Post on 22-Dec-2015
description
4
BAB II
URAIAN
A.Definisi
Istilah reflux secara bahasa berarti aliran balik (bahasa latin re berarti kembali,
sedangkan fluere berarti mengalir (Koufman, 2002). Refluks laringofarings atau
Laryngopharyngeal reflux (LPR) sinonimnya posterior laryngitis, extraesophageal
reflux merujuk masuknya isi lambung kebagian atas Upper Esophageal Sphincter
(UES) (Diamond, 2005; Snow, 2003; Ylitalo, 2004; Yorulmaz et al., 2003), atau
asam lambung dan enzim pankreas mengalir balik ke larings dan farings (Belafsky et
al., 2008; Dagli et al., 2004; Koufman, 2002), dapat mengakibatkan kondisi
inflamasi kronik di larings dan farings (Rees et al., 2008), atau asam lambung kontak
dengan jaringan traktus aerodigestif bagian atas (Ford, 2005, Mosca et al., 2006),
bahkan kadang-kadang sampai dibelakang hidung (Fauquier, 2007), hal ini berbeda
dengan penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) (Galli et al., 2005).
B . Anatomi , histologi, dan fisiologi lambung, esofagus dan laringofarings
1. Lambung
a . Anatomi
Lambung merupakan kelanjutan esofagus, berbentuk seperti kantung yang
terletak di bawah diafragma. Lambung dapat dibagi menjadi tiga daerah yaitu daerah
kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah bagian atas, daerah pintu masuk makanan
dari kerongkongan, fundus adalah bagian tengah, bentuknya membulat, pilorus
5
adalah bagian bawah, daerah yang berhubungan dengan duodenum. Dinding
lambung disusun oleh 3 jenis otot polos: otot longitudinal, otot sirkuler, dan otot
oblik (Mulyani, 2007).
Gambar 1. Anatomi lambung
b . Histologi
Dinding lambung tersusun dari empat lapisan: mucosa, submukosa, muskularis,
dan serosa. Mukosa adalah lapisan sel-sel dimana mengeluarkan berbagai jenis
cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon, lapisan ini berbentuk seperti
palung untuk memperbesar perbandingan antara luas dan volume sehingga
memperbanyak volume getah lambung yang dapat dikeluarkan. Pada submukosa
terdapat lapisan pembuluh darah arteri dan vena untuk menyalurkan nutrisi dan
oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk membawa nutrisi yang diserap, urea, dan
karbon dioksida dari sel-sel tersebut. Muskularis adalah lapisan otot yang membantu
perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan otot: otot
longitudinal, otot sirkuler, dan otot oblik. Kontraksi ketiga macam lapisan otot
6
tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak peristaltik
menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar yaitu serosa
berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini mengeluarkan sejenis
cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara perut dengan anggota
tubuh lainnya (Mulyani, 2007).
c . Fisiologi
Fungsi lambung secara umum adalah tempat di mana makanan dicerna dan
sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Senyawa kimiawi yang dihasilkan
lambung adalah: HCl, enzim pepsin, dan renin. HCl berfungsi untuk membunuh
kuman-kuman yang masuk berasama bolus akan mengaktifkan enzim pepsin. Pepsin
berfungsi untuk mengubah protein menjadi peptone. Renin berfungsi untuk
menggumpalkan protein susu (Mulyani, 2007).
2. Esofagus
a . Anatomi
Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofarings sampai ke lambung,
pada orang dewasa panjangnya 23 cm sampai 25 cm (Bailey, 2006; Ballenger, 1994;
Mariana, 2007). Berdasarkan letaknya esofagus dibagi menjadi bagian servikal,
torakal, dan abdominal (Ballenger, 1994; Mariana, 2007). Pada keadaan normal
esofagus mempunyai empat penyempitan yaitu: 1) Setinggi vertebra servikalis ke enam
belakang kartilago krikofaringeus (± 15 cm dari gigi insisivus atas) yaitu introitus
esofagus yang disebabkan oleh muskulus krikofaringeus yang selalu dalam keadaan
konstriksi tonus, 2) Setinggi vertebra torakalis ke empat (± 25 cm dari gigi insisivus
7
atas), tepat pada saat esofagus disilangi oleh arkus aorta, 3) Setinggi vertebralis torakalis
kelima, pada waktu esofagus disilangi bronkus kiri dan 4) Setinggi vertebra torakalis
kesepuluh (± 40 cm dari gigi insisivus atas) pada waktu esofagus melewati hiatus
diafragmatikus (Jones, 1979; Gray, 1992; Serna et al., 1999).
Gambar 2. Anatomi esofagus (Netter, 2003)
Esofagus mempunyai dua sfingter: 1) Faringo-oesofagealis sphincter: Upper
Esophageal Sphincter (UES) terdiri dari serabut-serabut otot rangka yaitu otot
konstriktor tirofaringeal inferior segmen krikofaringeal dan beberapa serat sirkuler
otot esofagus (Fauquier, 2007), dalam keadaan normal sfingter ini berada dalam
keadaan tonik atau kontraksi kecuali waktu menelan (Ballenger, 1994), yang
berfungsi untuk mencegah udara masuk ke esofagus saat inspirasi dan mencegah
kembalinya makanan dari esofagus ke hipofarings, bertindak sebagai penghalang
utama dalam terjadinya LPR, 2) Gastro-oesofagealis sphincter: Lower Esophageal
Sphincter (LES), fungsi sfingter ini dikontrol oleh otot polos sfingter, n. simpatikus
dan n.parasimpatikus serta hormon gastrointestinalis. Tonus gastro-oesofagealis
8
sphincter akan meningkat bila tekanan intraabdominal meningkat dan rangsang
n.simpatikus serta gastrin, sebaliknya tonus menurun akibat rangsang n.
parasimpatikus dan sekretin, dalam keadaan normal sfingter ini menutup kecuali bila
makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bertahak atau muntah (Ballenger,
1994). LES berfungsi mencegah kembalinya atau refluks isi lambung ke esofagus
dan relaksasi selama proses menelan untuk memungkinkan pasase makanan dari
esofagus ke lambung (Ireland et al., 1999; Hirsch and Tytgat, 2002). Manometri
esofagus digunakan untuk identifikasi lokasi LES dan UES (Vincent et al., 2000)
Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental, bagian atas disuplai oleh
cabang arteri tiroidea inferior dan arteri subklavia, bagian tengah disuplai oleh
cabang segmental aorta dan arteri bronkialis, sedangkan bagian sub diafragmatika
disuplai oleh arteri gastrika sinistra dan arteri frenikus inferior (Bailey, 2006;
Bhargava et al., 2002; Gray and Hawthorne, 1992).
Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut simpatis dan parasimpatis dari
sistem saraf otonom. Serabut saraf parasimpatis dibawa oleh nervus vagus yang
dianggap merupakan saraf motorik. Selain saraf ekstrinsik tersebut, terdapat juga
plexus Auerbach dan berperan untuk mengatur peristaltik esofagus normal (Bailey,
2006; Bhargava et al., 2002).
b . Histologi
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan yaitu: 1) Mukosa: terbentuk dari epitel
berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke farings bagian atas, dalam keadaan
9
normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam
(Bailey, 2006; Ballenger, 1994), 2) Sub mukosa: mengandung sel-sel sekretoris yang
menghasilkan mukus yang dapat mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan
dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia (Bailey, 2006; Ballenger, 1994),
3) Muskularis: otot bagian esofagus, merupakan otot rangka. Sedangkan otot pada
separuh bagian bawah merupakan otot polos, bagian yang diantaranya terdiri dari
campuran antara otot rangka dan otot polos (Bailey, 2006; Ballenger, 1994), 4)
Lapisan bagian luar (serosa): terdiri dari jaringan ikat yang jarang menghubungkan
esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan, tidak adanya lapisan serosa
mengakibatkan penyebaran sel-sel tumor lebih cepat (bila ada kanker esofagus) dan
kemungkinan adanya kebocoran setelah dilakukannya operasi lebih besar (Bailey,
2006; Ballenger, 1994).
c . Fisiologi
Peranan esofagus adalah menghantarkan makanan dan minuman dari farings ke
lambung. Pada keadaan istirahat diantara dua proses menelan esofagus tertutup
kedua ujungnya oleh sfingter esofagus atas dan bawah. Sfingter esofagus bawah
berguna untuk mencegah refluks asam lambung ke esofagus sedangkan bagian atas
berguna untuk mencegah refluks asam lambung ke farings dan larings (Gray and
Hawthorne, 1992).
10
3 . Larings
a . Anatomi
Larings merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas, terletak
antara trakea dan pangkal lidah. Bentangan tegak larings adalah dari vertebra
servikal IV-VI (Snow and Ballenger, 2003).
Larings bagian atas lebih luas dari bagian bawah dan merupakan ruangan
berbentuk segitiga terbalik, dengan basis dibagian atas dan puncak segitiga dibawah.
