas, pergeseran kedudukan batin karena
undang undang desa, dan pendapatan bomoh yang minim.
2.2.6. Globalisasi
Robertson (1992) dalam Barker (2004: 113; Barker, 2005: 149), konsep
globalisasi menunjukkan terjadinya penyempitan dunia secara intensif dan
meningkatkan kesadaran kita terhadap dunia, yaitu meningkatnya kneksi secara
global dan pemahaman kita mengenainya. ”Penyempitan dunia” ini dapat
dipahami dalam konteks institusi modernitas, sedangkan ”meningkatnya intensitas
kesadaran tentang dunia” secara lebih baik dilihat dalam konteks kultural.
28
Dalam pengertian umum, Merret (2005:5--6) menemukan lima pengertian
globalisasi, yaitu (1) internasionalisasi, (2) liberalisasi, (3) universalisasi
(universalization), (4) westernisasi (westernization) atau modenisasi, dan (5)
suprateritorialitas (supraterritoriality), yang mengandung makna bahwa “ruang
sosial tidak lagi dipetakan atas dasar tempat, jarak, dan batas-batas wilayah”.
Appadurai (1993: 296) sebagaimana dikutip oleh Ardika (2007: 14;
Barker, 2004: 117) menyatakan bahwa kebudayaan global (global cultural flow)
dapat diketahui dengan memperhatikan hubungan antara lima komponen ciri-ciri
budaya global, yang diistilahkannya dengan etnoscape (pergerakan manusia),
mediascape (pergerakan media), technoscape (pergerakan teknologi), financscape
( pergerakan uang), dan ideoscape (pergerakan ideologi).
Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu jenis ideologi yang
menjadi dasar dari pembentukan, pelestraian, dan perubahan masyarakat
(Abdullah, 207: 169). Globalisasi berdasarkan analisis Appadurai terdiri atas
beberapa dimensi seperti: kultural, ekonomi, politik, dan institusional. Untuk
setiap jenis analisis, perbedaan mendasar adalah apakah kita melihat semakin
meningkatnya homogenitas atau hitroginitas. Pada titik ekstremnya, globalisasi
budaya dapat dipandang sebagai ekspansi berbagai aturan dan praktik umum yang
transnasional (homogenitas) atau-pun sebagai proses yang di dalamnya banyak
unsur budaya lokal dan global yang berinteraksi untuk melahirkan semacam
pastische atau percampuran, yang mengarah pada terwujudnya beragam panduan
budaya (heteroginitas). Tren yang mengarah pada homogenitas sering kali
29
disamakan dengan penjajahan budaya, pengaruh sebuah kebudayaan tertentu pada
sejumlah besar kebudayaan lainnya (Ritzer,2012:976-977).
Analisis Appadurai dalam konteks penelitian ini adalah dalam globalisasi
ada kecenderungan terjadinya percampuran budaya melalui ethnoscape yaitu
kedatangan orang luar (asing) sebagai dokter yang dikirim oleh pihak dinas
kesehatan dengan membawa konsep pengobatan modern yang mengedepankan
rasionalitas dan kecanggihan teknonologi modern dalam hal pengobatan.
Globalisasi melalui teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi saat ini
membuat suku Akit banyak berhubungan dengan dunia luar (global). Interaksi
dengan dunia luar suku Akit dapat diwujudkan dengan berbagai saluran tayangan
luar negeri dibanding dengan dalam negeri karena letak lokasi suku Akit yang
lebih berdekatan dengan Malaka dan Singapura.
Globalisasi saat ini, yakni bidang ilmu pengetahuan, teknologi,
komunikasi, bidang perekonomian, dan sebagainya menimbulkan pengaruh yang
besar terhadap perubahan kebudayaan. Perlu disadari bahwa perubahan-perubahan
yang terjadi tidak hanya membawa kemajuan, tetapi juga membawa dampak
negatif. Artinya terjadi pergeseran-pergeseran nilai sosial dan norma-norma yang
sebelunya dijadikan pedoman manusia untuk berperilaku mengalami perubahan
sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan dalam masyarakat. Hal ini sesuai
dengan perubahan kebudayaan yang terjadi pada suku Akit di Pulau Rupat,
Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau dalam hal ritual bedekeh oleh bomoh.
