Post on 13-Dec-2014
description
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
Kata religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya adalah
religere yang berarti mengikat (Gazalba, 1985). Matdarwan (1986),
mengemukakan bahwa religere berarati melaksanakan dengan sangat teliti atau
dapat pula dirartikan menyatukan diri. Disamping istilah religi sering pula
dalam masyarakat digunakan istilah lain, seperti agama (Bahasa Indonesia),
dien (Bahasa Arab) atau religion (Bahasa Inggris). Meskipun masing-masing
mempunyai termonologis sendiri-sendiri akan tetapi dalam arti terminologis
dan teknis yang berbeda akan tetapi semua istilah tersebut berartikan makna
yang sama.
Sulaiman (1984), merumuskan secara sederhana pengertian dari religi atau
religion yaitu :
1)
2)
Percaya pada kekuatan gaib yang mengikuti alam semesta dan
bersifat suci.
Bersikap terhadap kekuatan gaib itu untuk menerima kebaikan-
kebaikan dan mencari keselamatan.
12
3) Membentuk pribadi dalam kehidupan karena kepercayaan itu (pada
masing-masing kelompok).
Mangunwijaya (Anggarasari, 1997), membedakan antara istilah religi atau
agama dengan istilah religiusitas. Agama atau religi menunjuk pada aspek
formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban,
sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek yang dihayati oleh individu. Hal
ini selaras dengan pendapat Dister (Anggasari, 1997: 8), yang mengartikan
religiusitas sebagai keberagaman, yang berarti adanya unsur internalisasi
agama itu dalam diri individu.
Sitanggang (2003:4), menyatakan bahwa manusia religius adalah manusia
yang mempunyai hati nurani serius, taat, saleh dan teliti menurut norma atau
ajaran agama Islam. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
religiusitas adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam diri seseorang.
Internalisasi di sini berkaitan dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran
agama baik di dalam hati maupun dalam ucapan. Kepercayaan ini kemudian
diaktualisasikan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari.
Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.
Religiusitas merupakan perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung
kepada nash (Abdullah, dkk, 1989: 89). Definisi lain diungkapkan oleh
Vorgote, ia berpendapat bahwa religiusitas diartikan sebagai perilaku yang tahu
dan mau secara pribadi menerima dan menyetujui gambaran-gambaran yang
diwariskan kepadanya oleh masyarakat dan yang dijadikan miliknya sendiri,
13
keyakinannya yang pribadi, iman, kepercayaan batiniah yang diwujudkan
dalam perilaku sehari-hari (Dister, 1989: 10).
Robert H. Thoules mendefinisikan religiusitas lebih terpusat pada
seperangkat kepercayaan dan keyakinan terhadap adanya tuhan atau dewa-
dewa yang disembah sebagai pembeda dimana ciri-ciri personal diingkari
sebagai ciri-ciri ketuhanan sebagaimana terdapat dalam bentuk advita pada
agama Hindu (Thoules, 2000: 20).
Sementara itu Ahyadi (2001: 53), mendefinisikan religiusitas sebagai
tanggapan, pengamatan, pemikiran, perasaan dan sikap akan ketaatan yang
diwarnai oleh rasa keagamaan. Selanjutnya religiusitas juga dapat dikatakan
sebagai kesadaran akan hidup yang lebih baik berdasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung didalam ajaran agamanya (Nafis, 1996: XXIII). Skinner
menjelaskan religiusitas sebagai ungkapan bagaimana manusia dengan
pengkondisian peran belajar hidup didunia yang dikuasai oleh hukum ganjaran
dan hukuman (Ancok, dkk, 2001: 73).
Jalaluddin (2000: 212), mendefinisikan religiusitas sebagai suatu keadaan
yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai
dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Selanjutnya Moh. Wijanarko
mendefinisikan religiusitas sebagai keadaan yang ada di dalam diri manusia
dalam merasakan dan mengakui adanya kekuasan tertinggi yang menaungi
kehidupan manusia dengan cara melaksanakan semua perintah Tuhan sesuai
dengan kemampuannya dan meninggalkan semua larangan-Nya, sehingga hal
14
ini akan membawa ketenteraman dan ketenangan pada dirinya (Wijanarko,
1997: 48).
Sementara itu Saidah (2001: 17), mendefinisikan religiusitas sebagai cara
pandang dan sikap perasaan yang disertai kecenderungan untuk melakukan
tingkah laku, berfikir, bersikap dan bertindak terhadap obyek tertentu secara
langsung ataupun tidak langsung berdasarkan pada nash.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
religiusitas dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang ada di dalam diri
seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai
dengan ajaran agamanya.
2. Aspek-Aspek Religiusitas
Jalaluddin (2000:212), menyebutkan bahwa religiusitas merupakan
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur konatif, perasaan
terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku agama sebagai unsur
kognitif. Jadi aspek keberagamaannya merupakan integrasi dari pengetahuan,
perasaan dan perilaku keagamaan dalam diri manusia.
Hal senada juga dikemukakan oleh Ahyadi (1991:37), ia menyebutkan
bahwa struktur keberagamaan manusia meliputi struktur aktif, konatif, kognitif
dan motorik. Fungsi aktif dan konatif terlihat dalam pengalaman ketuhanan,
rasa keagamaan dan kerinduan terhadap tuhan, aspek motorik tampak dalam
perbuatan dan gerak tingkah laku keagamaan, sedangkan aspek kognitifnya
tercermin dalam sistem kepercayaan ketuhanannya. Dalam kehidupan sehari-
15
hari aspek-aspek tersebut tidak dapat dipisahkan karena merupakan sistem
keberagamaan yang utuh dalam diri seseorang.
Jamaluddin (1995:98), membagi dimensi religiusitas menjadi lima aspek
dengan mengacu kepada rumusan religiusitas Islam dari Kementrian
Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kelima aspek tersebut adalah ;
a.
b.
Aqidah (Ideologi)
Dimensi Aqidah yaitu dimensi yang mengungkap sejauh mana hubungan
manusia dengan keyakinannya terhadap rukun iman, yang diantaranya
yaitu iaman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada nabi dan
rasul, iman kepada kitab suci, iman kepada hari akhir, iman kepada qadha
dan qadhar. Jadi inti dari dimensi aqidah (keyakinan) dalam ajaran Islam
adalah tauhid atau peng-Esaan Tuhan.
Ibadah (Ritual)
Ibadah atau ritual merupakan dimensi yang berhubungan dengan sejauh
mana tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan
ritual sebagai mana yang disuruhkan ajaran agamanya. Dimensi ini
berkaitan dengan tingkat frekuensi intensitas dan pelaksanaan ibadah
seseorang. Ibadah mahdlah (ibadah khusus) diapahami sebagai ibadah
yang aturan dan tata caranya, syarat, rukunnya telah diatur secara pasti
oleh ajaran Islam, yang termasuk dalam dimensi ibadah adalah shalat,
puasa, zakat, haji, do’a, dzikir, membaca al-Quar’an dan sebagainya.
c. Ihsan (penghayatan)
16
Ihsan atau penghayatan merupakan dimensi yang berhubungan dengan
masalah seberapa jauh seseorang merasa dekat dan dilihat oleh Tuhan
dalan kehidupan sehari-hari. Dimensi ini mencakup pengalaman-
pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan,
sehingga dalam hatinya timbul perasaan-perasaan tenang dan tentram
dalam hidupnya, takut melanggar larangan Tuhan, keyakinan menerima
pembalasan, perasaan dekat dengan Tuahan dan dorongan untuk
melaksanakan perintah agama.