Pembagian larings berdasarkan kepentingan klinik yang berkaitan dengan suatu
kelainan yang timbul yaitu : 1) Supraglotis adalah daerah vestibulum larings, yang
meliputi epiglottis, plika ariepiglotis, aritenoid, dan plika ventrikularis, 2) Glotis
adalah daerah larings setinggi plika vokalis, meliputi plika, rima glottis, komisura
anterior dan posterior, 3) Subglotis adalah daerah di bawah plika vokalis sampai tepi
bawah kartilago krikoid (Bailey et al., 2006).
Gambar 3. Anatomi larings potongan sagital (Bailey et al., 2006).
Ruang larings membentang dari pintu masuk yang disebut aditus larings sampai
tepi bawah kartilago krikoid. Oleh rima glottis ruang larings dibagi dua, bagian atas
11
disebut vestibulum larings atau ruang supraglotis dan bagian bawah disebut ruang
infraglotis (subglotis) (Bailey et al., 2006).
Pintu masuk larings kurang lebih berbentuk segitiga, dengan basis di depan
bawah dan puncak di belakang atas. Kedudukan pintu ini miring kearah belakang
bawah. Batas-batas pintu ini : 1) Batas depan epiglottis, 2) Batas belakang puncak
kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, dan takik interaritenoid, 3) Batas samping
plika ariepiglotika dengan tonjolan yang dibentuk oleh ujung atas kartilago
kuneiformis, yang disebut tuberkulum kuneiformis (Bailey et al., 2006).
Gambar 4. Larings (Bailey et al., 2006).
Kerangka yang menyokong larings terdiri dari satu tulang yaitu os hyoid dan
sembilan kartilago, dimana tiga kartilago berpasangan dan tiga lagi tunggal.
Kartilago yang tunggal adalah tiroid, krikoid, dan epiglottis, sedangkan yang
berpasangan adalah aritenoid, kornikulata (Santorini), dan kuneiform (Wrisberg)
(Bailey et al., 2006).
Larings mendapatkan suplai darah yang berasal dari a.laringeal superior cabang
dari a.tiroid superior, dan a.laringeal inferior yang merupakan cabang a. tiroid
12
inferior (Bailey et al., 2006). Setiap hemilarings menerima persarafan dari cabang-
cabang ipsilateral n.vagus, n.laryngeal superior, n.laringeal rekuren kanan,
n.laringeal rekuren kiri (Bailey et al., 2006).
b . Histologi
Larings dilapisi mukosa yang merupakan lanjutan mukosa mulut dan farings di
bagian atas, dan mukosa ini terus berlanjut ke bawah sebagai mukosa trakea dan
bronkus. Sebagian mempunyai epitel gepeng berlapis dan sebagian lagi adalah
kolumner bersilia. Kelenjar mukosa terdapat pada hampir disetiap tempat, tetapi
paling banyak di epiglotis, plika ariepglotika, daerah di depan kartilago aritenoid dan
sakulus larings. Di tepi bebas plika vokalis tidak dijumpai kelenjar sama sekali
(Snow and Ballenger, 2003).
c . Fisiologi
Larings adalah organ penting yang bertanggung jawab untuk fungsi vital. Fungsi
larings itu antara lain: menjaga tetap terbukanya saluran nafas, bersuara, proteksi
paru dari paparan gas yang berbahaya dan tidak sesuai suhunya, mencegah paru
terhindar dari aspirasi bahan solid maupun cairan, membantu saat mengejan dengan
cara menutup glottis selama manuver valsava (Bailey, 2006).
4 . Farings
a. Anatomi
Farings adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
besar bagian atas dan sempit bagian bawah, yang merupakan daerah persilangan dari
13
bagian atas saluran pernafasan dan saluran pencernaan yang masing-masing
melanjutkan diri menjadi larings (tenggorok) dan esofagus (Soepardi and
Soemarjono, 2005), menghubungkan nasal, oral dan larings (Dhillon, 2004).
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi
vertebra servikal keenam. Ke bagian atas, farings berhubungan dengan dengan
rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofarings, sedangkan dengan larings berhubungan melalui aditus laringis dan
ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior pada orang
dewasa kurang lebih 14 cm dimana bagian ini merupakan bagian dinding farings
terpanjang. Dinding farings dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Unsur–unsur farings meliputi
mukosa, palut lendir, dan otot (Soepardi and Soemarjono, 2005; Dhillon, 2004).
Farings terdiri dari tiga bagian yang yaitu nasofarings, orofarings, dan
hipofarings (laringofarings) (Soepardi and Soemarjono, 2005). Nasofarings
membuka kearah depan hidung melalui nares posterior. Superior adenoid terletak
pada mukosa atap nasofarings. Dibagian lateral terdapat muara tuba auditiva, bagian
kartilaginosa terdapat lekukan yang disebut Fossa Rosenmuller. Kedua struktur ini
berada da atas batas bebas otot konstriktor farings superior. Otot tensor velli palatini
dipersarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic. Orofarings ke arah depan
berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam kapsulnya terletak pada
mukosa dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsila palatina, arkus farings
14
anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus farings posterior
disusun oleh otot palatofaringseus. Otot-otot ini membantu menutupnya orofarings
bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringseus yang ekstensif yang
berasal dari n.vagus, kecuali m.stilofaringseus dipersarafi langsung dari
n.glosfaringeus (N. IX) (Adam, 1997).
Farings mendapat aliran darah yang utama berasal dari a.karotis eksterna
(cabang farings asendens dan cabang fasial ) serta dari cabang a.maksilaris interna
yakni cabang palatina superior (Dhillon, 2004; Gray, 1992; Lee, 2003).
Persarafan farings membentuk pleksus faringeus yang terdiri dari: n.glosofaringeus,
n.vagus, cabang maksilaris n.trigeminus (Dhillon, 2004).
b. Histologi
Nasofarings diliputi mukosa epitel kolumnar berlapis dan bersilia yang epitelnya
mengandung sel goblet menghasilkan mukus yang mengandung enzim Lysozym.
Orofarings dan hipofarings (laringfarings) dilapisi oleh epitel pipih berlapis (
Dhillon, 2004; Soepardi and Soemarjono, 2005).
c. Fisiologi
Fungsi yang utama farings adalah untuk respirasi, menelan, resonansi suara dan
artikulasi. Fungsi menelan terdiri tiga fase dalam proses menelan: fase oral, fase
faringeal, dan fase esofageal. Fase oral bolus makanan dari mulut menuju farings
merupakan gerakan disengaja (voluntary), fase faringeal yaitu pada waktu transpor
bolus makanan melalui farings dan tidak disengaja (involutary), fase esofagal
15
merupakan gerakan tidak disengaja dimana bolus makanan bergerak secara
peristaltik dari esofagus menuju lambung (Bailey, 2005; Soepardi and Soemarjono,
2005; Thomson, 2006).
C . Epidemiologi
Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa prevalensi LPR pada pasien dengan
diagnosis GERD adalah berkisar antara 20% sampai 50% (Lai et al., 2008). Populasi
dewasa di Amerika Serikat yang menderita LPR sekitar 20% (Rees et al., 2008),
sementara populasi di Inggris 25-40% (Karkos et al., 2005). Prevalensi LPR tinggi
pada bayi (20-40%) dibanding anak dan dewasa (7-20%) (Stavroulaki, 2006). Data
suatu penelitian didapatkan data 50 juta orang Amerika dan sebanyak 50% dari
pasien dengan keluhan larings menunjukkan refluks sebagai penyebab atau sebagai
faktor yang memperburuk (Gupta et al., 2006).
Pada periode tahun 1990-1993 rerata kunjungan tahunan di Amerika Serikat
akibat LPR sekitar 89.000 pasien dan meningkat menjadi 420.000 pasien antara
tahun 1998-2001 (Reichel et al., 2008). Pernah dilaporkan 10% pasien THT dan
lebih dari 50% pasien dengan suara serak memiliki penyakit yang berkaitan dengan
refluks (Ford, 2005). Di United Kingdom 4% dari £500 juta digunakan membeli
proton pump inhibitors (PPIs) setiap tahunnya oleh National Health Service untuk
terapi LPR (Rees et al., 2008).
16
D. Etiologi
Refluks isi lambung merupakan faktor utama penyebab kelainan patologi larings
dan farings (Ford, 2005; Tauber et al., 2002). Koufman (1991) dalam penelitiannya
mendapatkan data GERD sebagai penyebab pada 62% pasien THT dengan keluhan
perubahan suara (Tauber et al., 2002). GERD diketahui sebagai penyebab kelainan
larings berkisar 18%-80% (Tauber et al., 2002).