30
2.2.6 Tradisi Lisan
Sebelum menjelaskan konsep tradisi lisan terlebih dahulu akan
dikemukakan konsep tradisi. Tradisi berasal dari kata traditio yang berarti segala
sesuatu yang diwarisi dari masa lalu (Murgiyanto, 2004: 2). Selain itu menurut
Finnigan (1992: 7) tradisi merupakan istilah umum yang biasa digunakan dalam
ujaran keseharian dan juga istilah yang digunakan oleh antropolog, peneliti
folklor, dan sejarawan lisan. Ada perbedaan perbedaan makna mengenai tradisi itu
sendiri, misalnya dimaknai sebagai kebudayaan, sebagai keseluruhan; berbagai
cara melakukan sesuatu berdasar cara yang telah ditentukan; proses pewarisan
praktek, ide atau nilai. Dua produk yang diwariskan dan sesuatu dengan konotasi
lampau. Sesuatu yang disebut dengan tradisi pada umumnya menjadi kepemilikan
keseluruhan komunitas dibanding individu atau kelompok tertentu tertentu.
Tradisi tidak ditulis dan merupakan pemarkah identitas kelompok.
Tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang
secara turun temurun disampaikan secara lisan pada masyarakat tertentu. Menurut
Pudentia (2008:184) tradisi lisan bukan hanya mengandung cerita mitos dan
dongeng, akan tetapi juga mengandung berbagai hal-hal yang menyangkut hidup
dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal, sistem nilai,
pengetahuan tradisional, sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan (religi),
hasil seni dan upacara adat, seperti adat perkawinan yang dimiliki komunitas adat
sebagai pemilik tradisi lisan tersebut adalah bagian dari tradisi lisan.
Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau
sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali untuk dimanfaatkan,
31
dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk kebudayaan, oleh karena itu
perlu dijaga agar tetap lestari. Salah satu usaha untuk menggali dan
mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual
budaya Indonesia, yakni melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan.
Sumber utama kajiannya adalah penutur, nara sumber pemilik tradisi lisan yang
diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Di
samping tradisi dan narasumber utamanya yang masih hidup atau merupakan
living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi
tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori tradisi lisan
(Pudentia, 2008:259).
Sementara menurut Sibarani (2012:47) tradisi lisan adalah kegiatan
budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun temurun dengan
media lisan dari satu generasi kegenerasi lain baik tradisi lisan itu berupa susunan
kata- kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non-verbal). Oral
traditions are the Community‟s traditionally cultural activities inheritied orally
from one generation to the other generations either the tradition is verbal or non-
verbal.
Lebih lanjut Sibarani (2012:43-46) mengemukakan ada beberapa ciri
Tradisi lisan yaitu:
1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan,
sebagai lisan dan bukan lisan
2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaanya.
3. Dapat diamati dan ditonton.
32
4. Bersifat tradisional. Ciri tradisi lisan ini harus mengandung unsur warisan
suku baik murni bersifat suku maupun kreasi baru yang ada unsur suku.
5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu
generasi kegenerasi lain.
6. Proses penyampain dari mulut ke telinga. Ciri inilah yang menjadikan
kebiasaan atau budaya bukan lisan (non-verbal culture) tergolong tradisi
lisan karena budaya bukan lisan itu, seperti adat istiadat, disampaikan
orang tua dari mulut melalui berbicara sampai ketelinga anak-anaknya
melalui mendengar.
7. Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya.
8. Memiliki versi-versi.
9. Milik bersama komunitas tertentu atau milik semua masyarakat secara
kolektif.
10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya.
Dari penjelasan di atas maka perlu sekali membangun sebuah paradigma
yang melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan, dapat dibuktikan di mana
sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan
lain termasuk kekuatan hegemoni dan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini
terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi lisan merupakan perwujudan
kegiatan sosial budaya sebuah komunitas masyarakat pemakainya.
33
Pada tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan
masyarakat penghasilnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa
masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi
diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan
identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya
pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah hidup dan
sudah menyatu pada komunitas tersebut.
Memahami nilai-nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan
dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada
tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap
orang, walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda.
Pengetahuan tradisional memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung
tradisi mengatasi tantangan alam dan lingkungan sekitarnya dengan menghasilkan
teknologi untuk menguasinya. Sedangkan kearifan lokal memungkinkan
masyarakat yang bersangkutan memahami alam dan lingkungannya. Begitu pula
halnya dengan tradisi kelisanan pada suku Akit, walaupun sudah mengalami
perkembangan, tetapi tetap tidak melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang
telah berlaku turun temurun.
Tradisi kelisanan pada suku Akit memiliki tatanan atau aturan yang tertib
dipimpin oleh seseorang yang disebut batin/bomoh. Batin/bomoh berfungsi
sebagai pemandu jalannya ritual bedekeh pada suku Akit. Keputusan akhir ritual
bedekeh yang berwujud tradisi lisan diputuskan oleh pemimpin Akit (batin) dan
bomoh.