Dimensi ihsan dalam religius Islam mencakup perasaan-perasaan dekat
dengan Allah, merasa nikmat dalam menjalankan ibadah, merasa
diselamatkan Allah, merasa bersyukur atas nikmat Allah dan merasa
tenang hatinya saat mendengat asma Allah.
d. Ilmu (pengetahuan)
Ilmu atau pengetahuan merupakan dimensi yang berkaitan dengan
pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran agamanya, terama
dalam kitab suci. Seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal yang
pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus serta kitab lainnya.
Dimensi ini dalam Islam menyangkut pengetahuan tentang isi al-Qur’an,
diantanya pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan.
e. Amal dan Akhlak
Amal dan Akhlak merupakan dimensi yang berkaitan dengan keharusan
seseorang pemeluk agama untuk merelIsasikan ajaran-ajaran agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dengan bukti sikap dan
17
tindakannya yang berlandaskan pada etika dan spiritualitas agama.
Dimensi ini menyangkut hubungan manusia satu dengan hubungan
manusia dengan lingkungannya. Manifestasi ini dalam Islam antara lain
meliputi : menghormati dan menghargai orang lain, menjunjung tinggi
etika Islam, menolong sesama, berkata jujur, bertanggung jawab, dan
dapat dipercaya serta menjaga dan memelihara lingkungan.
Glok dan Stark (Robertson, 1983:295); (Ancok, dkk, 2001:77) dan
(Abdullah, 1989:93) mengatakan bahwa terdapat 5 aspek dalam religiusitas,
yaitu :
1) Religious Belief (The Ideological Dimension)
Religious belief (the idiological dimension) atau disebut juga dimensi
keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang
dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan,
malaikat, surga dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama tentu
memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan
agama lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul paham
yang berbeda dan tidak jarang berlawanan.
Pada dasarnya setiap agama juga minginginkan adanya unsur ketaatan bagi
setiap pengikutnya. Dalam begitu adapun agama yang dianut oleh
seseorang, makna yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan
yang berlaku dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan
lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama.
18
Dimensi keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam pengakuan
(syahadat) yang diwujudkan dengan membaca dua kalimat syahadat,
Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad itu utusan
Allah. Dengan sendirinya dimensi keyakinan ini menuntut dilakukannya
praktek-praktek peribadatan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam (Ancok
dan Suroso, 1995).
2) Religious Practice (The Ritual Dimension)
Religious practice (the ritual dimension) yaitu tingkatan sejauh mana
seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya.
Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-
hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang
dianutnya.
Wujud dari dimensi ini adalah prilaku masyarakat pengikut agama tertentu
dalam menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi
praktek dalam agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah
shalat, puasa, zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya (Ancok dan
Suroso, 1995)
3) Religious Feeling (The Experiental Dimension)
Religious Feeling (The Experiental Dimension) atau bisa disebut dimensi
pengalaman, adalah perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah
dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut
berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan, dan
sebagainya. Ancok dan Suroso (1995), mengatakan kalau dalam Islam
19
dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah,
perasaan bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif) kepada Allah.
Perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan
tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al Qur’an, perasaan
bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan
dari Allah.
4) Religious Knowledge (The Intellectual Dimension)
Religious Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi
pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh
seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada
di dalam kitab suci manapun yang lainnya. Paling tidak seseorang yang
beragama harus mengetahui hal-hal pokok mengenai dasar-dasar
keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
Dimensi ini dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat pengetahuan
dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama
mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaimana yang termuat di dalam
kitab sucinya (Ancok dan Suroso, 1995)
5) Religious Effect (The Consequential Dimension)
Religious effect (the consequential dimension) yaitu dimensi yang
mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran
agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi
tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan
hartanya, dan sebagainya.
20
Berdasarkan konsep religiusitas versi Glock dan Stark, Ancok dan Suroso
(1995: 80-82), mengatakan konsep tersebut mencoba melihat keberagaman
seseorang bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tapi mencoba
memperhatikan segala dimensi, tapi mencoba memperhatikan segala dimensi.
Keberagaman dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah
ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem
yang menyeluruh, Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara
menyeluruh pula. Karena itu, hanya konsep yang mampu memberi penjelasan
tentang kemenyeluruhan yang mampu memahami keberagaman umat Islam.
Untuk memahami Islam dan umat Islam, konsep yang tepat adalah konsep
yang mampu memahami adanya beragam dimensi dalam Islam. Menurut
Ancok dan Suroso, rumusan Glock dan Stark yang membagi keberagaman
menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu mempunyai kesesuaian dalam
Islam.
Walaupun tak sepenuhnya sama, dimensi keyakinan dapat disejajarkan
dengan akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan
dimensi pengalaman disejajarkan dengan akhlak.
Berdasarkan hal ini, Ancok dan Suroso merumuskan dimensi agama Islam
sebagai berikut:
1) Dimensi keyakinan atau akidah Islam (The Ideological Dimension)
Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat
keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya,
terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan
21
dogmatik. Di dalam keberislaman, isi dimensi keimanan menyangkut
keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah,
surga dan neraka, serta qadha dan qadar.
2) Dimensi peribadatan atau syariah (Religious Practice)
Dimensi peribadatan atau syariah menunjuk pada seberapa tingkat
kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual
sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam
keberislaman, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat,
puasa, zakat, haji, membaca al-Qur`an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf
di masjid di bulan puasa, dan sebagainya.
3) Dimensi pengalaman atau akhlak (Religious Feeling)
Dimensi pengalaman atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan
Muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu
bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan
manusia lain. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka
menolong, bekerjasama, berderma, menyejahterakan dan
menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan
kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup,
menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak
berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi
norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup
sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.
4) Dimensi pengetahuan atau ilmu (Religious Knowledge)
22
Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjuk pada seberapa tingkat
pengeathuan dan pemahaman Muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya,
terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana
termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini
menyangkut pengetahuan tentang isi al-Qur`an, pokok-pokok ajaran
yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun Iman),
hukum-hukum Islam, sejarah Islam, dan sebagainya.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
Religiusitas timbul bukan karena dorongan alami/asasi, melainkan
dorongan yang tercipta karena tuntutan perilaku. Menurut Freud, religiusitas
seseorang timbul karena reaksi manusia atas ketakutannya sendiri (Ancok, dkk,
2001:71). Lebih lanjut ia menegaskan bahwa orang mempunyai sikap
keberagamaan semata-mata karena didorong oleh keinginan untuk menghindari
keadaan yang berbahaya yang akan menimpanya dan memberi rasa aman bagi
dirinya sendiri.
Sedangkan Rakhmat (2000:31), berpandangan bahwa religiusitas
seseorang terbentuk melalui dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal
individu.Faktor internal didasarkan pada pengaruh dari dalam diri manusia itu
sendiri, yang pada dasarnya dalam diri manusia terdapat potensi untuk
beragama, asumsi ini didasarkan karena manusia merupakan makhluk homo
religius. Potensi tersebut termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri,
akal, perasaan maupun kehendak dan lain sebagainya. Sedangkan faktor
eksternal timbul dari luar diri individu itu sendiri, seperti karena adanya rasa
23
takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah (sense of quilt) (Jalaluddin,
2000: 222).