Kebiasaan makan, diet dan kegemukan merupakan faktor yang berperan pada
terjadinya LPR. Makan hanya sekali atau dua kali dalam sehari porsi besar dapat
menyebabkan gangguan ini, untuk menghindarinya sebaiknya makan tiga atau empat
kali dalam sehari porsi kecil serta menghindari makanan yang pedas, makanan
berlemak, alkohol, minuman yang mengandung soda, kopi dan teh. Mints, lozenges
dan obat kumur sepertinya melegakan tenggorokan tetapi sebenarnya mengiritasi dan
menstimulasi produksi asam lambung (Diamond, 2005). Masalah motilitas esofagus
pada pasien dengan manifestasi ektraesofagus atau manifestasi atipik GER adalah
signifikan sebagai faktor patologis dijumpai pada beberapa penderita LPR (Knight et
al., 2000).
E . Patogenesis
Asam secara normal diproduksi di lambung, di esofagus terdapat LES dan UES
yang berfungsi untuk mencegah refluks asam lambung ke esofagus dan tenggorok,
apabila jaringan otot ini tidak berfungsi dengan baik maka dapat terjadi aliran balik
asam lambung, pepsin, asam empedu ke esofagus, farings dan larings (Diamond,
17
2006; Jailwala, 2007). Struktur lain yang terlibat dalam pencegahan refluks asam
lambung adalah segmen esofagus intra abdomen, sudut gastroesofagus, krura
diafragmatika dan ligamentum phrenoesophageal, mobilitas lambung juga berperan
pada proses ini (Fauquier, 2007; Koufman, 2002). Pasien GERD mengalami
dismotilitas esofagus dan disfungsi sfingter esofagus bawah sedangkan pasien LPR
mengalami disfungsi sfingter esofagus atas tetapi motilitas esofagusnya baik. Pasien
GERD mengalami refluks pada saat mereka berbaring, sedangkan LPR terjadi pada
siang hari dalam posisi berdiri (Koufman, 2002).
Gambar 5. Patogenesis LPRKeterangan gambar 5: LPR sebagai akibat aliran balik cairan lambung kearah esofagus bagian bawah lalu menuju esophagus bagian atas melewati upper esophageal sphincter (UES) lalu menuju tenggorok dan laringofarings . Cairan lambung mengiritasi permukaan esofagus, hidung dan tenggorok (naso-orofarings) dan area kotak suara. Hal ini akan menyebabkan pembengkakan di daerah yang terpapar. Pita suara khususnya bagian belakang dapat mengalami iritasi dan mengalami pembengkakan ketika terpapar cairan lambung yang mengalir balik ke larings (Jailwala, 2007). Ada dua mekanisme untuk menerangkan korelasi antara refluks dan penyakit
larings. Mekanisme pertama mengungkapkan mekanisme refleks yang dimediasi
secara vagal dari bagian distal esofagus yang sensitif terhadap asam lambung
memprovokasi keluhan larings dan terjadinya lesi epitel, mekanisme kedua
menggambarkan adanya perlukaan secara langsung di larings yang didukung
percobaan pada binatang yang menunjukkan hanya beberapa menit saja paparan
18
asam lambung dapat menyebabkan kerusakan struktur larings. Deteksi GER pada
LPR sangat penting (Smith et al., 2000; Stavroulaki, 2006). Disamping dua
mekanisme diatas ada mekanisme pengosongan lambung (Ahuja, 2004; Diamond,
2006) dan mekanisme pembersihan esofagus yang berpengaruh terjadinya refluks
(Postma, 2001).
Refluks di distal esofagus dapat dianggap fisiologis karena esofagus dapat
terhindar dari efek korosif cairan lambung disebabkan terdapatnya mekanisme
pertahanan termasuk diantaranya pergerakan peristaltik esofagus dengan bersihan
asam, tegangan lower esophageal sphincter (LES), produksi bikarbonat, dan
resistensi mukosa esofagus (lapisan epitel skuamous esofagus cukup kuat dari
paparan asam) (Fauquier, 2007; Koufman, 2002).
Ditenggorok tidak ada lini proteksi, oleh karena itu bahkan satu episode LPR saja
dapat menyebabkan keluhan pada larings. Jika seseorang menderita LPR dan hanya
terjadi satu atau dua episode refluks yang mengenai tenggorok, episode ini tidak
menyebabkan heartburn oleh karena adanya lini proteksi di esofagus (Fauquier,
2007). Tidak seperti epitel esofagus yang mencegah perlukaan sel pada pH kurang
dari 4, perlukaan sel akibat pepsin pada epitel larings dapat terjadi pada pH 5
(Koufman, 2002). Larings dan farings lebih sensitif terhadap kerusakan oleh karena
pepsin dibanding esofagus karena esofagus memiliki beberapa mekanisme proteksi
yang mencegah terjadinya kerusakan mukosa (Diamond, 2006; Fauquier, 2007;
Jailwala, 2007; Karkos et al., 2005), apabila terjadi episode refluks yang berlebihan
19
dapat merusak lini pertahanan esofagus sehingga bisa menyebabkan terjadinya gejala
seperti rasa terbakar didada (Fauquier, 2007), karena perbedaan itulah algoritme
pengobatan untuk LPR dan GERD berbeda (Koufman, 2002). Dapat dikatakan
bahwa larings 100 kali lebih sensitif terhadap kerusakan oleh karena asam pepsin
dibandingkan esofagus. Telah dibuktikan dalam suatu penelitian bahwa tiga kali
episode refluks per minggu dapat menyebabkan terjadinya kerusakan signifikan pada
larings (Koufman, 2002).
F . D iagnosis
Alat diagnostik baku emas untuk diagnosis laryngopharyngeal reflux (LPR)
sampai saat ini belum ada (Muderris et al., 2009). LPR berbeda dengan GERD
berkaitan dengan gejala, pola-pola, manifestasi dan komplikasi (Ylitalo, 2004), serta
berbeda untuk manajemennya (Karkos et al., 2005). Refluks tersembunyi
memberikan kontribusi kesulitan untuk membuat diagnosis yang tepat adanya LPR.
Manifestasi ekstra esofagus GERD memberikan tantangan untuk membuat penelitian
yang lebih baik untuk meningkatkan ketepatan diagnosis LPR (Lai et al., 2008).
Diagnosis LPR ditegakkan berdasarkan pendekatan multidisiplin. Penegakan
diagnosis LPR berdasar kombinasi gejala (anamnesis) dan tanda (pemeriksaan fisik)
serta pemeriksaan penunjang untuk meningkatkan ketepatan diagnosisnya (Beaver et
al., 2003; Tutuian et al., 2004).
20
1. Anamnesis
Banyak yang tidak mengetahui bahwa refluks asam lambung dapat menyebabkan
permasalahan pada larings maupun farings, pada beberapa kasus hal seperti ini dapat
terjadi dan dialami oleh penderita yang tidak pernah mengalami keluhan nyeri ulu
hati sebelumnya dan ini disebut sebagai silent reflux, atypical reflux atau
laryngopharyngealreflux (Diamond, 2005; Koufman, 2002), akibatnya pasien
dengan LPR biasanya datang dengan gejala disfonia, batuk, dan berdehem, tetapi
sering tidak melaporkan adanya keluhan mengalami rasa nyeri di ulu hati (Gupta et
al., 2006). Pasien dengan LPR dominan refluksnya terjadi saat berdiri/sianghari dan
memiliki motilitas esofagus normal dan kebanyakan tidak mempunyai gejala
esofagitis (Koufman, 2002).
Tidak ada gejala patognomonik untuk diagnosis LPR. Manifestasi laringofarings
pada LPR adalah sebagai berikut: a) Manifestasi larings: 1) Serak kronik intermiten
(Dagli et al., 2004; Galli et al., 2005; Joniau et al., 2007; Muderris et al., 2009;
Snow, 2003). Gejala yang paling sering dikeluhkan pada LPR adalah serak (71%)
(Koufman, 2002), 50% (Lai et al., 2008), 92% (Cohen, 2002). Keluhan serak adalah
hal yang sering dijumpai di praktek THT, hal ini terjadi pada berbagai penyakit
seperti keganasan larings, paralisis pita suara, polip pita suara, vocal nodul, laryngitis
dan kelainan fungsional pita suara. Suara serak tidak spesifik untuk diagnosis LPR.