34
Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya
menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang
akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Sistem pewarisan
pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: perlindungan,
preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada ritual bedekeh. Hal
ini menurut Fortes (dalam Tilaar, 2000: 54--55) dari pewarisan budaya ada
variabel-variabel yang perlu dicermati yakni; unsur-unsur yang
ditransmisikan/diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal
ini unsur-unsur yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi
masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung
kearifan, kebenaran esensial, dan ide.
2.3 Landasan Teori
Kebudayaan yang menjadi ontologi kajian budaya mempunyai pengertian
yang berbeda dengan pemahaman umum. Kebudayaan dalam kajian budaya
adalah kebudayaan dalam arti luas yang terkait dengan isu-isu politik, sosial, dan
ideologis. Kebudayaan dalam kajian budaya merupakan suatu ajang pertikaian
ideologi. Dengan kata lain, kebudayaan dalam kajian budaya didefinisikan secara
politis daripada secara estetis. Objek penelitian kajian budaya bukanlah
kebudayaan dalam pengertian sempit, melainkan kebudayaan sebagai teks-teks
dan praktik-praktik kehidupan sehari-hari (Storey, 2007:2--3).
Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoretis tertentu yang bersumber
dari Hegel dan Marx disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut
35
Penelitian Sosial di Frankfurt dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum
istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan
pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait
dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt.
Sekelompok orang yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab Frankfurt
adalah teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam
masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx.
Tujuan teori kritis adalah untuk mengungkap kondisi yang sebenarnya di
balik suatu “realitas semu” atau “kesadaran palsu” yang teramati secara empirik.
Dengan kata lain, teori-teori kritis berusaha melakukan eksplanasi, namun
eksplanasi dalam pengertian lain, yakni ekplanasi tentang adanya kondisi-kondisi
yang dinilaipalsu, semu, atau tidak benar (seperti “false class consciousness”).
Tujuannya adalah untuk pencerahan, emansipasi manusia, agar para pelaku sosial
menyadari adanya pemaksaan tersembunyi atau hegemoni.
Kajian budaya mengomposisikan berbagai kajian teoretis disiplin ilmu lain
yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan
model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis.
Di pihak lain teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin
“kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Mazhab
Frankfurt, yaitu sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian,
Marxian, dan Freudian.
Kebudayaan suku Akit telah memperlihatkan suatu dinamika dan
perubahan. Pendorong utama perubahan ini adalah fenomena internal dan
36
eksternal yang sangat kuat berpengaruh dalam menstraformasi struktur
masyarakat pada suku Akit, yaitu adanya berbagai pengaruh, baik secara intern
maupun secara ekstern tentang sistem pengobatan. Berdasarkan asumsi dan
rumusan masalah, dirujuk beberapa teori yang diharapkan dapat membangun
berangka analisis atas data yang dikumpulkan sesuai dengan karakteristik kajian
budaya.
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori kritis
cultural studies. Adapun teori-teori yang digunakan adalah (1) teori hegemoni, (2)
teori praktik, serta (3) teori wacana kuasa dan pengetahuan.
2.3.1 Teori Hegemoni
Teori hegemoni menekankan bahwa terjadi pertarungan untuk
memperebutkan penerimaan publik. Secara perlahan dan pasti kelompok dominan
menyebabkan ideologi dan kebenarannya agar diterima tanpa perlawanan. Salah
satu strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam (commom sense). Jika ide
atau gagasan dari kelompok dominan/berkuasa diterima sebagai commom sense,
maka ideologi kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktikkan.
Negara dan masyarakat selalu berinteraksi. Negara mengeluarkan
kebijakan dan peraturan untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Agar peraturan
tersebut dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat, maka salah satu cara yang
digunakan oleh negara adalah melalui kepemimpinan moral dan intelektual.
Kepemimpinan moral dan intelektual ini disebut teori hegemoni (Wibowo, 2000).
Teori hegemoni dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1891--1937). Gramsci
37
merupakan salah seorang salah seorang teoretis Marxis penting pada abad ke-21.
Pada awalnya teori hegemoni merupakan bagian dari teori struktural konflik,
tetapi versi Gramsci dikategorikan menjadi teori struktural konflik baru karena
menawarkan sudut pandang baru tentang hegemoni.