Religiusitas yang ada pada masa kanak-kanak berbeda dengan religiusitas
masa remaja. Dalam hal ini religiusitas remaja bukan lagi bersifat pinjaman
semata, melainkan sebagai penyadaran keimanan yang telah menjadi identitas
dan milik pribadinya (Jalaluddin, 2000: 108). Religiusitas berkembang bukan
secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun temurun,
akan tetapi terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan (afektif, kognitif, konatif).
Thouless (2000: 34) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi
perkembangan sikap religius, yaitu :
1)
2)
3)
Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial
Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan
keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi
sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan
itu.
Faktor pengalaman
Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap
keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik
moral dan pengalaman emosional keagamaan.
Faktor kehidupan
Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat,
yaitu : (a). kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, (b).
24
kebutuhan akan cinta kasih, (c). kebutuhan untuk memperoleh harga
diri, dan (d). kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman
kematian.
4) Faktor intelektual
Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau
rasionalisasi. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa
setiap individu berbeda-beda tingkat religiusitasnya dan dipengaruhi
oleh dua macam faktor secara garis besarnya yaitu internal dan
eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi religiusitas
seperti adanya pengalaman-pengalaman emosional keagamaan,
kebutuhan individu yang mendesak untuk dipenuhi seperti
kebutuhan akan rasa aman, harga diri, cinta kasih dan sebagainya.
Sedangkan pengaruh eksternalnya seperti pendidikan formal,
pendidikan agama dalam keluarga, tradisi-tradisi sosial yang
berlandaskan nilai-nilai keagamaan, tekanan-tekanan lingkungan
sosial dalam kehidupan individu.
4. Religiusitas dalam Islam
Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang sejarah perjalanan umat
manusia adalah fenomena keberagamaan (religiousity). Sepanjang itu pula,
bermunculan beberapa konsep religiusitas. Namun demikian, para ahli sepakat
bahwa bahwa agama berpengaruh kuat terhadap tabiat personal dan sosial
manusia.
25
Secara bahasa, kata religiusitas adalah kata kerja yang berasal dari kata
benda religion. Religi itu sendiri berasal dari kata re dan ligare artinya
menghubungkan kembali yang telah putus, yaitu menghubungkan kembali tali
hubungan antara Tuhan dan manusia yang telah terputus oleh dosa-dosanya
(Arifin, 1995).
Menurut Gazalba (1985), kata religi berasal dari bahasa latin religio yang
berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah ikatan
manusia dengan suatu tenaga yaitu tenaga gaib yang kudus. Religi adalah
kecenderungan rohani manusia untuk berhubungan dengan alam semesta, nilai
yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, dan hakekat dari semuanya.
Menurut Daradjat (1989), ada dua istilah yang dikenal dalam agama yaitu
kesadaran beragama (religious conciousness) dan pengalaman beragama
(religious experience). Kesadaran beragama adalah segi agama yang terasa
dalam fikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau dapat dikatakan sebagai
aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman beragama adalah
unsur perasaan dalam kesadaran beragama yaitu perasaan yang membawa
kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan.
Untuk mengukur religiusitas tersebut, kita mengenal tiga dimensi dalam
Islam yaitu aspek akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal)
dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah). Sebagaimana kita ketahui
bahwa keberagamaan dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk
ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai sistem
yang menyeluruh, Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara
26
menyeluruh; baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, harus didasarkan
pada prinsip penyerahan diri dan pengabdian secara total kepada Allah, kapan,
dimana dan dalam keadaan bagaimanapun. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam (QS. Al-Bayyinah,98: 5) “Tidaklah kalian diperintah melainkan untuk
beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan kepada-
Nya”. Serta ditegaskan kembali dalam Surat Al-Baqoroh: 208 sebagai konsep
yang memberi penjelasan dalam memahami Islam secara keseluruhan.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqoroh:
208)
Dalam memeluk agama Islam, kita diwajibkan memasukinya secara kaffah
(sempurna), yaitu menaati apa yang telah menjadi kewajiban yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah, meninggalkan segala sesuatu yang
dilarang, dan menjauhi apa saja yang menjadi keinginan setan, yaitu setiap
perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran serta ketaatan dan tiap-tiap
pekerjaan yang dilakukan atas dasar hawa nafsu. Sebabnya, hawa nafsu adalah
sarana bagi setan untuk membujuk manusia. Sungguh, setan telah ditetapkan
sebagai musuh untuk selamanya di dalam kehidupan dunia bagi orang-orang
yang beriman. (The Miracle 15 in 1, 61).
27
Nawawi (2008: 42), menjelaskan hukum perintah dan larangan tentang
perbuatan manusia di atas merupakan syari`at yang diambil berdasarkan
berbagai sumber diantaranya, yaitu: al-Qur`an, al-Hadis, ijma, dan qiyas atau
sumber lainnya seperti yang diungkapkan para imam mahzab. Dalam al-Qur`an
perintah dan larangan disebutkan dalam (QS. Al-Jasiyah,45: 18) dan (QS, Al-
Hasyr,: 7)
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui.” (QS. Al-Jasiyah,45: 18)
“Apa-apa yang dibawa oleh Rasul itu, hendaklah kalian terima dan apa-
apa yang dilarangnya, hendaklah kalian jauhi” (QS, Al-Hasyr,: 7)
Islam mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia; dari pribadi,
keluarga, masyarakat, hingga negara; dari sosial, ekonomi, politik, hukum,
keamanan, lingkungan, pendidikan hingga kebudayaan; dari etnis Arab Parsi
28
hingga seluruh etnis manusia, dari kepercayaan, sistem hingga akhlak; dari
Adam hingga manusia terakhir; dari sejak kita bangun tidur hingga kita tidur
kembali; dari kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat. Jadi kemencakupan
Islam dapat kita lihat dari beberapa dimensi yaitu dimensi waktu, dimensi
demografis, dimensi geografis, dan dimensi kehidupan.
Dimensi waktu artinya bahwa Islam telah diturunkan Allah Swt. Sejak
Nabi Adam hingga mata rantai kenabian ditutup pada masa Rasulullah
Muhammad Saw. Dan Islam bukan agama yang hanya diturunkan untuk masa
hidup Rasulullah Saw., melainkan untuk masa hidup untuk seluruh umat
manusia dimuka bumi (QS. Ali `Imran,3: 144).
Dimensi demografis adalah bahwa Islam diturunkan untuk seluruh umat
manusia dengan seluruh etnisnya, dan bahwa mereka semua sama dimata Allah
Swt., sebagai ciptaan-Nya dan dibedakan satu sama lain karena asas
ketakwaan. (QS. Al-Hujurat,49: 13, 34: 28).
Dimensi geografis adalah bahwa ajaran Islam diturunkan untuk diterapkan
di seluruh penjuru bumi. Maka Islam tidak dapat diidentikkan dengan kawasan
Arab (Arabisme), karena itu hanya tempat lahirnya. Islam tidak mengenal
sekat-sekat tanah air, sama seperti ia tidak mengenal batasan-batasan etnis.