Tetapi kita harus menyingkirkan diagnosis penyakit lain untuk memastikan bahwa
gejala serak itu disebabkan oleh karena LPR (Lai et al., 2008), 2) Kelelahan suara
21
(Galli et al., 2005; Muderris et al., 2009; Snow, 2003; Yorulmaz et al., 2003), 3)
Stridor croup (Muderris et al., 2009; Snow, 2003), 4) Sensasi tercekik karena
laringospasme (Snow, 2003). Iritasi langsung pada saluran nafas atas dapat
menyebabkan spasme larings yang menimbulkan gejala batuk kronik dan rasa
tercekik (Koufman, 2002), 5) Disfonia intermiten (Belafsky et al., 2008; Koufman,
2002). Dalam suatu penelitian serial kasus jumlah sampel banyak didapatkan data
71% mengeluhkan adanya disfonia (Karkos et al., 2005; Koufman, 2002), 6)
Produksi mukus yang berlebihan (Belafsky et al., 2008; Snow, 2003, Ylitato et al.,
2001). b) Manifestasi farings: 1) Globus pharyngeus (Belafsky et al., 2008; Dagli et
al., 2004; Galli et al., 2005; Joniau et al., 2007; Rees et al., 2008; Snow, 2003;
Yorulmaz et al., 2003). Pada beberapa penelitian serial kasus pasien LPR mengeluh
adanya globus pharyngeus adalah 47% (Koufman, 2002), 40% (Koufman, 2002),
47% (Karkos et al., 2005), 2) Nyeri tenggorok (Galli et al., 2005; Joniau et al., 2007;
Koufman, 2002, Snow, 2003; Yorulmaz et al., 2003), 3) Kesulitan menelan (Galli et
al., 2005; Fauquier, 2007; Joniau et al., 2007; Muderris et al., 2009; Snow, 2003),
Pada suatu penelitian serial kasus didapatkan suata data 35% pasien LPR
mengeluhkan adanya kesulitan menelan (Koufman, 2002; Karkos et al., 2005), 4)
Batuk kronik (Belafsky et al., 2008; Galli et al., 2005; Joniau et al., 2007; Muderris
et al., 2009; Rees et al., 2008; Snow, 2003). Pada suatu penelitian serial kasus
didapatkan suata data 51% pasien LPR mempunyai keluhan batuk kronik (Karkos et
al., 2005; Koufman, 2002), 5) Postnasal drip (Belafsky et al., 2008; Joniau et al.,
22
2007; Muderris et al., 2009; Snow, 2003), 6) Berdehem (Fauquier, 2007; Galli et al.,
2005; Joniau et al., 2007; Muderris et al., 2009; Snow, 2003). Pada suatu penelitian
serial kasus didapatkan suata data pasien 42% LPR mempunyai keluhan berdehem
(Koufman, 2002). Epitel traktus respiratorius merupakan epitel yang sensitif
terhadap asam lambung. Disfungsi silia dapat menyebabkan mukus statis, hal ini
dapat menyebabkan sensasi yang memprovokasi terjadinya berdehem (Koufman,
2002), 7) Rasa tidak enak atau pahit di mulut/tenggorok khususnya terjadi dipagi hari
(Fauquier, 2007), 8) Mulut berbau (Koufman, 2002), c) Manifestasi hidung: Sinusitis
(Koufman, 2002). Pada kasus rinosinusitis, asam lambung dapat menyebabkan
edema sinonasal dan sumbatan kompleks osteomeatal. Penelitian yang dilakukan
oleh Bothwell et al., terapi progresif GER pada anak dengan rinosinusitis kronik
didapatkan hasil tidak dilakukannya operasi sinus pada kebanyakan pasien
(Stavroulaki, 2006; Suskin et al., 2001), d) Manifestasi telinga: nyeri telinga atau
infeksi telinga yang menetap (Fauquier, 2007). Korelasi antara LPR dan kelainan
tubotimpanik kronik belum sepenuhnya bisa dijelaskan. Kemungkinan mekanisme
yang terjadi adalah inflamasi nasofarings yang menyumbat tuba auditiva seperti
halnya reflex vagal dari bagian bawah esofagus menuju saraf glosofaringeus.
Korelasi antara LPR dan otitis media juga masih menjadi perdebatan dan masih
dalam proses penelitian (Stavroulaki, 2006), e) Manifestasi saluran cerna: 1)
Heartburn ( Koufman, 2002). Heartburn di gambarkan rasa terbakar dibelakang
sternum yang menyebar ke tenggorok dan mulut. Hal ini terjadi paling umum karena
23
setelah makan tiduran posisi mendatar, bending over, atau saat heavy lifting (Ylitalo,
2004). Penderita LPR biasanya tidak mengeluhkan heartburn dan regurgitasi
(Koufman, 2002), walaupun pada beberapa penelitian adanya sedikit insidensi
adanya gejala heartburn pada pasien LPR ( Koufman, 2002), 2) Regurgitasi, mual,
nyeri abdomen (Koufman, 2002).
Gejala-gejala LPR digambarkan oleh North Carolina group of laryngologists
yang mengembangkan reflux symptom index (RSI) berupa instrumen yang terdiri
dari 9 gejala untuk menilai skor keparahan gejala LPR (Tabel 1) (Karkos et al.,
2005; Muderris et al., 2009). Nilai lebih dari 13 dianggap tidak normal (Tamin,
2009).
Tabel 1. Reflux Symptom Index (RSI)
Reflux Symptom Index (RSI) RSI > 10 indikasi signifikan terjadinya laryngopharyngeal reflux (LPR)
Dalam beberapa bulan terakhir apakah masalah-masalah berikut mempengaruhi anda
0 = Tidak ada masalah5 = Masalah berat
1. Suara serak atau masalah pada suara 0 1 2 3 4 5
2. Mengeluarkan lender dari tenggorok 0 1 2 3 4 5
3. Mukosa tenggorok berlebihan atau post nasaldrip 0 1 2 3 4 5
4. Kesulitan menelan makanan, cairan atau pil 0 1 2 3 4 5
5. Batuk setelah posisi tiduran 0 1 2 3 4 5
6. Kesulitan bernafas atau tercekik 0 1 2 3 4 5
7. Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
8. Merasa ada yang mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5
9. Heartburn, nyeri dada, keluhan saluran cerna, atau merasa ada asam lambung di tenggorok
0 1 2 3 4 5
TOTAL =
24
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laringoskopi
Tanda-tanda kelainan larings bukanlah merupakan hal patognomonik untuk
diagnosis LPR, sebab berbagai macam tanda-tanda larings itu dapat dijumpai pada
relawan yang sehat (Tutuian et al., 2004). Beratnya temuan kelainan larings tidak
selalu bisa dikorelasikan dengan beratnya gejala LPR (Muderris et al., 2009).
Carr (2000) dalam penelitiannya mendapatkan data bahwa pemeriksaan
laringoskopi mempunyai nilai prediksi tinggi 100%. McMurray (2001) dalam
penelitiannya mendapatkan nilai prediksi 72% dan 32% persen diantaranya
terdiagnosis tanpa adanya keluhan (Tamin, 2009).
Alat diagnostik yang lebih baik dan juga tersedianya media penyimpan hasil
pemeriksaan dapat meningkatkan sensitifitas pemeriksaan fisik dengan
menggunakan alat ini (Beaver et al., 2003). Sampai saat ini belum ada alat yang
diakui secara luas digunakan untuk dokumentasi temuan fisik dan keparahan LPR
(Belafsky et al., 2001). Penilaian klinis LPR dengan laringoskopi adalah subyektif
dan hasilnya juga bervariasi diantara pemeriksa. Variasi inilah yang membuat
25
diagnosis yang tepat pada pemeriksaan laringoskopi pada kasus LPR menjadi sangat
subyektif (Branski et al., 2002). Peneliti harus mencoba alat bantu diagnostik lain
untuk membantu meningkatkan ketepatan diagnosis refluks (Rosbe et al., 2003).
Sekarang telah tersedia alat pencitraan larings digital kecepatan tinggi untuk
mengatasi kekurangan pada pemeriksaan videostroboskopi, alat ini menggunakan
endoskop kaku untuk merekam gambar larings dengan rerata 2000 gambar perdetik
tanpa tergantung frekuensi getaran pita suara. Alat pencitraan ini dapat
memvisualisasikan getaran yang terlalu cepat untuk ditangkap videostroboskopi
(Kendall. 2009).
Pemeriksaan larings dapat mengungkapkan berbagai temuan, seperti adanya
gambaran edema aritenoid, edema posterior glottis, hipertropi tonsila lingualis telah
menunjukkan adanya paparan asam. Meskipun demikian hanya sedikit data yang
mengungkapkan adanya kaitan temuan laringoskopi dan bronkoskopi dengan hasil
pada pH probe. Biopsi esofagus diperbolehkan tetapi tidak dapat juga dikaitkan
dengan hasil pH probe dimana terdapat paparan farings oleh asam atau terjadi
adanya LPR (Rosbe et al., 2003). Laringitis posterior menunjukkan kartilago
aritenoid merah dengan hipertrofi mukosa interaritenoid umumnya terjadi pada LPR.
Edema subglotis sering terlihat. Larings dapat menunjukkan edema yang difus,
edema Reinke's, atau mukosa menebal tanpa eritema signifikan, yang dapat
menyebabkan penipisan ventrikel. Eritema difus dengan granular, mukosa yang
rapuh, dan proses vokal granuloma, dengan atau tanpa edema larings juga terlihat.