Pemikiran Gramsci tentang hegemoni mengaitkan konsep ideologi dan
kehidupan budaya, terutama dalam mengarahkan formasi sosial individu dan
struktur masyarakat. Hegemoni hakikatnya merupakan strategi dalam rangka
melanggengkan pandangan-pandangan dunia dan kekuasaan kelompok-kelompok
sosial tertentu yang terbangun atas dasar kelas, kelamin etnisitas, kebangsaan, dan
kategori lain. Akan tetapi, sesuai dengan karakteristik pandangan Gramsci, situasi
ini harus dilihat sebagai sesuatu yang labil. Hal ini berarti bahwa kemampuan
hegemoni yang didukung ideologi berusaha diwujudkan dan dipertahankan oleh
kelompok-kelompok sosial yang bersifat sementara. Karena sifatnya yang
sementara itu, hegemoni menjadi sesuatu yang bergerak terus, dalam arti
diperjuangkan terus atau pada suatu saat dinegosiasi ulang, bahkan pada waktunya
siap menghadapi blok historis baru (Widja, 2013:39).
Menurut Rupert (2013:233), di jantung proses (re)konstruksi berkelanjutan
dalam hubungan relasional ini adalah bentuk koersif (paksaan) dan konsensual
(konsensus) dari power. Hal itu sejalan dengan visi ganda Gramsci tentang politik.
Bagi Gramsci, “hegemoni” adalah jenis hubungan kekuatan sosial khusus yang
kelompok-kelompok dominannya mengamankan posisi atas hak-hak istimewa
dengan cara sebagian besar melalui konsensus. Artinya, kelompok dominan ini
memaksanakan persetujuan dari kelompok-kelompok yang didominasi dengan
38
cara mengartikulasikan suatu visi politik, suatu idelogi yang mengklaim berbicars
bias untuk semua dan yang bergaung dengan keyakinan yang secara luas dipegang
dalam budaya politik populer. Dalam keadaan ini kekuatan koersif mungkin surut
hingga ke lokasi latar belakang kehidupan politik. Di samping itu, selalu hadir
sebagai potensi, tetapi tidak secara langsung tampak dalam kehidupan sehari-hari.
Teori hegemoni merupakan salah satu teori yang penting pada abad XX.
Teori ini relevan sekali digunakan untuk membedah permasalahan terkait dengan
kekuasaan. Agar yang terhegemoni patuh pada penghegemoni, maka yang
terhegemoni hendaknya mampu menginternalisasikan nilai-nilai penghegemoni di
samping harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Kelompok yang
menghegemoni memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa.
Sebaliknya, massa dapat menerima prinsip, ide, dan norma-norma sebagai
miliknya. Hegemoni satu kelompok terhadap kelompok lain tidak berdasarkan
paksaan, tetapi melalui konsensus.
Hegemoni digunakan dengan mengacu pada sebuah kondisi proses, yaitu
kelas dominan tidak hanya mengatur, tetapi juga mengarahkan masyarakat
melalui paksaan kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada
suatu masyarakat, yaitu terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran
stabilitas nasional yang besar, sementara kelas bawah dengan aktif mendukung
dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan, dan makna budaya yang mengikat dan
menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada (Storey, 2003: 172--173).
Budaya yang tersebar merata di dalam masyarakat pada waktu tertentu
dapat diinterpretasikan sebagai hasil atau perwujudan hegemoni, perwujudan dari
39
penerimaan konseptual oleh kelompok gagasan subordinat, nilai-nilai dan
kepemimpinan kelompok dominan tersebut. Menurut Gramsci, kelompok
dominan tampaknya tidak semata-mata bisa mempertahankan dominasi karena
kekuasaan, bisa jadi karena masyarakat sendiri yang mengizinkan. Selain itu,
media massa juga merupakan instrumen untuk menyebarkan dan memperkuat
hegemoni dominan, terutama dalam membangun dukungan masyarakat dengan
cara memengaruhi dan membentuk alam pikirannya dengan menciptakan sebuah
pembentukan dominasi melalui penciptaan sebuah ideologi yang dominan. Dalam
paradigma hegemonian, media massa elektronik dan cetak merupakan alat
penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan publik yang sangat ampuh
dalam memengaruhi perilaku dan kebiasaan khalayak. Singkatnya, hegemoni
dapat dikatakan sebagai reproduksi ketaatan dan kesamaan pandangan dengan
cara yang lunak.
Hegemoni menurut Gramsci tidak hanya digunakan untuk menjelaskan
relasi antarkelas, tetapi mendeskripsikan relasi-relasi sosial yang lebih luas.