(QS. Al-Baqarah,2: 30, QS. Al-Anbiya`,21: 107, dan QS. At-Takwir,81: 27-28)
Dimensi kehidupan adalah bahwa Islam membawa ajaran-ajaran yang
terkait dengan seluruh dimensi kehidupan manusia. Itulah sebabnya Allah Swt
menyuruh berislam secara kaffah, atau berislam dalam semua dimensi
kehidupan kita. (QS. Al-Baqarah,2: 208). Ini pula yang dimaksud Allah Swt.,
29
bahwa Ia telah menyempurnakan agama ini dan karena itu meridhainya sebagai
agama terbaik bagi umat manusia (QS. Al-Ma`idah,5: 3), (The Miracle 15 in 1,
82).
Sehubungan dengan hal ini, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin
menjelaskan, Islam adalah agama yang mencakup semua aspek kehidupan
(baik masalah dunia, maupun masalah akhirat), relevan untuk setiap masa,
tempat dan umat, serta mencakup seluruh kemaslahatan yang dikandung oleh
agama-agama terdahulu (Al-Utsaimin, 2003:5).
Selanjuutnya Al-Utsaimin, (2003:91-94), menjelaskan tentang tujuan
akidah Islam, yaitu:
1.
2.
3.
4.
Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah hanya kepada Allah s.w.t.
Karena Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka
tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepada-Nya.
Memebebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari
kosongnya hati dari akidah.
Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan dan tidak
goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan
orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan
yang mengatur. Hakim yang Membuat tasyri`. Oleh karena itu hatinya
menerima takdir, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari
pengganti yang lain.
Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam
beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena
30
di antara dasar akidah ini adalah mengimani para Rasul serta
mengikuti mereka dalam tujuan dan perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak
menghilangkan kesempatan beramal baik kecuali digunakannya
dengan mengharap pahala serta tidak melihat tempat dosa kecuali
menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena di antara dasar
akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap
seluruh perbuatan.
“Dan masing-masing orang yang memperoleh derajat-derajat
(sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari
apa yang mereka kerjakan.” (Al-An`am: 132)
Serta ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad s.a.w.
“Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah
daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing
terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna
bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan lemah.
Jika engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau katakan:
Seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah:
Itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan.
Sesungguhnya mengandai-andai itu membuka perbuatan setan.”
(Muslim).
6. Mencintai umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal
maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat
31
tiang penyanggahnya tanpa perduli apa yang akan terjadi untuk
menempuh jalan itu.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada
jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. ” (Al-Hujurat:
15).
7. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individu-
individu maupun kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun
wanita dalam keadaan beriman, maka sesunggunya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Dalam iman, pembenaran terutama terkait dengan masalah hati. Hati
sangat berperan dalam mewujudkan iman dalam diri seseorang.
Dalam dangkalnya, tebal-tipisnya, teguh-tidaknya iman sangat
bergantung pada hati manusia yang sifatnya berubah-ubah. Meskipun
begitu, Allah sesungguhnya telah memberikan potensi pada setiap
manusia untuk bertuhan dan mengabdi hanya kepada Allah, yang
disebut fitrah tauhid.
B. Kepercayaan Diri
1. Pengertian Kepercayaan Diri
32
Rasa percaya diri berasal dari bahasa Inggris yaitu “self confidence” yang
berarti percaya pada kemampuan, kekuatan, dan penilaian pada diri sendiri.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, percaya diri adalah keyakinan akan
kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (bahwa akan bisa
memenuhi harapannya) (Maulita, 2008: 9).
Rasa percaya diri (self confidence) adalah dimensi evaluatif yang
menyeluruh dari diri. Rasa percaya diri juga disebut sebagai harga diri atau
gambaran diri (Santrock, 2003:336). Kepercayaan diri merupakan suatu sikap
atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang
bersangkutan tidak terlalu cemas, tidak takut dalam segala hal, tidak ada
keraguan dalam bertindak serta mampu menguasai pikiran sehingga merasa
bebas melakukan hal-hal yang sesuai dengan keyakinan dan mampu mengenali
diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihannya (Douglas, dalam Maulita,
2008:9).
Kepercayaan diri menurut Rini adalah sikap positif seorang individu yang
memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya (Rini,
2001). Gunarsa (2004:127), menyatakan bahwa kepercayaan diri menjadi
dasar penting untuk bersikap dan bertingkah laku, namun kepercayaan diri
seseorang tidak menjadi dasar untuk berbuat semaunya.
Lauster (Sujanto, 2001:160), menyatakan bahwa kepercayaan diri
merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri
sehingga orang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya,
33
merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan keinginannya dan
tanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi
dengan orang lain, memiliki dorongan berprestasi serta dapat mengenal
kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri.
Franz (Sujanto, 1999:157) menyebutkan bahwa self confidence
berkembang melalui self understanding dan berhubungan dengan bagaimana
seseorang belajar menyelesaikan tugas di sekelilingnya, terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman dan suka menghadapi tantangan. Lugo (1979,
Setyowati, 2003:35) berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan ciri dari
orang yang kreatif dan biasanya orang tersebut yakin akan kemampuan diri
sendiri. Menurut Brenneche & Amich (Koeswara, 1991:124) rasa percaya diri
diartikan sebagai suatu perasaan atau sikap tidak membandingkan diri dengan
orang lain, karena telah merasa cukup aman dan tahu terhadap apa yang
dibutuhkan dalam kehidupan individu tersebut.
Sedangkan menurut Waterman (Sujanto, 1999:86), menjelaskan bahwa
orang mempunyai rasa percaya diri adalah orang yang mampu bekerja secara
efektif, mampu melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan secara relative
bertanggung jawab serta melaksanakan masa depan. Bandura (Khotimah,
2005: 5), memberikan batasan tentang kepercayaan diri sebagai suatu
keyakinan akan kemampuan dan kondisi yang ada pada individu itu sendiri.
Kepercayaan diri merujuk pada perilaku yang terbatas seseorang dalam
sejumlah situasi. Ini diperlukan dalam menghadapi sejumlah situasi dengan
tenang dan terarah sehingga tekanan psikologis dapat diatasi.
34
Orang yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi akan cenderung
bebas mengutarakan pilihannya dengan tenaganya dan melibatkan berbagai
alternatif pikiran yaitu: aktif mendekati tujuan dan dapat membedakan antara
pengetahuan dengan perasaan serta dapat memberi putusan yang
mempengaruhi inteleknya, juga mampu secara independent menganalisa dan
mengontrol pikirannya dalam hubungan yang tepat.
2. Ciri-ciri Seseorang yang Mempunyai Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri seseorang dapat diketahui dari ciri-ciri utama yang khas
yang dimilikinya. Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa seseorang atau
individu itu mempunyai kepercayaan diri.
Daradjat (1990:19), menjelaskan bahwa ciri-ciri seseorang yang
mempunyai kepercayaan diri adalah tidak memiliki keraguan dan perasaan
rendah diri, tidak takut memulai suatu hubungan baru dengan orang lain, tidak
suka mengkritik dan aktif dalam pergaulan dan pekerjaan, tidak mudah
tersinggung, berani mengemukakan pendapat, berani bertindak, dapat
mempercayai orang lain dan selalu optimis.