26
Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli THT, perubahan-perubahan larings
baik terbatas maupun difus adalah sebagai berikut:
1) Hipertrofi larings posterior (Belafsky et al., 2001). Temuan paling sering
pemeriksaan laringoskopi pada pasien dengan LPR adalah hipertropi larings
posterior sekitar 80% (Belafsky et al., 2001).
Gambar 6. Hipertropi komisura posterior
Keterangan gambar Hipertropi komisura posterior: A. Komisura posterior normal kartilago kuneiformis masih dapat dilihat, B. Hipertropi komisura posterior ringan terlihat adanya konfigurasi seperti kumis pada komisura posterior, juga terlihat adanya edema plika vokalis sedang, C. Hipertropi komisura posterior sedang, terlihat garis melintang pada bagian posterior larings, D. Hipertropi komisura posterior (Belafsky et al., 2002).
2) Adanya mukus disekeliling larings (Fauquier, 2007; Galli et al., 2005).
Disfungsi silia dapat menyebabkan mukus statis (Koufman, 2002), 3) Aritenoid
berwarna merah karena iritasi (Fauquier, 2007; Galli et al., 2005), 4) Hiperemi
dan penebalan area interaritenoid (Galli et al., 2005; Lai et al., 2008; Snow,
2003), 5) Merah dan iritasi pada larings (Fauquier, 2007), 6) Ulkus kecil larings
(Fauquier, 2007), 7) Edema pita suara (Fauquier, 2007; Galli et al., 2005). Secara
klinis kita telah mencatat adanya edema kecil pada pita suara asli menyebabkan
efek yang dramatis pada suara. Edema pita suara pada kasus LPR berkisar antara
27
ringan sampai stadium akhir yaitu adanya degenerasi polipoid. Karakteristik
grade 1 ditandai adanya edema melingkar pada tepian bebas seperti gambaran
kumis, grade 2 terdapat adanya pseudosulkus, grade 3 terjadi perubahan sessile,
bulging larings posterior ke saluran nafas, dan grade 4 adanya degenerasi polipoid
(Reinke’s edema) yang menyebabkan obstruksi laring yang signifikan (Belafsky et
al., 2002).
Gambar 7. Edema pita suaraKeterangan gambar. Klasifikasi edema pada pita suara adalah sebagai berikut: A. grade 1 edema vocal fold, B. Grade 2 Pseudosulkus vokalis, C. Pseudosulkus vokalis terlihat pada sisi kanan dan beberapa perubahan sessile pada sisi kiri karakteristik grade 3), D. Degenerasi polipoid. Ke empat gambar juga memperlihatkan adanya obliterasi parsial atau komplit dan berbagai derajat hipertropi komisura posterior (Belafsky et al., 2002).
8) Granuloma di larings (Fauquier, 2007; Snow, 2003). Meskipun granuloma dari
proses vokal dapat disebabkan oleh penyalahgunaan suara dan intubasi endotrakeal,
data yang tersedia menunjukkan bahwa LPR memainkan peran dalam banyak kasus
terjadinya granuloma (Gupta et al., 2006), 9) Eritema atau edema di komisura
posterior (Joniau et al., 2007; Lai et al., 2008; Rees et al., 2008; Snow, 2003).
Eritema atau hiperemia dijumpai sedikitya setengah dari semua kasus LPR,
28
walaupun kelainan ini bukan patognomonik untuk diagnosis LPR. Meskipun telah
dilakukan usaha untuk menilai kuantitas eritema, evaluasi kemerahan pada
pemeriksaan endoskopi seringkali sulit dan tergantung sumber cahaya, tipe
endoskop, monitor video yang digunakan. Karena keterbatasan inilah kita membuat
2 klasifikasi yaitu terlokalisir bila mengenai aritenoid saja dan difus bila sudah
mengenai seluruh larings (Belafsky et al., 2002), 10) Obliterasi ventrikel (Snow,
2003). Ventrikel larings adalah ruangan diantara pita suara asli dan palsu. Bila
keduanya membengkak, ruangan ini akan mengecil atau terjadi obliterasi parsial,
apabila terjadi obliterasi komplit maka pita suara asli dan palsu akan bersentuhan
sehingga tidak ada ruangan ventrikel. Obliterasi ventrikel parsial nilai 2 pada RFS
sedangkan obliterasi komplit nilai 4. Pengobatan yang efektif dengan anti refluks,
obliterasi akan berkurang secara signifikan, plika ventrikuler akan menjadi tajam dan
anguler. Obliterasi ventrikel sering dijumpai pada pemeriksaan larings pasien LPR
yaitu sekitar 80 % (Belafsky et al., 2001; Belafsky et al., 2002).
Gambar 8. Obliterasi ventrikelKeterangan gambar. A. Larings normal ventrikel terbuka dan pita ventrikulernya tajam. B. Larings abnormal dijumpai adanya pembengkakan pita suara asli dan palsu menyebabkan terjadinya obliterasi ventrikel (Belafsky et al., 2002).
29
11) Pseudosulkus vokalis ((Belafsky et al., 2001; Snow, 2003; Tamin, 2009).
Salah satu kelainan yang sering dijumpai pada LPR adalah adanya pseudosulkus
vokalis. Kaufman (1995) pertama kali yang mendiskripsikan kelainan ini. Istilah
pseudosulkus merujuk pada edema subglotis yang meluas dari komisura anterior
sampai larings posterior yang terlihat adanya lekukan atau sulkus. Pseudosulkus
mudah dibedakan dengan sulkus asli (adanya perlekatan epitel pita suara dengan
ligeman dibawah pita suara) yang disebabkan adanya jaringan parut. Bila sulkus asli
berhenti pada prosesus vokalis dan dijumpai pada striking zone, pseudosulkus
meluas ke semua arah belakang larings dan berlokasi dibawah striking zone. Laporan
klinis terkini menunjukkan nilai prediksi positif pseudosulkus pada kasus LPR
adalah 90%, sensitifitasnya 70%, dan spesifitasnya 77% (Belafsky et al., 2002).
Pseudosulkus vokalis dibuktikan oleh Hickson et al. (2001) merupakan prediktor
yang akurat pada LPR dengan nilai prediksi positif sebesar 90%. Tidak seperti sulkus
sebenarnya yang berlokasi dipita suara asli, pseudosulkus terletak diantara pita suara
asli dan pembengkakan subglotis akibat refluks (Tamin, 2009).
Gambar 9. PseudosulkusKeterangan gambar: Perbandingan pseudosulkus dengan sulkus vokalis asli A. Pseudosulkus vokalis bilateral (panah). Edema subglotis meluas
30
dari prosesus vokalis sampai larings posterior. B. Sulkus vokalis asli pada sisi kanan pita suara. Sulkus terjadi pada bagian tengah striking zone dan berhenti pada prosesus vokalis kartilago aritenoid (Belafsky et al., 2001).
12) Hipertrofi komisura posterior (Branski et al., 2002; Snow, 2003). Tingkatan
ringan hipertropi epitel mukosa komisura posterior bila terlihat adanya gambaran
seperti kumis, grade sedang bila pembengkakan komisura posterior menimbulkan
adanya jalur langsung melewati bagian belakang larings, berat bila ada bulging
larings posterior ke saluran nafas, dan obstruksi bila dijumpai adanya oblitersi yang
signifikan pada saluran nafas (Belafsky et al., 2002).
Gambar 10. Hipertrofi komisura posteriorKeterangan gambar: A. gambaran normal komisura posterior, B. Ringan (grade +1): Gambaran seperti kumis, tetapi bagian posterior larings konfigurasinya cekung, C. Sedang (grade +2): hipertropi komisura posterior, epitel membuat jalur langsung yang menyeberangi bagian belakang larings, D. Berat (>+3) edema atau hipetrofi melewati saluran nafas (Belafsky et al., 2002).
13. Cobblestone (Tauber et al., 2002)
Gambar 11. Cobblestone. Keterangan gambar…… edema dan eritema posterior pita suara (panah putih) dan area aritenoid
31
(panah hitam) disertai dengan penampakan cobblestone di area interarytenoid (x) (Tauber et al., 2002).
14) Penumpulan karina (Snow, 2003), 15) Mukosa larings rapuh (Snow, 2003), 16)
Leukoplakia (Muderris et al., 2009), 17) Hipertropi mukosa (Muderris et al., 2009),
xvii) Penyumbatan kelenjar sinus piriformis (Galli et al., 2005), 18) Stenosis
subglotis (Snow, 2003). Mekanisme yang melibatkan trauma langsung oleh asam
lambung pada saluran nafas menyebabkan inflamasi bahkan terjadi stenosis subglotis
(Suskin et al., 2001),
Reflux Finding Score (RFS) adalah suatu skala berdasarkan 8 gambaran yang
menunjukkan skala keparahan klinik berdasarkan temuan selama pemeriksaan
laringoskopi serat optik, nilai berkisar antara 0 (normal) sampai paling berat nilai 26.