Konsep hegemoni tidak hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekuatan,
tetapi yang lebih penting, lewat kepemimpinan intelektual dan moral. Menurut
Gramsci, dominasi kekuasaan diperjuangkan, di samping lewat kekuatan senjata,
juga lewat penerimaan publik, yaitu diterimanya ide kelas berkuasa oleh
masyarakat luas. Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka
kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai peranan yang sangat penting di
dalam prinsip hegemoni. Makna (meaning) dan nilai-nilai (value) dominan yang
40
dihasilkan lewat berbagai media sangat menentukan pembentukan proses
dominasi sosial itu sendiri (Piliang, 2009:136).
Dengan mengikuti gagasan Gramsci (dalam Sugiono, 1999:17) dalam
hubungan yang hegemonik, kelompok berkuasa mendapatkan persetujuan
kelompok subordinat atas subordinasinya. Kelompok berkuasa yakin dalam hal ini
Pemda Bengkalis beserta jajarannya tidak ditentang oleh kelompok yang dikuasai,
yakni masyarakat Desa Hutan Panjang tempat permukiman suku Akit karena
ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan politiknya sudah diinternalisasikan
sebagai kepunyaan sendiri oleh kelompok subordinat. Begitu konsensus didapat,
maka ideologi, kultur, nilai norma, dan politik akan terlihat semakin wajar dan
terlegitimasi.
”Hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pengertianGramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraihmelalui upaya politis, kultural, dan inetelektual guna menciptakanpandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti bahwakelompok penguasa harus ”menguniversalkan” pandangan dankepentingannya serta harus memastikan bahwa pandangan dankepentingan itu tidak hanya bisa, tetapi juga harus menjadi pandangan dankepentingan kelompok subordinat” (Sugiono, 1999 : 41).Teori hegemoni Gramsci dipandang tepat digunakan sebagai teori utama
dalam penelitian ini. Sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat bahwa
kondisi ritual bedekeh oleh bomoh yang kian hari kian terpinggirkan. Tradisi ritual
ini seharusnya diberdayakan, dilindungi, dan dikembangkan oleh pemerintah
sebagai kekayaan budaya nasional dan sebagai identitas kebudayaan lokal suku
Akit. Teori hegemoni ini lebih dominan digunakan untuk membedah masalah
penelitian tentang keterpinggiran ritual bedekeh oleh bomoh, kebijakan
pemerintah dalam produk undang-undang yang mengakibatkan keterpinggiran
41
ritual, dan kebijakan pemda dalam menjadikan bumi Melayu identik dengan
budaya Islam, walaupun sesungguhnya pemanfaatan teori ini tidak bisa
dipisahkan begitu saja dengan permasalahan berikutnya.
2.3.2 Teori Praktik
Teori praktik sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
Pierre-Felix Bourdieu. Dalam teori praktik sosial, Bourdieu merumuskan bahwa
praktik merupakan gabungan habitus, modal, dan ranah (Hacker dkk,2009).
Dengan pendekatan-pendekatan dan konsep yang transdisipliner tersebut, teori
dan metode Bourdieu disebut beraliran konstruktivisme genetis, yaitu adanya
pertimbangan historis dan ruang sosial pada kerja struktur mental individu (Ritzer
& Goodman, 2003:518--520)
Peta gagasan pemikiran Bourdieu ini mewariskan konsep-konsep penting
yang sering dipinjam dalam tradisi ilmu-ilmu sosial hingga cultural studies,
seperti habitus, ranah perjuangan, kekuasaan simbolik, dan modal budaya yang
kemudian memengaruhi teori sumber daya dan komoditas. Dalam pertalian
konsep-konsep tersebut, Bourdieu menawarkan formulasi-generatif (Harker et al,
2009: xxi,9--22) dengan rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Rumus ini
digunakan untuk menyingkap intensitas dan orientasi individu untuk melakukan
praktik-praktik sosial. Rumus ini menggantikan relasi sederhana antara individu
dan struktur melalui relasi habitus, modal, dan ranah.
Pemikiran Pierre Felix Bourdieu didasari oleh hasrat untuk menanggulangi
adanya kekeliruan dalam mempertentangkan antara objektivisme dan
42
subjektivisme, serta pertentangan antara individu dan masyarakat. Pemikiran
Bourdieu tidak hanya menjawab asal usul dan seluk-beluk masyarakat, tetapi juga
menjawab persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran terdahulu, seperti
pertentangan struktur dan agensi, faktor objectif dan faktor subjektif, objektivisme
dan subjektivisme, nature dan history, doxa dan episteme, material dan simbolik,
kesadaran dan ketidaksadaran, kebebasan manusia dan keterikatan oleh struktur,
serta ekonomi dan budaya . Permasalahan atau konflik di atas dalam pandangan
Bourdieu dijelaskan dengan mengaitkan antara konsep dan praktik kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat. Dengan konsep tersebut Boudieu mengatasi
kesenjangan antara teori dan praktik, pikiran dan tindakan, serta ide dan realitas
konkret.