Misiak dan Sexton dalam Walgito (1993:7), menyatakan bahwa
kepercayaan diri berkembang melalui interaksi individu dengan
lingkungannya, khususnya lingkungan sosialnya. Lingkungan yang kondusif
dapat memberikan kesempatan bagi individu untuk mengekspresikan ide-ide
dan perasaannya, menerima dan memberikan dukungan dan bantuan untuk
orang lain, serta menerima dan memberikan umpan balik akan menumbuhkan
35
rasa berarti bagi dirinya sehingga ia memiliki konsep diri yang positif. Individu
yangmemiliki konsep diri yang positif akan dapat menghargai dirinya, atau
dengan kata lain memiliki harga diri yang tinggi. Apabila individu mempunyai
harga diri yang positif, maka ia akan mempunyai kepercayaan diri yang positif
pula.
Selanjutnya menurut Misiak dan Sexton dalam Walgito (1993:8), ciri-ciri
individu yang mempunyai kepercayaan diri adalah :
1)
2)
3)
4)
Merasa optimis, yaitu selalu memandang masa depan dengan
harapan yang baik.
Bertanggung jawab, yaitu berani mengambil resiko atas keputusan
atau tindakan yang menurutnya benar.
Bersikap tenang, yaitu yakin akan kemampuan dirinya, tidak cemas
atau gugup dalam menghadapi situasi tertentu.
Mandiri, tidak suka meminta bantuan atau dukungan kepada pihak
lain dalam melakukan sesuatu kegiatan dan tidak tergantung kepada
orang lain.
Waterman dalam Kumara (1988:19), memberi ciri-ciri orang yang
mempunyai kepercayaan diri sebagai orang yang mampu bekerja secara efektif,
mampu melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan secara relatif bertanggung
jawab serta mempunyai rencana terhadap masa depannya.
Menurut Hurlock (1993:214), ciri-ciri individu yang memiliki kepercayaan
diri adalah mempunyai sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi
36
sosialnya. Selanjutnya Breneche dan Amich dalam Kumara (1988:21),
berpendapat bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri adalah :
1)
2)
3)
4)
Berani mencoba atau melakukan hal-hal baru di dalam situasi baru
Tidak merasa perlu membandingkan dirinya dengan orang lain
Merasa cukup aman dan tenang
Mempunyai ukuran sendiri mengenai kegagalan atau kesuksesannya
Pendapat lain dari Coleman (1980:43-44), melalui evaluasi diri seseorang
dapat memahami diri sendiri dan akan tahu siapa dirinya yang kemudian akan
berkembang menjadi kepercayaan diri.
Menurut Lauster (2002:8), seseorang yang mempunyai kepercayaan diri
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)
2)
3)
Kehati-hatian, merupakan kemampuan individu untuk menilai dan
merespon diri dan lingkungan secara pasti, mampu menilai
kemampuan sendiri secara objektif, mempunyai sikap optimis
terhadap kehidupan dan merencanakan masa depan.
Kebebasan untuk kemandirian, adalah melakukan sesuatu atas dasar
minat dan keinginan sendiri, tidak mudah terpengaruh oleh harapan
dan keinginan orang lain, memiliki pandangan yang tidak kaku
terhadap aturan konvensional.
Tidak mementingkan diri sendiri, adalah kesediaan bertindak untuk
kebaikan diri sendiri maupun orang lain, bertanggung jawab,
menaruh simpati terhadap masalah orang lain, ingin membantu dan
bersedia berkorban.
37
4)
5)
Toleransi, adalah dapat mengerti dan memahami perbedaan orang
lain dan dirinya, bebas dari prasangka, mencoba melihat hokum dan
norma kehidupan masyarakat dari segi relevansinya, dan terbuka
pada situasi baru.
Ambisi, adalah dorongan untuk berprestasi, meningkatkan harga diri
dan memperkuat kesadaran diri.
3. Proses Terbentuknya Kepercayaan Diri
Menurut Hakim (2002:60), proses terbentuknya percaya diri secara garis besar
adalah sebagai berikut:
1) Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses
perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu.
2) Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya
dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu
dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya.
3) Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-
kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri
atau rasa sulit untuk menyesuaikan diri.
4) Pengalaman di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan
menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.
Rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang. Ada proses
tertentu di dalam pribadi seseorang sehingga terjadilah pembentukan rasa
percaya diri. Menurut rasa percaya diri bukan merupakan sifat yang diturunkan
38
(bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup serta dapat diajarkan dan
ditanamkan melalui pendidikan guna membentuk dan meningkatkan rasa
percaya diri dan kepercayaan diri terbentuk melalui proses belajar di dalam
interaksi seseorang dengan lingkungannya (Lauster, 2002:2).
Terbentuknya kepercayaan diri seseorang tidak dapat lepas dari
perkembangan manusia pada umumnya, khususnya perkembangan
kepribadiannya. Kepercayaan diri sebagai salah satu aspek kepribadian,
terbentuk dalam interaksi dengan lingkungannya, khususnya lingkungan
sosialnya, termasuk lingkungan keluarga. (Walgito, 1993:8)
Rasa percaya diri lahir dari kesadaran pada diri sendiri dan tekad untuk
melakukan segala sesuatu sampai tujuan yang diinginkan tercapai.
Kepercayaan diri bersumber dari hati nurani dan terbina dari keyakinan diri
sendiri. Untuk mendapatkan rasa percaya diri seseorang memerlukan sebuah proses
dan kepercayaan diri itu tidak dapat muncul dengan tiba-tiba. (Angelis 1997:10-16)
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa proses terbentuknya
kepercayaan diri lahir dari kesadaran pada diri sendiri yang bersumber dari hati
nurani yang terbentuk melalui proses belajar dan interaksi dengan
lingkungannya yang meliputi lingkungan sekolah, lingkungan sosial dan
lingkungan keluarga.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri
Salah satu aspek pribadi yang berpengaruh dalam membentuk kepribadian
seseorang adalah aspek kepercayaan diri. Setiap individu sangat memerlukan
39
kepercayaan diri untuk mengembangkan potensipotensi yang dimilikinya, dan
kepercayaan diri seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Hakim (2002:65), faktor yang mempengaruhi percaya diri
meliputi:
1) Lingkungan keluarga
Keadaan keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama dan
utama, dalam kehidupan setiap orang sangat mempengaruhi
pembentukan percaya diri pada seseorang. Rasa percaya diri baru bisa
tumbuh dan berkembang baik sejak kecil jika individu tersebut berada
dalam lingkungan keluarga yang baik. Pendidikan keluarga
merupakan pendidikan yang pertama dan utama yang menentukan
baik buruknya kepribadian seseorang.
2) Pendidikan formal
Sekolah dan perguruan tinggi bisa dikatakan sebagai lingkungan yang
paling berperan untuk bisa mengembangkan rasa percaya diri remaja
setelah lingkungan keluarga. Ditinjau dari segi sosialisasi mungkin
dapat dikatakan bahwa sekolah memegang peranan lebih penting jika
dibanding dengan lingkungan keluarga, yang jumlah individunya lebih
terbatas.