RFS dikembangkan untuk standarisasi temuan larings pada kasus LPR sehingga
klinisi dapat lebih baik dalam melakukan diagnosis, evaluasi perkembangan
kelainannya, dan penilaian efikasi pasien dengan LPR (Belafsky et al., 2001). RFS
secara akurat dapat memprediksi efikasi terapi pada pasien dengan dokumentasi pH
pada LPR, dimana didapatkan data 95% pada pasien LPR dengan nilai RFS lebih
dari 7 (Belafsky et al., 2001). RFS dapat mendokumentasikan efikasi terapi pada
pasien dengan LPR. Reproduksibilitas RFS sangat baik apabila berkaitan dengan
intra dan antar pemeriksa (Belafsky et al., 2001). Meskipun demikian sistem RFS
banyak dikritik karena adanya variabilitas yang tinggi antar atau intra pemeriksa dan
memiliki spesifitas yang rendah untuk memastikan adanya refluks laringitis. Penting
32
untuk menyingkirkan adanya penyebab lain yang potensial yang dapat menyebabkan
iritasi larings (Lai et al., 2008).
Tabel 2. Refluks Finding Score (Belafsky et al., 2001).
b . Laringeal Videostroboskopi (LVS)
Sejak tahun 1960, videostroboskopi telah digunakan ssebagai alat utama untuk
mengevaluasi getaran pita suara dan alat ini menjadi standar pencitraan larings.
Reflux Finding Score Variabel SkorEdema subglottis Ada 2
Tidak ada 0Obliterasi ventrikuler Parsial 2
Komplet 4Eritema Aritenoid saja 2
Difus 4Edema vocal cord Ringan 1
Sedang 2Berat 3Polipoid 4
Edema larings difus Ringan 1Sedang 2Berat 3Obstruksi 4
Hipertropi komisura posterior Ringan 1Sedang 2Berat 3Obstruksi 4
Granuloma Ada 2Tidak ada 0
Mukosa endolarings menebal Ada 2Tidak 0
Skor total = 0 - 26
33
Meskipun demikian faktor utama kekurangan alat ini adalah gambaran gerakan
lambat merupakan gabungan beberapa siklus getaran dibanding dengan gambaran
real time. Sebagai tambahan kegunaan klinis videostroboskopi terbatas karena:
menggambarkan vibrasi pita suara periodic dan fonasi stabil yang mengaktivasi
cahaya, kondisi yang tidak selalu ada pada kelainan suara. Pasien dengan vibrasi pita
suara aperiodik tidak dapat dinilai secara adekuat dengan videostroboskopi sebab
strobe hanya dapat mengiluminasi 1 frekuensi vibrasi pada satu saat dan tidak dapat
melacak getaran aperiodik. Pergerakan aperiodik karena lesi pada pita suara atau
fungsi pita suara yang asimetris secara klinis karakteristiknya adalah suara parau
tidak dapat divisualisasikan dengan stroboskopi (Kendall. 2009).
Laryngeal videostroboscopy (LVS) digunakan untuk mendeteksi secara obyektif
adanya kelainan larings, kriteria kelainan larings yang digunakan adalah The
Laryngopharyngeal Reflux Disease Index (LRDI). berdasar LVS adalah gambaran
abduksi larings yang memperlihatkan seluruh area larings. Alat ini telah digunakan
untuk evaluasi respon perbaikan kelainan larings setelah dilakukan terapi proton
pump inhibitor (PPIs) selama 6 minggu (Beaver et al., 2003).
Laryngovideostroboscopy (LVS) sekarang direkomendasikan untuk evaluasi
dinamis LPR. LVS digital meningkatkan resolusi dan gambar, khususnya berguna
untuk mendeteksi inflamasi kronik yang disebabkan oleh LPR. Meskipun demikian
belum ada standar yang disepakati untuk diagnosis LPR menggunakan LVS. Clinical
grading scale didesain untuk mendeteksi adanya LPR sekaligus evaluasi
34
perkembangan LPR (Beaver et al., 2003). Pemeriksa dapat mengevaluasi penyakit
akibat refluks dan juga dapat mendeteksi perkembangan LPR setelah terapi 6 minggu
pascaterapi PPIs dengan menggunakan pemeriksaan LVS yang gambarnya dapat
disimpan secara digital (Beaver et al., 2003).
Realibilitas penilaian LVS antar pemeriksa untuk diagnosis adanya LPR adalah
cukup baik. Tetapi belum ada kesepakatan yang baik diantara pemeriksa apakah
tingkatannya sedang atau berat dan skor absolut kelainan tiap regio larings
berdasarkan kriteria LRDI. Kesepakatan kriteria LRDI sangat baik apabila
digunakan oleh pemeriksa yang sama untuk evaluasi sebelum dan sesudah terapi.
Videostroboscopy digital sangat sensitif untuk diagnosis dan dokumentasi respon
terapi LPR (Beaver et al., 2003).
c. Monitoring pH esofagus dan farings
Beberapa penelitian telah menganalisis data monitoring pH esofagus untuk
menentukan apakah LPR itu sebagai konsekuensi GERD atau fenomena tersendiri
diluar kejadian GERD. Penelitian yang kami lakukan menunjukkan korelasi antara
gejala dengan tingkat refluks yang terjadi di esofagus, sementara penelitian lain tidak
mengindikasikan adanya korelasi itu (Yorulmaz et al., 2003).
Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang baku emas untuk diagnosis LPR,
ada ahli berpendapat monitoring pH 24-jam farigs dan esofagus adalah standar emas
saat ini untuk diagnosis LPR, namun ada yang berpendapat metode ini merupakan
yang terbaik saat ini dan perlu dicari metode lain untuk baku emas penegakan
35
diagnosis LPR, karena metode monitoring pH 24 jam banyak kekurangan (Gupta et
al., 2006; Joniau et al., 2007; Muderris et al., 2009; Rosbe et al., 2003). Beberapa
masalah yang berkaitan dengan monitoring pH adalah ketidaknyamanan saat
penempatan probe (Branski et al., 2002), penempatan yang tepat sensor
proksimalnya, sensitivitas pH-metri yang pernah dilaporkan hanya 50%-80%, sekitar
12% pasien THT tidak dapat menoleransi tindakan ini, modifikasi diet mungkin
dapat menyebabkan hasil negatif palsu, pH metri mahal dan terdapat keterbatasan
ketersediaannya, refluks ekstra esophagus juga bersifat intermiten (Knight et al.,
2005; Muderris et al., 2009).
Monitoring ph 24 jam memungkinkan pengukuran secara obyektif episode
refluks faringeal, penelitian yang pernah dilaporkan memiliki spesifitas yang tinggi
untuk diagnosis refluks (Galli et al., 2005), namun hasil pemeriksaan pH negatif
tidak mengesampingkan adanya refluks ekstraesofagus (Lai et al., 2008; Muderris et
al., 2009). Sebagai tambahan sebagian kecil refluks farings terjadi pada populasi
normal, sehingga hasil interpretasi monitoring pH masih menjadi kontroversi
(Beaver et al., 2003).
Nilai pH abnormal didefinisikan sebagai persentasi total paparan asam lambung
ke esofagus dimana waktu paparannya 6% atau lebih yang ditentukan dengan probe
esopfgus atau beberapa kejadian refluks yang dideteksi probe farings (Dagli et al.,
2004). pH dianggap abnormal jika episode refluks tunggal dideteksi di hipofarings
36
dan jika terjadi proksimal esophagus, total persentasi paparan pH dibawah 4 sekitar
1% atau lebih (Muderris et al., 2009).
Metode terkini monitoring pH 24 jam adalah desain kateter probe ganda dan tiga
sensor, dimana memudahkan untuk mengidentifikasi episode refluks hipofarings
yang sebenarnya, dengan cara ini dapat digunakan untuk memonitor refluks baik di
esofagus maupun hipofarings pada saat yang bersamaan. Keuntungan penggunaan
tiga sensor utamanya adalah dari segi akurasi penempatan sensor (satu ditempatkan
diatas UES , satu dibawah UES, satu distal esofagus). Penelitian yang pernah kami
lakukan adalah pada pasien yang dicurigai LPR dengan nilai RSI lebih dari 15 atau
RFS lebih dari 3(Muderris et al., 2009).
Penelitian menggunakan kateter dengan tiga sensor, probe ganda dengan
konektor tunggal untuk kotak monitoring pH pada ujungnya. Salah satu lengan probe
memiliki sensor tunggal, sedangkan lengan yang kedua memiliki dua sensor yang
ditempatkan interval 15 cm dengan 5 cm ujungnya blind. Penelitian monitoring pH
terbaru terfokus pada posisi yang tepat sensor farings atau menjelaskan bahwa lokasi
sensor hipofarings tidaklah tepat jika sensor ditempatkan 3 cm atas UES. Kita
menempatkan sensor tepat dibawah UES dan sensor lain 1 cm dibawah UES untuk
membandingkan hasil paparan monitoring pH farings dan esofagus (Muderris et al.,
2009).