Pierre Bourdieu mengemukakan bahwa secara singkat tentang teori praktik
(practise) dan keterlibatan si subjek dalam proses konstruksi budaya. Teori
praktik tersebut menggugat subjektivisme yang meletakkan subjek intelektual
pada peran utama pembentukan dunia tanpa memperhitungkan konteks ruang dan
waktu yang melatarbelakanginya dan objektivisme yang dianggap tidak
memperhitungkan peran dan posisi subjek intelektual sosial dalam pembentukan
struktur dan praktik sosial. Dalam rumusannya tentang teori praktik tersebut
Bourdieu menyatakan bahwa praktik sosial sebagai hasil dinamika dialektis antara
internalisasi eksterior dan eksternalisasi interior atau dinamika dialketis antara
internalisasi yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan
pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian
dari diri pelaku sosial.
43
Bourdieu dalam teori praktiknya menunjukkan bagaimana tindakan
(praktik) merupakan produk relasi antara habitus (yang merupakan produk
sejarah) dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga
merupakan produk dari medan daya-daya yang ada dalam masyarakat. Habitus
adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dengan relasi sosial.
Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu
berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada
dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan
perwakilan konseptual dari benda-benda dengan realitas hidup. Melalui skema-
skema tersebut individu mempersepsi, memahami, menghargai, dan mengevaluasi
realitas sosial. Itulah sebabnya habitus dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran
kultural. Menurut Bourdieu (dalam Fashri, 2007:83), habitus adalah kebiasaan-
kebiasaan, hasil pembelajaran secara halus, tidak disadari dan tampil sebagai hal
yang wajar sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan diberikan
oleh alam, atau ’sudah dari sananya’.
Menurut Bourdieu (dalam Fashri, 2007:96) dalam suatu ranah terdapat
pertaruhan, kekuatan-kekuatan, dan orang, baik yang memiliki maupun yang tidak
memiliki modal sehingga di sini modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan.
Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi
individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan.
Bourdieu menggunakan ranah sebagai metafora untuk menggambarkan kondisi
masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya.
Modal adalah suatu kekuatan yang spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap
44
ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus untuk dapat secara
baik dan bertahan di dalamnya.
Menurut Bourdieu (dalam Fashri, 2007 : 98--99) modal dapat digolongkan
menjadi empat. Pertama, modal ekonomi adalah mencakup alat-alat produksi
(mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang yang
dengan mudah digunakan dengan segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi
intelektual yang bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan
keluarga. Termasuk modal budaya, antara lain kemampuan menampilkan diri di
depan publik, pemilikan benda/kode budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan
keahlian tertentu dari hasil pendidikan, dan sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga,
modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (baik individu
maupun kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa.
Keempat, modal simbolik adalah segala bentuk prestise, status, otoritas, dan
legitimasi. Hubungan habitus, ranah, dan modal bertautan secara langsung dan
bertujuan menerangkan praktik sosial. Berdasarkan ketiga konsep tersebut,
Bourdieu menyususn teorinya ke dalam rumus (Habitus x Modal) + Ranah =
Praktik (Fashri, 2007:100).
Modal budaya sebagai dimensi yang lebih luas daripada habitus sekaligus
menunjukkan lingkungan sosial pemiliknya dan modal budaya yang dapat
berubah-ubah. Modal budaya terbentuk selama bertahun-tahun hingga
terinternalisasikan dalam diri seseorang (Soeriadiredja, 2012:10). Komunitas suku
Akit sebagai orang-orang yang memiliki habitus sendiri dan modal budaya
45
bergerak secara aktif di dalam ranah-ranah, sehingga menghasilkan praktik sosial.
Dalam arena komunitas suku Akit, hal ini terjadi di dalam arena konflik yang
melibatkan modal budaya, peran bomoh, dan generasi muda.