3) Pendidikan non formal
Rasa percaya diri akan lebih mantap jika seseorang memiliki suatu
kelebihan yang membuat orang lain merasa kagum. Kemampuan atau
ketrampilan dalam bidang tertentu bisa didapatkan melalui pendidikan
40
non formal, misalnya: mengikuti kursus bahas asing, mengikuti kursus
jurnalistik, kursus bermain alat musik, seni vokal, mengikuti
ketrampilan untuk memasuki dunia kerja, pendidikan keagamaan, dan
lain-lain.
4) Lingkungan kerja
Lingkungan kerja bagi sebagian besar orang menjadi lingkungan
hidup kedua setelah rumah. Dalam lingkungan kerja tercipta suasana
kerja yang sangat kompleks, seperti: berat ringannya pekerjaan,
tingkat kesejahteraan karyawan, persaingan kerja, hubungan antara
karyawan dengan pemimpin, serta berbagai masalah lain yang
berkaitan dengan pekerjaan semua akan berpengaruh terhadap kondisi
mental karyawan dan dengan rasa percaya diri.
Sedangkan menurut Santrock (2003:336-339), faktor-faktor yang
mempengaruhi kepercayaan diri adalah :
1) Penampilan fisik
Seseorang yang memiliki anggota badan yang lengkap dan tidak
memiliki cacat/kelainan fisik tertentu akan cenderung memiliki rasa
percaya diri yang kuat dari pada seseorang yang memiliki
cacat/kelainan fisik tertentu.
2) Penerimaan sosial atau penilaian teman sebaya
Seseorang yang mendapatkan dukungan sosial dari teman sebaya
secara positif maka akan lebih percaya diri dalam melakukan sesuatu,
karena penerimaan social atau penilaian teman sebaya yang positif
41
akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu obyek secara
positif.
3) Faktor orang tua dan keluarga
Dukungan orang tua seperti rasa kasih sayang, penerimaan dan
memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dengan batasan tertentu
serta keadaan keluarga yang baik sangat mempengaruhi pembentukan
rasa percaya diri seseorang.
4) Prestasi
Seseorang yang memiliki kecerdasan dan wawasan yang tinggi akan
menghasilkan suatu prestasi yang baik dan meningkat sehingga
kemudian juga meningkatkan rasa percaya dirinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri menurut Bandura
dalam Tomlinson dan Keasey (1985:637) ada empat yaitu :
1) Pengalaman dengan orang-orang yang berpengaruh dalam lingkungan.
Ini adalah faktor yang paling banyak berpengaruh dalam tumbuhnya
kepercayaan diri. Orang-orang yang berpengaruh dalam lingkungan
ini adalah orang-orang yang biasanya disukai dan disegani atau
bahkan orang yang paling ditakuti dan yang mampu memberikan
pengaruh di lingkungan tersebut. Seseorang yang pernah bersama-
sama dengan orang tersebut biasanya akan semakin tumbuh rasa
percaya dirinya.
2) Pengalaman yang dialami sendiri yaitu melihat banyak orang (model)
yang memiliki kompetensi dalam memberikan dorongan sehingga ia
42
dapat berfikir “aku juga dapat melakukannya”. Melihat seseorang
yang dibanggakan (model) juga dapat mengajari seseorang tersebut
bagaimana menghadapi situasi yang menarik, menantang atau bahkan
situasi yang mengancam atau menakutkan.
3) Terlibat kontak langsung dengan orang lain seperti orang tua, teman-
teman, guru maupun orang lain yang belum dikenal, karena orang tua,
guru, dan teman-teman dapat mempengaruhi individu. Pengaruh yang
baik dan positif seperti individu memilikikemampuan untuk menjadi
orang yang sukses akan dapat membuat individu merasa lebih percaya
diri, namun sebaliknya jika pengaruh yang diberikan tersebut buruk
dan negatif maka individu dapat menjadi orang yang minder dan
seperti tidak mempunyai harga diri.
4) Keadaan psikologis. Bandura menekankan bahwa kepercayaan diri
juga dapat dipengaruhi oleh keadaan psikologis seseorang. Selama
seseorang mengalami situasi yang penuh dengan tekanan dan stress,
maka hal ini dapat mengurangi kompetensi perasaan seseorang atau
dapat membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman dan tidak
bagus sehingga rasa percaya seseorang tersebut dapat menurun.
5. Kepercayaan Diri dalam Islam
Najiati (2002: ix), menyebutkan bahwa al-Qur'an berbicara kepada akal
dan perasaaan manusia; mengajar mereka tentang aqidah tauhid;
membersihkan jiwa mereka dengan berbagai praktek ibadah; memberi mereka
43
petunjuk untuk kebaikan dan kepentingannya, baik dalam kehidupan individu
maupun sosial; menunjukkan kepada mereka jalan terbaik, guna mewujudkan
jati dirinya, mengembangkan kepribadiannya dan meningkatkan dirinya
menuju kesempurnaan insani, sehingga mampu mewujudkan kebahagiaan bagi
dirinya, di dunia dan akhirat.
Al-Qur'an sebagai rujukan pertama juga menegaskan tentang percaya diri
dengan jelas dalam beberapa ayat-ayat yang mengindikasikan percaya diri
seperti:
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika
kamu orang-orang yang beriman.” (Al-Imran: 139).
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah
Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan
janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah
dijanjikan Allah kepadamu".
44
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama.” (QS. Fatir,35: 28)
Ayat-ayat di atas dapat dikategorikan dengan ayat yang berbicara tentang
persoalan percaya diri karena berkaitan dengan sifat dan sikap seorang
Mukmin yang memiliki nilai positif terhadap dirinya dan memiliki keyakinan
yang kuat. Dari ayat di atas nampak bahwa orang yang percaya diri dalam al-
Qur'an di sebut sebagai orang yang tidak takut dan sedih serta mengalami
kegelisahan adalah orang orang yang beriman dan orang-orang yang istiqomah.
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Yunus,10: 62)
Para kekasih Allah, wali-wali Allah, adalah orang-orang yang bertakwa
kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Mereka adalah orang-orang yang
yakin dengan kekuasaan Allah dan kebenaran ayat-Nya. Mereka adalah orang-
orang yang selalu mencurahkan jiwa, raga, dan harta benda untuk kepentingan
di jalan Allah demi meraih keridhaan Allah semata. Niscaya, Allah
melimpahkan anugrah yang banyak pada kepada mereka sehingga tidak ada
perasaan khawatir di dalam hati pada setiap perbuatannya dan tidak pula ada
perasaan takut kepada selain-Nya. Hati mereka dipenuhi perasaan bahagia
dalam kehidupan di dunia dan terlebih pada kehidupan akhirat kelak. Sungguh,
45
ketetapan Allah yang dijanjikan ini tidak pernah berubah. Sungguh, Allah
Maha Menepati janji-Nya. (The Miracle 15 in 1: 429)
Banyaknya ayat-ayat lain yang menggambarkan tentang keistimewaan
kedudukan manusia di muka bumi dan juga bahkan tentang keistimewaan umat
Islam, yang menurut peneliti merupakan ayat-ayat yang dapat dipergunakan
untuk meningkatkan rasa percaya diri.