1. Alat probe ganda, tiga sensor
37
Gambar 12. Probe ganda dengan 3 sensor, kateter lengan panjang memiliki dua sensor, sedangkan lengan pendek memiliki satu sensor (Muderris et al., 2009).
2. Cara pemeriksaan monitoring pH
Gambar 13. Penempatan probe ganda dan tiga sensor (MMS Orion II) (Muderris et al., 2009). Keterangan gambar kateter dimasukkan lewat hidung dengan bantuan ensoskopi nasal lentur, kateter panjang mempunyai dua sensor, dimana sensor proksimal ditempatkan pas dibawah UES, sementara sensor bagian distal ditempatkan 5 cm diatas LES. Kateter pendek yang memiliki satu sensor ditempatkan 1 cm diatas UES (Muderris et al., 2009).
Pemakaian obat yang membuat relaksasi UES dan menstimulasi atau
menghambat sekresi isi lambung dihentikan satu minggu sebelum tindakan
dilakukan. Pasien diinstruksikan untuk melanjutkan aktivitas sehari-hari seperti
38
biasa dan mngkonsumsi diet seperti biasanya kecuali nakanan asam dan minum
alcohol. Pasien dipertahankan untuk catatan hariannya yang mendokumentasikan
awal dan akhir saat makan, menelan cairan, tidur, saat supine, heartburn,
regurgitasi dan berbagai macam gejala yang dikeluhkan (Muderris et al., 2009).
Probe pH dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 7 dan pH 4 segera
sebelum dan sesudah setiap pemeriksaan. Tidak ada perubahan yang tercatat pada
tanda pH selama pemeriksaan. Setelah dilakukan kalibrasi, lengan sensor ganda
dimasukkan secara intranasal dan diteruskan sampai pH asam lambung tercapai
dengan sensor distal. Probe kemudian perlahan-lahan sampai sensor distal
menunjukkan peningkatan nilai pH (menunjukkan titik perubahan
lambungesofagus, dan kemudian probe ditarik kira-kira 5 cm dan difiksasi
sehingga sensor distal kira-kira 5 cm diatas LES dan sensor proksimal
ditempatkan 20 cm sebelah atas LES, tepat dibawah UES. Kemudian sensor
tunggal dengan posisi 1 cm diatas UES dengan bantuan endoskopi transnasal
lentur. Pemeriksaan dilanjutkan sampai 24 jam (Muderris et al., 2009).
3. Contoh hasil monitoring pH
Gambar 14. Hasil monitoring pH 24 jamKeterangan gambar 14. Tiga elektrode mencatat pH, proksimal elektrode diletakkan 2 cm diatas UES memperlihatkan penurunan perlahan hasil
39
catatan pH bahkan setelah mencapai level dibawah 4.0. Hampir sama dengan bagian proksimal, bagian medial juga terjadi penurunan yang dicatat pada UES. Elektrode bagian distal menunjukkan tidak ada GER yang nyata (Maldonado et al., 2003).
Gambar 14. Hasil monitoring pH 24 jamKeterangan gambar Satu jam dari monitoring pH 24 jam menggunakan tiga electrode menunjukkan seringnya episode refluks esophagusdistal (lower trace), kurang sering terjadi pada refluks esophageal proksimal (middle trace) dan refluks hipofaringeal tunggal terjadi berkaitan dengan bagian distal dan proksimal (daerah yang dilingkari) (Maldonado et al., 2003).
d . Skintigrafi orofaringoesofagus
Skintigrafi lambung juga mempunyai keuntungan dalam mendeteksi aspirasi dan
keterlambatan pengosongan lambung, mudah dikerjakan, tetapi sensitifitasnya
rendah yaitu sebesar 15-59% walaupun mempunyai spesifitas tinggi yaitu sebesar
83-100%. Karena tidak adanya nilai normal sesuai umur merupakan keterbatasan
pemeriksaan ini (Galli et al., 2005; Tamin, 2009).
Skintigrafi orofaringoesofageal diusulkan sebagai tes penapis pada penyakit LPR
karena tindakan ini noninvasif dan ditoleransi dengan baik serta memberi informasi
kualitatif dan kuantitatif. Pada kenyataannya tes ini dapat membedakan pasien
GERD klasik (GER tes positif, pengurangan bersihan esofagus, tanda inflamasi
esofagus, hipotonik LES) dengan pasien yang kemungkinan LPR (tes GER positif,
40
puncak dobel dan pengurangan mendatar dari kurve aktifitas berdasarkan waktu, dan
tanda tidak langsung inflamasi farings (Galli et al., 2005).
Gambar 15. Test skintigrafi GER: refluks yang sering terjadi pada gambar diatas yang ditunjukkan dengan gambar panah, dimana terdapat gambaran kontras mengisi balik pada seluruh lumen esofagus (Galli et al., 2005).
Parameter tes skintigrafi yang dinilai adalah: kurve aktifitas waktu, adanya
puncak ganda dan berkurangnya secara mendatar fase orofaringeal, adanya
peningkatan atau penurunan transit esofagogastrik, adanya bahan radioaktif di
farings dan esofagus secara persisten, adanya GER yang terjadi saat pemeriksaan
(Galli et al., 2005).
e . Ambulatory multichannel intraluminal impedance
Ambulatory multichannel intraluminal impedance merupakan alat diagnostik
relatif baru yang didesain dengan pasangan elektrode yang menempatkan beberapa
probe pH pada jalur retrograde bolus dari lambung ke esofagus. Pasangan elektrode
ini mendeteksi perubahan resistensi aliran bolus cairan (low impedance) dan dapat
membedakannya dengan bolus gas (high-impedance). Impedans ini juga dapat
41
mendeteksi refluks asam maupun non asam. Walaupun alat ini cukup menjanjikan,
penggunaannya dalam mendiagnosis LPR belum jelas (Tamin, 2009). Penilaian
ambulatory multichannel intraluminal impedance memungkinkan identifikasi gas
sebaik refluksat cairan dan mendeteksi refluks non asam yang secara signifikan dapat
digunakan untuk menentukan adanya LPR (Ford, 2005).
Impedance monitoring adalah metode baru untuk mendeteksi adanya refluks
berdasarkan adanya motilitas gastrointestinal. Metode ini mengevaluasi perubahan
resistensi listrik intralumen yang terjadi ketika adanya peningkatan bolus atau
cairan, makanan atau gas yang memasuki esophagus, tanpa memperhatikan pH
materi yang masuk. Teknik intraluminal impedance mungkin lebih sesuai dibanding
monitoring pH esofagus untuk mencari korelasi antara LPR karena tidak ada
perlambatan waktu untuk deteksi episode refluks. Meskipun demikian nilai normal
untuk kejadian refluks esofagus dan hipofarings belum divalidasi dan petunjuk serta
evaluasi visual resolusi tinggi dari rekaman membutuhkan waktu yang banyak.
Perkembangan alat ini dengan ditambahkan alat untuk analisis otomatissi mungkin
akan menjadi standar baru untuk mendeteksi kejadian LPR (Stravoulaki, 2005).
f . Kuantitas ekspresi protein
Teknik pemeriksaan kuantitas ekspresi protein seperti pepsin, carbonic
anhidrase, heat-shock protein pada sampel mukosa laring dan farings atau saliva
tenggorok kemungkinan dapat menjadi baku emas dalam penegakan diagnosis LPR
(Tamin, 2009). Deteksi pepsin sputum tenggorok dengan cara immunoassay enzyme-
42
linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan metode yang non invasif, sensitif
untuk mendeteksi LPR, sebab pepsin memiliki molekul yang besar sehingga dapat
dideteksi pada saluran nafas jangka lama setelah refluks lambung terjadi, sehingga
dapat menjadi penanda diagnostik yang baik (Knight et al., 2005).
Refluks GERD selalu mengandung pepsin, tetapi tidak semua refluks terjadi pH
dibawah 4, sehingga bila kita menggunakan pH metri tradisional LPR secara
signifikan akan under diagnosed. Pepsin menunjukkan aktivitas enzimnya pada pH
diatas 4, hanya inaktif secara ireversibel pada pH diatas 6,5-9, sehingga ada pasien
dengan hasil negatif pada penelitian pH metri tetapi masih mempunyai penyakit yang
dikaitkan dengan LPR (Knight et al., 2005).