Teori praktik sosial, pertama digunakan untuk mengamati struktur objektif
komunitas suku Akit Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang
terinternalisasi dalam ritual bedekeh oleh bomoh terhubung dengan keyakinan
mereka. Kedua, digunakan untuk mencari struktur subjektif peran di dalam
internal komunitas suku Akit. Ketiga, untuk menemukan pola-pola praktik sosial
yang diyakini suku Akit untuk memproduksi, baik struktur objektif maupun
struktur subjektif yang bermunculan di sekitar mereka. Keempat, bagaimana
bomoh dipakai sebagai bagian dari praktik sosial ritual sekaligus mengidentifikasi
praktik sosial sebagai kebutuhan subjektif.
2.3.3 Teori Wacana Kuasa dan Pengetahuan
Teori wacana menurut Michael Foucault (dalam Ismail, 2002:9), yakni
penggunaan kekuasaan untuk membangun kemampuan sebagai manusia yang
memiliki pengetahuan untuk melekatkan makna pada pengalaman manusia. Kuasa
menurut Foucault tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup
stategis yang berkaitan satu dengan yang lain. Michel Foucault meneliti
kekuasaan lebih kepada individu. Menurut Michel Foucault, kekuasaan selalu
terakulasikan dengan pengetahuan dan pengetahuan selalu memiliki efek kuasa.
Dengan kata lain, menurut Foucault, melalui wacanalah yang mendominasi suatu
waktu dalam sejarah dan suatu tempat di dunia tertentu. Bagi Foucault jika Anda
46
ingin mengetahui mengapa wacana tertentu begitu berkuasa, jadilah seperti
arkeolog sosial, yaitu menelususri asal usul cara mengetahui dengan melakukan
dekonstruksi dan meneliti landasan yang padanya kekuasaan itu berbeda dan
dominan.
Foucault (1977:27--28) dalam The Archaelogy of Knowledge, mengatakan
sebagai berikut
Kekuasaan menciptakan pengetahuan…Kekuasaan dang pengetahuansaling menghasilkan…Tidak ada kekuasaan tanpa hubungan dengankekuasan. Hubungan “kekuasaan pengetahuan” ini harus diteliti…bukanberdasarkan seorang peneliti yang bebas atau tidak dari kekuasaan.Sebaliknya, subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan bahan-bahan pengetahuan harus dipandang sebagai dampak implikasi darihubungan kekuasaan pengathuan dan perubahan-perubahannya dalamsejarah. Singkatnya, bukanlah tindakan subjek yang menghasilkanpengetahuan, tetapi kekuasaan-pengetahuan proses dan pergualatan yangmemwarnainya dan menciptakannya dengan menentukan bentuk danbidang pengetahuan yang mungkin.
Selanjutnya Foucalt juga menyarankan untuk menganalisis kekuasaan
sebagai sesuatu yang beredar dan hanya berfungsi dalam bentuk rantai, tidak
terlokalisasi di sini atau di sana, di tangan siapa pun, serta tidak pernah
disesuaikan sebagai komoditas atau bagian dari kekayaan. Kekuasaan harus
dipahami bekerja dan diberlakukan melalui suatu jaring seperti organisasi, tidak
hanya seperti individu yang beredar di antara benang; mereka dalam posisi
menjalani dan melatih secara bersamaan atas kekuasaan tersebut. Mereka bukan
hanya tidak berdaya atau menyetujui sasaran; mereka selalu juga elemen-elemen
dari artikulasi. Hal ini mengandung pengertian bahwa “individu-individu adalah
merupakan kendaraan kekuasaan, bukan sebatas titik aplikasi”.
47
Foucault juga mengajak kita untuk keluar dari belenggu analisis yang
terbatas pada persoalan yuridis kedaulatan dan lembaga-lembaga negara untuk
beranjak memasuki basis analisis terhadap kekuasaan pada persoalan “studi
teknik dan taktik dominasi”. Bagi Foucault, diskursus adalah kerangka kerja yang
ditentukan oleh yang berkuasa yang ditetapkan melalui hubungan-hubungan
kekuasaan yang mendasarinya. (Fakih, 1997:169). Dengan demikian, setiap
diskursus tentang kebudayaan tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan.
Apabila dikaitkan dengan tema penelitian ini, wacana kekuasaan dan
pengetahuan digunakan untuk melihat kaitan antara mitologi, silsilah atau sejarah,
dan proses ritual bedekeh terkait dengan pengetahuan bomoh mempunyai efek
kuasa. Bomoh memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Pengetahuan
berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Relasi tercipta antara bomoh dan
komunitas suku Akit. Tanpa pengetahuannya, bomoh tanpa kuasa. Sebaliknya,
tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Produksi pengetahuan yang dilakukan bomoh
melandasi kekuasaannya karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan
diwujudkan lewat pengetahuan. Dalam pelaksanaan bedekeh kedudukan bomoh
menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa.