Ma'rifatunnafsi atau mengenal diri sendiri terkenal dengan ungkapan
"Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya", Dapat
disejajarkan dengan konsep diri, self concept yaitu bagaimana seseorang
memandang dirinya sendiri. Khusnudzon atau prasangka yang baik juga dapat
disejajarkan dengan berpikir positif. Kata-kata yang terus beriringan dalam al-
Quran yaitu iman dan amal merupakan penegasan dari harus adanya keyakinan
dan tindakan. Untuk menyikapi semua tindakan-tindakan dan hasil yang
diperoleh atas semua usahanya Islam memberikan konsep lain seperti tawakal,
syukr dan muhasabah yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Qur`an menamakan kualitas hidup yang semacam itu dengan al-hayat
al-thayyibah dan cara mencapainya dirumuskan dengan “amal saleh”: Barang
siapa yang melakukan amal saleh baik pria maupun wanita dalam keadaan ia
beriman, maka pasti akan kami hidupkan ia dengan al-hayat al-thayyibah
(hidup yang berkualitas tinggi) (QS. An-Nahl,16: 97 ), (Shihab, 1992: 281)
Akumulasi konsep-konsep tersebut jika diteliti secara berkesinambungan
akan menimbulkan dan mengisyaratkan adanya konsep percaya diri yang
terungkap dalam al-Qur'an, dan tercermin dalam sikap junjungan Nabi Besar
46
Muhammad S.a.w., yang menggambarkan pribadi Muslim yang memiliki
kepercayaan diri sebagai pemimpin yang memiliki keberanian (courage) untuk
mengambil tanggung jawab sebagai bagian atau konsekuensi dari tindakannya
untuk melaksanakan visi yang telah diyakininya.
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab,33:
21)
Rasulullah Muhammad adalah orang yang paling utama di antara orang-
orang yang beriman. Beliau utusan Allah yang terakhir, sebagai penutup para
Nabi dan Rasul, sekaligus penyempurna risalah Allah yang telah dibawa oleh
para utusan sebelumnya. Beliau menerima wahyu al-Qur`an sebagai petunjuk
bagi umat manusia secara keseluruhan. Allah menganugrahkan kepadanya
akhlak yang terpuji serta perilaku yang sangat mulia. Maka, diserukan kepada
orang yang menginginkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta berharap
rida Allah, agar mengambil contoh teladan dari diri Rasulullah yang selalu
mendapatkan tuntunan dari Allah. (The Miracle 15 in 1: 837)
Al-Qur`an memerintahkan kepada umatnya untuk percaya kepada diri
sendiri. Namun, kepercayaan tersebut dikaitkannya dengan kekuasaan dan
47
kemurahan Tuhan. Karena itu, digarisbawahinya bahwa Bila engkau telah
bertekad maka berserah dirilah kepada Allah (QS 3:159). Kepada Muhammad,
al-Qur`an menegaskan Berjuanglah di jalan Allah (dengan penuh kepercayaan
pada diri sendiri), jangan membebani sesesorang dan anjurkanlah pengikutmu
untuk berjuang bersama kamu (QS 4:84), (Shihab, 1992: 306)
Tasmara (2002:196-199), menjelaskan bahwa setiap pribadi muslim
menyadari sepenuhnya bahwa dirinya terlahir sebagai pemimpin, sebagaimana
diriwayatkan dalam hadis yang sangat populer, Rasulullah bersabda, “Setiap
kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas
kepemimpinannya.” Hal ini sesuai dengan tujuan penciptaan Adam a.s (al-
Baqarah:30). Dengan demikian, memainkan peran sebagai pemimpin
merupakan citra diri yang melekat pada manusia, utamanya mereka yang telah
mengaku sebagai seorang muslim. Manusia hanya dapat memanusiakan dirinya
dengan memainkan peran kepemimpinannya.
Dalam kaitannya dengan visi yang menempatkan dirinya sebagai hamba
yang merindu cinta Ilahi Rabbi, seluruh tindakannya akan menunjukkan jiwa
seorang pemimpin tersebut. Dia sadar bahwa pemimpin memilki arti sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi dirinya sendiri dan orang lain melalui
keteladanan, nilai-nilai serta prinsip yang akan membawa kebahagiaan dunia
akhirat. Muslim yang mendapat amanah sebagai eksekutif akan menunjukkan
nilai-nilai moral tersebut, sehingga mereka akan memimpin berdasarkan
prinsip (principle centered leadership). Memimpin bukan hanya
mempengaruhi agar orang lain mengikuti apa yang diinginkannya. Bagi
48
seorang muslim, memimpin berarti memberikan arah atau visi berdasarkan
nilai-nilai ruhaniah. Mereka menampilkan diri sebagai teladan dan memberikan
inspirasi kepada bawahannya untuk melaksanakan tugas sebagai
keterpanggilan Ilahi. Sehingga, mereka memimpin berdasarkan visi atau
mampu melihat dan menjangkau ke masa depan.
Kepemimpinan visioner mampu melihat sesuatu di balik yang tampak.
Seakan-akan, mereka itu mermpunyai kacamata batin yang mampu melihat
gambaran dirinya di masa depan. Penuh dengan daya imajinasi, bertindak atas
dasar nilai-nilai (value), dan adanya semacam nyala api yang terus membakar
semangat dirinya (vitality). Mereka mempelajari nilai-nilai yang ada di
lingkungannya. Mereka mencari informasi lebih banyak tentang orang lain atau
bawahannya untuk mengetahui nilai-nilai yang menjadi pegangan mereka.
Kepercayaan diri inilah, yang terlahir dari prinsip keperibadian diri muslim
yang amanah memegang tanggung jawabnya sebagai hamba yang
berkewajiban untuk berusaha untuk menjaga keyakinannya, serta tidak pernah
merasa ragu apalagi terpuruk di dalam sikap melankolis, penuh duka cita yang
akan melemahkan vitalitas dirinya sebagai seorang pemimpin.
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali
kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah: 147)
49
Dengan demikian, kesadaran dirinya sebagai khalifah fil ardhi bukanlah
hanya simbol, tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai keperibadian
(character) yang ingin menempatkan dirinya sebagai sebagai al-insanul-kamil,
sosok manusia yang terus-menerus menuju kepada kebaikan.
Inilah tanggung jawab dan tugas setiap pribadi muslim untuk
memperhatikannya dengan mempelajari dan mengajarkan, dengan berpikir dan
beritikad agar dapat mendirikan dienullah di atas dasar yang benar, serta untuk
menenangkan jiwa dan mendapatkan kebahagiaan sebagai buah dan hasilnya
(Al-Utsaimin, 2003:2). Dan sebagai generasi Ulul Albab, prinsip dasar
keimanan inilah yang menjadi tujuan dari program pendidikan sebagai hasil
dari kajian 16 ayat al-Qur`an guna menyiapkan calon-calon lulusan yang
memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak,
keluasan ilmu, dan kematangan profesional, (Pedoman Pendidikan UIN Maliki
Malang, 2007: 9)
Keilmuan berdasarkan prinsip keimananan inilah yang sekaligus menjadi
pembeda antara para sarjana umum lainnya, yang mana hal ini dijelaskan oleh
Daradjat (1975:23), betapapun tinggi melangitnya ilmu pengetahuan seseorang,
apabila ia tidak beragama, maka pengetahuannya itu akan digunakan untuk
mencari kesenangan dan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan
orang lain. Karena semakin pandai dia, semakin pintar pula ia mengelabui atau
menipu orang. Sedang kendali jiwa yang menahan dan pengontrolan tindakan
dan perbuatannya tidak ada, yaitu kepercayaan kepada Tuhan dan
ketekunannya dalam mengindahkan ajaran-ajaran agamanya. Di sinilah letak
50
tragisnya pengetahuan yang tidak disertai oleh jiwa taqwa kepada Tuhan.