Temuan yang paling signifikan pada penelitian tentang pepsin apusan tenggorok
dengan cara immunoassay adalah 100% sensitif dan 89% spesifik apabila
dibandingkan dengan pH metri untuk diagnosis LPR (Handa, 2005; Knight et al.,
2005). Penelitian terkini tentang pepsin menunjukkan temuan pepsin pada beberapa
pasien tanpa adanya pH-metri yang menunjukkan adanya LPR, hal ini memberi
petunjuk bahwa pepsin lebih baik sebagai penanda diagnostik LPR dibanding
monitoring pH. Hanya satu hasil pepsin assay sebagai diagnostik adanya LPR,
meskipun tingkat keparahannya tidak dapat ditentukan. Pepsin assay adalah
merupakan metode terbaik untuk penapisan adanya LPR dan sampelnya juga dapat
dilakukan pemeriksaan carbonic anyhydrase, dan E-cadherin (Knight et al., 2005).
g . Imunologi
43
Sistem imunologi mukosa larings menimbulkan respons imun atau toleransi
tergantung asal antigen. Larings adalah organ penting untuk imunologi saluran nafas
atas (Barker et al., 2005). Penelitian biopsi yang dilakukan pada manusia dan
binatang menunjukkan bahwa larings mengandung jaringan imun. Sebagian kecil
pernah dilaporkan bentuk folikel epitel larynx-associated lymphoid tissue (LALT)
(Barker et al., 2005). Aktifitas imunologi mukosa larings penting dalam proses
infeksi, inflamasi dan penyakit neoplasma (Barker et al., 2005). Imunologi penyakit
LPR masih jarang diteliti (Rees et al., 2008).
Larings merepresentasikan persilangan antara sistem saluran cerna dan
pernafasan dimana pertemuan keduanya didominasi oleh IgA pada saluran nafas
bagian atas, sedangkan dibagian bawah didominasi oleh IgG. Terdapat perbedaan
flora bakteri yang nyata dari bagian saluran nafas lainnya, dan hal menyokong
adanya sistem imunologi yang berbeda pada larings (Rees et al., 2008).
Penelitian yang pernah dilakukan didapatkan suatu data yang menunjukkan
densitias yang tinggi sel imun aktif pada mukosa larings hewan dan manusia. Ada
kumpulan limfoid terorganisasi yang banyak, sama dengan Peyer’s patches
(larynxassociated lymphoid tissue) meskipun dibanding usus lebih dari 90% sel imun
secara difus didistribusikan melewati epitel dan lamina propria. Lingkungan
memberi paparan adanya perubahan imunologi larings. Penelitian lainnya
menunjukkan bahwa mukosa larings perokok mengandung lebih banyak sel CD41
T. Pasien yang menjalani laringektomi mengalami peningkatan keluhan dan infeksi,
44
dimana hal ini dapat diakibatkan oleh hilangnya respon imun larings (Rees et al.,
2008).
Pemeriksaan yang dilakukan adalah untuk memeriksa perubahan ekspresi
molekul antigenpresenting pada sel epitelial dan komposisi serta frekuensi sel yang
relevan dengan mukosa pada penderita LPR. Kita menggunakan biopsi mukosa
larings pada kasus inflamasi kronik dibanding mukosa normal. Hasil pemeriksaan
yang dibandingkan meliputi : sel B, CD8+, MHC class I dan II, produksi b2m, CD1d
carbonic anhydrase tipe III (Rees et al., 2008).
1 . Sel B
Untuk meneliti konsekuensi imunologi LPR, pertama kali kita teliti adalah
komposisi dan lokasi sel infiltrasi pada mukosa larings pada pasien dengan LPR
dibanding kontrol. Tidak ada perbedaan jumlah sel B antara pasien dengan LPR dan
kontrol yang kami jumpai, yang menekankan penelitian kami sebelumnya bahwa sel
B hampir selalu berada di lamina propria. Juga tidak ada perubahan ekspresi netrofil,
eosinofil, monosit pada kasus LPR (Rees et al., 2008).
2. CD8 +
Perbedaan utama pada infiltrat imunologi antara subyek kontrol sehat dengan
pasien LPR adalah peningkatan jumlah sel CD8+ (Rees et al., 2008). Apabila
distribusi CD8+ limfosit dibandingkan terlihat adanya peningkatan yang signifikan
45
CD8+ pada epitel larings pada pasien yang menderita refluks. Apabila epitel
distratifikasi menjadi lapisan luminal dan basal, rasio area ekspresi CD8+ dilapisan
luminal dan epitel basal adalah lebih tinggi secara signifikan pada pasien LPR
disbanding control, yang menunjukkan respon LPR mungkin termasuk didalamnya
akumulasi sel CD8+ pada lapisan epitel luminal (Rees et al., 2008).
3. MHC class I dan II
Penelitian juga ditujukan untuk adanya perubahan ekspresi antigen-presenting
major histocompatibility complex (MHC) class I dan class II dikaitkan dengan LPR.
Molekul MHC class II diekspresikan secara konsisten pada semua lapisan epitel pada
kontrol subyek sehat. Tidak ada perbedaan signifikan ekspresi MHC class II diantara
pasien LPR dan kontrol (Rees et al., 2008).
4. P roduksi b2m
Perbandingan antara kontrol sehat dengan pasien LPR menunjukkan peningkatan
relatif produksi b2m pada grup LPR. Hal ini menunjukkan eksistensi protein b2m
bentuknya bukan kompleks dengan molekul classical class I memungkinkan untuk
membenarkan hipotesis bahwa ekspresi molekul nonclassical MHC oleh sel
epithelial larings termasuk didalamnya adalah respons mukosa terhadap refluksat
(Rees et al., 2008).
5. CD1d
Peningkatan ekspresi CD1d oleh sel epitel pada pasien dengan LPR
mengindikasikan adanya pengaturan jalur ini oleh refluksat asam. Ada beberapa
46
bukti bahwa CD1d-responsive CD8+ cells mungkin terlibat dalam pathogenesis
penyakit inflamasi usus pada manusia. NK sel juga mengekspresikan CD8+ jumlah
sedikit, dan hal ini memungkinkan sebab antibody berguna untuk mendeteksi CD8+
meningkat melawan rantai TCR, beberapa yang hasilnya positif pada pengecatan
yang menunjukkan adanya NK sel. Penelitian lebih lanjut interaksi antara antigen
yang dipresentasikan oleh CD1d pada sel epitel larings dan sel CD8+ saat ada atau
tidaknya refluksat memberikan kesempatan kepada kita untuk meneliti lebih lanjut
tentang imunologi saluran nafas atas (Rees et al., 2008). Molekul Antigen presenting
utama adalah sel epithelial dan kompisisi serta frekuensi sel yang relevan secara
imunologi mukosa pada LPR (Rees et al., 2008).
6. Carbonic anhydrase tipe III .
Apabila ditemukan secara signifikan berkurangnya Carbonic anhydrase tipe III
di mukosa larings pada penderita refluks yang memberikan kontribusi penurunan pH
mukosa yang memudahkan kerusakan mukosa yang dimediasi oleh pepsin. Tidak
pernah dilaporkan perubahan pada sel aktif secara imunologi pada mukosa larings
yang umum terjadi pada kondisi inflamasi kronik (Rees et al., 2008). Dari
keterangan tersebut diatas memungkinkan kita menggunakan pemeriksaan imunologi
laringotrakeal sebagai alat bantu untuk diagnosis LPR (Carr et al., 2000).
3. Percobaan terapi empiris
Terdapat perbedaan hasil penelitian tentang percobaan terapi empiris pada
penderita LPR dengan menggunakan Protein Pump Inhibitors (PPIs). Terdapat
47
penelitian hasilnya membuktikan bahwa terapi PPIs secara signifikan lebih baik,
sedangkan sebagian tidak terdapat perbedaan signifikan. Banyak ahli THT
menganjurkan terapi empiris dengan obat anti refluks sebagai suatu strategi
diagnostik awal pada pasien LPR dengan gejala positif sedangkan pada pemeriksaan
fisik negative, tetapi tidak direkomendasikan untuk jangka lama dalam ujicoba terapi
(Amin, 2001; Tamin, 2009). Schenck et al. (1997) menyatakan dengan pH metri
sebagai standar baku, tes omeperazol memiliki nilai prediksi positif 68% dan
prediksi negatif 63% dalam mendiagnosis GERD. Jika tes omeperazol digunakan
sebagai standar baku, nilai prediksi positif dan negatif pH metri juga sebesar 68%
dan 63% (Tamin, 2009). Respons gejala larings pada pemberian PPIs yang pernah
diteliti didapatkan data 85% terdapat perbaikan gejala setelah terapi (Eubank et al.,
2001). Penelitian terkini dengan RCT buta ganda menggunakan PPIs menunjukkan
akurasi untuk diagnosis LPR tidak cukup tinggi (Tutuian et al., 2004).
Sebuah penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) gagal membuktikan
keuntungan proton pump inhibitors (PPIs) dibanding plasebo untuk terapi pasien
dengan refluks laringitis. Walaupun demikian banyak klinisi yang tetap
menggunakan terapi empiris untuk melakukan diagnosis refluks laringitis (Joniau et
al., 2007).