Pengetahuan dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian digambarkan sebagai berikut :
48
Gambar 2.1Model Penelitian
Keterangan :
: Hubungan saling memengaruhi
: Hubungan langsung searah
Berdasarkan skema penelitian di atas, diketahui globalisasi diyakini
memengaruhi keberadaan ritual-ritual tradisi yang dimililki masyarakat Akit.
Tidak bisa dimungkiri masuknya budaya global turut memengaruhi keberadaan
ritual bedekeh. Pengobatan modern dengan epistemologi modern (Barat-modern)
yang mengedepankan rasionalitas dalam hal pengobatan hadir pada suku Akit
berimplikasi kepada kehidupan masyarakat tradisional menyebabkan kaburnya
nilai-nilai tradisional masyarakat. Globalisasi menjadi suatu pertanda zaman baru,
tidak bisa dibendung. Hal itu itu berarti bahwa banyak aspek dalam kehidupan
Ritual Bedekeh Suku Akit
ImplikasiKeterpinggiranBedekeh
StrategiPewarisan
Temuan
Rekomendasi
KeterpinggiranRitual
Suku AkitTradisionalMitosMagisKomunalitas
GlobalisasiRealistisModernitasIPTEKIndividual
49
sosial budaya masyarakat mengalami perubahan. Globalisasi membawa prinsip
budaya modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dalam
peradaban manusia. Hal ini mengancam eksistensi budaya lokal akan menjadi
rusak, bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan. Kondisi ini
mempercepat semakin terpinggir tradisi-tradisi lisan di Riau begitu juga dengan
keberadaan ritual bedekeh.
Model penelitian pada gambar di atas mengimplementasikan globalisasi
merambah di segala segi kehidupan. Globalisasi, baik secara langsung maupun
tidak langsung akan menggeser tata nilai yang lama dengan tata nilai yang baru.
Pengaruh modernisasi, teknologi, dan rasionalitas memberikan pengaruh yang
intens bagi suku Akit. Semakin intens masyarakat lokal mentrasformasi kultural,
dapat berdampak pada identitas, nilai, dan tradisi yang akan memengaruhi dan
mengubah paradigma berpikir, bersikap, motivasi, dan tindakan. Globalisasi dapat
memperteguh dan memperkuat kebudayaan lokal, tetapi juga dapat menihilkan
kebudayaan lokal tersebut.
Di satu sisi kebudayaan lokal tetap mempertahankan kebudayaan sebagai
bagian kosmologi, sistem ritual, dan kepercayaan magis. Keberadaan ritual
bedekeh oleh bomoh belakangan ini semakin terpinggirkan oleh modernisasi dan
globalisasi. Dalam kehidupan masyarakat suku Akit di Desa Hutan Panjang,
Kabupaten Bengkalis setiap fase siklus hidup komunitas mereka tidak bisa
dilepaskan dari bomoh/batin. Dalam praktiknya, bomoh dominan dalam segala
aspek kehidupan mereka. Globalisasi dan kebijakan pemerintah menjadi
problematika bagi keterpinggiran ritual bedekeh oleh bomoh pada masyarakat
50
Akit. Oleh sebab itu, diperlukaan pewarisan ritual demi kelangsungan sebuah
komunitas Akit sebagai pemilik kebudayaan ritual bedekeh oleh bomoh.
Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa pewarisan bedekeh pada suku
Akit sangat penting. Hal ini akan bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan
masyarakat Akit dari faktor yang menyebabkan keterpinggiran. Tradisi sebagai
kekuataan kultural merupakan pembentukan peradabaan, jangan sampai ritual
bedekeh hanya menjadi sekadar cerita yang pernah ada dan tidak dikenal oleh
generasi yang akan datang. Penelitian ini harus segera dilakukan karena suatu
tradisi budaya suku Akit di Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau pada
era global sebagai bentuk kebudayaan untuk dimanfaatkan, dikembangkan,
diberdayakan, dilindungi, dan perlu dijaga dari keterpinggiran dari sebuah ritual.
Dengan metodologi yang telah ditentukan, data dianalisis dengan
menggunakan beberapa teori secara eklektik (terpadu), yaitu teori hegemoni, teori
wacana kuasa/pengetahuan, dan teori praktik serta tradisi lisan. Dengan demikian,
dalam analisis tahap akhir diharapkan dapat ditemukan suatu hal yang baru
tentang pewarisan ritual bedekeh suku Akit di Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis,
Propinsi Riau pada era global (lihat gambar 2.1).
51