Sedangkan dalam sisi lain Al-Amir Arselan (Tasmara, 2000:13), mengatakan
“Umat Islam mundur dikarenakan meninggalkan kitabnya, dan selain Islam
maju dikarenakan meninggalkan kitabnya.”
Islam melalui rukun Islam dan rukun iman, merupakan proses pendidikan
Tuhan kepada manusia yang diajarkan melalui para Nabi dan Rasul dan
terangkum dalam al-Qur`an dan al-Hadis, “Dan sungguh, telah kami mudahkan
Al-Qur`an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil
pelajaran?” (QS. Al-Qamar,54: 17). Inilah keyakinan mendasar yang
membentuk pribadi Muslim yang penuh kepercayaan diri positif dalam
memahami diri dan dunia ini sebagai sosok pribadi yang optimis dalam
mencapai berbagai macam tujuan dalam hidupnya dengan menggantungkan
semua harapan Pada-Nya.
Tasmara (2002:53), menjelaskan bahwa keyakinan adalah sarana dalam
mencapai keberhasilan. Tidak ada yang bisa diperbuat tanpa harapan dan
percaya diri. Seseorang yang bermental pemenang, ia memiliki rasa percaya
diri dan optimisme yang sangat besar. Dia berusaha dengan sungguh-sungguh
dan yakin akan usahanya tersebut. Inilah sisi lain dari makna tawakal (berasal
dari kata tawakul ‘tempat bersandar’). Setiap kali jiwanya mulai meredup, dia
segera melakukan zikir untuk menumbuhkan dorongan semangat pada dirinya
sendiri. Setiap kali diterpa badai tantangan, segeralah dia memperbaiki dan
membenahi diri, melakukan evaluasi lahir batin”.
51
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an (QS. Az Zumar,39: 53)
dan ditegaskan kembali dalam (QS. Yusuf,12: 87)
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Az Zumar,39: 53)
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf,12:
87).
Inilah tugas dan kewajiban manusia, yakni menghambakan diri dan
beramal saleh dalam rangka mewujudkan maqaman mahmuda (posisi mulia
dan terhormat di hadapan Allah) sesuai dengan fitrah kemanusiaannya, dan
apapun di muka bumi ini hidup berdasarkan fitrahnya, sebagaimana fitrah api
yang tetap membakar, biji mangga menjadi pohon mangga, dan manusia
dengan fitrahnya akan tumbuh menjadi diri yang sejati sebagai manusia yang
merindukan kebenaran dan kebaikan. “Setiap benda di dunia ini punya
52
dorongan untuk tumbuh dan menjadi sesuatu sesuai dengan tujuan yang sudah
terkandung dalam benda itu sendiri.” Aristoteles (dalam Thoha, 2007: 147-
148)
“Banyak dorongan yang mengakar dalam diri manusia dan masing-masing memegang peranan penting dalam kesinambungan danperkembangannya. Kekuatan terbesar yang menggerakkan roda kehidupandan memotivasi manusia berasal dari dorongan yang sumbernya berasaldari dalam diri manusia itu sendiri. Akal merupakan salah satu karuniaterbesar yang dianugrahkan Allah kepada manusia dan dengan akal pulamanusia mendapat kehormatan sebagai mahluk yang memiliki kemuliaandibandingkan mahluk Tuhan lainnya.
Perbendaharaan manusia yang paling berharga ialah akalnya. Ketikamanusia jatuh hina, ia memuliakannya, ketika manusia terjatuh, iamengangkatnya, dan ketika manusia tersesat, ia memberinya petunjuk danketika manusia berbicara, ia mengukuhkannya” Imam Ali a.s (dalamMusawi, 1997: 58)
Sejarah dalam Islam telah membuktikan bahwa peradaban manusia
ditentukan oleh manusia yang sangat kuat dalam keyakinannya dalam
mengamalkan setiap ayat-ayat al-Qur`an dalam diri dan kehidupan yang nyata
sekaligus sebagai sosok yang terbaik (khairul ummah).
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. (QS. Ali Imran,3: 110)”
53
C. Hubungan antara Religiusitas dengan Kepercayaan Diri
Tinggi-rendahnya religiusitas seseorang mempunyai peran penting dalam
mencegah hambatan penyesuaian diri. Seseorang yang memiliki religiusitas
tinggi adalah orang senantiasa menggunakan agama sebagai referensi semua
perilakunya, termasuk juga dalam menghadapi segala persoalan ataupun dalam
usahanya memenuhi dorongan dari dalam dirinya dan menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.
Mahasiswa yang tingkat religiusitasnya tinggi adalah mereka yang
memiliki kepribadian yang terikat erat dengan agama yang diyakininya. Agama
mengajarkan bahwa setiap manusia yang mengaku beriman pasti akan diuji
keimanannya. Lewat ujian ini pahala dan dosa manusia akan ditentukan apakah
mereka yang tetap di jalan Tuhan baik dalam ujian yang berupa kesenangan
maupun ujian yang berupa penderitaan, merekalah orang-orang yang kelak
bahagia di Surga, sedangkan mereka yang memilih jalan pintas untuk
memenuhi kebutuhannya tanpa memperdulikan ajaran agama maka nerakalah
tempatnya.
Dengan pemahaman dan keyakinan ini manusia akan bersikap positif
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi. Sikap positif ini mampu
memberikan kekuatan pada manusia dalam melakukan penyesuaian diri.
Dengan demikian, agama dapat memberikan rasa percaya diri, rasa optimis
yang membuat manusia lebih tahan menghadapi cobaan dan tidak mudah putus
asa. Hal ini akan sangat mendukung proses penyesuaian diri seseorang
54
sehingga ia terhindar dari gangguan perilaku yang dapat menghambat
produktivitasnya.
Banyak penelitian yang mengungkapkan tentang peran religiusitas
terhadap kesehatan mental. Subandi (1988), menemukan bahwa religiusitas
berkorelasi negative dengan kecemasan. Dwiatmoko (1993), menyebutkan
bahwa religiusitas berkorelasi negatif dengan kesepian. Hidayah (1992),
mengungkapkan bahwa religiusitas berkorelasi negatif dengan sikap terhadap
hubungan seksual pranikah. Sedangkan Khisbiyah (1992), menemukan bahwa
religiusitas berkorelasi positif dengan kebermaknaan hidup.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa seseorang yang memiliki
religiusitas yang tinggi dapat meningkatkan kepercayaan diri. Mahasiswa
termasuk dalam kriteria orang yang telah mencapai kematangan keberagamaan
sehingga religiusitasnya diharapkan mampu mengatasi persoalan-persoalan
yang dihadapi dalam hidupnya, termasuk dalam kegiatan-kegiatan
akademiknya.
D. Hipotesis
Adapun hepotesis dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan positif yang
signifikan antara religiusitas dengan kepercayaan diri mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang,
atau 1 diterima dan 0 ditolak, dimana 1 berarti ada hubungan antara dua
variabel dan 0 yang berarti tidak ada hubungan antara kedua variabel.